Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Donny Kristanto Mulyantoro
Abstrak :
Kekurangan gizi pada awal kehidupan (1000 hari pertama) terutama masa prenatal akan memberikan multiple effect yang bersifat irreversible yaitu hambatan pertumbuhan linier yang direpresentasikan oleh pendek, pertumbuhan dan perkembangan organ termasuk pancreas yang direpresentasikan oleh diabetes mellitus dan tumbuh kembang otak yang direpresentasikan oleh kemampuan kognitif. Tingginya pendek pada populasi dewasa dan tingginya penyakit diabates mellitus di perkotaan berdasarkan survei Riskesdas 2007 mengindikasikan bahwa gangguan pertumbuhan linier dan perkembangan organ terjadi secara parallel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai apakah pendek usia dewasa mewakili stunting awal kehidupan dalam menjelaskan risiko penyakit diabetes mellitus usia dewasa. Penelitian ini memanfaatkan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dengan disain cross sectional yang mewakili daerah perkotaan di 33 propinsi di Indonesia. Subyek penelitian adalah 12.639 laki-laki dan perempuan berumur 20 - 49 tahun. Penyakit diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan kadar gula darah puasa 2 jam post prandial sedangkan hambatan pertumbuhan linier awal kehidupan diukur dengan pencapaian tinggi badan (pendek) di usia dewasa. Analisis dilakukan 2 level yaitu : (1) melakukan uji bivariat, stratifikasi, multivariat pada kondisi saat ini (subyek dewasa). (2) Melakukan analisis risiko kekurangan gizi awal kehidupan terhadap penyakit diabetes mellitus menggunakan teori dan bukti ilmiah hasil penelitian sebelumnya. Data yang digunakan dalam analisis penelitian ini cukup memadai yang ditunjukkan dengan konsistensi antar variabel dan konsisten dengan hasil penelitian lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi diabetes mellitus sebesar 3,8% dan proporsi pendek sebesar 37,7%. Pendek usia dewasa pada IMT<23 merupakan faktor risiko penyakit diabetes mellitus OR adjusted 1,52 (CI 95% : 1.08-2.12). Bertambahnya umur meningkatkan risiko terkena penyakit diabetes mellitus dengan OR 3,05 (CI 95% : 1,82-5,09) pada umur 30-39 tahun dan OR 7,58 (CI 95% : 4,69-12,27) pada umur 40-49 tahun. Keluarga kaya mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita diabetes mellitus dengan OR 1.90 (CI 95% : 1.36-2.66). Minum minuman berkafein ≥1 x/hr dapat mencegah penyakit diabetes mellitus dengan OR 0,48 (CI 95% : 0,33-0,71). Kesimpulan penelitian ini adalah pendek usia dewasa pada kelompok IMT < 23 merupakan faktor risiko penyakit diabetes mellitus.
Malnutrition in early life (1000 first day), especially during pregnancy would cause multiple effect which were irreversible, such as obstruction in linear growth were represented by short stature, growth and development of organs, including the pancreas represented by diabetes mellitus, and brain growth is represented by deficiency in cognitive abilities. The high prevalence of short stature in adult and the high prevalence of diabetes mellitus disease in urban population based on Riskesdas 2007 survey data indicated that disruption of linear growth and organ development occured in parallel. The purpose of this study was to assess whether short stature in adulthood represent stunting in their early life, in order to explain the risk of diabetes mellitus in adult. This study was utilized data from Indonesian Basic Health Research 2007 with a cross-sectional design representing urban areas in 33 provinces in Indonesia. Subjects