Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Mastuti Purwaningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Kerusuhan anti Cina banyak terjadi di Indonesia terutama di Jawa sejak masa kolonial. Tindak kekerasan itu memiliki beragam latar belakang, tetapi pada dasarnya hal itu terjadi sebagai akibat kebijakan penjajah dalam mengelola tanah jajahannya. Kerusuhan anti Cina di Tangerang periode 1913-1946 tidak terlepas dari kebijakan tersebut, disamping terjadinya perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia sendiri. Arti penting dari kerusuhan anti Cina di Tangerang tidak hanya bahwa kerusuhan-kerusuhan itu sering terjadi di daerah itu, tetapi juga karena karakter masyarakat dan keberadaan Tangerang sendiri bagi pemerintah penjajah. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional. Studi ini berusaha mencari jawaban atas masalah mengapa muncul peristiwa Tangerang, mengapa Tangerang menjadi daerah yang memunculkan konflik rasial dan bagaimana jalannya kerusuhan Tangerang?

Kerusuhan anti Cina dapat dikategorikan sebagai bentuk aksi kolektif. Aksi kolektif ialah tindakan bersama secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak dapat diduga sebelumnya.

Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan penyajian. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku.

Kerusuhan anti Cina yang terjadi di Tangerang memiliki pemicu yang berlainan sesuai dengan keadaan ketika kerusuhan itu muncul. Pada dasarnya faktor dendam pribadi pelaku turut mendorong aksi kekerasan rasial itu. Yang jelas kondisi sosial masyarakat menciptakan keadaan yang kondusif untuk munculnya tindak kekerasan rasial tersebut.

Keberadaan Tangerang sebagai wilayah tanah partikelir berdampak pada timbulnya pengaruh dan kekuasaan tuan tanah yang besar terhadap penduduk di wilayah tersebut. Sebaliknya penduduk pribumi selalu dalam kondisi subsisten akibat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagai realisasi kebijakan pemerintah penjajahan. Pergantian penguasa dari Belanda ke Jepang tidak membawa perubahan ekonomi yang berarti bagi masyarakat pribumi. Justru tekanan dan penderitaan semakin memperparah kehidupan masyarakat pribumi. Di pihak lain orang-orang Cina tetap memegang kendali ekonomi dan berpenghidupan lebih baik, meskipun Jepang tidak sepenuhnya mempercayai kelompok ini. Keberhasilan orang-orang Cina menghindari eksploitasi Jepang menumbuhkan perasaan tidak suka dan kecurigaan pribumi bahwa kelompok etnis ini memihak penguasa penjajah.

Hubungan yang tidak harmonis antara etnis Cina dan pribumi sebagai akibat politik rasialis penjajah menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap etnis Cina. Perbedaan kultural etnis Cina pribumi yang disertai kurang intensnya interaksi diantara kedua etnis itu turut memperlebar jarak diantara keduanya_ Kedekatan etnis Cina dengan penjajah menumbuhkan pendapat bahwa mereka juga penjajah. Hal ini dikuatkan dengan kondisi sosial masyarakat yang terjadi selama itu yaitu bahwa etnis Cina memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar khususnya dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.

Perkembangan politik yang terjadi turut mempengaruhi hubungan tersebut. Kedekatan dengan penjajah, kesejahteraan yang lebih baik dan sikap pasif etnis Cina atas perjuangan kaum pribumi menjadikan pihak pribumi menganggap bahwa etnis Cina adalah bagian dari penjajah. Sehingga ketika terjadi kegoncangan politik maka etnis Cina menjadi sasaran tindak kekerasan kolektif.
ABSTRACT
Disturbance against Chinese occurs in Indonesia especially in Java since colonial era. The cruelty have various back ground, but basically the action happen as an outcome of colonizer policy in organize its colony. Disturbance against Chinese in Tangerang for the period 1913-1946 legible slip from that policy, beside the development of social, economy and politics in Indonesia itself The important interpretation of disturbance against Chinese in Tangerang not only that riots frequently occur in that area, but also because people characteristic and position of Tangerang toward government occupation. Not much research done for this phenomenon let alone recording in national history. This study try to get an answer from the question: why the Tangerang tragedy happens, why Tangerang become the area that arising racial conflict and how Tangerang disturbance goes?

