Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Agung Suryoputro Reksoprodjo
"Latar Belakang. Kemoterapi masih menjadi pilihan pengobatan untuk pasien dengan kanker termasuk pada pasien usia lanjut. Instrumen untuk memprediksi toksisitas berat akibat kemoterapi pada pasien usia lanjut diperlukan untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan menilai performa diskriminasi dan kalibrasi instrumen CARG untuk memprediksi toksisitas berat akibat kemoterapi pada pasien usia lanjut dengan kanker.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif menggunakan data primer penelitian sebelumnya yang menggunakan CGA sebagai prediktor toksisitas kemoterapi. Subyek merupakan pasien usia lanjut yang menjalani kemoterapi di KSM Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dari Oktober 2019-Januari 2021 dan dilakukan pengambilan sampel dengan metode total sampling. Skor CARG yang sudah dihitung dibagi menjadi risiko rendah, risiko sedang dan risiko tinggi. Performa diskriminasi dinyatakan dengan c statistic (AUC) dan performa kalibrasi dinyatakan dengan uji Hosmer Lemeshow. Luaran dari penelitian ini adalah prediksi toksisitas berat (CINV, anemia, febrile neutropenia, dan kematian) akibat kemoterapi pada pasien usia lanjut di KSM Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Hasil. Dalam penelitian ini terdapat 193 pasien. Kanker terbanyak adalah hematologi (33,2%), kepala dan leher (24,9%) serta gastrointestinal (14%). Toksisitas berat terbanyak pada kanker gastrointestinal (29,6%). Skor CARG memberikan performa diskriminasi yang baik dengan c statistic (AUC) 0,756 (IK95% 0,681-0,830; p<0,001) dan performa kalibrasi yang baik dengan Uji Hosmer Lemeshow p 0,282. NPV pada penelitian ini 79,27%.
Kesimpulan. Instrumen CARG memiliki performa diskriminasi dan kalibrasi yang baik untuk memprediksi toksisitas berat pasca kemoterapi pada pasien usia lanjut.

Background. Chemotherapy is still treatment of choice for patients with cancer, including the elderly. Intruments to predict chemotherapy-induced severe toxicity in elderly patients are needed to reduce mortality, improve quality of life. This study aims to assess the discrimination and calibration performance of the CARG instrument to predict severe chemotherapy-induced toxicity in elderly patients with cancer.
Methods. This study used a retrospective cohort design using primary data from previous study that used CGA as a predictor of chemotherapy toxicity. The subjects were elderly patients who underwent chemotherapy at Internal Medicine Department CIpto Mangunkusumo National General Hospital from October 2019-January 2021 and sampled was carried using the total sampling method. The calculated CARG score is divided into low risk, medium risk and high risk. Discrimination performance is expressed by c statistic (AUC) and calibration performance is expressed by Hosmer Lemeshow test. The outcome of this study is prediction of severe toxicity (CINV, anemia, febrile neutropenia, and death) due to chemotherapy in elderly patients at Internal Medicine Department Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Results. In this study there were 193 patients. The most common cancer were hematology (33.2%), head and neck (24.9%) and gastrointestine (14%). The most severe toxicity was gastrointestin cancer (29.6%). The CARG score provides a good discrimination performance with c statistic (AUC) 0.756 (CI 95% 0.681-0.830; p <0.001) and good calibration performance with Hosmer Lemeshow test p 0.282. The NPV in this study was 79.27%.
Conclusion. The CARG instrument has a good performance for predicting severe in post-chemotherapy toxicity in elderly patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Aulia
"Latar Belakang: Pergeseran dominasi antara laki-laki dan perempuan pada dunia kedokteran terjadi dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia, termasuk di bidang bedah plastik di Indonesia. Profesi yang semula didominasi oleh laki-laki, saat ini didominasi perempuan. Pergeseran dominasi perempuan ini memungkinkan terjadinya masalah-masalah yang berpengaruh pada pendidikan dan pelayanan bedah plastik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena dominasi perempuan pada pendidikan spesialis di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif berupa studi fenomenologi. Penelitian dilakukan pada 3 program pendidikan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik di Indonesia. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2020. Populasi penelitian terdiri dari 4 kelompok, yaitu peserta didik, dosen, pengelola program studi, dan pengguna lulusan. Responden penelitian dipilih menggunakan metode maximum variation sampling. Setiap responden mendapatkan informed consent, seluruh informasi yang diberikan sifatnya rahasia dan tidak memengaruhi proses pendidikan responden. Metode pengumpulan data berupa studi dokumen, Focus Group Discussion (FGD), dan In-Depth Interview. Data penelitian yang diperoleh dari berbagai metode diatas, kemudian dianalisis dan diolah lebih dalam secara tematik. Hasil: Peneliti membagi tema berdasarkan garis waktu proses pendidikan, yaitu: prapendidikan, intra-pendidikan, dan pascapendidikan. Masing-masing proses memiliki tema yang saling memengaruhi proses pendidikan. Pada masa prapendidikan terdapat karakter personal yang dipengaruhi oleh persepsi positif maupun negatif dari masyarakat. Sedangkan iklim lingkungan kerja, dampak dominasi perempuan, dan dimensi budaya memengaruhi kelancaran intra-pendidikan. Pasca pendidikan dan memasuki dunia kerja, peserta didik menginginkan suatu kondisi lingkungan kerja yang ideal dan terdapat preferensi tempat bekerja tertentu untuk mencapai kondisi well-being. Kesimpulan: Dampak dominasi perempuan selama pendidikan hanya akan berpengaruh pada dinamika kehidupan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan dosen sebagai mentor. Namun dominasi ini tidak akan memengaruhi kualitas pendidikan dan beban kerja yang diberikan. Pada penelitian ini juga didapatkan fenomena kesenjangan kepemimpinan tidak terjadi selama pendidikan tetapi terjadi pada pascapendidikan. Namun kesenjangan kepemimpinan bukanlah akibat tekanan dalam komunitas, melainkan kecenderungan dari pribadi perempuan pada umumnya di kelompok masyarakat feminim.

