Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulung, Navy Gerard Humphrey Matasak Lolong
"Latar belakang : Suatu penelitian menyatakan bahwa penambahan klonidin 45 pg pada bupivakain plus fentanil intratekal menurunkan tekanan darah dan tidak menambah durasi analgesia persalinan. Penelitian lainnya menyatakan bahwa penambahan bupivakain hiperbarik segera setelah fentanil intratekal dapat meningkatkan durasi analgesia. Kami membandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg hiperbarik dengan penambahan klonidin 45 μg pada campuran bupivakain 2,5 mg 0,1 % dan fentanil 25 μg.
Metode : Sebanyak 34 ibu bersalin dengan pembukaan serviks z3 sm dirandomisasi ke dalam 2 grup. Grup pertama menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 pg diikuti oleh bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik (grup BH, n=17). Grup kontrol menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% plus fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg diikuti oleh NaCl 0,9% (grup K, n=17). Dari posisi duduk saat penyuntikan obat, pasien dibaringkan dengan posisi 30° sepanjang sisa persalinan. Dilakukan pencatatan durasi analgesia, skor VAPS, skor Bromage, efek samping, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR dan tingkat kepuasan ibu bersalin.
Hasil : Ibu bersalin dalam grup K memiliki durasi analgesia yang lebih lama (Tara-rata 168 menit, kisaran 140-240 menit) daripada ibu bersalin dalam grup BH (rata-rata 126 menit, kisaran 105-150 menit) (p<0,001). Grup BH juga memiliki lebih banyak ibu bersalin yang mengalami blok motorik (p=0,003). Efek samping lainnya seimbang di antara kedua grup, dengan catatan bahwa tidak ada kejadian mual-muntah pada kedua grup, dan hanya 1 kejadian hipotensi pada grip BH.
Kesimpulan : Penambahan klonidin 45 μg pada bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik segera setelah bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg.

Background : One study reported that the addition of clonidine 45 pg to intrathecal bupivacaine and fentanyl reduced blood pressure and did not increase the duration of analgesia. In another study, the addition of hyperbaric bupivacaine right after intrathecal fentanyl increased the duration of analgesia. We compared the duration of analgesia of intrathecal hyperbaric bupivacaine 2,5 mg right after intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1 % and fentanyl 25 μg with that of intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg.
Method : Thirty-four parturients with a cervical dilation 3 cm were randomized into 2 groups. The first group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg which followed immediately by hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% (group BH, n=17). The second group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg followed immediately by NaCl 0,9% 0,5 ml (group K, n=17). After the administration of the drugs, the position of the patient was changed from sifting to supine with 30° elevation of torso. We collected the data of duration of analgesia, VAPS score, Bromage score, other side effect, duration of labor, type of labor, APGAR score and the maternal satisfaction.
Results : The duration of analgesia of group K (mean 168 minutes, range 140-240 minutes) is longer than group BH (mean 126 minutes, range 105-150 minutes) (p<0,001). There was more patient with motoric block in group BH than in group K (p=0,003). The other side effects are equal ini both groups. We noted that there was no nauseaNomiting in both group, and there was only one patient BH got hypotension which treated easily.
Conclusion : The addition of clonidine 45 μg to intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 pg results in longer duration of analgesia compared with the addition of hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% right after bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius T.
"Dalam induksi anestesia dengan etomidat sering timbal mioklonus. Penelitian ini membandingkan premedikasi midazolam dan fentanil dengan premedikasi midazolam saja dalam mencegah mioklonus. Penefitian dilakukan dengan acak tersamar ganda terhadap 140 pasien. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing 70 orang yaitu yang mendapat premedikasi midazolam 0,02 mg/kg BB dan fentanil 14g/kg BB intravena (IV) atau midazolam 0,04 mg/kg BB IV. Setelah itu digunakan etomidat 0.3 mg/kg BB IV untuk induksi anestesia_ Kejadian dan derajat mioklonus diamati selama 60 detik. Insidens miokonus lebih kecil pada kelompok fentanil dan midazolam (5/70) dibandingkan kelompok midazolam (29/70){P<0,05}. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam derajat mioklonus (p>0,05) pada kedua kelompok. Premedikasi dengan midazolam 0,02 mg/kg BB dart fentanil 14g/kg BB IV efektif menurunkan mioklonus akibat induksi dengan etomidat.