Disturbance against Chinese categorized as collective action. Collective action is actions that done at the same time spontaneously, relatively not organized and almost unpredictable before.

Research activities adjusted by history methods step, including heuristic, criticism, interpretation, and presentation. Source data are archives, published archives, annotation remembrance that not published, interview, newspaper, magazine, article and book.

Disturbance against Chinese that occur in Tangerang has different trigger that variant due by moment when riot arises. Basically personal vicious factor of performer join with the factor, which push the racial violence. People social conditions create the situation that arising racial violence action.

Tangerang existences as private land area have an impact over arising of the big influence and power of Land Lord over the indigenous person in this area. Otherwise indigenous person frequently in the subsistence condition as a result of obligation to colonialized government. Colonialized changes from Netherlands to Japan not make a meaningful differential economic for the indigenous person. On the contrary, stress and suffer abuse existence of indigenous person. On the other hand Chinese still have economic control and have a better life, although Japanese can not fully trust this group. Successful of Chinese avoid Japanese exploitation affecting dislike and suspicion from indigenous person that Chinese support colonialized.

Inharmonic relationship between Chinese and indigenous person as result of colonialized racial politics to cultivate prejudice about Chinese. Cultural differences between Chinese and indigenous person and less interaction between the two ethnics make gap between two ethnics. Proximity Chinese with colonialized to cultivate that they are also colonialized. This matter forced by people social condition that occur along this period that Chinese possess big accession and influence specially in village people economic.

Politics developments have influence to that relationship. Proximity with colonialized, better wealth and Chinese passive action over the struggle of the indigenous person make the indigenous person have the assumption that Chinese are part of colonialized. As moment of uncertain situation happen so Chinese become object of collective violence action.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Asisi Datang
Abstrak :
Penelitian ini merupakan sebuah kajian bandingan tipologis atas bahasa-bahasa Flores. Penelitian ini bertujuan mengelompokkan bahasa-bahasa Flores berdasarkan pola urutan katabahasa-bahasa tersebut. Penelitian difokuskan pada 14 bahasa yang digunakan di lima kabupaten di pulau Flores dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Data untuk penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan daftar tanyaan yang terdiri atas 161 frase dan 103 kalimat. Data dianalisis dengan menggunakan parameter-parameter Greenberg (1966), sambil menerapkan hasil penelitian Sudaryanto (1933) mengenai konstruksi dalam bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh setelah penelitian adalah sebagai berikut. Bahasa-bahasa Flores termasuk bahasa bertipe VO-Pr-NG-NA, dan modifier mendahului V. Selain keselerasan pola urutan kata VO-Pr-NG-NA dan modifier yang mendahului V, terdapat lima konstruksi bahasa Flores yang selaras dengan pola urutan kata VO-Pr-NG-NA dan modifier yang mendahului V tersebut, yaitu konstruksi nominal substantif, nominal lokatif, nominal lokatif-partitif, dan pradikatif berpendesak desideratif Di samping kelima konstruksi tersebut, pola urutan kata konstruksi predikatif berpendesak negatif, konstruksi komparatif kelebihan dan kepalingan, dan pola urutan kata konstruksi nominal temporal secara dominan selaras dengan pola urutan kata VO-Pr NG-NA di atas. Dilihat dari pola urutan katanya, bahasa Flores terbagi atas dua kelompok besar, yaitu kelompok bahasa Flores Timur dan kelompok bahasa Flores Barat. Kelompok bahasa Flores Barat terbagi atas dua subkelompok, yaitu subkelompok bahasa Flores Barat (mencakup bahasa Komodo, Manggarai, dan Rembong) dan subkelompok bahasa Flores Tengah (yang mencakup bahasaNgada, Lio, Fade, Palue, Sikh., dan Muhang . Dan kelompok bahasa Flores Timur terdiri atas bahasa Lamaholot, Atadei, Horinara, Ili ape, dan Kedang. Ciri pola urutan kata subkelompok Flores Barat secara dominan mewarnai pola urutan kata subkelompok bahasa Flores Tengah dan kelompok bahasa Flores Timur. Namur, selain ciri subkelompok Flores Barat, dalam kelompok bahasa Flores