Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Victor
"Defisiensi besi yang terdapat bersamaan dengan defisiensi mikronutrien lain seperti ribbflavin, lazim terjadi di negara berkembang. Remaja wanita termasuk salah satu golongan yang rentan terhadap defisiensi zat-zat gizi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa defisiensi riboflavin dapat mengganggu utilisasi dan absorpsi besi sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi atau memperberat keadaan anemia ini. Di Indonesia, kemungkinan terjadinya defisiensi riboflavin cukup besar karena konsumsi pangan hewani yang juga merupakan somber riboflavin yang baik, masih rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi defisiensi riboflavin, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya defisiensi ini antara lain tingkat ekonomi dan pola makan serta hubungan antara defisiensi riboflavin dengan anemia defisiensi besi. Untuk itu telah dilakukan pemeriksaan darah pada 107 remaja wanita untuk mengetahui koefisien aktivasi enzim glutation reduktase (EGRAC) yang dipakai sebagai parameter status riboflavin. Sedangkan untuk mengetahui adanya anemia defisiensi besi, dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan feritin serum. Untuk mengetahui hubungan antara defisiensi ribofalvin dengan faktor-faktor yang berkaitan tersebut dilakukan wawancara dan analisis diet.
Dari 107 remaja wanita yang diteliti, ditemukan prevalensi defisiensi riboflavin dan anemia defisiensi besi masing-masing sebesar 25,2% dan 24,3%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna (p > 0,01) antara masukan protein dan riboflavin dengan status riboflavin. Ditemukan hubungan bermakna (p < 0,01) antara tingkat ekonomi dengan status riboflavin, demikian pula antara kualitas bahan makanan sumber riboflavin dengan status riboflavin dan anemia defisiensi besi. Ditemukan hubungan yang bermakna (p < 0,01) antara status riboflavin dengan anemia defisiensi besi dan didapat korelasi linear negatif yang bermakna (p < 0,01) antara EGRAC dengan feritin serum dengan koefisien korelasi (r) -0,595."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca N. Angka
"Faktor perturnbuhan cndote1 vaskular atau Vascular Endothelial Growth Factor (selanjutnya disebut VEGF) adalah suatu glikoprotein dimer yang dihasilkan oleh sel tumor dan jaringan yang memerlukan pasokan pembuluh darah baru. Beberapa penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara penyebaran ke kelenjar gctah bening ketiak dengan ekspresi VEGF C dan D terutama pada kanker payudara jenis duktal invasif. Ekspresi berlebihan dari VEGF disenai ekspresi berlebihan dari HER2 kanker payudara. Lebih jauh diketahui bahwa ekspresi VEGF berhubungan dengan penyebaran ke kelenjar getah bening ketiak. Pengaruh faktor ini mendorong peneliti untuk mempelajari kanker payudara stadium II dengan HER-2 posltif karena penyebaran ke kelenjar getah benlng ketiak pada sisi yang sama dengan kanker payudara, mulai ditemukan pada stadium II baik pada tumor ukuran di bawah 2 em ataupun pada tumor berukuran lebih dari 2 em. Dalam penelitian ini dinilai poia ekspresi VEGF pada subjek dengan penyebaran ke kelenjar getah bening (N l) dan pada keadaan belum adanya keterlibatan kelenjar getah bening (NO). Ekspresi VEGF dapat diamati dan diukur derajatnya pada jaringan kanker payudara dengan teknik imunohistokimia. Pola ekspresi yang didapatkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat melihat sifat biologik kanker payudara dalam hal penyebarannya ke kele11iar gctah bening ketiak dan dapat digunakan sebagai faktor prediksi dalam hal penyebarannya.

Vascular Endotbelia1 Growth Factor (VEGF) is a chimeric glycoprotein produced by tumor cells and tissues that require ample blood supply. Some studies have suggested that there is an association between metastasis of cancer cells to the axillary lymph nodes and VEGF C and D especially in ductile invasive breast carcinoma. The over expression from VEGF together with HER-2 were found in 77.2 percent of breast cancer patients. Furthermore evidence suggest that VEGF expression is connected with the spread of cancer to the axillary lymph nodes. We examined breast cancer stage II with HER-2 positive, as the spread of cancer cells to the axillary lymph nodes from the same breast cancer side will only be found at stage H for both tumor under 2 em or more than 2 em. We examined VEGFC the its relationship with axillary lymph node. The results from this research is aimed at monitoring the spread of breast cancer to the axillary lymph nodes and to predict its spread and therefore to find the most effective treatment management for this type of cancer. We analyzed VEGF-C expression in 95 sample breast cancer stage ll with HER-2 positive from 1999 2009. There is no significant associated between VEGF-C expression and axillary lymph node (p = 0.089)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Surya
"Latar Belakang. Diagnosis demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Biakan S. typhi sebagai baku emas diagnosis hanya mampu positif pada 40-70% kasus. PCR sebagai alternatif diagnosis masih terhambat oleh harganya yang mahal dan fasilitas yang terbatas. Uji Widal yang saat ini banyak digunakan karena murah dan mudah dilakukan, dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sensitivitas dan spesifisitas hanya berkisar 60-80%. Oleh karena itu dibutuhkan uji serologi lain yang cepat dan mampu memberikan hasil yang baik ditinjau dari sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu uji serologi yang memenuhi kriteria di atas adalah TUBEX TF yang telah diuji coba di beberapa negara tetapi belum pernah diuji coba di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui perbandingan nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan TUBEX TF dengan uji Widal dalam mendiagnosis demam tifoid yang telah dikonfirmasi dengan PCR dan atau biakan S. typhi. Metodologi. Uji diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan demam tifoid sesuai skor tifoid Nelwan>/=8 dan dirawat di RSCM, RSP dan RSUD Tangerang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dasar, uji Widal, PCR dan biakan S. typhi serta uji TUBEX TF. Hasil pemeriksaan TUBEX TF dan uji Widal dibandingkan PCR dan atau biakan S. typhi sebagai baku emas. Data diolah dengan program SPSS13 dan dimasukkan ke tabel frekuensi dan tabel silang.
Hasil. Selama periode Mei - Oktober 2006 terkumpul 52 pasien dengan kecurigaan demam tifoid, yang terdiri dari 27 laki-laki (52%) dan 25 perempuan (48%). Kelompok usia terbanyak 20-30 tahun (28 orang, 53,8%). Dari perhitungan tabel 2x2, uji TUBEX TF dibandingkan dengan uji Widal, didapatkan masing-masing sensitivitas 100% dan 53,1%, spesifisitas 90% dan 65%, NDP 94,1% dan 70,8%, NDN 100% dan 46,4%. Luas daerah dibawah kurva ROC adalah 0,950 untuk TUBEX TF dan 0,591 untuk uji Widal. Dibandingkan uji Widal, pemeriksaan TUBEX TF menunjukkan hasil bermakna (p<0,05) pada uji statistik Chi square."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library