Introduction: Shifting in gender dominance between men and women in the medical field has occurred from time to time globally, including in Indonesia’s plastic surgery. The profession, which was initially dominated by men, is currently dominated by women. This shift in female dominance might allow problems that affect the education and clinical settings of plastic surgery. This study aims to explore the phenomenon of women's dominance in medical residency education in Indonesia. Method: This study is a qualitative study of phenomenology. It was conducted on 3 medical residency programs specializing in reconstructive and aesthetic plastic surgery in Indonesia. The study began in January 2020. The research population consisted of 4 groups, namely students, lecturers, study program managers, and graduate users. Research subjects were selected using the maximum variation sampling method. Each respondent was provided with informed consent, all information given was confidential and did not affect the educational process of the respondent. Data collection methods include document study, Focus Group Discussion (FGD), and In-Depth Interview. Research data obtained from various methods above was analyzed and processed thematically. Results: The themes were categorized based on the educational process timeline, namely: pre-education, intra-education, and post-education. Each timeline had several themes which mutually influenced the educational process. During pre-education there were personal characters which were affected by positive and negative perceptions from society. Whereas the work environment atmosphere, the impact of women's dominance, and the cultural dimension affected the intra-educational process. After graduating from residency program and entering the career life, students expected an ideal working environment and had certain workplace preferences to achieve their well-being. Conclusion: The impact of women's dominance during education affected the daily dynamics among students and their interaction with lecturers as mentors. However, this dominance did not affect the quality of education and workload. We also found that the phenomenon of leadership disparity did not occur during education but occurred in post-education setting. This leadership disparity was not resulted by pressure in the community, but due to the tendency of the women’s personality in general among the feminine community."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaina Hanum
"

Pendahuluan: Kolaborasi penalaran klinis merupakan salah satu bagian penting dalam kolaborasi interprofesi, yaitu kolaborasi berbagai profesi kesehatan dalam menyusun sebuah kerangka berpikir mengenai masalah pasien dan manajemen tatalaksananya. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah kesehatan adalah Integrated Care Pathway (ICP). Salah satu metode pembelajaran dalam program pendidikan interprofesi kesehatan (IPE) tahap lanjut yang diselenggarakan Rumpun Ilmu Kesehatan UI adalah case-based discussion, yaitu diskusi dengan menggunakan kasus pemicu dan kerangka ICP untuk menyusun rencana pengelolaan kesehatan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dalam diskusi kasus tersebut, menggali berbagai faktor yang memengaruhi proses kolaborasi penalaran klinis, serta pemanfaatan ICP yang digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan metode maximun variation sampling pada kelompok interprofesi yang mengikuti program IPE RIK UI. Sebanyak empat observasi diskusi dan empat FGD dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dan pemanfaatan kerangka ICP. Empat wawancara mendalam terhadap tutor diskusi dan telaah dokumen terhadap empat kerangka ICP yang telah diisi dilakukan untuk triangulasi data. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi penalaran klinis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap individu dan tahap kelompok, dengan menerapkan seluruh kompetensi kolaborasi terutama kompetensi terkait peran dan tanggung jawab, serta kerja sama tim. Dalam diskusi kolaborasi penalaran klinis, kerangka ICP dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan masalah kesehatan individu, namun kurang optimal digunakan dalam pengelolaan masalah kesehatan komunitas. Proses pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja praktik dan kolaborasi, dan usia anggota kelompok interprofesi yang relatif sebaya. Beberapa tantangan pemanfaatan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis antara lain kasus pemicu yang digunakan, prior knowledge mengenai ICP, dominasi profesi dan peran tutor dalam proses diskusi interprofesi. Simpulan: Pembelajaran kolaborasi penalaran klinis dengan menggunakan kerangka ICP bermanfaat utk membantu peserta didik dalam menyusun pengelolaan masalah kesehatan dan meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap berbagai kompetensi kolaborasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan penggunaan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis diantaranya perbaikan kasus pemicu dan kerangka pengelolaan masalah kesehatan, yang disusun secara komprehensif dengan mempertimbangkan keilmuan dan cakupan kompetensi seluruh profesi kesehatan yang akan terlibat dalam pembelajaran tersebut. Kata kunci: kolaborasi penalaran klinis, pendidikan interprofesi kesehatan, kompetensi kolaborasi, kerangka Integrated Care Pathway, case-based discussion

 