Timur terdapat cukup banyak pola urutan kata `dari Timur' (istilah Keraf, 1978: 223). Tipe urutan kata Timuritu cukup banyak ditemukan di dalam subkelompok Flores Tengah, dan sangat sedikit pada subkelompok bahasa Flores Barat: Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola urutan asli bahasa Flores adalah pola urutan subkelompok Flores Barat. ...... Word Order Typology of Languages in FloresThis research is a study of word order typology of languages in Flores. The airw .of this research is to establish grouping of languages in Flores according to word order typology of these languages. The object of this research are 14 languages which are spoken in five regencies in the island of Flores and in some small island surrounding it. The data for this research is collected by a questionarry consisting of 161 phrases and 103 sentences. The data is analyzed using Greenberg's parameters (1966) and Sudaryanto's proposals (1993) on constructions of Indonesian. The result of this research are as follows. All languages in Flores belong to VO-Pr-NGNA type and the modifier is placed before V. There is a harmony among parts of this type. Besides the harmony between VO-Pr-NG-NA order and the modifier before V VO-Pr-NG-NA order also has harmony with nominal substantive construction nominal locative construction nominal locative-partite construction and predicative construction. There are two other constructions where VO-Pr-NG-NA word order type is dominantly in harmony with i.c. comparative constructions and nominal temporal construction. Viewed from the word order type languages in Flores are divided into two groups namely West Flores group and East Flores group. The west Flores group is again divided into two subgroups, i.e. West Flores subgroup (comprising Komodo, Manggarai, and Rembong languages) and Central Flores subgroup (comprising Ngada, Lio, Endo, Palue, Sikka, and Muhang languages). The East Flores group includes Lamaholot, Atadei, Horinara, Iliape, and Kedang languages. The West Flores word order type dominates both Central Flores subgroup and East Flores group's word order type. In East Flores group there are also some word order types originated from Farther East, outside of Flores (Keraf 1978: 223). These word order type from the East are also found in West Flores subgroup languages. It could be concluded that the original word order in the languages in Flores is that of the West Flores.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fautngil, Christ
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu pemetaan dan sebaran unsur-unsur leksikal bahasa-bahasa daerah di Lima wilayah kecamatan Kotamadya Jayapura dan sekitarnya. Pendekatan yang digunakan ialah perhitungan jarak kosa kata yang dikemukakan Seguy dengan persentase yang disarankan Guitar. Perhitungan ini diperkuat pula dengan penarikan garis-garis isoglos sebagaimana digunakan oleh Chambers & Trudgill. Interpretasi dipakai unsur-unsur bahasa, yaitu gejala-gejala kebahasaan, baik fonologis maupun morfologis dan latar belakang sejarah, geografi, dan sosial budaya. Hasil yang diperoleh antara lain (1) terdapat tujuh bahasa dalam lima wilayah kecamatan itu, (2) terdapat saling pengaruh antara bahasa-bahasa itu, (3) bahasa-bahasa yang ada sekarang ini merupakan hasil asimilasi dan hasil perkembangan bahasa-bahasa pada masa lalu. Dalam kaitan dengan tujuh bahasa itu, penelitian terdahulu menyatakan bahwa antara Kayu Pulau dan Tobati merupakan bahasa tersendiri, demikian halnya Kemtuk di Sabron dan Moi di Dosai-Hasil perhitungan jarak kosa kata dalam penelitian ini hanya sebesar 511 untuk Sabron-Dosai dan 54% untuk Kayu Pulau-Tobati. Terdapatnya rumpun bahasa Austronesia di Teluk Yos Sudarso, menurut penelitian terdahulu (yakni Orru, Kayu Pulau, dan Tobati), diasumsikan sebagai akibat pengaruh yang kuat dari sebelah barat, yakni pengaruh Ternate-Tidore melalui Raja Ampat dan Biak. Dengan pengaruh-pengaruh kuat tersebut, bahasa-bahasa di teluk itu yang dulunya diperkirakan serumpun dengan bahasa-bahasa di batik gunung Dobonsolo (yakni bahasa-bahasa Irian), akhirnya didominasi oleh rumpun Austronesia. Sebaran penduduk berdasarkan sejarah dimulai dari bagian timur, selatan, dan barat- Sebaran tersebut diperkirakan dalam dua tahapan besar, yakni kelompok timur, selatan, dan barat (dekat --> Demta) merupakan kelompok pertama dan kelompok yang datang dari daerah barat dan jaLinan kembali hubungan timur-barat seperti dikemukakan di atas sebagai kelompok kedua. Hubungan timur dan barat yang dekat masih berjalan terus hingga sekarang.
