Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ihat Sugianti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Purpura Henoch-Schӧnlein (PHS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan vaskulitis akut sistemik pada pembuluh darah kecil yang paling sering pada anak. Manifestasi klinis PHS sering melibatkan berbagai organ seperti kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal. Rekurensi terjadi pada hampir 50 % kasus dan memengaruhi prognosis PHS. Sejauh ini belum ada publikasi penelitian PHS yang meliputi manifestasi klinis, laboratorium, serta rekurensi di Indonesia. Tujuan : Mengetahui manifestasi klinis, laboratorium serta rekurensi PHS anak di Indonesia. Metode : Penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari rekam medis pasien anak berusia 0-18 tahun dengan diagnosis PHS selama periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hasil : Terdapat 71 kasus PHS dengan rentang usia 2 sampai 16 tahun dan usia tersering pada kelompok 6-8 tahun. Proporsi anak wanita lebih tinggi dibanding lelaki dengan rasio 1,2:1. Semua pasien mengalami purpura palpabel dan manifestasi tersering lainnya adalah gangguan gastointestinal (79 %), artritis atau artralgia (68 %), dan keterlibatan ginjal (41 %), sedangkan yang jarang adalah gangguan neurologis (1 %), dan edema skrotum (4 %). Riwayat infeksi yang mendahului gejala PHS didapatkan pada 56 % kasus. Peningkatan laju endap darah (88 %) dan trombositosis (60 %) merupakan kelainan laboratorium yang paling sering ditemukan, diikuti dengan hematuria (41 %), leukositosis (32 %), dan anemia (31 %). Penurunan fungsi ginjal ditemukan pada 6/42 kasus. Perbaikan gejala klinis terlihat dalam waktu kurang dari 4 minggu untuk manifestasi kulit, gastrointestinal, dan persendian. Sebanyak 18/24 subjek dengan hematuria mengalami perbaikan dalam waktu 6 bulan. Penurunan fungsi ginjal menetap tidak ditemukan dalam penelitian ini. Rekurensi didapatkan pada 5/57 subjek yang memiliki data pemantauan. Simpulan : Manifestasi klinis tersering pada PHS adalah purpura palpabel, gangguan gastrointestinal, artritis atau artralgia, dan keterlibatan ginjal, sedangkan yang jarang adalah gangguan neurologis dan edema skrotum. Pemeriksaan darah perifer lengkap dan urinalisis sebaiknya dilakukan pada semua pasien PHS untuk mendukung diagnosis dan menilai keterlibatan ginjal. Pada semua pasien PHS sebaiknya dilakukan pemantauan minimal selama 6 bulan untuk menilai keterlibatan ginjal yang mungkin timbul terlambat serta rekurensi
ABSTRACT
Background : Henoch-Schӧnlein purpura (HSP) is a clinical syndrome which caused by systemic acute vasculitis in small vessel. Henoch-Schӧnlein purpura is the most common etiology of vasculitis in children. Clinical manifestations usually involved several organs, such as skin, joint, gastrointestinal, and kidney. Recurrency occured in almost 50 % cases, and lead to poor prognosis. Up to now, there was no publications of HSP study in Indonesia regarding in clinical profiles, laboratory, and recurrency. Objective : To investigate the clinical characteristics, laboratory, and recurrency of HSP in Indonesian’s children. Method : A retrospective descriptive study was conducted from medical records of children up to 18 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Our participants were children diagnosed as having HSP from January 1st 2009 to December 31st 2012. Results : There were 71 cases of HSP, with the range of age from 2 years old to 16 years old. Mostly subjects were at group age between 6 and 8 years old. Girl was commonly affected compared to boy (1.2:1). All patients had palpable purpura, other clinical symptoms that usually occured were gastrointestinal (79 %), arthritis or arthralgia (68 %), and kidney disorder (41 %). Neurologic symptoms (1 %) and scrotal edema (4 %) were the least found. 56 % of HSP patient was preceeded by infection history. Laboratory results that commonly found were increasing of ESR (88 %), thrombocytosis (60 %), hematuria (41 %), and anemia (31 %), respectively. Kidney function impairment was occured in 6/42 cases. Clinical symptoms improvement had shown in less than 4 weeks for skin, gastrointestinal, and joint disorder. Eighteen of twenty four subjects with hematuria had recovery within 6 months. There were no cases of persistent kidney function impairment. Recurrency occured in 5/57 subjects. Conclusion : Clinical manifestations that commonly found in HSP patients were palpable purpura, gastrointestinal disorder, arthritis or arthralgia, and kidney involvements. Neurological disorder and scrotal edema were less found. Routine blood and urine examination should be done in all HSP patients to confirm the diagnosis and evaluate kidney involvement. In all HSP patients, we suggest to do follow up on evaluating late kidney involvement and recurrency minimally in 6 months period.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryawati Sukmono
Abstrak :