were 12,639 men and women aged 20-49 years. Diabetes mellitus was diagnosed based on fasting blood glucose levels, 2 hours post prandial, while linear growth retardation in early life is measured by the attainment of height (short stature) in adulthood. Analysis was done in 2 levels: (1) Worked on bivariate, stratified, multivariate testing on current conditions (adult subjects). (2) Performed a risk analysis of malnutrition in early life towards diabetes mellitus disease using theories and scientific evidence based on previous researches. The data used in this analysis were sufficient, indicated by consistency between variables and consistency with the results of other related studies. Results of this study showed that the proportion of diabetes mellitus was 3.8% and the proportion of short stature was 37.7%. Short stature in adults with BMI <23 was a risk factor for diabetes mellitus with adjusted OR of 1.52 (CI 95%: 1:08-2:12). Increasing age increased the risk of diabetes mellitus with 3.05 OR (95% CI: 1.82 to 5.09) at the age 30-39 years and 7.58 OR (95% CI: 4.69 to 12.27) at the age of 40-49 years. Wealthier families have a higher risk of developing diabetes mellitus with OR 1.90 (95% CI: 1.36-.66). Drinking caffeinated beverages ≥1 x / day could prevent diabetes mellitus with OR 0.48 (95% CI: 0.33 to 0.71). Conclusion of this study was short stature in adult with BMI <23 was a risk factor for diabetes mellitus.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1444
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Triwinarto
Abstrak :
Masa 1000 hari pertama kehidupan terutama pada masa prenatal merupakan masa terjadinya perkembangan sel-sel otak, pertumbuhan linier, dan pembentukan organ yang terjadi secara paralel dan berlanjut sampai umur 2 tahun. Akibat jangka panjang dapat menurunkan fungsi kognitif, risiko stunting, dan risiko menderita penyakit kronis, seperti hipertensi. Bukti beberapa penelitian menunjukkan gangguan pertumbuhan pada masa prenatal memberikan retained effect pada periode umur selanjutnya yaitu sejak bayi sampai dewasa, sehingga pada penelitian ini menggunakan tinggi badan usia dewasa sebagai indikator proxy untuk memprediksi adanya gangguan pertumbuhan pada masa dini kehidupan. Di Indonesia, ada indikasi tingginya prevalensi stunting pada anak balita, anak usia sekolah dan usia dewasa berkaitan dengan tingginya prevalensi hipertensi, termasuk pada kelompok miskin. Tujuan penelitian ini ingin membuktikan apakah tinggi badan dewasa dapat digunakan sebagai indikator proxy adanya gangguan pertumbuhan pada masa dini kehidupan dan paralel dengan kejadian hipertensi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data Riskesdas, 2007 dengan desain kros-seksional melibatkan 481.489 subyek, umur 20-60 tahun, menggunakan alat pengukur tekanan darah digital omron A2 dan alat ukur tinggi badan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Hasil penelitian tidak terbukti ada hubungan antara tinggi badan dengan hipertensi dengan OR= 0,981 (95% CI: 0,955-1,008) setelah dikontrol oleh faktor konfounding potensial seperti umur, kegemukan, obesitas sentral, dan lama merokok. Oleh karena itu, tinggi badan dewasa di Indonesia tidak dapat digunakan untuk memprediksi risiko hipertensi. Perlu penelitian lebih lanjut dengan desain kohor untuk membuktikan apakah tingginya masalah gangguan pertumbuhan di Indonesia yang ditunjukkan dengan tingginya prevalensi stunting terjadi secara paralel dengan peningkatan risiko hipertensi.