ABSTRACT This study has two main objectives: the mapping and distribution of lexical elements in five districts in Jayapura and the neighboring areas. This study used the technique created by Seguy for counting word distance, and word percentage created by Guiter (dialectometry). The dialectometry is also supported by techniques for drawing isglossis as used by Chambers and Trudgill. The interpretation of the results was based on linguistic phenomena both phonologically and morphologically, as well as and historical, geographical, and socio-cultural background. The results of the study are: (1) there are seven languages in the five districts, (2) there are linguistic influences among these languages, (3) the existing languages now are the results of the distribution of languages and the migration of the people in the past. In relation to seven languages, earlier studies claimed that the languages in Kayu Pulau and Tobati are separate languages and so are the Kemtuk language in Sabron and the Moi language in Dosai- The calculation and percentage of dialectometry is 51% for Sabron-Dosai and 64% for Kayu Pulau-Tobati. The languages in the Yos Sudarso Bay, that is, the Ormu language, the Kayu Pulau Language, and the Tobati language, according to earlier studies, belong to the Austronesian group because of the influences from western languages, like the Ternate-Tidore languages, which came through the Raja Ampat and Biak. Because of these strong influences, these languages around the bay, which were once the same group as those at the other side of Mount Dobonsolo namely the Papuan Languages, then changed to belong to the Austronesian group. The migration of people, according to history, began from the east, the south, and the west- This migration is thought to occur twice: the first group which is called the east, south, west group (Demta); the second group migration from the west and east as described above. The contact between east and west still exists today.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T 1857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahim
Abstrak :
Dinamika sejarah koniemporer Indonesia diwamai oleh pergumulan antara umat Islam dan pemerintah. Yang disebut pertama memandang agama (Islam) sebagai cam hidup, dan menginginkan ierwujudnya masyarakat bangsa yang bercorak Islami. Sedangkan yang terakhir, lebih didasari oleh pemikiran yang bercorak sekuler, msmandang agama dalam ani sempit serta lebih rnengedepankan dalil-dalil pcmbangunan pcrsanxan bangsa, dan siahilitas nasional. Pembentukan MUI (1975) merupakan hasil kesepakatan antara umat dan pemeriniah yang dimaksudkan untuk menjembatani kcpentingan kedua pihak. Dengan demikian, MUI memiliki iimgsi yang sangat strategis. Penelinan ini dipandang peniing artinya karena sejauh ini belum ada peneljtian uyang mengkaji tentang peranan MUI dengan menyorotinya dari sudut perpektif konilik umat dan pemerimah. Petmasalahan pokok yang akan dicari jawabannya lewat studi ini adalah: Perrama, bagaimana peranan MUI dalam dinamika konflik antara urnat dan pcmerintah ? Kedua, sebempa jauh MUI mampu menjalankan peran sesuai dengan fungsi-fungsi yang disandangnya. Guna mendapatkan pemahaman yang baik tentang pennasalahan ini digunakan teori hubungan otontas dan konflik sosial sebagaimana yang dikemukakan olch Ralf Dahrendorf. Sesuai dengan rnetode yang berlaku dalam penelitian sejarah, peneliiian ini menempuh langkah-langkah: heuristik, kritik, interpretasi, dan penulisan Data-dam yang digunakan terdiri dan