Pendahuluan: Kolaborasi penalaran klinis merupakan salah satu bagian penting dalam kolaborasi interprofesi, yaitu kolaborasi berbagai profesi kesehatan dalam menyusun sebuah kerangka berpikir mengenai masalah pasien dan manajemen tatalaksananya. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah kesehatan adalah Integrated Care Pathway (ICP). Salah satu metode pembelajaran dalam program pendidikan interprofesi kesehatan (IPE) tahap lanjut yang diselenggarakan Rumpun Ilmu Kesehatan UI adalah case-based discussion, yaitu diskusi dengan menggunakan kasus pemicu dan kerangka ICP untuk menyusun rencana pengelolaan kesehatan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dalam diskusi kasus tersebut, menggali berbagai faktor yang memengaruhi proses kolaborasi penalaran klinis, serta pemanfaatan ICP yang digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan metode maximun variation sampling pada kelompok interprofesi yang mengikuti program IPE RIK UI. Sebanyak empat observasi diskusi dan empat FGD dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dan pemanfaatan kerangka ICP. Empat wawancara mendalam terhadap tutor diskusi dan telaah dokumen terhadap empat kerangka ICP yang telah diisi dilakukan untuk triangulasi data. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi penalaran klinis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap individu dan tahap kelompok, dengan menerapkan seluruh kompetensi kolaborasi terutama kompetensi terkait peran dan tanggung jawab, serta kerja sama tim. Dalam diskusi kolaborasi penalaran klinis, kerangka ICP dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan masalah kesehatan individu, namun kurang optimal digunakan dalam pengelolaan masalah kesehatan komunitas. Proses pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja praktik dan kolaborasi, dan usia anggota kelompok interprofesi yang relatif sebaya. Beberapa tantangan pemanfaatan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis antara lain kasus pemicu yang digunakan, prior knowledge mengenai ICP, dominasi profesi dan peran tutor dalam proses diskusi interprofesi. Simpulan: Pembelajaran kolaborasi penalaran klinis dengan menggunakan kerangka ICP bermanfaat utk membantu peserta didik dalam menyusun pengelolaan masalah kesehatan dan meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap berbagai kompetensi kolaborasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan penggunaan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis diantaranya perbaikan kasus pemicu dan kerangka pengelolaan masalah kesehatan, yang disusun secara komprehensif dengan mempertimbangkan keilmuan dan cakupan kompetensi seluruh profesi kesehatan yang akan terlibat dalam pembelajaran tersebut. Kata kunci: kolaborasi penalaran klinis, pendidikan interprofesi kesehatan, kompetensi kolaborasi, kerangka Integrated Care Pathway, case-based discussion
Introduction: Collaborative clinical reasoning is an important part of interprofessional collaborative practice, in negotiating patients problem and its management. Integrated Care Pathway (ICP) can be used as a framework in developing comprehensive patient care. Interprofessional education program held by Health Science Cluster Universitas Indonesia implemented case-based discussion as one of the learning methods, to discuss a clinical problem within an interprofessional team using ICP framework. This study aims to explore the collaborative clinical reasoning process in undergraduate interprofessional team, and the use of integrated care pathway framework as a guidance in discussing patient problem and its comprehensive management. Method: This research is a qualitative study with phenomenology design. The selection of respondents was conducted using maximum variety sampling method. A total of four observations and four focus group discussions were conducted to explore the collaborative clinical reasoning process using the ICP framework. In-depth interviews with the tutors of the discussions and document analysis were also conducted as triangulation processes. Result: This study shows that the collaborative clinical reasoning was held in two stages, individual and group stages. All of the collaboration competency domains were applied during the interprofessional discussion, especially roles and responsibilities and teams and teamwork. ICP framework could be used as a guidance in collaborative clinical reasoning process to discuss the patients management and discharge plan. The influencing factors were experience in clinical clerkship and previous exposure to IPE, and the similarities of the team members age. This study also shows few challenges in this learning process, including the clinical case used in the discussion, the need of prior knowledge about the framework, domination during the discussion, and the role of tutor. Conclusion: The interprofessional education on collaborative clinical reasoning using ICP framework could help students discussing clinical problem and developing comprehensive and collaborative care plan. To optimize the process of the discussion and the interaction among interprofessional team members, clinical case used in the discussion should be prepared thoroughly and consider the competency and scope of knowledge of all health profession involved in the IPE program.