Introduction: Collaborative clinical reasoning is an important part of interprofessional collaborative practice, in negotiating patients problem and its management. Integrated Care Pathway (ICP) can be used as a framework in developing comprehensive patient care. Interprofessional education program held by Health Science Cluster Universitas Indonesia implemented case-based discussion as one of the learning methods, to discuss a clinical problem within an interprofessional team using ICP framework. This study aims to explore the collaborative clinical reasoning process in undergraduate interprofessional team, and the use of integrated care pathway framework as a guidance in discussing patient problem and its comprehensive management. Method: This research is a qualitative study with phenomenology design. The selection of respondents was conducted using maximum variety sampling method. A total of four observations and four focus group discussions were conducted to explore the collaborative clinical reasoning process using the ICP framework. In-depth interviews with the tutors of the discussions and document analysis were also conducted as triangulation processes. Result: This study shows that the collaborative clinical reasoning was held in two stages, individual and group stages. All of the collaboration competency domains were applied during the interprofessional discussion, especially roles and responsibilities and teams and teamwork. ICP framework could be used as a guidance in collaborative clinical reasoning process to discuss the patients management and discharge plan. The influencing factors were experience in clinical clerkship and previous exposure to IPE, and the similarities of the team members age. This study also shows few challenges in this learning process, including the clinical case used in the discussion, the need of prior knowledge about the framework, domination during the discussion, and the role of tutor. Conclusion: The interprofessional education on collaborative clinical reasoning using ICP framework could help students discussing clinical problem and developing comprehensive and collaborative care plan. To optimize the process of the discussion and the interaction among interprofessional team members, clinical case used in the discussion should be prepared thoroughly and consider the competency and scope of knowledge of all health profession involved in the IPE program. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditia Reza Romadhoni
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker payudara akan mengekspresikan CD36 lebih rendah pada stroma kanker payudara bila dibandingkan sel sehat. CD36 berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan metastasis tumor. Pemeriksaan CD36 plasma dilaporkan pada populasi selain kanker payudara, yang bersifat kurang invasif dan hemat biaya. Belum diketahuinya pemeriksaan CD36 plasma pada kanker payudara dan diharapkan memberikan hasil yang sejalan dengan pemeriksaan histopatologis.
Tujuan: Mengetahui (1) perbedaan konsentrasi CD36 plasma pada kanker payudara dibandingkan dengan orang sehat, (2) perbedaan konsentrasi CD36 plasma pada kanker payudara berdasarkan status metastasisis, metastasis kelenjar getah bening, subtipe molekular, jenis histopatologis, grade histologi ukuran tumor, dan indeks massa tubuh.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang dalam periode Juni 2018 hingga Februari 2019 dan pengambilan sampel secara konsekutif. Dilakukan pemeriksaan plasma ELISA dengan reagen Bioassay Technology Laboratory. Kriteria inklusi: wanita berusia antara 18 hingga 70 tahun, kanker payudara invasif yang patologis, patologi awal: tumor ≥ 1 cm dengan status reseptor hormone dan faktor pertumbuhan epidermal positif atau negatif manusia 2 (HER2/neu), subjek bersedia menandatangani persetujuan penelitian. Kriteria eklusi: subjek yang mengalami progresifitas penyakit selama dalam pengobatan, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, stroke, gangguan hati, gangguan ginjal. Data dianalis dalam mencari perbedaan konsentrasi CD36 plasma rerata 2 kelompok.
Hasil: Pada 118 subjek, perbedan median konsentrasi CD36 plasma pada kanker payudara dan sehat, yakni 0,21 dan 0,57, p < 0,05. Selain itu, tidak terdapat perbedaan median konsentrasi CD36 plasma pada kanker payudara berdasarkan status metastasis, metastasis kelenjar getah bening, subtipe molekular, jenis histopatologis, grade histologi, ukuran tumor dan indeks massa tubuh.
Kesimpulan : Median konsentrasi CD36 plasma populasi kanker payudara lebih rendah dibandingkan populasi orang sehat. Tidak terdapat perbedaan bermakna konsentrasi CD36 plasma pada kanker payudara berdasarkan status metastasis, metastasis kelenjar getah bening, subtipe molekular, jenis histopatologis, grade histologi, ukuran tumor, dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Breast cancer will express low CD 36 within stroma tumor cell. CD36 is involved in tumorigenesis. Research of soluble CD36 plasma has been done in another population. It is unclear whether profile of plasma CD36 concentration in breast cancer will give the same with histopatology result.