data primer dan sekunder. Data primer meliputi arsip, koran dan maja\ah SCZNDBII. Sedangknn data SBkundCT ierdili dari bukn-buku dan artikel. Peranan MU1 dapat dilihat dari realisasi program keljanya yang melipuii bcnnacam-macam aspek. Secara garis besar aspek-Wk tersebut digolongkan kepada dua hal pokok yaitu: masalah pernbinaan umat dan masalah pembangiman nasional. Ditinjau dari sifat kegianannya dapat pula dikelompokkan atas dna kategori yakni: yang bersifat dakwah bil lisan (perbuatan lisan), dan bersifat dakwah bil hal (perbuaxan nyata). Dakwah bil lisan meliputi kegiatamkegiatan yang bersifat pemberian fatwa, nasehat, atau konstribusi pemikimn yang dipandang penting untuk djsampaikan pada pemedntnh maupun umat_ Dakwah bil hal melipnti kegiaian-kegiatan yang bersifat operasional yang ditujukan untnk meningkatkan kualitas dan sumber daya umat sekaligus mcrnbantu pcmeriniah dalam menjalankan pembangunan. Sepanjang kurun waktu l975» l998, MUI telah dipimpin oleh 'Liga orang ketua umum, yaitu Proi Dr. Hamka (1975-1981), KH. Syukri Gozali (1981- l985), dan KH. Hasan Basri (1985-1998). Pada masa. Hamka MUI dihadapkan pada masalah masih tegangnya hubungan antara umat dan pemeliniah. Persoalan- persoalan yang menonjol yang tampil kc pcrmukaan adalah: (l) masalah pemilu 1977, (2) masalah pcnyiaran agama, (3) lcasus Sawito Kartowibowo, (4) masalah aiiran keagamaan, (5) masalah penghapusan libumn pada bulan puasa, (6) peristiwa pembajakan pesawat Garuda, dan (7) masalah fatwa hari Natal _ Hubungan MUI dan pefmerintah icrasa dekai dalam poin (1) dan (2), dan ierlihat renggang pada poin (3), (4), (5), (6) dan (7). Comk peranan yang dimainkan oleh MUI pada masa Hamka adalah bcrsifat independen, dalam artian berbagai keputusan yang dikeluarkan MUI lebih mandiri dan semata-mata didasarkan pada fungsi-fungsi yang disandangnya. Corak independen MUI kadang kala telah menyebabkan ketidakpuasan pemerintah terhadap MUI, namun sebalfimya, disenangi oleh umat_ Kendatipun sifat kegiatan MUI pada masa ini lcbih bersifat dakwah bil lisan dan tidak semuanya berhasil mencapai sasaran, banyak yang memandang MUI cukup berhasil. Pada masa pasca Hamka penn yang dijalankan lebih bersifat akomodatitf Persoalan-persoalan yang menonjol yang bcrpengaruh ierhadap pola hubnngan umat dan pemerlntah pada masa ini cukup banyak di amaranya: (1) pemilu 1982, (2) larangan bezjilbab, (3) Keluarga Berencana, (4) penerapan asas tunggal Pancasila, (5) masalah Porkas, (6) kasus lemak babi, darn lain-lain. Dalam mcnghadapi persoaian-persoalan sensilif mersebut MUI cendenmg bersikap lembut terhadap pemerintah sambil berupaya mengelola program lain yang bersifat netral dalam arti tidak mengandung konfiik. Culcup banyak program MUI yang membawa basil pada perode ini. Banyak kebijakan pemexintah yang ditentang oleh MUI berhasil dicabut, Selain itu., banyak program MUI yang sn-:mule tidak disukai oleh pememintah akhimya dibolehkan. Namun dernikian, semua keberhasilan MUI pada periode ini cendemng kurang dihargai umat. Hal ini tampaknya disebabkan olch sikap akomodatif MUI terhadap pemerintah yang diartikan umat sebngai sikap lemah, sckaligus xefleksi keberpihalcan MUI terhadap pemerintah. Jikn peranan MUI dilihat dari kacamata objektif memang cukup banyak sudah program-program MUI yang bennanfaat telah bcrhasil disumbangkan baik kepada umat maupun kepada pemerimah Namun dari sudut konflik kepentingan keberhasilan itu masih belum rnampu merubah keadaan, masih berat sebelah, dalam artian pcmcrintah masih temp berada 'pada pihak yang diuntungkan dibanding apa yang didapat oleh umat. Apalagi jika yang didapatkan oleh umat tersebut dipatokkan pada ciia-cita umat yang menginginkan terwujudnya masyarakat bangsa yang Islami, semua keberhasilan im masihjauh dari apa yang diharapkan.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T6088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fautngil, Christ