"Penurunan massa otot pada usia lanjut menimbulkan sarkopenia,salah satu penyebabnya adalah proses inflamasi. Rasio asam lemak omega-3/omega-6 dapat memengaruhi proses inflamasi, namun hubungannya dengan massa otot masih menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mengeksplorasi korelasi rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dan kadar asam lemak omega-3 dengan massa otot pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini melibatkan 101 usila yang didapatkan menggunakan proportional random sampling. Rasio asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 dinilai menggunakan food record 3x24 jam dan food frequency questionnaire semikuantitatif, kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit diukur menggunakan gas chromatography-mass spectrometry, dan pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectrical impedance analysis. Analisis korelasi menggunakan uji Spearman. Didapatkan rerata usia subjek adalah 75.5 ± 7.6 tahun dengan 73.3% subjek adalah perempuan. Rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 subjek menggunakan food record adalah 0,09 (0,05-0,22) dan 0,08 (0,05-0,23) menggunakan FFQ semikuantitatif. Nilai tengah kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit subjek untuk ALA=10,06 (4,9-24,9) µg/mL, EPA=14,6 (5,06-81,02) µg/mL, DHA=115,5 (20,6-275,09) µg/mL, dan total omega-3=144,1 (89,3-332,1) µg/mL. Nilai tengah massa otot subjek adalah 35,5 (22,8-63,5) kg. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat korelasi antara rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dengan massa otot baik menggunakan food record (r = -0.2, p = 0.07), maupun FFQ semikuantitatif (r = 0.01, p = 0.9), dan tidak terdapat korelasi antara kadar ALA, EPA, DHA, total asam lemak omega-3 membran eritrosit dengan massa otot berturut-turut (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; dan r = -0.02, p = 0.8).
The phenomenon of muscle mass deterioration appeared in the elderly called sarcopenia, one of the reasons was the inflammatory process. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids are known to influence the inflammatory process. However, the relationship of this ratio with muscle mass are still conflicting. This cross-sectional study aimed to explore the correlations of omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels with muscle mass among the elderly in five registered nursing homes in South Tangerang City. This study involved 101 elderly from the proportional random sampling method. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids intake was assessed using 3-days food records and semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Moreover, omega-3 fatty acid erythrocyte membrane levels were measured using gas chromatography-mass spectrometry and muscle mass were examined using bioelectrical impedance analysis. We used Spearman analysis to investigate the correlation. The mean age of the participants was 75.5 ± 7.6 years and most of the participants were female (73.3%). Furthermore, the median value of omega-3 and omega-6 fatty acid intake ratio was 0.09 (0.05 – 0.22) using 3-days food records and 0.08 (0.05 – 0.23) using SQ-FFQ, the median value of omega-3 erythrocyte membrane levels for ALA = 10.06 (4.9-24.9) µg/mL, EPA = 14.6 (5.06 – 81.02) µg/mL, DHA = 115.5 (20.6 – 275.09) µg/mL, total omega-3 = 144.1 (89.3 – 332.1) µg/mL, and the median value of muscle mass were 35.5 (22.8 – 63.5) kg. We did not find strong correlation between omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and muscle mass using either 3-days food records (r = -0.2, p = 0.07), or SQ-FFQ (r = 0.01, p = 0.9), and no strong correlations found between ALA, EPA, DHA, total omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels and muscle mass (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; and r = -0.02, p = 0.8), respectively.
"