During induction of anaesthesia with etomidate, myoclonic muscle movements are frequent. in this study, pretreatment with midazolam and fentanyl was compared to pretreatment with midazolam for the prevention of myoclonic muscle movements. Included in this study were 140 patients, pretreated in randomized double-blinded fashion with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 µg/kg IV (n=70 patients) or midazolam 0.04 mg/kg IV (n=70 patients). Induction agent used was etomidate 0.3 mg/kg IV. The incidence and intensity of myoclonic movements were observed in 60 seconds. The incidence of myoclonic movements was significantly lower in patients pretreated with midazolam and fentanyl (5/70) than patients pretreated with midazolam only (29/70){p<0.051. The intensity of myoclonic movements was not significantly different (p>0.05) in two groups. Pretreatment with midazolam 0.02 mg/kg and fentanyl 1 gg/kg IV is more effective than that with midazolam 0.04 mg/kg IV in reducing etomidateinduced myoclonic muscle movements."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
"Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi.
Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi.
Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.

Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation.
Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation.
Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation
Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viella Cecilia Wijaya
"Kami melakukan penelitian tentang efek pemberian minuman berkarbohidrat pada dua jam pra induksi anestesia terhadap pengurangan ketidaknyamanan prabedah untuk pasien operasi elektif. Tiga puluh sembilan pasien dewasa dengan status fisik ASA 1 dan 2 diikutsertakan dalam penelitian ini yang diacak dengan penyamaran tunggal untuk mendapatkan 300 mL minuman yang mengandung glukosa 5% atau air putih pada waktu dua jam pra induksi anestesia. Seharusnya penelitian dilakukan terhadap 68 pasien namun akibat kesalahan terhadap penghitungan jumlah sampel di awal penelitian kami dan keterbatasan waktu maka penelitian hanya dilakukan terhadap 39 pasien. Digunakan VAS sebagai metode pengukuran ketidaknyamanan prabedah yang ingin dinilai yaitu kecemasan, rasa lapar dan rasa haus. Tidak terjadi efek samping aspirasi pare pada semua subyek penelitian. Terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05) terhadap variabel kecemasan dan rasa haus pada pengukuran di menit ke-90 dan 120 setelah pemberian minuman. Sedangkan pada variabel rasa lapar hanya terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kelompok yang mendapat minuman glukosa 5% di menit ke-90. Perbandingan nilai mean dan SD untuk penurunan VAS kecemasan, rasa lapar dan rasa haus diantara kedua kelompok hasilnya tidak bermakna (p>0.05). Kesimpulannya adalah pemberian air putih saja cukup efektif untuk menurunkan ketidaknyamanan prabedah yang berupa kecemasan dan rasa haus, namun tidak efektif untuk mengurangi rasa lapar.

We studied the effects of carbohydrate drink given two hours pre-induction of anesthesia in reducing preoperative discomforts for elective surgery patients. Thirty-nine adult patients with physical status ASA 1 and 2 were included in the study and randomized double blinded to preparation with 300mL of glucose 5% drink or plain water. The sample size was supposed to be 68 but we miscalculated it a1 the beginning of the study and also because of the lack of time, we only look 39 patients as our sample. Visual Analog Score (VAS) was used as a method of scoring the preoperative discomfort variables, which were anxiety, hunger and thirst. There were no adverse effects such as pulmonary aspiration occurred in the study. VAS was measured before, 90 and 120 minutes after the drink was given. It happened to be that both of the drinks were very effective in reducing VAS of anxiety and thirst but there were no difference between the two groups (p>0.05). Both of the drink was less effective in reducing hunger preoperatively. In conclusion, plain water is as effective as glucose 5% drink in reducing anxiety and thirst preoperative if given two hours pre induction of anesthesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Riviq Said
"Tujuan: Membandingkan keefektifan klonidin dan meperidin dalam mencegah menggigil pasta anestesia umum.
Metode: Uji KIinik Acak Tersamar Ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Maret sampai Mei 2006, dengan jumlah sampel 61 ()rang dan dikeluarkan 5 sampel, sehingga tersisa 56 sampel yang menjalani operasi berencana dan anestesia umum. Pasien dibagi secara acak kedalam 2 kelompok; 28 pasien mendapatkan klonidin 1,54g/kgBB sebagai premedikasi dan 28 pasien Iainnya mendapatkan meperidin 0,35mg ketika isofluran dihentikan. Dilakukan pencatatan pasta operasi kejadian menggigil pada kedua perlakuan, dilakukan juga pencatatan terhadap efek samping pada kedua kelompok perlakuan. Analisa statistik untuk melihat perbedaan kekerapan antara kedua perlakuan dilakukan uji Chi Square.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalam haI kekerapan kejadian menggigil.