The first period of 1000 days, especially during prenatal life is a period of the development of brain cells, linear growth, and organ formation occurs in parallel and continued until the age of 2 years. Long-term consequences can decrease cognitive function, risk of stunting, and the risk of chronic diseases, such as hypertension. Evidence showed some growth retardation during prenatal give effect retained in subsequent age period, since the period of infancy to adult so in this study using a high body adult age as a proxy indicator for predicting growth retardation in the early life. In Indonesia, there is an indication of the high prevalence of stunting in children under five, children of school age and adulthood is associated with high prevalence of hypertension, including in the poor. The purpose of this study to prove whether adult height can be used as a proxy indicator of growth retardation during the early and parallel to the incidence of hypertension in Indonesia. This study uses data Riskesdas, 2007 with crosssectional design, involving 481.489 subjects, aged between 20-60 years, using a digital blood pressure meter omron A2 and using microtoise the nearest 0.1 cm to measure adult height by trained health personnel. The results showed that short stature was not associated with hypertension with OR= 0,981 (95% CI: 0,955-1,008) after potential konfounding controlled by factors such as obesity, central obesity, and age. Therefore, adult height in Indonesia can not be used as a proxy indicator of the risk of hypertension. Need further research to design kohor to prove whether high growth retardation in Indonesia as shown by the high prevalence of stunting occurs in parallel with an increased risk of hypertension.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1414
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawaty
Abstrak :
Health problems in districts can be caused by political dynamics in a decentralized era. This study analyzes the political dimension in health policy making in districts in East Java. Phenomenological qualitative approach is used with case study design. The results showed that political interests affect planning-budgeting, selection of executive officers, and procurement of goods and services in the health sector. Head of the health district office and director of the district hospital act as the agent whereas the district mayor and the legislature act as the principles. Not only principle-agent relationship is influenced by relationship between institutions and interpersonal relationship, it is also inflenced by personal values of the political elite and actor concerning health issue. Those three factors influence and intervene the decision space in health policy making. Non-political elites such as business people and invisible hand also influence the decision space. Political skill, a term which has no relation whatsoever in practical politics behavior that refers to a package of specific strategies and skills which in this case assists health policy actor in achieving public health main goals, directs policy making in accordance with health normative goal. Political skill should be adopted as a prerequisite competence for district-level structural officials in health sector.
Masalah kesehatan kabupaten/kota dapat disebabkan oleh dinamika politik di era desentralisasi. Penelitian ini menganalisis dimensi politik dalam penentuan kebijakan kesehatan kabupaten/kota di Jawa Timur. Pendekatan kualitatif fenomenologi digunakan dengan rancangan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan kepentingan politik mewarnai perencanaan-penganggaran, penentuan pejabat dan pengadaan barang-jasa di sektor kesehatan. Kepala dinas kesehatan dan direktur RSUD merupakan agen sedangkan kepala daerah dan DPRD adalah prinsipal. Selain dipengaruhi oleh hubungan antarkelembagaan dan hubungan interpersonal, pola hubungan prinsipal-agen yang ada juga dipengaruhi oleh personal values elit dan aktor politik tentang kesehatan. Ketiga hal tersebut secara bersama dapat memengaruhi dan mengganggu decision space pada proses penentuan kebijakan kesehatan. Kehadiran elit nonpolitik yaitu pelaku bisnis dan the invisible hand juga mempengaruhi decision space tersebut. Political skill sebagai sebuah paket strategi dan ketrampilan yang dimiliki oleh pelaku kebijakan kesehatan demi tercapainya tujuan utama kesehatan masyarakat dan tidak berkaitan sama sekali dengan perilaku politik praktis yang dimiliki oleh pelaku kebijakan kesehatan mengarahkan penentuan kebijakan sesuai tujuan normatif kesehatan. Parameter political skill hendaknya diadopsi sebagai syarat kompetensi bagi pejabat struktural di kabupaten/kota, khususnya di sektor kesehatan.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2669
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Fentiana
Abstrak :
