Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djaja Surya Atmadja, translator
Abstrak :
Dalam penentuan identitas mayat, kerangka atau potongan mayat tidak dikenal perlu dilakukan pengumpulan berbagai data untuk mempersempit kemungkinan tersangka korban. Salah satu data yang ingin dicari adalah tinggi badan. Tinggi badan dapat diperoleh berdasarkan penghitungan dengan rumus regresi yang menghubungkan tinggi badan dengan panjang berbagai tulang panjang. Telah dilakukan pengukuran tinggi badan serta pengukuran panjang tibia dan fibula perkutan pada manusia Indonesia hidup yang terdiri dari 248 pria dan 150 wanita berumur 17 - 30 tahun. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa pria Indonesia memiliki tinggi badan rata-rata 165,68 cm ± 6,06 cm, panjang tibia rata-rata 37,18 cm ± 2,17 cm dan panjang fibula 37,16 ± 2,21 cm. Faktor multiplikasi tibia dan fibula terhadap tinggi badan sama yaitu 4,47. Sedang indeks atau ratio T/TB dan ratio F/TB sama yaitu 22,37. Pada wanita Indonesia didapatkan tinggi badan rata-rata 153,72 cm ± 6,24 cm, panjang tibia 34,76 cm ± 2,07 cm dan panjang fibula 34,34 cm ± 1,88 cm. Faktor multiplikasi terhadap tinggi badan tibia adalah 4,43 dan pada fibula 4,48. Ratio T/TB 22,57 dan ratio F/TB 22,32. Rumusan persamaan regresi pada populasi orang Indonesia yang didapatkan adalah sbb.: a. Untuk Pria TB= 82,7996 + 0,8110 T + 1,4191 F  SE= 3,7294 TB= 86,8921 + 2,1195 T  SE= 3,9499 TB= 86,0628 + 2,1427 F  SE= 3,7954

b. Untuk Wanita TB= 76,4840 + 0,2428 T + 2,0034 F  SE= 4,6463 TB= 91,6705 + 1,7849 T  SE= 5,0552 TB= 77,1995 + 2,2283 F  SE= 4,6384 Pengujian ketepatan rumus dalam penerapan pada data 30 pria dan 30 wanita Indonesia menunjukkan bahwa keenam rumus ini menghasilkan penyimpangan kurang dari 1%, lebih kecil dari pada jika digunakan rumus untuk ras Mongoloid lainnya ataupun dengan menggunakan faktor multiplikasi.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Budiningsih
Abstrak :
ABSTRAK Dalam penentuan identitas mayat tak dikenal, baik yang utuh, sudah busuk lanjut atau berupa kerangka perlu dilakukan pengumpulan berbagai data untuk mempersempit kemungkinan tersangka korban. Salah satu data yang ingin dicari adalah umur. Umur dapat diperkirakan berdasarkan penghitungan dengan rumus multipel regresi yang menghubungkan umur dengan komponen-komponen permukaan kostokondral tulang iga sesual metode Iscan dkk. Telah dilakukan pemeriksaan ke tiga komponen permukaan kostokondral iga yang diambil dari 73 mayat pria dan 18 mayat wanita yang diotopsi di bagian Kedokteran Forensik FKUI dan berumur minimal 17 tahun. Dalam penelitian ini akhirnya hanya kelompok pria saja yang dianalisa lebih lanjut dan berhasil dibuatkan rumusan untuk perkiraan umur secara multipel regresi. Rumusan persamaan regresi pria yang didapatkan adalah sbb: Umur = -1,0184 K1 + 3,5269 K2 + 6,9134 K3 + 7,4793 SE = 5,7726 r = 0,8766 dimana Kn adalah stadium hasil pemeriksaan permukaan kostokondral komponen n. Penyimpangan umur hasil penghitungan dengan rumus dibandingkan umur sebenarnya bervariasi antara 0,4 % sampal 47,5 % dengan rata-rata sebesar 1,15 %.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Purwadianto
Abstrak :
Otopsi terhadap korban mati sebagai bagian utama dari pemeriksaan forensik di Jakarta masih sering ditolak oleh keluarga korban, walaupun pihak penyidik telah memintanya. Keluarga korban yang merupakan pemberi keputusan penolakan ini berciri-ciri sebagian besar pria, berusia antara 30 - 49 tahun, adalah saudara bukan sekandung dari korban, berpendidikan tamat SMTP atau SMTA , bersuku Jawa, Sunda atau keturunan Cina dan bekerja sebagai karyawan swasta. Ciri-ciri korban mati yang ditolak otopsinya pada umumnya adalah pelajar atau mahasiswa, berusia 10 - 29 tahun, merupakan golongan menengah ke bawah dengan kasus mati akibat kecelakaan lalu lintas.