Objective: To compare the effectiveness of Clonidin and Meperidin in preventing the post-anesthesia shivering.
Methods: Double-blinded, randomized clinical trial. The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital Central Surgery Room from March until May 2006 to 61 adult patients who went to elective surgery and were planned to be under general anesthesia, 5 of them were excluded The rest were divided randomly into two groups; 28 patients were given 1,5 pg/kg BW Clonidin intravenously as premedication and the other 28 patients were given 0,35 mg/kg BW Meperidin intravenously when Isoflurane was stop. The incidence of post-anesthesia shivering and adverse-effect on both groups were recorded. Chi Square method was performed to identify the frequency difference between the two groups.
Result: There were no significant statistical differences' between the two groups in a matter of frequency of shivering.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Yarlitasari
"Tujuan : Mengetahui besarnya kegunaan dan keberhasilan pemasangan LMP yang menggunakan pelincir jeli lidokain 2% dibandingkan dengan yang dibasahi salin 0,9% pada anestesi umum inhalasi dengan N20 : 02 = 70% : 30%. Disain : Uji klinik tersamar ganda. Pasien : 56 pasien yang menjalankan operasi berencana dengan anestesi umum inhalasi dan tidak ada indikasi kontra penggunaan LMP di InstaIasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Oktober sampai dengan Desember tahun 2005, usia 18-60 tahun, ASA 1/1I, berat badan sesuai ukuran LMP no 3 atau 4. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, masing masing 26 pasien, kelompok 1 dilakukan pemasangan LMP dengan pelincir salin 0,9% dan kelompok II dilakukan pemasangan LMP dengan pelincir ieli lidokain 2%. Apabila LMP terinsersi dilakukan OGT. Selama pemasangan LMP tersebut dilakukan pengamatan dan pengukuran tekanan sungkup LMP setiap 30 menit sarnpai operasi selesai. Analisa statistik dilakukan dengan uji t untuk data numerik, uji x kuadrat untuk data nominal dan koreksi yaitu bila nilai ekspektasi kurang dari 5 dengan tingkat signifikan p<0,05.
Hasil : Angka keberhasilan pemasangan LMP dengan menggunakan pelincir lidokain sama dengan menggunakan pelincir salin (92,3 %><84,6 %) p>0,05. Sehingga pada uji statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0,05). Komplikasi "sore throat" yang timbal selama pemasangan LMP dengan pelincir lidokain dan salin pada 5 menit pasca ekstubasi di ruang pulih adalah sama yaitu "sore throat" ringan 3,8 % pada pelincir salin dan 7,7 % "sore throat" sedang pada pelincir lidokain, namun dari uji statistik perbedaan ini tidak signifikan (p>0,05). Begitu juga "sore throat" yang terjadi 24 jam pasca bedah pada pemasangan LMP dengan salin terdapat 3,8 % "sore throat" sedang dan pada lidokain 7,7 % "sore throat" ringan secara uji statistik perbedaan ini tidak signifikan (p>0,05).
Kesimpulan : Secara uji statistik keberhasilan pemasangan sungkup LMP pada kelompok salin dan lidokain tidak berbeda secara signifikan. Begitu pula dengan kekerapan "sore throat" dan derajat "sore throat" antara kelompok salin dan lidokain tidak berbeda secara signifikan.

OBJECTIVE : To compare the successfully of attempt LMP with correlation between lubricant lidocain 2 % or saline 0,9 % and incidence of post operative sore throat after general anesthesia inhalation with N20/02/Enflurance facilitated by LMP with lubricant lidocain 2 % or saline 0,9%.
STUDY DESIGN : Double blind randomized clinical trial. PATIENT : 56 patient, 18 to 60 years old, underwent elective surgery in IBP RSUPN -- CM, ASA I 1 II malampatie score 1, area of surgery not in the head and neck, in supine position with OGT placement. Patients were allocated into two groups. 26 patients in group I with saline lubricant, and 26 patients in group II with lidocaine lubricant. After the operation patients was recorded about successfully attempt of LMP and complaint of sore throat in the recovery room, and 24 hours after anesthesia. Statistics analysis with T-test for continues data, x2 test and Fischer's exact test for categorical data. Spearman correlations test with significant value P <0,05 and confidence interval 95%.
