Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gloria Truly Estrelita
Abstrak :
Lembaga Kebudayaan Rakyat atau kerap disingkat Lekra adalah wadah untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan Indonesia. Selain juga berusaha menyampaikan pesan-pesan politik, seperti kerakyatan dan kemanusiaan melalui karya-karya yang ditelurkan oleh para senimannya. Lekra memang memiliki kedekatan ideologis dengan PKI, yaitu sama-sama memperjuangkan rakyat miskin. Walau begitu, Lekra menolak untuk "dimerahkan" oleh PKI. Meletusnya peristiwa G30S, membuat Lekra dituduh sebagai organisasi masyarakat yang berdiri di bawah PKI. Selanjutnya Lekra turut diberangus oleh Orde Baru dengan alasan mengancam stabilitas keamanan nasional. Karya-karya berlabelkan Lekra diberi stigma komunis oleh penguasa pada masa itu. Tidak cukup di situ, penguasa melalui pemerintah memusnahkan data dan sejarah Lekra untuk selanjutnya disenyapkan dari ruang sejarah politik Indonesia.supaya tidak bisa dipelajari oleh generasi berikutnya. Dalam kajian kriminologi, stigmatisasi menjadi salah satu hal penting yang dipelajari. Arti dari stigmatisasi itu sendiri adalah stigma atau citra yang dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Dan, stigmatisasi adalah salah satu bentuk dari aksi kekerasan atau violence. Dalam studi ini, Penulis menggunakan teori yang ditelurkan oleh Louis Althusser dalam rangka membangun kekuasaan melalui peran hakiki negara yang bersifat represif (repressive state apparatus/RSA) dan ideologis (ideological state apparatus/ISA). Selanjutnya, Althusser menempatkan media sebagai media ideologis yang artinya selalu memiliki dan menjalankan ideologi tertentu. Dan, melalui medialah ideologi bisa memiliki eksistensi material. Dengan begitu, bukanlah hal yang aneh bila media dilihat sebagai aparatus ideologi. Disinilah ISA kemudian menyusun sebuah kerangka legitimasi yang akan mengabsahkan tindakan represif tersebut, sehingga masyarakat tidak akan melawan. Dengan begitu, dalam analisa ini, negara bisa dilihat sebagai institusi yang tidak netral dan penuh dengan konsentrasi kekuatan, karena ia berusaha melakukan penciptaan pemaknaan yang sesuai dengan keinginannya. Misalnya, manipulasi media massa, yaitu pengaturan berita di Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha adalah salah satunya. Dengan begitu, negara yang dibangun atas kekuasaan yang ada padanya adalah wujud dominasi politik atas masyarakat. Selanjutnya, tindakan penguasa memberikan stigma komunis melalui media kepada Lekra adalah bentuk tindak kekerasan atau state violence. ...... Lembaga Kebudayaan Rakyat (The Movement of People"s Art and Culture) or commonly abbreviated as LEKRA was believed to be founded to maintain the existence of the Indonesian culture apart from its purpose to deliver any political messages like peoples and humanitarian issues " through the works of its artist members. LEKRA has a close ideology connection with PKI both of which had the spirit to fight for the rights of common people. However, even they shared similar perspective, LEKRA refused to be made "red" by PKI. The G30S incident brought LEKRA to the accusation of being a community organization stands under the PKI flag. This follows the consequences of banning by the government for reason that LEKRA might be a possible threat to the national security. Any works produced by LEKRA membersthen was stigmatized as "communist product" by the government. The government even demolished all data and history of LEKRA and deleted its existence in the political history of the nation in order not to learned by the following generations. In the study criminology, stigmatization has become one of important substance to study. The meaning of the stigmatization itself is a stigma or an image which is put or created against any individual or some people of the same group. In this study, the writer will bring forward the Louis Althusser"s theory of building a power using the repressive state apparatus (RSA) and ideological state apparatus (ISA). Furthermore, Althusser further put media as ideological media which means always posses and implement certain ideology. And, through media any ideology can have the material existence. Consequently, media will always be seen as an ideological apparatus. ISA has formed a legitimate frame which it used to legalize any repressive action against the people so that they would not be in any position to fight back. With this analysis, a state can be seen as an un-neutral institution and full with power concentration because it hows its efforts to do any "meaning creation" which is in accordance with its purpose. Ideological state apparatus through its mass-media manipulation efforts, which is news management in their Angkatan Bersenjata Daily and Berita Yudha daily, was one of the above mentioned efforts. Meaning, a state has a function to maintain its repression against its people. This study tries to further see that any action of communist stigmatization by the government upon LEKRA members was indeed a representation of a state violence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26659
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aswan Zanynu
Abstrak :