Abstrak :
Penelitian ini memitiki dua tu.juan pokok, yaitu peme¬taan dan sebaran unsur-unsur leksikal bahasa-bahasa daerah di lima wilayah kecamatan Kotamadya Jayapura dan sekitar¬nya. Pendekatan yang digunakan ialah perhitungan jarak kosa kata yang dikemukakan Seguy dengan persentase yang disaran¬kan Guiter. Perhitungan ini diperkuat puler dengan penarikan garis-garis isoglos sehagai rnan.Y digunakan oteh ChaffiberE Trudgill. Interpretasi dipakai unsur-unsur bahasa, yaitu gejala-gejala kebahasaan, baik fonologis maupun morfologis dan Tatar belakang sejarah, geografi, dan social budaya. Hasil yang diperoLeh antara Lain (1) terdapat tujuh bahasa dalam lima wilayah kecamatan itu, (2) terdapat saling pengaruh antara bahasa-bahasa itu, (3) bahasa-bahasa yang ada sekarang ini merupakan basil asimilasi dan basil perkembangan bahasa-bahasa pada mass lalu. Dalam kaitan dengan tujuh bahasa itu, penelitian terdahulu menyatakan bahwa antara Kayu Pulau dan Tobati merupakan bahasa tersen¬diri, demikian halnya Kemtuk di Sabron dan Moi di Dosai. Hasil perhitungan jarak kosa kata dalam penelitian ini hanya sebesar 51% untuk Sabron-Dosai dan 64% untuk Kayu Pulau-Tobati. Terdapatnya rumpun bahasa Austronesia di Tetuk Yos Sudarso, menurut penelitian terdahulu (yakni Ormu, Kayu Pulau, dan Tobati), diasumsikan sebagai akibat pengaruh 0 yang kuat dari sebelah barat, yakni pengaruh Ternate-Tidore melalui Raja Ampat dan Biak. Dengan pengaruh-pengaruh kuat tersebut, bahasa-bahasa di teluk itu yang dulunya diperki¬rakan serumpun dengan bahasa-bahasa di balik gunung Dobon¬solo (yakni bahasa-bahasa Irian), akhirnya didominasi oleh rumpun Austronesia. Sebaran penduduk berdasarkan sejarah dimulai dari bagian timur, selatan, dan barat. Sebaran tersebut di¬perkirakan dalam dua tahapan besar, yakni kelompok timur, selatan, dan barat (dekat --> Dem.ta) merupakan kelompok pertama dan kelompok yang datang dari daerah barat dan jalinan kembali hubungan timur-barat seperti dikemukakan di atas sebagai kelompok kedua. Hubungan timur dan barat yang dekat masih berjatan terus hingga sekarang. ......This study has two main objectives: the mapping and distribution of lexical elements in five districts in Jayapura and the neighbouring areas. This study used the technique created by Seguy for counting word distance, and word percentage created by Guiter (dialectometry). The dialectometry is also supported by techniques for drawing isglossis as used by Chambers and Trudgill. The interpreta¬tion of the results was based on Linguistic phenomena both phonologically and morphologically, as well as and histori¬cal, geographical, and socio-cultural background.The results of the study are: (1) there are seven Languages in the five districts, (2) there are Linguistic influences among these languages, (3) the existing languag¬es now are the results of the distribution of languages and the migration of the people in the past. In relation to seven languages, earler studies claimed that the languages in Kayu Pulau and Tobati are separate languages and so are the Kemtuk Language in Sabron and the Moi language in Dosai. The calculation and percentage of