Stunting anak 0-23 bulan di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor langsung dan tidak langsung.  Penelitian menggunakan data Riset Kesehatan Dasar, Survey Sosial Ekonomi Nasional dan Produk Domestik Regional Bruto per kapita tahun 2018 dengan pendekatan potong lintang bertujuan mengetahui model jalur hubungan langsung dan tidak langsung berbagai faktor risiko stunting dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota.  Pengolahan data sekunder dilakukan pada Januari-April 2022. Sampel adalah 106 kabupaten/kota prevalensi stunting <20% dan 403 kabupaten/kota prevalensi stunting ≥20% (20%-<30%, 30%-40% dan >40%) yang diagregratkan pada tingkat kabupaten/kota dari 32.095 data individu anak usia 0-23 bulan yang diukur panjang badannya. Pemodelan menggunakan analisis jalur. Model jalur pencegahan risiko stunting memperlihatkan akses terhadap makanan (r=-0,31) dan pemeriksaan kehamilan (r=-0,29) berhubungan langsung dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota di kabupaten/kota prevalensi stunting <20%. Keluarga Berencana (r=-0,15), pemeriksaan kehamilan (r=-0,13) dan cuci tangan pakai sabun (r=-0,11) berhubungan langsung dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota di kabupaten/kota prevalensi stunting ≥20%. Tablet tambah darah ibu hamil (r=-0,02) dan inisiasi menyusu dini (r=-0,03) berhubungan tidak langsung melalui ASI eksklusif dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota di kabupaten/kota prevalensi stunting 20%-<30%. ASI eksklusif (r=-0,15) berhubungan langsung dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota di kabupaten/kota prevalensi stunting 20%-<30%. Cuci tangan pakai sabun berhubungan signifikan langsung dengan prevalensi stunting tingkat kabupaten/kota di kabupaten/kota prevalensi stunting 30%-40% (r=-0,22) dan >40% (r=-0,45). Model jalur menyimpulkan bahwa kabupaten/kota dapat memainkan peran penting dalam upaya pencegahan risiko stunting dengan memodifikasi sejumlah faktor risiko terutama pada keluarga anak 0-23 bulan. ......Stunting in children 0-23 months in Indonesia is a public health problem caused by various direct and indirect factors. This study uses data from Basic Health Research, National Socio-Economic Survey and Gross Regional Domestic Product per capita in 2018 with a cross-sectional approach. Secondary data processing was carried out in January-April 2022. The samples were 106 districts/cities with stunting prevalence <20% and 403 districts/cities with stunting prevalence 20% (20%-<30%, 30%-40% and >40%) Aggregated at the district/city level from 32,095 individual data for children aged 0-23 months, whose body length was measured. The modeling uses path analysis. The stunting risk prevention pathway model shows that access to food (r=-0.31) and prenatal care (r=-0.29) is directly related to the prevalence of stunting at the district/city level in districts/cities with stunting prevalence <20%. Family planning (r=-0.15), pregnancy check-ups (r=-0.13) and hand washing with soap (r=-0.11) were directly related to the prevalence of stunting at the district/city level in districts/cities stunting prevalence 20 %. Blood supplement tablets for pregnant women (r=-0.02) and early initiation of breastfeeding (r=-0.03) were indirectly related through exclusive breastfeeding with the prevalence of stunting at the district/city level in districts/cities stunting prevalence of 20%-<30% . Exclusive breastfeeding (r=-0.15) was directly related to the prevalence of stunting at the district/city level in the district/city stunting prevalence of 20%-<30%. Hand washing with soap is directly related to stunting prevalence at district/city level in districts/cities, stunting prevalence is 30%-40% (r=-0.22) and >40% (r=-0.45). The pathway model concludes that districts/cities can play an important role in preventing stunting risk by modifying a number of risk factors, especially in families of children 0-23 months.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djazuly Chalidyanto
Abstrak :
Perhatian terhadap pentingnya efisiensi disebabkan karena sumber daya yang terbatas dan langka dalam menyediakan pelayanan kesehatan untuk dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas terhadap pelayanan kesehatan (Hollingsworth, B dan Staurt J. Peacock, 2008). Rumah sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan dalam sebuah sistem kesehatan. Efisiensi rumah sakit memberikan dampak terhadap efisiensi sistem kesehatan secara keseluruhan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pembiayaan rumah sakit memiliki proporsi yang besar dibandingkan dengan pembiayaan program kesehatan lain. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efisiensi dan faktor yang berhubungan dengan efisiensi rumah sakit umum pemerintah di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) rumah sakit yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan. Rumah sakit yang dianalisis pada penelitian ini adalah rumah sakit umum pemerintah kelas B sebanyak jumlah 112 rumah sakit dan kelas C sebanyak 203 rumah sakit. Variabel input dalam penelitian ini terdiri dari 3 kelompok yaitu tenaga (medis, penunjang medis, perawat, tenaga lain), peralatan medis dan tempat tidur, sedangkan variabel output (produksi) nadalah jumlah pasien rawat jalan dan jumlah hari rawat inap. Analisis efisiensi dilakukan pada setiap kelas rumah sakit dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) berorientasi output dengan pendekatan variable return to scale (VRS). Software DEA yang digunakan adalah DEAP Version 2.1.yang dikembangkan oleh Coelli (1996). Sebelum analisis efisiensi dengan DEA, dilakukan analisis faktor mempengaruhi produksi rumah sakit berdasarkan hasil analisis faktor dan analisis regresi ganda. Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa pada rumah sakit kelas B dan kelas C, tenaga dikelompokkan dalam 4 kelompok dan peralatan pada rumah sakit kelas B dikelompokkan dalam 4 kelompok dan rumah sakit kelas C dalam 3 kelompok. Faktor yang mempengaruhi produksi rumah sakit kelas B adalah keempat kelompok faktor tenaga, faktor alat sterilisasi dan jumlah tempat tidur. Faktor yang mempengaruhi produksi rumah sakit kelas C adalah keempat kelompok faktor tenaga, ketiga kelompok faktor alat dan jumlah tempat tidur. Hasil DEA menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknik rumah sakit kelas B = 0,826 dan rumah sakit kelas C = 0,775. Rumah sakit kelas B yang efisien secara teknik sebesar 23,2%, sedangkan rumah sakit kelas C sebesar 33,5%. Secara skala, rata-rata efisiensi rumah sakit kelas B = 0,920 lebih besar dibandingkan dengan rumah sakit kelas C = 0,886. Sebesar 13,4% rumah sakit kelas B sudah efisiensi secara skala, sedangkan rumah sakit kelas C sebesar 17,7%. Sebagian xiv besar rumah sakit kelas B berada dalam kondisi decreasing return to scale sebesar 62,5%, 53,7% rumah sakit kelas C berada dalam kondisi increasing return to scale. Secara umum, masih terdapat over capacity pada tenaga, peralatan dan tempat tidur pada kedua kelompok rumah sakit. ......Interests in the importance to achieve efficiency are driven by the lack of resources in delivering healthcare to serve the limitless healthcare needs of the population (Hollingsworth, B and Peacock, SJ, 2008). Hospital service is a form healthcare service in a health system. Achieving efficiency in hospital service will bring significant benefit to the efficiency for the whole health system. Reports have shown that hospital financing is proportionally larger compared to the financing of other health programmes. This research aims to determine the efficiency level and the factors relevant it within Indonesian public hospitals. The data used for this research are from the Hospital Health Facility Research (RIFASKES) which was conducted in 2011 by the Ministry of Health Research and Development Unit. The hospitals covered in this research are 112 type B and 203 type C hospitals. There are three categories of input variables, which are human resources (medics, supporting medics, nurses, and other), medical equipment, and number of beds, and the two categories of output (production) which are number of outpatient episodes and number of inpatient bed days. Efficiency analysis was conducted in every hospital service level by using output oriented Data Envelopment Analysis (DEA) method with variable Return to Scale (VRS) approach. DEA Software used is the DEAP Version 2.1. developed by Coelli (1996). Prior to the efficiency analysis, a factor analysis of the hospital output was performed based on factor analysis and multiple regression analysis. The factor analysis shows that human resources can be categorised into 4 categories in type B and C hospitals, while equipment can be categorised into 4 category in type B hospitals, and 3 categories in type C hospitals. The factors that affect type B hospital productions are the four categories of human resources factor, sterilisation equipment factor, and number of beds. The factors that affect type C hospital productions are the four categories human resources factor, the three categories of equipment factor, and number of beds. The DEA analysis suggests that the average technical efficiency level of type B hospital is 0.826, and type C hospital is 0.775. There are 23.2% of type B hospitals which are technically efficient, and 33.5% of type C hospitals. Type B hospitals average scale efficiency is 0.920, which is greater than type C hospitals 0.886. 13.4% type B hospitals are efficient in scale, while for type C hospitals it is 17.7%. Most type B hospitals are in a decreasing returns to scale of 62.5%, while 53.7% of type C hospitals are in an increasing returns to scale. In general, there are over capacity in human resources, equipment, and beds available in the two hospital categories.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library