RESULTS : The incidence of successfully attempt LMP with lidocaine equivalent with saline (92,3% >< 84,6%) P >0,05, The incidence of mild sore throat at the recovery room 3,8% with saline and 7,7% moderate sore throat with lidocaine (P >0,05). The incidence of sore throat at 24 hours after surgery were 3,8% moderate sore throat with saline and 7,7% mild sore throat with lidocaine (P > 0,05).
CONCLUSION : The successfully attempt of LMP in the saline group not signifikan compare to lidocain group. Morbidity of sore throat not significant between saline group compare to lidocaine group and intensity of sore throat between saline group not significant compare to lidocaine group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ardiansyah
"Latar Belakang: Insidens postdural puncture headache menggunakan jarum spinal ukuran kecil belum pernah diteliti di RSUPNCM. Saat ini di tempat kami jarum spinal yang tersedia yaitu jarum spinal Quincke ukuran 25G, 26G, dan 27G.
Metode: Penelitian observasional ini dilakukan secara prospektif untuk mencari insidens postdural puncture headache sampai 72 jam pasca-anestesia spinal. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan pasien dan prosedur dihubungkan dengan PDPH dan dilakukan analisis regresi linear terhadap faktor-faktor tersebut.
Hasil: Insidens postdural puncture headache pasca-anestesia spinal sebesar 6,6%. Kelompok usia <50 tahun memiliki kemungkinan 3 kali PDPH dibanding kelompok umur lebih tua. Jarum spinal 25G/26G Quincke memiliki kemungkinan 2 kali risiko MPDPH dibandingkan jarum 27G.
Kesimpulan: Insidens postdural puncture headache setelah anesthesia spinal di RSUPNCM tidak berbeda dengan hasil laporan di tempat lain.

Background : Incidence of postdural puncture headache using small spinal needles was not yet investigated in RSUPNCM. In our centre we use Quincke spinal needle sizes 25G, 26G, and 27G.
Methods : The incidence of postdural puncture headache was prospectively investigated until 72 hours after spinal anesthesia in 440 patients at RSUPNCM. Patient and procedure related factors were recorded and submitted to multiple logistic regression analysis to determine the relationship of these factors to postdural puncture headcahe.
Results: The incidence of postdural puncture headache after spinal anesthesia were 6,6%. The age <50 years old is identified increase three times for PDPH compare to older. Larger needles Quincke (25G/26G) is identified increase twice for PDPH compare to 27G.
Conclusion : The incidence of postdural puncture headache after spinal anesthesia at RSUPNCM is comparable to those reported elsewhere.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Sanjaya
"LATAR BELAKANG: Sedasi dan analgesia yang baik diperlukan dalam prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP). Spektrum terapeutik propofol sebagai agen sedatif pilihan yang sempit bila dikombinasikan dengan opioid seperti fentanyl menyebabkan angka kejadian efek samping akibat sedasi terutama desaturasi oksigen yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek ketamin (0,2 mg/kgBB) dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) sebagai ajuvan propofol dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi, serta mengetahui waktu discharge dan kebutuhan dosis propofol pada ERCP.
METODE: 36 pasien ERCP dengan usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dan status fisik ASA 1-3 dirandomisasi. Satu kelompok (18 pasien) mendapatkan bolus ketamin 0,2 mg/kgBB, kelompok lainnya (18 pasien) mendapatkan bolus fentanyl 1,5 mcg/kgBB. Kedua kelompok selanjutnya menggunakan TCI propofol rumusan Schneider dengan target konsentrasi efek (Ce). Target Ce dimulai dari 2 mcg/ml dinaikkan 1 mcg/ml setiap menitnya (Ce maksimal 4 mcg/ml) hingga tercapai nilai IOC 45-60 yang dipertahankan selama prosedur berlangsung. Dilakukan pencatatan ada tidaknya kejadian desaturasi oksigen dan hipotensi, serta kebutuhan dosis propofol selama prosedur dan waktu discharge.