Latar Belakang: Pajanan nyeri menimbulkan efek merugikan baik pada neonatus kurang bulan maupun neonatus cukup bulan. Efek analgesik sukrosa pada penyuntikan intramuskular masih kontroversial. Efektivitas sukrosa untuk mengatasi nyeris saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan belum pernah diteliti di Indonesia. Tujuan: untuk mengetahui efek analgesik pemberian sukrosa disertai empeng saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan. Metode: penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda. Subjek secara random dibagi menjadi kelompok intervensi yang mendapatkan 2 mL sukrosa 24% disertai empeng, serta kelompok kontrol yang mendapatkan 2 mL aquabidestilata disertai empeng. Rasa nyeri yang dirasakan subjek dievaluasi dengan skor nyeri premature infant pain profile (PIPP). Hasil: median skor PIPP pada kelompok yang diberikan sukrosa lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (6 (2-15) vs 11 (2-15), p <0,0001). Lama tangis subjek pada kelompok yang mendapat sukrosa lebih singkat dibandingkan kelompok kontrol (11 (0-33) detik vs 19 (0-100) detik, p <0,0001). Pemberian empeng tidak memberikan efek sinergis dalam menurunkan skor nyeri maupun lama tangis subjek. Pada penelitian ini ditemukan satu subjek yang mengalami desaturasi hingga saturasi oksigen <88% saat pemberian sukrosa, namun efek samping ini tidak memerlukan terapi khusus. Simpulan: sukrosa secara statistik menurunkan skor nyeri PIPP dan lama tangis saat vaksinasi hepatitis B pada neonatus cukup bulan. ...... Background: Pain causes adverse effect for preterm and also term newborn. Analgesic effect of sucrose during intramuscular injection is still a controversy. Sucrose effectivity in reducing pain in term newborn during hepatitis B vaccination has not been studied in Indonesia. Objective: to examine analgesic effect of sucrose with pacifier during hepatitis B vaccination in term newborn. Method: we used consecutive sampling to reach 70 subjects. Subject was randomised into intervension group receiving 2 mL of 24% sucrose solution with pacifier, and control group receiving 2 mL aquadest with pacifier. Pain was evaluated with the premature infant pain profile (PIPP) scoring system. Result: median PIPP score in intervension group was significantly lower than control group (6 (2-15) vs 11 (2-15), p <0,0001). Cry duration in intervension group was significantly shorter than control group (11 (0-33) second vs 19 (0-100) second, p <0,0001). Pacifier had no synergistic effect in lowering PIPP score and cry duration. Decreased oxygen saturation below 88% was found in one subject receiving sucrose but additional therapy was not needed. Conclusion: Sucrose was statistically significant in reducing pain score and cry duration during hepatitis B vaccination in term newborn.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latupeirissa, Debbie
Abstrak :
ABSTRAK
Diagnosis HIV pada bayi masih sulit ditentukan pada daerah dengan sumber terbatas dan tidak memiliki fasilitas pemeriksaan PCR. Keterlambatan menentukan diagnosis pada bayi tertular HIV yang lahir dari ibu HIV positif akan menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan menemukan model prediksi risiko bayi tertular HIV yang efektif yaitu yang memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas cukup baik dan praktis penggunaannya di lapangan. Penelitian terdiri dari dua tahapan yaitu tahap pertama pembuatan model dari faktor risiko pada ibu, bayi, dan persalinan serta tahap kedua validasi skoring model. Subjek tahap pertama berasal dari data rekam medis pasangan ibu HIV positif dan bayi yang dilahirkannya di 5 rumah sakit di Jakarta dan Kepulauan Riau dan 1 puskesmas di Jakarta sebanyak 100 subjek. Didapatkan 2 model skor yang efektif sebagai model prediksi risiko bayi tertular HIV yaitu Model 1 (terdiri dari usia ibu, ARV pada ibu, infeksi TB paru, usia gestasi, cara persalinan dan jenis kelamin bayi) dan Model 2 (ARV pada ibu, infeksi TB paru ibu, dan cara persalinan). Model 2 selain efektif juga praktis untuk penggunaan di lapangan. Validasi eksterna terhadap 20 subjek bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif di 3 rumah sakit di Jakarta menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil antara Model 2 dan pemeriksaan PCR RNA HIV bayi usia 6 minggu. Model 2 adalah model prediksi yang efektif dan praktis untuk prediksi risiko bayi tertular HIV yang lahir dari ibu HIV positif di daerah dengan sumber dan fasilitas terbatas.
ABSTRACT
HIV diagnosis in infants is still difficult to determine in areas with limited resources and no PCR examination facilities. Delay in diagnosing HIV infected infants born to HIV positive mothers will lead to high morbidity and mortality. The aim of this study is to find an effective and practical model to be used in the field to predict risk of HIV transmission in infants born to HIV positive mothers, with relatively well sensitivity and specificity. This study consisted of two stages. The first stage was to develop a risk factor model consisting of maternal, infant and obstetric risk factors, and the second stage was to validate the scoring model. Data for the first stage was obtained using medical records of 100 infants born to HIV positive mothers in 5 hospitals in Jakarta and Riau Islands, as well as 1 community health center in Jakarta. Two effective models were generated in this study, namely: Model 1 (consisting of maternal age, maternal ARV therapy, maternal tuberculosis infection, gestational age, method of delivery, sex of the infant) and Model 2 (consisting of maternal ARV treatment, maternal tuberculosis infection, and mode of delivery). Model 2 is more effective and practical to be used in the field. External validation performed on 20 infants born to HIV positive mothers in three hospitals in Jakarta showed that there were no differences between the scoring model and PCR RNA HIV results. Model 2 can be used on infants born to HIV positive mothers as an effective and practical transmission risk prediction tool for in areas with limited resources and facilities
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library