Aim, (1) to investigate the differences of plasma CD 36 concentration of the breast cancer patients, compared with the healthy, (2) to analyze profile of plasma CD36 concentration in breast cancer patients based on metastatic status, lymph node metastatic, molecular subtype, histopathologic type, invasive cancer histologic grade, lymphovascular invasion, Ki-67 index, and body mass index.
Methods: This is a cross-sectional study during June 2018 to February 2019 with a consecutive sampling method. Plasma was analyzed using Bioassay Technology Laboratory ELISA reagen. Inclusion criteria included women aged 18 to 70 years old, having pathological invasive breast cancers, having beginning pathological manner of tumor size ≥ 1 cm with the hormonal receptor status and positive epidermal grow factor or negative human-2 (HER2/neu), and subjects were willing to sign the informed consent sheets. Exclusion criteria included subjects with disease progressivity during therapy, diabetes mellitus, stroke, liver, and renal disfunctions. Data was analyzed using SPSS for windows version 20 to get two means difference of plasma soluble CD36.
Results: From 118 subjects, Median of plasma CD36 in breast cancer, and healthy subjects show 0.21, and 0.57, with p value < 0,05. There are insignificant differences profile of plasma CD36 concentration patients based on metastasic status, lymph node metastatic, molecular subtype, histopathologic type, invasive cancer histologic grade, and body mass index.
Conclusion: Plasma CD36 concentration of breast cancer is lower than the healthy population. There are insignificant differences of plasma CD36 concentration profile breast cancer patients based on metastatic status, lymph node metastatic, molecular subtype, histopathologic type, invasive cancer histologic grade, and body mass index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Findy Prasetyawaty
"Latar Belakang. Pasien kanker usia lanjut sering mendapatkan terapi substandar sehingga memiliki luaran lebih buruk dibandingkan usia yang lebih muda namun di lain pihak kemungkinan untuk terjadinya komplikasi dan toksisitas terkait pengobatan juga meningkat. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) merupakan metode yang paling tepat untuk mendapatkan gambaran status kesehatan umum pada usia lanjut namun tidak selalu mampu laksana untuk diterapkan pada praktik klinik rutin sehingga diperlukan pemeriksaan penapis yang lebih singkat dan mudah digunakan. Skor G8 adalah instrumen penapis yang direkomendasikan untuk populasi kanker usia lanjut namun belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui bagaimana performa skor G8 sebagai pemeriksaan penapis dalam menilai frailty pada pasien kanker usia lanjut
Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan selama bulan Maret-Juni 2020. Subyek penelitian adalah pasien kanker berusia > 60 tahun yang berobat ke Poliklinik Hematologi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. CGA dinilai pada 7 domain yaitu domain status fungsional, nutrisi, kognitif, gangguan mood, mobilitas, polifarmasi dan komorbiditas. CGA dianggap terganggu apabila terdapat gangguan pada 2 domain atau lebih.
Hasil. Sejumlah 168 pasien kanker usia lanjut mengikuti studi ini dengan median usia 64 tahun. Didapatkan AUC (Area Under Curve) sebesar 0,76 (p < 0,001 dengan 95% CI 0,685-0,835). Pada nilai titik potong 11,25 didapatkan sensitivitas 78,5%, spesifisitas 56%, nilai duga positif 56,3% dan nilai duga negatif 78,4%. Akurasi diagnostik skor G8 adalah sebesar 67,75%.
Simpulan. Skor G8 memiliki performa yang cukup baik sebagai alat penapis frailty pada pasien kanker usia lanjut sehingga dapat diterapkan pada praktik klinik sehari-hari. Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk mencari pemeriksaan tambahan untuk meningkatkan sensitivitas G8 pada pasien kanker usia lanjut.

Background. Elderly cancer patients are at increased risk of undertreatment or overtreatment, therefore they may have worse outcome compared to their younger counterparts. Currently Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) remains the most appropriate method to assess frailty in elderly patients but not always feasible in routine clinical practice. A screening tool is needed to make a quick assessment to recognize the patients who need a CGA. G8 score is the screening tool recommended for elderly cancer patients, but it’s performance has never been assessed in Indonesia.
Objectives. To assess the performance of G8 Score as frailty screening tool assessment in Elderly Cancer Patients
Methods. A cross-sectional study on elderly cancer patients (> 60 years old) was conducted in Hematology and Medical Oncology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from March to June 2020. The CGA domain assessed was functional status, nutrition, cognitive, mood disturbance, mobility, polypharmacy and comorbidity. CGA considered abnormal if there was abnormality in 2 or more domains.
Results. In 168 subjects aged 60-82 (median 64) years old, the AUC was 0.76 (p < 0.001; 95% CI 0.685-0.835). At cutoff point 11.25 the G8 score has sensitivity 78.5%, specificity 56%, positive predictive value 56.3% and negative predictive value 78.4% with diagnostic accuracy 67.75%.