HASIL: Angka kejadian desaturasi oksigen pada kelompok ketamin-TCI propofol (11,1%) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok fentanyl-TCI propofol (55,6%) dan secara statistik bermakna (p<0,05). Sementara tidak ditemukan perbedaan bermakna pada angka kejadian hipotensi, kebutuhan dosis propofol dan waktu discharge antara kedua kelompok perlakuan.
SIMPULAN: Ketamin (0,2 mg/kgBB) lebih efektif dibandingkan dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi terutama desaturasi oksigen pada prosedur ERCP.

BACKGROUND: Appropriate sedation and analgesia are needed in Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) procedures. The narrow therapeutic spectrum of propofol as a sedative agent if combined with opioid such as fentanyl causes quite high intrasedation events especially oxygen desaturation. This study aims to compare the effect of ketamine (0,2 mg/kgBW) and fentanyl (1,5 mcg/kgBW) as an adjuvant of propofol in reducing intrasedation adverse events, also to measure discharge time and propofol dosage requirement in ERCP procedures.
METHODS: 36 patients undergoing ERCP aged 18-65 years old, BMI 18-30 kg/m2 and ASA physical status 1-3 were randomized. First group (18 patients) received ketamine bolus (0,2 mg/kgBW), second group (18 patients) received fentanyl bolus (1,5 mcg/kgBW). Propofol TCI was then initiated in both groups with Schneider pharmacokinetic model and targeted effect concentration (Ce). The initial effect concentration was 2 mcg/ml increased by 1 mcg/ml every minute (Ce maximum 4 mcg/ml) until IOC value between 45-60 which would be maintained during the procedure. Any oxygen desaturation and hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time were recorded.
RESULTS: Oxygen desaturation event in ketamine-propofol TCI group (11.1%) was lower than fentanyl-propofol TCI group (55.6%) and this was statistically significant (p<0.05). While there were no significant differences in hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time in both groups.
CONCLUSION: Ketamine (0,2 mg/kgBW) was more effective than fentanyl (1,5 mcg/kgBW) in reducing intrasedation adverse events especially oxygen desaturation in ERCP procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yulie Cynthia
"Latar Belakang : Penilaian kepuasan pasien terhadap pelayanan perioperatif anestesia cukup kompleks dengan menggunakan kuesioner yang melibatkan berbagai aspek kepuasan pasien, antara lain pemberian informasi, ketidaknyamanan dan ketakutan serta interaksi staf dan pasien. Kuesioner tersebut harus dilakukan validasi terlebih dahulu agar dapat diterapkan pada pasien di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Tujuan penelitian ini adalah Mendapatkan tingkat kepuasan pasien dan mengetahui hubungan antara tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan perioperatif anestesia di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode : Sebanyak 120 pasien pascaoperasi elektif ikutserta dalam penelitian dengan rancang potong lintang di RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan kuesioner kepuasan, di mana 30 pasien dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Penilaian kepuasan pasien dari perhitungan skor kepuasan dalam kuesioner.
Hasil : Kuesioner kepuasan yang digunakan memiliki validitas yang baik dengan nilai Cronbach alpha 0,923 dan koefisien korelasi 0,808-0,844 untuk item informasi, Cronbach alpha 0,335 untuk item ketidaknyamanan, Cronbach alpha 0,786 item ketakutan serta Cronbach alpha 1,000 item interaksi staf dan pasien. Kepuasan pasien terhadap pemberian informasi berhubungan bermakna dengan jenis pembiusan (p<0,05).
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan perioperatif anestesia terkait pemberian informasi, juga terkait dengan interaksi staf dan pasien.

Background : Measuring patient satisfaction on perioperative anesthesia care is complex, using questionnaires which consists on the aspects of patient satisfaction, such as giving information, discomfort, fear and staff-patient satisfaction. The aim of this study is getting to know the level of patient satisfaction and the correlation between the level of patient satisfaction with perioperative anesthetic care in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: A total of 120 elective postoperative patients participated in the study with a cross-sectional design in Cipto Mangunkusumo Hospital using a satisfaction questionnaire, in which 30 patients were tested on the validity and reliability. Assessment of patient satisfaction were done by calculating the satisfaction score in questionnaires.
