Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Keisha Marsha Tuffahati
Abstrak :
Tulisan ini akan mencoba memahami bagaimana istilah human security dipahami dalam konteks studi keamanan internasional dari 3 sudut pandang: human security sebagai Hak Asasi Manusia, human security sebagai freedom from fear, dan human security sebagai freedom from want. Human security sebagai Hak Asasi Manusia menekankan pada pentingnya diseminasi norma HAM yang diwujudkan dalam bentuk agenda human security serta peran berbagai aktor dalam upaya diseminasi norma tersebut. Human security sebagai freedom from fear menekankan perlindungan terhadap manusia dari situasi konflik serta justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan. Sedangkan human security sebagai freedom from want menekankan perlindungan terhadap martabat dan pemberdayaan manusia melalui program pembangunan. Analisis juga meliputi bagaimana kontribusi human security bagi studi keamanan serta penjajaran perbedaan kedua konsep tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa human security memperkaya khasanah kajian keamanan internasional dengan memperluas agenda keamanan dan pengadopsian agenda normatif. Selain itu, tulisan ini menyimpulkan bahwa meskipun diklaim sebagai perusak koherensi intelektual kajian keamanan, konsep human security tetap relevan dalam studi keamanan internasional karena konsep tersebut berorientasi pada pembuatan kebijakan. Pada praktiknya, konsep human security digunakan sebagai jargon dalam mempromosikan agenda keamanan dan pembangunan oleh institusi internasional seperti PBB serta negara middle power seperti Kanada dan Jepang. ......This paper aims to seek how human security is understood from 3 standpoints human security as human rights, human security as freedom from fear, and human security as freedom from want. Human security as human rights emphasizes dissemination of human rights norms manifested in the form of human security agenda and the role of various actors in the dissemination of the norms. Human Security as freedom from fear emphasizes protection of the people in conflict situations and justification towards humanitarian intervention agenda. Meanwhile, human security as freedom from want emphasizes the protection of human dignity and human empowerment through development program. It also highlights the contribution of human security to security studies as well as juxtaposition of the two concepts. This paper argues that human security has enriched the repertoire of security studies by expanding the scope of security and adopting normative agenda. This paper concludes that although human security is claimed to be damaging to intellectual coherence of security studies, the concept itself remains relevant in international security studies due to its policy orientedness. In practice, human security is used as a jargon in promoting security and development agenda by international insitutions such as the United Nations as well as middle power countries such as Canada and Japan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Sagita Daniar
Abstrak :
ABSTRACT Kemunculan konsep keamanan kesehatan yang dipromosikan oleh WHO tentunya mendorong berbagai perdebatan di antara para akademisi studi keamanan internasional. TKA ini berupaya untuk memaparkan pembahasan kesehatan dalam empat perspektif kajian keamanan internasional, yaitu Copenhagen School, Welsh School, Paris School, dan Third World Security Perspective, untuk memahami perdebatan yang berlangsung. Namun, perdebatan yang terjadi di antara para akademisi belum dapat memunculkan konsepsi keamanan kesehatan tersendiri dalam ranah akademis. Berdasarkan kondisi tersebut, TKA ini mengidentifikasi bahwa kemunculan konsep keamanan kesehatan ditujukan sebagai instrumen praktis untuk memajukan kepentingan negara-negara Barat. Hal ini juga terlihat dari dominasi literatur Barat mengenai keamanan kesehatan, meskipun secara empiris permasalahan kesehatan lebih banyak ditemukan di negara-negara Dunia Ketiga.
ABSTRACT The emergence of health security concept by WHO has encouraged various debates among international security studies scholars. This paper seeks to explore health discussion within four perspectives of international security studies, namely Copenhagen School, Welsh School, Paris School, and Third World Security Perspective, to understand the ongoing debate. However, the debates still could not generate any academic conception of health security. Based on this condition, this paper identifies that the emergence of health security concept was intended to be a practical tool to uphold Western interest. It is also shown through the dominance of Western literatures on health security, although empirically health problems are more prominent in Third World states.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samita Noonpakdee
Abstrak :
Human trafficking merupakan isu kejahatan transnasional yang mulai diperhatikan pada pertengahan abad 20 dan dipermasalahkan secara global pada akhir abad tersebut. Dengan adanya dukungan serta tekanan dari dunia internasional, mekanisme-mekanisme respon terhadap human trafficking diciptakan di Asia Tenggara dalam waktu relatif sama, yaitu pada tahun 1997. Namun, inisiatif-inisiatif yang diciptakan pada awal pembahasan bersifat kurang konkret dan tidak sesuai dengan kondisi human trafficking yang unik di ASEAN. Walaupun demikian, selama lebih dari dua dekade ini, terdapat beberapa perkembangan dan perubahan perspektif di kawasan, terutama dalam inisiatif terbaru, yaitu ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP), yang baru diciptakan pada tahun 2015. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mekanisme-mekanisme respon ASEAN sebagai bahasan utama dengan ada sejarah human trafficking dan respon global yang diterapkan di ASEAN sebagai pembahasan pendukung untuk menimbulkan pemahaman secara keseluruhan. Argumen utama dalam tulisan ini adalah mekanisme-mekanisme respon regional terhadap human trafficking oleh ASEAN mengalami perkembangan dan perubahan perspektif dari pandangan keamanan negara ke pandangan HAM. Walaupun demikian, ASEAN masih memiliki berbagai tantangan dalam pembahasan terhadap isu human trafficking. Tantangan-tantangan tersebut mencakup masalah dari kondisi negara-negara anggota ASEAN sendiri, sifat ASEAN sebagai institusi regional, serta kondisi isu human trafficking di kawasan yang tidak hanya berakar lama dalam sejarah, tetapi juga berkaitan dengan isu sosial dan ekonomi. Dengan demikian, meskipun ACTIP telah berjalan ke arah yang benar, ASEAN sebagai organisasi regional masih terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki serta beberapa langkah yang harus dijalankan untuk mengembangkan respon regional terhadap human trafficking di kawasan ini menjadi lebih efektif daripada sekarang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, Vanda Dwi Septika
Abstrak :
Operasi pemeliharaan perdamaian (peacekeeping operation) atau PKO oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lahir pada 1948 dengan nama United Nations Truce Supervision Organization (UNTSO) di Timur Tengah untuk mengawasi kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan negara-negara Arab. Sejak saat itu, misi pemeliharaan perdamaian terus berkembang dari bentukan/model tradisional menjadi lebih kokoh dan multidimensional seperti sekarang. Dunia akademik kemudian menaruh perhatian pada efektivitas operasi pemeliharaan perdamaian sebagai instrumen manajemen konflik internasional. Terdapat sejumlah literatur akademik yang mengkritisi apakah mandat tersebut benar-benar memiliki dampak atau kontribusi positif dalam melindungi warga sipil, mencegah konflik berulang, menegakkan hak asasi manusia, dan tanggung jawab lain yang ditugaskan pada operasi tersebut. Kajian literatur ini berusaha memetakan ragam argumen/pendapat dari berbagai kelompok pemikiran yang mengkritisi efektivitas PKO melalui metode taksonomi dengan mengklasifikasikan perdebatan argumen ke dalam tiga kategori: (1) standar efektivitas PKO; (2) syarat keberhasilan PKO; dan (3) penyebab keberhasilan PKO dalam perspektif Hubungan Internasional. Masing-masing komponen dari tiga kategori besar tersebut merefleksikan karakter yang berbeda dikelompokkan ke tiga tingkat pemahaman: teoretis, politis, dan praktis/operasional. Berdasarkan sejumlah literatur yang sudah dikaji, tulisan ini menemukan bahwa sewajarnya PKO dapat diklaim efektif/berhasil di standar-standar tertentu, tetapi gagal di standar lainnya. Untuk memenuhi keberhasilan di satu standar, PKO dapat melanggar atau mengabaikan standar lain, dan hal ini berpengaruh pada strategi/faktor penyebab keberhasilan yang dipilih untuk memenuhi standar yang diprioritaskan. Kritik yang mengasumsikan PKO sebagai instrumen yang efektif atau tidak efektif menurut tulisan ini kurang tepat mengingat beragam standar yang disematkan pada misi tersebut. ...... United Nations Peacekeeping Operation (PKO) began in 1948 under the title of the United Nations Truce Supervision Organization (UNTSO) in the Middle East to monitor the armistice agreement between Israel and Arab countries. Since then, the peacekeeping mission has continued to transform from the traditional model to be more robust and multidimensional, in its approach, as it continues to be. In the academic domain, major attention has been given to the effectiveness of peacekeeping operation as international conflict management instrument. There is a large number of academic literatures that criticize whether the mandate, in all conscience, has a positive effect or contribution in protecting civilians, preventing conflicts, promoting human rights, and other responsibilities assigned to the operation. This study seeks to map a variety of arguments/opinions from diverse group of perspectives that criticize the effectiveness of peacekeeping operation using taxonomy by classifying those arguments into three categories: (1) standards of peacekeeping effectiveness; (2) requirements for peacekeeping success; and (3) success factors of peacekeeping through the lenses of IR perspectives. Each component of the three major categories reflects different characteristic and is grouped into three levels of understanding: theoretical, political, and practical/operational. Based on the literatures that have been carefully reviewed, this paper finds that it is fair to claim peacekeeping operation to be effective at certain standards, but ineffective at the others. To successfully complete one standard, peacekeeping could violate or ignore other standards, and consequently affecting the strategy or success factors chosen to meet the priority standards. The binary assumptions evaluating peacekeeping as simply effective or ineffective, according to this paper, is improper considering the variety of standards attached to the mission.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Selvy Violita
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang mengapa back channel negotiation atau negosiasi tertutup berhasil mewujudkan Oslo Agreement antara Israel dan Palestina. Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah teori back channel negotiation. Keberhasilan dari back channel ini tidak terlepas dari empat kategori ketidakpastian yang menjadi alasan para peserta negosiasi untuk menjalankan negosiasi back channel. Empat kategori ketidakpastian tersebut meliputi ketidakpastian terhadap the cost of entry, spoilers, kepentingan dan prioritas, serta hasil. Hasil penelitian pada tesis ini menemukan bahwa kedua belah pihak mengalami kesemua kategori ketidakpastian tersebut. Sehingga dari keputusan untuk menggunakan negosiasi back channel, kesepakatan Oslo dapat dicapai.