Alasan penolakan otopsi forensik ini sebagian besar adalah faktor emosi berupa rasa sedih/kasihan (97,22%) dan pasrah terhadap keadaan (80,56%) serta faktor belum berpengalaman (merasa asing) karena baru pertama kali mengurus pencabutan Visum et Repertum (88,89%), pertama kali salah satu anggota keluarganya mati dengan permintaan harus diotopsi (83,33%) dan belum pernah melihat jenazah pasca otopsi (84,72%). Sedangkan faktor agama/kepercayaan dan adat serta faktor ketidaktahuan kegunaan otopsi forensik dan aspek medikolegal kasus keluarganya bukan merupakan alasan yang menonjol dari penolakan otopsi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Guntur Bumi, Author
Abstrak :
ABSTRAK
Penentuan golongan daran ABU dari tulang manusia telah dilakukan pada mayat di Bagian Kedmkteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta dan Bagian Hedokteran Forenaik Fakultas Kedokteran Universitaa Sumatera Utara di Medan. Mayat-mayat ini herasal dari kasus-kasus kecelakaan yang diminta oleh penyidik untuk di autapsi.

Penentuan gnlungan darah AED dilakukan denQan metoda absnrpsi elusi yang menggunakan bahah dari Biofarma Bandung serum anti A dan serum anti E' dengan titer 1 : 125, sedangkan anti H beraaal dari biji ulex europaeua dengan titer 1 : 32.

Hasil penelitian pada 30 kasus menunjukkan banwa golongan darah dari tulang masih dapat ditentukan dalam jangka waktu EO minggu setelan kematian. Perubahan intenitas reaksi aglutinasi dari (+++) menjadi (++) untuk anti A mulai terlinat setelah 4 minggu dan telah lengkap pada seluruh tulang setelah 10 minggu. Sedangkan untuk anti B dan anti H, perubahan intensitas reaksi tersebut mulai terlinat setelah 4 minggu' dan menjadi lengkap pada seluruh tulana setelah B minggu.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Poernomo
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap BO kasus kekerasan tumpul di kepala dengan hasil - hasil sebagai berikut . 92,5 % kasus merupakan korban kecelakaan lalu lintas dengan benturan paling banyak ditemukan di daerah temporal kanan dan kiri masing - masing frekwensinya 27,5 7. dan 12,5 7.

Daerah basis yang sering mengalami fraktur adalah di daerah fossa media sebanyak 84,50 % dan ditemukan hanya 34 kasus (42,5 %) fraktur basis yang merupakan kelanjutan dari fraktur di daerah atas tengkorak. Pola garis fraktur yang paling sering ditemukan adalah pola garis fraktur sesisi 58,75 % dan melintang 17,5 7. Benturan pada daerah temporal dan parietal relatif banyak menimbul kan pola fraktur melintang khususnya mengenai kedua os petrosus.

Hanya 26 kasus (49,14 %) fraktur basis yang menunjukkan adanya tanda rhinorhea, otorrhea atau hematom kaca mata.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library