Peristiwa 1965 merupakan salah satu garis batas dalam sejarah Indonesi, keadaan dan orientasi Indonesia berbeda sebelum dan setelah tahun tersebut. Dalam dua dekade terakhir setelah Orde Baru tidak berkuasa lagi, narasi tentang tentang Gerakan 30 September (G30S) 1965 bukan menjadi alat propaganda negara lagi. Peran pewarisan memori dapat dengan leluasa dilakukan oleh media. Di tahun 2015 sejumlah media berita online mengisahkan kembali Peristiwa 1965 (G30S dan pasca-G30S). Memori atas Soeharto sebagai tokoh yang memainkan sejumlah langkah strategis di tahun 1965 menjadi penting untuk menjadi objek kajian mengingat peristiwa tersebut yang membawanya berada di tampuk kekuasaan Indonesia selama tiga dekade. Studi ini berangkat dari premis bahwa besarnya kapasitas ruang di internet dan dukungan pranala (hypertext) pada web, memungkinkan situs berita menyajikan memori yang beragam dan lebih lengkap. Oleh karena itu, penelitian ini mempertanyakan: Bagaimana situssitus berita daring Indonesia menarasikan memori atas Soeharto dan Peristiwa 1965 setelah setengah abad berlalu? Penelitian ini menggunakan cara pandang memori kolektif Maurice Halbwachs, konsep memori media dari Motti Neiger dkk, serta teori Paradigma Naratif Fisher. Dengan menggunakan metode framing dari Pan dan Kosicki, studi ini menganalisis 27 artikel artikel pelengkap yang dikaji dan tersebar di enam situs di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Soeharto ditampilkan dalam dua wajah. Pertama, sebagai tokoh militer ‘penyelamat’ yang berhasil menghentikan rencana makar. Kedua, sebagai ‘avonturir’ yang mengetahui rencana makar tersebut sambil mempersipkan diri untuk menggagalkan dan mengambil keuntungan atasnya. Keterlibatan Soeharto dalam persekusi pasca-G30S juga dilihat dari dua cara pandang atas dirinya tersebut. Namun demikian, tidak ditemukan ketepatan narasi antarteks yang kuat saat studi ini mengkonfirmasi satu narasi dengan narasi lain dari keseluruhan artikel. Satu teks dengan teks lain tidak cukup saling mendukung atau menguatkan. Studi ini juga menemukan bahwa internet dengan ruang yang nyaris tak terbatas, bukanlah jaminan bagi munculnya narasi memori alternatif. Implikasi teoritis yang ditawarkan dari studi ini adalah lima premis memori media yang dalam studi-studi terdahulu cenderung mengadopsi premis memori kolektif. Premis yang pertama, memori media merupakan memorabilia yang bersesuaian dengan nilai berita. Kedua, media berperan sebagai agen seleksi utama di antara agen-agen memori lain. Ketiga, memori media merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kepentingan media. Keempat, media lebih cenderung mewariskan memori yang telah menjadi konsensus atau pengetahuan bersama dalam masyarakat. Kelima, memori media bersifat fragmen dan banal. ......The 1965 event was one of the watershed in Indonesian history, the circumstances and orientation of Indonesia was different before and after that year. In the last two decades after the New Order was no longer in power, the narrative about the September 30th Movement (G30S) was not a state propaganda tool anymore. Media can offer the memory unimpeded. In 2015 a number of online news media retold the events of 1965 (G30S and post-G30S). The memory of Suharto as a figure who played a number of strategic steps in 1965 became important be the object of study which the event that brought him to control Indonesia for three decades. The premise of this study is the amount of space capacity on the internet and the support of links (hypertext) on the web, allows news sites to serve more complete and diverse memory. Therefore, this study questions: How do Indonesian online news sites narrate the memory of Soeharto and the events of 1965 after half a century has passed? This study uses the collective memory perspective of Maurice Halbwachs, the concept of media memory from Motti Neiger et al, and the theory of Fisher's Narrative Paradigm. Using the framing method from Pan and Kosicki, this study analyzed 27 supplementary article articles reviewed and spread across six sites in Indonesia. As results, the study show that Suharto was narrated on two faces. First, as a military figure ‘savior’ who succeeded in stopping the plot of treason. Second, as 'avonturir' who knows the plot of the plan while preparing himself to overcome and take advantage of it. Suharto's involvement in the post-G30S persecution was also seen from the two perspectives on him. However, it was not found the accuracy in the texts when this study confirmed one narration with another narration of the entire article. One text with another text does not support or strengthen each other enough. The study also found that the internet with almost unlimited space is no guarantee for present the alternative memory narratives. The theoretical implications offered by this study are the five media memory premises which in any studies before tended to adopt the premise of collective memory. The first premise, media memory is memorabilia that corresponds to news value. Second, media acts as the main selection agent among other memory agents. Third, media memory is one of the instruments to safeguard the interests of the media. Fourth, the media are more likely to present memory that has become consensus or shared knowledge in society. Fifth, media memory is fragmental and banal.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2643
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library