This thesis discussed about why the back channel negotiation was successful created Oslo Agreement between Israel and Palestine. The theory that was used to reply this research question was the theory of the back channel negotiation. The success from the back channel was not free from four categories of the uncertainty that became the reason of the participants in negotiations to undertake negotiations in a manner was closed (the back channel). Four categories of this uncertainty covered the uncertainty against the cost of entry, spoilers, the interests and the priorities, and outcome. Results of the research to this thesis found that the two sides experienced all the category of this uncertainty. So as from the decision to use the back negotiations channel, the Oslo agreement could be achieved.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26762
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Lusia
Abstrak :
Tesis ini membahas mediasi yang digunakan oleh Crisis Management Initiative (CMI) dalam memediasi konflik internal yang terjadi di Aceh. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian mengatakan bahwa mediasi yang efektif bukan hanya disebabkan multitrack diplomasi yang digunakan oleh mediator. Tapi juga teknik mediasi yang efektif yang bisa melihat kebutuhan dari pihak-pihak yang bertikai dan bisa menghentikan konflik kekerasan dan mewujudkan perdamaian.
The focus of the study is the significance of the Crisis Management Initiative (CMI) in mediation the internal conflict in Aceh. The study is conducted on the method of descriptive studies. The main purpose of the study is to understand the reason behind the succes of the mediation by CMI.the study is not only due the multitrack diplomacy but also due to the efective mediation which oriented to the disputants needs and also it can transform the violence conflict into long peace.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27909
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herlizar Rachman
Abstrak :
Memorandum of Understanding Helsinki pada tahun 2005 merupakan capaian terbaik sebuah negara dalam menyelesaikan konflik asimetris secara damai. Perundingan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM menjadi titik paling menarik selama proses ini karena tidak banyak aktor negara yang berinisiatif untuk menyelesaikan sebuah konflik asimetris dengan menggunakan cara-cara yang non- koersif. Oleh karena itu, penelitian ini mengajukan pertanyaan mengapa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla membuka mediasi dengan pihak GAM dalam proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005? Dengan menggunakan teori rekonsiliasi, penelitian ini menemukan bahwa cara non-koersif yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia pada proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005 bertujuan untuk memanfaatkan momentum kemunduran GAM, membentuk citra positif di dunia internasional, serta rekonstruksi pasca-bencana. Temuan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode process tracing yang memelajari percabangan-percabangan sejarah dari genealogi konflik Aceh dalam periode waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2005. ...... The 2005's Memorandum of Understanding of Helsinki was known as a state?s best response to asymmetric conflict using peaceful way. The negotiations between the Government of Indonesia and the Aceh Free Movement, or GAM, had become the core of the process since the rarity of such occassion in which a state solving an asymmetric conflict using non-coercive ways. Thus, this research asks why the Yudhoyono and Kalla administration opens a mediation with the Aceh Free Movement during the Aceh conflict resolution process in 2004-2005? Using reconciliation theory, this research finds that the Government of Indonesia?s choice in using non-coercive ways is due to maximizing the moment of the setback of the Aceh Free Movement, creating positive image among international community, and the post-disaster reconstruction. Those findings are the result of a process tracing method in which this research study the genealogy of the conflict of Aceh and its disjunctures of events during 2004-2005.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S63511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Muthmaina
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pemanfaatan Piala Dunia FIFA 2010 sebagai suatu diplomasi yang melalui acara olah raga dalam memperluas marketing power Afrika Selatan, baik secara internasional maupun domestik. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penulisan naratif deskriptif. Penulis menemukan peran dari Piala Dunia FIFA 2010 sebagai berikut: menandai merek Afrika Selatan, mensinyalkan gambaran positif, mengedepankan kontinen Afrika sesuai kebijakan, dan mendorong kohesi dan kebanggaan nasional. Afrika Selatan mampu menarik perhatian, mensinyalkan pesan, dan melegitimasi langkah kebijakannya selama Piala Dunia namun tetap dibutuhkan kebijakan konsisten dan berkesinambungan untuk mengukuhkan dan meningkatkan posisi Afrika Selatan dalam kompetisi global. ......This thesis discusses the use of the 2010 FIFA World Cup as sportdiplomacy in expanding South Africa's Marketing Power, both internationally and domestically. This thesis is qualitative descriptive narrative. Author finds the role of FIFA World Cup 2010 as follows: marking South Africa's brand, signaling a positive image, promoting African continent according to South African policy, and encourage national cohesion and pride. While South Africa was able to attract attention, signaling messages, and legitimize their policy during the World Cup, consistent and sustainable policies are still needed to strengthen and improve South Africa's position in global competition.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library