Conclusion. The G8 score has a moderate performance as a screening tool for frailty assessment in elderly cancer patients and may be used in daily clinical practice. Studies to find additional instruments to increase the performance of G8 is needed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurul Kirana
"ABSTRAK
Latar belakang: Kerusakan oksidatif berperan dalam proses penuaan dan juga beberapa penyakit degeneratif. Menjaga status antioksidan tubuh merupakan hal penting dalam mencegah terjadinya kerusakan oksidatif. Selenium adalah mineral yang penting mengingat perannya dalam pembentukan enzim antioksidan (selenoprotein), salah satunya glutation peroksidase untuk perlindungan terhadap radikal bebas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara asupan selenium dan aktivitas glutation peroksidase dengan karbonil plasma pada usia lanjut. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang ini dilakukan di 5 Posbindu di Jakarta Selatan. Dilakukan wawancara untuk mengetahui identitas dan riwayat penyakit kronis. Data aktivitas fisik didapat melalui wawancara dengan kuesioner Physical Activity Scale for the Elderly (PASE). Indeks massa tubuh diperoleh dari hasil pemeriksaan antropometri berupa berat badan dan tinggi badan dari konversi tinggi lutut. Data asupan makan subjek diperoleh dari wawancara food recall 24 jam pada satu hari kerja dan satu hari libur serta Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium biokimia FKUI untuk mengetahui aktivitas glutation peroksidase, dan karbonil plasma. Hasil: Sebanyak 94 usia lanjut dengan rerata usia 70,34 ± 6,079 tahun mengikuti penelitian ini. Sebanyak 40% subjek mempunyai status gizi normal dengan 69,1% subjek memiliki riwayat penyakit kronis. Sebanyak 75,5% subjek pada penelitian ini belum mencukupi kebutuhan asupan selenium yang direkomendasikan Rerata kadar karbonil plasma 5,83 ± 1,95 nmol/ml dan 69,1% subjek mempunyai aktivitas glutation peroksidase yang rendah.. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan selenium dengan aktivitas glutation peroksidase. Pada analisis multivariat asupan selenium dan tiga variabel perancu yaitu usia, indeks massa tubuh, dan asupan beta karoten hanya mempengaruhi kadar karbonil plasma sebanyak 3,7%. Diskusi: Hasil asupan selenium pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Makanan sumber selenium banyak berasal dari makanan berprotein yang dikonsumsi sehari-hari sehingga data asupan selenium didapat dari gabungan antara food recall 2 x 24 jam dan SQ-FFQ. Pemeriksaan status kognitif subjek juga perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya gangguan kognitif. Pemeriksaan status antioksidan endogen lain seperti glutation (GSH) juga perlu dilakukan pada penelitian berikutnya untuk mengetahui faktor lain yang mempengaruhi aktivitas glutation peroksidase dalam menekan kerusakan oksidatif pada usia lanjut.

ABSTRACT
Introduction: Oxidative stress contributed in aging process and several degenerative diseases. Maintaining the body's antioxidants status were important to prevent oxidative stress. Selenium was an important trace element due to as a component of antioxidants enzymes (selenoproteins), including glutathione peroxidase for protection against free radical. We aimed to study the association between selenium intake and glutathione peroxidase activity with plasma carbonyl in elderly. Methods: Cross sectional study was held in 5 elderly communities in south Jakarta. Identity and chronic disease history were obtained from interview and Physical activity scale for the elderly (PASE) questionnaire used for assess physical activity. Weight and knee height measurement used to determine body mass index. Dietary intake data obtained from repeated 24 hours recall and Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). laboratory examination held in laboratory of biochemistry FKUI for assess glutathione peroxidase activity and plasma carbonyl level. Results: There were 94 elderly with mean of age 70.34 ± 6.079 years old contributed to this study. 40 % subjects had normal nutritional status and 69.1 % subject had history of chronic disease. There were 75.5 % subject had low intake of selenium. Mean of plasma carbonyl was 5.83 ±1.95 nmol/ml and 69.1% subject had low glutathione peroxidase activity. Statistical analysis results showed there were no significant correlation between selenium intake and glutathione peroxidase. In multivariate analysis selenium intake, age, body mass index, and beta-carotene intake explained 3,7% of the plasma carbonyl. Discussion: The result of selenium intake in current study much lower than previous study. Dietary selenium data obtained from repeated 24 hours recall combine with FFQ-SQ because the selenium food source similar with protein foods that consume daily. Assessment of cognitive function among subject needed for ensure cognitive status related to ability to remember dietary intake. Status of endogen antioxidant including glutathione (GSH) need to be considered for understanding about another factor that influence glutathione peroxidase in preventing oxidative stress."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita
"