dialectometry is 51% for Sabron-Dosai and 64% for Kayu Pulau-Tobati.The languages in the Yos Sudarso Bay, that is, the Ormu language, the Kayu Pulau Language, and the Tobati language, according to earlier studies, belong to the Austronesian group because of the influences from western languages, Like the Ternate-Tidore Languages, which came through the Raja Ampat and Biak. Because of these strong influences, these languages around the bay, which were once the same group as those at the other side of Mount Dobonsolo namely the Papuan Languages, then changed to belong to the Austro¬nesian group. The migration of people, according to history, began from the east, the south, and the west. This migration is thought to occur twice: the first group which is called the east, south, west group (Demta); the second group migration from the west and east as described above. The contact between east and west still exists today.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T38826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Multamia Retno Mayekti Tawangsih
Abstrak :
Pada tanggal 25--28 Februari 1975 di Jakarta telah diadakan Seminar Politik Bahasa Nasional. Dalam seminar itu telah disimpulkan bahwa di dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makasar, dan Batak, yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara, sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 36, Bab XV, UUD 1945 (Amran Halim 1975:145). Untuk itu maka bahasa-bahasa daerah yang di_pakai di wilayah negara Republik Indonesia perlu dipelihara dan dikembangkan. Usaha-usaha pembinaan dan pengem_bangan bahasa daerah meliputi kegiatan-kegiatan (1) in_ventarisasi dan (2) peningkatan mutu pemakaian
Depok: Universitas Indonesia, 1979
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhira Aranyati
Abstrak :
Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal di propinsi Jawa Tengah , Jawa Timur dan di propinsi lain di Indonesia yng ada pemukiman orang Jawa. Di luar Indonesia, negara Suriname pemakaian bahasa Jawa.Seperti bahasa lain masing-masing bahasa mempunyai dialek geografis.
Depok: Universitas Indonesia, 1994
S11700
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoserizal Achmaddin
Abstrak :
Arkeologi adalah ilmu yang bertujuan mengungkapkan masa lampau manusia melalui artefak atau benda hasil buatan manusia. Fokus studinya adalah artefak,2 akan tetapi di dalam usaha merekonstruksi masa lampau manusia itu jangkauan studinya lebih luas lagi. Perhatian studi adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan artefak atau arti seluasnya: segala aspek kehidupan dan lingkungan manusia masa lampau (Binford 1971: 158; 1972: 8G-81). Aspek-aspek masa lampau manusia meliputi aspek material dan spiritual. Aspek spiritual ini dapat di_pahami melalui studi yang mendalam terhadap aspek materialnya, yaitu berupa kesimpulan tentang aspek ma_terial yang meliputi aspek biologis manusia, lingkungan alam, sarana serta sumber kehidupan dan kehidupan jasmaniah. Dari data ilmiah dapat dicari petunjuk-pe_tunjuk ke arah rekonstruksi aspek rohaniah seperti kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (Soejono 1981:1-3). Perekaman dan penyajian data yang seyogyanya menghasilkan pemahaman akan riwayat serta masa lampau bangsa, pada hakikatnya merupakan tugas utama arkeologi. Tujuannya ialah membangkitkan kesadaran masyarakat akan suatu masa lampau yang pernah dilalui. Baik buruknya, dinamis statisnya, dan tinggi rendahnya derajat masa lampau itu dapat dinilai dan dipahami oleh generasi sekarang