Results: The satisfaction questionnaire used has good validity with Cronbach's alpha values of correlation coefficients 0.923 and 0.808 to 0.844 for the information items, Cronbach's alpha 0.335 for the discomfort items, Cronbach's alpha 0.786 for fear items and Cronbach's alpha 1,000 for staff and patient interaction items. Patient satisfaction on information was related to the type of anesthesia (p <0.05).
Conclusions : The patients satisfaction with the perioperative anesthetic care were related with the administration of information and the interaction of staff and patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pudjiningsih
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) mempunyai kekerapan sebesar 1% kelahiran per tahun. Dua atau tiga dari proporsi ini diperkirakan memerlukan kateterisasi jantung atau pembedahan jantung, yang memerlukan pembiusan. Kecemasan pra-anestesia dapat menimbulkan masalah saat induksi anestesia dan memberikan dampak negatif pascapembedahan. Hal ini dapat disebabkan frekuensi perawatan dan tindakan invasif anak dengan PJB yang berulang dan memanjang. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek premedikasi midazolam dan kehadiran ibu selama induksi anestesia terhadap tingkat kecemasan pra-anestesia anak dengan PJB.
Metode: Uji klinis acak pada anak dengan PJB berusia 2-5 tahun yang akan menjalani tindakan invasif jantung di PJT RSCM pada bulan April sampai September 2014. Anak dibagi menjadi kelompok premedikasi midazolam (P) dan kelompok pendampingan ibu (I) menurut randomisasi blok. Tiap-tiap kelompok dinilai status mental dengan MINI KID dan tingkat kecemasan dengan MYPAS oleh dua observer yang telah dilatih sebelumnya. Tingkat kecemasan dinilai saat awal, masuk ruang tindakan dan saat induksi anestesia. Kedua kelompok diinduksi dengan anestetika inhalasi sevofluran.
Hasil: Dari 45 subjek penelitian, 23 subjek di kelompok P dan 22 subjek di kelompok I. Tidak didapatkan perbedaan bermakna skor MYPAS di antara kedua kelompok pada saat awal, masuk ruang tindakan dan saat induksi anestesia (p >0,05) dan termasuk dalam kategori tidak cemas (median skor MYPAS 23,4). Didapatkan skor MYPAS yang meningkat dengan skor tertinggi saat induksi anestesia pada kedua kelompok, akan tetapi secara keseluruhan tetap dalam kategori tidak cemas (median 23,4). Uji kesesuaian antara kedua observer MYPAS, baik tingkat kecemasan awal, saat masuk ruang tindakan maupun saat induksi anestesia didapatkan baik (≡>0,5).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna skor kecemasan MYPAS antara premedikasi midazolam dan kehadiran ibu selama induksi anestesia.

Background: Congenital heart disease (CHD) has a prevalance rate at about 1% birth per year. 2 or 3 of this children are estimated to require cardiac catheterization and surgery, that need an anesthesia procedure. Repetitive frequencies and prolonged days of treatment and invasive procedure in children with CHD can cause preoperative anxiety. Pre-anesthetic anxiety can cause problems at induction of anesthesia and give negative postoperative effects. The aims of this study were to compare pre-anesthetic anxiety level in children with CHD between midazolam premedication and maternal presence during induction of anesthesia.
Methods: This is a randomized controlled trial in 2-5 years children with CHD who underwent cardiac invasive procedure at PJT RSCM from April until September 2014. Patients were divided into P group (received midazolam premedication) and I group (with maternal presence) based on block randomization. In each group, mental status was assessed using Mini-International Neuropsychiatric Interview-Kid (MINI KID) and the anxiety score was using Modified Yale Pre-anxiety Scale (MYPAS) by 2 trained observer. The anxiety levels were assessed at baseline, on the time patient entered the procedure room and during induction of anesthesia. Both group received sevoflurane as agent.
Result: A total of 45 subjects enrolled in this study, with 23 subjects in P group and 22 subjects in I group. There were no significant difference of MYPAS scores between the two groups in baseline measurement time, on the time patients entered the procedure room and during induction of anesthesia (p>0.05). The MYPAS score throughout the procedure was categorized "non-anxious" (median score 23.4). The MYPAS score reached the highest score at induction of anesthesia, but the overall score remained non-anxious (median score 23.4). Inter-rater agreement test between 2 observers was good (κ >0.5).
Conclusion: There was no significant difference between the effect of maternal presence during induction of anesthesia and midazolam premedication on pre-anesthetic anxiety level in children with CHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>