Penurunan massa otot pada usia lanjut menimbulkan sarkopenia,salah satu penyebabnya adalah proses inflamasi. Rasio asam lemak omega-3/omega-6 dapat memengaruhi proses inflamasi, namun hubungannya dengan massa otot masih menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mengeksplorasi korelasi rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dan kadar asam lemak omega-3 dengan massa otot pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini melibatkan 101 usila yang didapatkan menggunakan proportional random sampling. Rasio asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 dinilai menggunakan food record 3x24 jam dan food frequency questionnaire semikuantitatif, kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit diukur menggunakan gas chromatography-mass spectrometry, dan pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectrical impedance analysis. Analisis korelasi menggunakan uji Spearman. Didapatkan rerata usia subjek adalah 75.5 ± 7.6 tahun dengan 73.3% subjek adalah perempuan. Rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 subjek menggunakan food record adalah 0,09 (0,05-0,22) dan 0,08 (0,05-0,23) menggunakan FFQ semikuantitatif. Nilai tengah kadar asam lemak omega-3 membran eritrosit subjek untuk ALA=10,06 (4,9-24,9) µg/mL, EPA=14,6 (5,06-81,02) µg/mL, DHA=115,5 (20,6-275,09) µg/mL, dan total omega-3=144,1 (89,3-332,1) µg/mL. Nilai tengah massa otot subjek adalah 35,5 (22,8-63,5) kg. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat korelasi antara rasio asupan asam lemak omega-3/omega-6 dengan massa otot baik menggunakan food record (r = -0.2, p = 0.07), maupun FFQ semikuantitatif (r = 0.01, p = 0.9), dan tidak terdapat korelasi antara kadar ALA, EPA, DHA, total asam lemak omega-3 membran eritrosit dengan massa otot berturut-turut (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; dan r = -0.02, p = 0.8).


The phenomenon of muscle mass deterioration appeared in the elderly called sarcopenia, one of the reasons was the inflammatory process. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids are known to influence the inflammatory process. However, the relationship of this ratio with muscle mass are still conflicting. This cross-sectional study aimed to explore the correlations of omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels with muscle mass among the elderly in five registered nursing homes in South Tangerang City. This study involved 101 elderly from the proportional random sampling method. The ratio of omega-3 and omega-6 fatty acids intake was assessed using 3-days food records and semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Moreover, omega-3 fatty acid erythrocyte membrane levels were measured using gas chromatography-mass spectrometry and muscle mass were examined using bioelectrical impedance analysis. We used Spearman analysis to investigate the correlation. The mean age of the participants was 75.5 ± 7.6 years and most of the participants were female (73.3%). Furthermore, the median value of omega-3 and omega-6 fatty acid intake ratio was 0.09 (0.05 – 0.22) using 3-days food records and 0.08 (0.05 – 0.23) using SQ-FFQ, the median value of omega-3 erythrocyte membrane levels for ALA = 10.06 (4.9-24.9) µg/mL, EPA = 14.6 (5.06 – 81.02) µg/mL, DHA = 115.5 (20.6 – 275.09) µg/mL, total omega-3 = 144.1 (89.3 – 332.1) µg/mL, and the median value of muscle mass were 35.5 (22.8 – 63.5) kg. We did not find strong correlation between omega-3/omega-6 fatty acids intake ratio and muscle mass using either 3-days food records (r = -0.2, p = 0.07), or SQ-FFQ (r = 0.01, p = 0.9), and no strong correlations found between ALA, EPA, DHA, total omega-3 fatty acids erythrocyte membrane levels and muscle mass (r = -0.03, p = 0.8; r = 0.01, p = 0.9; r = -0.06, p = 0.5; and r = -0.02, p = 0.8), respectively.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Nurjannah
"Latar Belakang : Mortalitas akibat kondisi hipertiroid sebesar 20% dan peningkatan kematian sebesar 1,13x. Mortalitas akibat penyakit pada kelenjar tiroid dihubungkan dengan kejadian kardiovaskuler, salah satunya infark miokard yang diperantarai oleh mekanisme aterosklerosis. Pemeriksaan ketebalan tunika intima-media arteri karotis (CIMT) direkomendasikan untuk menilai risiko kejadian KV. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketebalan tunika intima-media pada pasien Graves kondisi hipertiroid dengan kondisi remisi.
Metode : Penelitian ini bersifat cross-sectional dengan populasi terjangkau adalah pasien Graves yang berobat ke poliklinik metabolik endokrinologi RSCM yang dilakukan pada bulan Desember 2019 hingga April 2020. Kondisi overt hipertiroid didefinisikan dengan pasien Graves yang masih memiliki gejala toksik dengan laboratorium TSH rendah dan FT4 tinggi, belum mendapat pengobatan atau belum eutiroid dalam pengobatan minimal 3 bulan. Kondisi remisi didefinisikan dengan kondisi eutiroid setelah berhenti pengobatan selama minimal 6 bulan. Pasien kemudian diambil data dan dilakukan pemeriksaan laboratorium meliputi TSH, fT4, profil lipid, gula darah dan pemeriksaan EKG. Setelahnya dilakukan pemeriksaan CIMT menggunakan USG doppler dengan software yang secara otomatis mengukur CIMT sebanyak 3x pada sisi kanan dan kiri arteri karotis, kemudian diambil nilai rata rata pemeriksaan tersebut.