melalui penyajian yang tepat (Soejo_no 1981:1-3). Hal ini yang menjadi salah satu latar belakang dalam pemilihan topik mengenai peti kubur batu, karena peti kubur batu megalitik merupakan salah satu aspek material, artefak hasil kebudayaan dari ma_sa lampau. Salah satu masalah di dalam arkeologi adalah usaha untuk mencoba mengerti berbagai fungsi artefak. Ciri-ciri teknologis, konteks serta asosiasi4 berbagai temuan, seringkali belum dapat menjelaskan penger_tian tentang fungsinya di ruasa lalu, karena satu artefak tidak harus ditafsirkan mempunyai satu fungsi, ini pun berlaku terhadap sisa-sisa bangunan atau monumen megalitik. Sampai sejauh ini monumen-monumen megalitik sering kali dikaitkan pada ritus atau kultus kepada leluhur. Istilah megalitik sering diartikan mengandung suatu pengertian tentang dihasilkannya bangunan dari batu. Latar-belakang timbulnya kebudayaan ini berakar pada tradisi animistis atau berpangkal kepada pemujaan aural leluhur. Oleh karena itu bentuk materinya menghasilkan sejumlah anasir bangunan dan benda kebudayaan yang erat hubungannya dengan pemujaan arwah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Untoro Drajat
Abstrak :
Pemilihan judul Kepurbakalaan Giri sebagai obyek penulisan skripsi didasarkan atas berbagai hal antara lain ialah Kepurbakalaan Giri merupakan peninggalan dari masa awal pengaruh Islam di pulau Jawa, dan belum pernah diteliti secara ilmu arkeologi. Dalam berita sejarah dapat diketahui bahwa daerah Giri pada masa masuknya agama Islam merupakan suatu pusat agama Islam yang pengaruhnya meluas hingga ke berbagai kepu - lauan dan memegang peranan penting bagi persebarannya. Pada masa pembangunan seperti sekarang ini, daerah Giri yang mengandung berbagai peninggalan Islam seperti makam dan mesjid terancam punah karena pengerukan tanah yang dilakukan oleh pabrik semen Gresik yang letaknya tidak jauh dari situs Giri ini. Oleh karena itu data-data arkeologi yang masih da_pat direkam diolah semaksimal mungkin sesuai dengan metode serta teori arkeologi guna menambah kepustakaan arkeologi Islam yang jumlahnya masih belum memadai. Menurut penelitian para ahli pengembangan agama Islam menyebabkan pula terjadinya pengaruh Islam di berbagai bidang, misalnya bidang arsitektur, kesenian, tata cara dsb_
Depok: Universitas Indonesia, 1981
S11871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
W. Anwar Falah
Abstrak :
Bangunan purbakala Sunyaragi merupakan salah satu tinggalan purbakala yang terdapat di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Bangunan tersebut pada mulanya merupakan milik Keraton Kasepuhan, salah satu kesultanan di Cirebon, namun sudah diambil alih oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan den Kebudayaan Propinsi Jawa Barat untuk dilestarikan.Menurut keterangan, bangunan tersebut berasal dari awal abad ke-18 M, serta dibangun sebagai sarana istirahat dan menyepi bagi keluarga Sultan Kasepuhan oleh Pangeran Aria Cirebon. Nama Sunyaragi merupakan nama yang secara tradisional diberikan kepada bangunan tersebut, baik oleh pihak Kasepuhan, kerabat Kesultanan Cirebon, maupun oleh masyarakat Cirebon umumnya. Sumber-sumber tertulis sejak pertengahen abad ke-19 M juga menggunakan name itu. Masyarekat Cirebon umumnye menambahkan kata qua di depan nama Sunyaragi, menjadi Gua Sunyaragi, sedangken Dinas Pariwisata Kotamadya Cirebon memakai namaTaman Guha Sunyaragi. Nama Sunyaragi itu sangat mungkin diberikan_
Depok: Universitas Indonesia, 1983
S12066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>