Hasil Penelitian : Didapatkan 32 pasien kondisi overt hipertiroid dan 17 kondisi remisi. Median tebal tunika intima-media arteri karotis (CCA-IMT) pada subjek overt hipertiroid adalah 0,473 mm dengan rentang 0,384-0,639 mm. Median CCA-IMT pada subjek remisi adalah 0,488 mm dengan rentang 0,388-629 mm. Tidak didapatkan perbedaan rerata CIMT pada kondisi hipertiroid dan kondisi remisi (p :0,109). Dalam analisis tambahan didapatkan bahwa didapatkan adanya pengaruh usia dalam ketebalan tunika intima media pada pasien graves baik kondisi overt hipertiroid dan kondisi remisi.
Background : Mortality caused by hyperthyroid estimated around 20% and increasing risk of date 1,13 times than all-caused mortalitu. Hyperthyroid associated with cardiovascular event, such as atherosclerosis mediated myocardial infarction. Carotid intima media thickness recommended to evaluate risk of cardiovascular event. Aim of this study to compare CIMT between overt hyperthyroid and remission in Graves disease.
Method : This is cross-sectional study with targeted population was Graves patient who came in metabolic endocrinology policlinic in Cipto Mangunkusumo hospital. This study being done within December 2019 until April 2020. Overt hyperthyroid was defined as clinically toxic as well as laboratorium supported for thyrotoxicosis, treatment naïve or havent reached euthyroid within 3 month of treatment. While remission defined as clinical and laboratorium euthyroid after minimal 6 month stopping anti thyroid drugs. History, physical examination, laboratorium examination (included TSH, fT4, lipid profile, fasting blood glucose) as well as electrocardiogram obtained. CIMT evaluated in right and left artery carotid with ultrasonography that automatically count for thickness intima media then calculated means after 3 times examination. Data then collected and being analysed.
Result : we collect 32 patient in overt hyperthyroid and 17 in remission state. Median CIMT in overt hyperthyroid and in remission state was 0,473 mm and 0,488 mm, consecutively, p : 0,109. Additional multivariate analysis stated aged had correlation with carotid intima media in Graves disease.
Conclusion : there are no significant differences in carotid intima media thickness between overt hyperthyroid and remission state in Graves disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardy Wildan
"Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga terbanyak di dunia dan memiliki mortalitas yang cukup tinggi terutama bila ditemukan pada stadium lanjut. Kesintasan pasien KKR stadium IV dan faktor yang berhubungan perlu diketahui untuk menentukan perbaikan pada tata laksana KKR. Tujuan. Mengetahui kesintasan satu tahun pasien kanker kolorektal stadium IV serta hubungan usia, lokasi tumor, lokasi metastasis, kemoterapi, terapi target, serta diferensiasi tumor dengan kesintasan dalam satu tahun Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien kanker kolorektal stadium IV yang berobat ke RSCM sejak Januari 2018 hingga Mei 2020. Data pasien dan faktor yang berhubungan diambil dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien pertama kali terdiagnosis stadium IV. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan uji log-rank untuk faktor yang berhubungan. Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 214 subyek dengan kesintasan 1 tahun sebesar 43% dengan median kesintasan 11 bulan. Pasien yang memiliki berat badan kurang [HR 1,495; IK 1,028-2,173; (p=0,035)] dan tidak mendapatkan kemoterapi [HR 4,466; IK 3,027-6,588; (p=<0,001)] merupakan faktor yang bermakna secara statistic terhadap kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM. Kesimpulan. Kesintasan satu tahun pasien KKR stadium IV di RSCM hampir sama dengan negara Asia lain. Pemberian kemoterapi dan berat badan kurang memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas KKR stadium IV.
Background. Colorectal cancer is the third most common types of cancer in the world. Colorectal cancer has high mortality especially when found in later stage. The survival and its associated factors should be known to improve the cancer treatment. Objective. This study was undertaken to document one year survival for colorectal cancer and whether age, tumor side, metastatic location, chemotherapy, targeted therapy, and tumor differentiation are associated with one year survival. Methods. This study is a retrospective cohort study. The subjects are stage IV colorectal cancer patients in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo since January 2018-May 2020. Data of patients and its mortality status within one year is documented since the patients diagnosed with stage IV colorectal cancer. Survival was done using Kaplan-Meier method and continued with log-rank test. Result. We collected 214 subjects and 1 year survival rate is 43% with survival median of 11 months. Patients who are underweight [HR 1,495; 95% CI 1,028-2,173; (p=0,035)] and did not received chemotherapy [HR 4,466; 95% CI 3,027-6,588; (p=<0,001)] were associated with one year survival of mCRC in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Conclusion. One year survival for mCRC in RSUPN Cipto Mangunkusumo is similar to other Asian countries. Chemotherapy and underweight were associated with survival in 1 year observation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vinandia Irvianita Poespitasari
"Latar Belakang. Polifarmasi, pengobatan berpotensi tidak tepat (PIM),
ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dan interaksi obat merupakan permasalahan
terkait obat pada usia lanjut dan berhubungan dengan sindrom geriatri dan
berbagai luaran klinis negatif.
Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien dan pengobatan yang didapatkannya,
mengetahui proporsi polifarmasi, PIM, ketidakpatuhan terhadap pengobatan, dan
interaksi obat pada pasien di Poliklinik Geriatri.
Metode. Penelitian deskriptif ini dilakukan secara potong-lintang di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel diambil secara
konsekutif. Melalui wawancara dan telaah rekam medik, data pasien yang
dikumpulkan berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial dan
ekonomi, komorbiditas, pengkajian geriatri komprehensif, obat-obatan yang
dikonsumsi pasien, PIM berdasarkan kriteria STOPP versi 2 dan Beers 2019,
ketidakpatuhan pengobatan berdasarkan MAQ, dan interaksi obat berdasarkan
Lexi-Interact Online dari Lexicomp®.
Hasil. Dari 101 subjek, didapatkan karakteristik berupa sebagian besar subjek
berusia 70 – 79 tahun (57,43%), berpendidikan tinggi (41,58%), menikah
(62,38%), tinggal dengan keluarga (87,13%), berpenghasilan di bawah UMR
(56,44%), dan berobat dengan Jaminan Kesehatan Nasional (97,03%). Sebagian
besar tidak mengalami malnutrisi (78,22%), memiliki fungsi kognitif normal
(87,13%), tidak menderita depresi (90,1%), status fungsional mandiri (64,36%),
pre-frail (70,3%), dan indeks komorbiditas Charlson sedang (50,5%). Obat
antihipertensi merupakan obat yang paling banyak diresepkan (88,12%), terdapat
11,88% subjek mengkonsumsi obat tradisional. Seluruh subjek (100%) memiliki
multimorbiditas, komorbid terbanyak adalah hipertensi (85,15%). Polifarmasi
terjadi pada 86,14% subjek, PIM berdasarkan kriteria STOPP versi 2 terjadi pada
30,69% subjek, sedangkan berdasarkan kriteria Beers 2019 terjadi pada 36,63%
subjek. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan terjadi pada 60,4% subjek, dan
interaksi antar-obat terjadi pada 82,18% subjek.
Kesimpulan. Sebagian besar pasien di Poliklinik Geriatri mengalami polifarmasi,
namun hanya sebagian kecil yang mengandung obat berpotensi tidak tepat.
Sebagian besar pasien tidak patuh terhadap pengobatan dan mengkonsumsi obatobatan
yang mengandung potensi interaksi obat.

Background. Polypharmacy, potentially inappropriate medicine (PIM), nonadherence
to treatment, and drug interactions are drug-related problems that often
occur in the elderly and are associated with geriatric syndrome and various
clinical outcomes so that it needs attention in administering drugs for elderly
patients. .
Aim. Knowing character of the patients and the treatment they received, looking
at polypharmacy, PIM, non-adherence to treatment, and drug interactions in
patients at the Geriatric Polyclinic.
Method. It is a cross-sectional study done in March - April 2020 at Dr. Cipto
Mangunkusumo. The subject selecting based on consecutive sampling. Subjects
are interviewed with questionnaires and review the patient's medical records to
obtain data on age, gender, education level, social and economic status,
comorbidities, comprehensive geriatric assessments, drugs consumed by patients,
PIM based on STOPP version 2 and Beers 2019 criteria, adherence of treatment
with MAQ, and drug interactions based on Lexi-Interact Online from Lexicomp®.
Result. Of the 101 subjects, most of the subjects were 70-79 years old (57.43%),
female (54.46%), highly educated (41.58%), married (62.38%), living with family
(87.13%), earning below the UMR (56.44%), and seeking treatment with the
National Health Insurance (97.03%). Most of them are not malnourished
(78.22%), have normal cognitive function (87.13%), do not suffer from
depression (90.1%), independent functional status (64.36%), pre-frail (70.3 %),
and have moderate Charlson's comorbidity index (50.5%). Anti-hypertensive
drugs were the most prescribed drug (88.12%), 11.88% of patients consumed
traditional medicine. All subjects (100%) had multimorbidity, the most common
comorbid was hypertension (85.15%). Polypharmacy occurred in 86.14% of
subjects, PIM based on the STOPP version 2 criteria occurred in 30.69% of
subjects, and based on Beers 2019 criteria occurred in 36.63% of subjects. Nonadherence
to treatment did occur in 60.4% of subjects, and drug interactions
occurred in 82.18% of subjects.
Conclusion. Most elderly patients in the Geriatric Polyclinic experience
polypharmacy, but only a small proportion of them contain PIM. Most of the
patients do not adhere to treatment, and take drugs that involve drug interactions.
Keywords. polypharmacy, PIM, medication non-compliance, drug interactions,
elderly, outpatient.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>