Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Made Wahyuni
"Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat.
Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin.
Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinal Effendi
"Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya.
Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor.
Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati.

Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score.
Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform.
Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Herbinta
"Latar Belakang: Manajemen jalan nafas alternatif dengan menggunakan Laryngeal Mask (LM) yang dilakukan perawat sebagai penolong pertama yang melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada situasi henti jantung didalam rumah sakit sebelum tim resusitasi datang. Penelitian ini meneliti perawat dengan pengalaman minimal melakukan manajemen jalan nafas akan lebih mudah melakukan pemasangan Laryngeal Mask Supreme pada manekin dibandingkan dengan pemasangan Laryngeal Mask Unique.
Metode: Sebanyak 86 perawat dengan pengalaman manajemen jalan nafas minimal ikutserta sebagai subyek penelitian. Materi tentang anatomi jalan nafas, teknik, demonstrasi dan latihan pemasangan LM Supreme dan LM Unique pada manekin diberikan sampai subyek penelitian mampu memasang alat tersebut. Data penelitian diambil setelah pemberian materi selesai. Kemudahan pemasangan ditentukan jika memenuhi semua kriteria dari variabel keberhasilan pemasangan, jumlah upaya pemasangan < 2 kali dan lama waktu pemasangan < 30 detik.
Hasil: Pemasangan LM Supreme yang mudah didapatkan sebesar 82 (52,6%) dan LM Unique 74 (47,4%). Pemasangan LM Supreme yang tidak mudah didapatkan sebesar 4 (25,0%) dan LM Unique 12 (75,0%). Uji statistik dengan uji Chi Square didapatkan perbedaan bermakna dalam hal kemudahan pemasangan (p<0,05).
Kesimpulan: Pemasangan LM Supreme yang dilakukan oleh perawat pada manekin lebih mudah dibandingkan dengan pemasangan LM Unique.

Background: Alternative airway management using the Laryngeal Mask by nurses who performed the first cardiac pulmonary resuscitation (CPR) on the situation in hospital cardiac arrest before resuscitation teams arrived. This study examined nurses with minimal experience doing airway management will be easier to perform the insertion of the Laryngeal Mask Supreme on manikins compared with Laryngeal Mask Unique insertion.
Methods: Eighty six nurses with minimum experience of airway management were participate in the study. The material on airway anatomy, technique of insertion, demonstration and practice insertion of Supreme Laryngeal Mask and Unique Laryngeal Mask on the manikins is given until subjects were able to insert the tool. The data were taken after the administration of the material is complete. Ease of installation is determined if it meets all the criteria of the variable success of the insertion, the number of attempts <2 times and installation time <30 sec.
Results: Insertion of the Supreme Laryngeal Mask easily obtained for 82 (52.6%) and Unique Laryngeal Mask 74 (47.4%). Insertion Supreme Laryngeal Mask that is not easy to come by 4 (25.0%) and LM Unique 12 (75.0%). Statistical test Chi Square test found a significant difference in terms of ease of insertion (p <0.05).
Conclusion: Insertion of the Laryngeal Mask Supreme performed by nurses on a manikins easier than the insertion of the Laryngeal Mask Unique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Verrel Wibisono Surjatin
"Latar Belakang Kateterisasi jantung adalah prosedur diagnostik atau terapeutik yang penting bagi pasien penyakit jantung bawaan (PJB). Meskipun prosedur ini efektif, prosedur ini mempunyai risiko komplikasi dengan minimnya informasi yang dipublikasikan dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah di Asia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian komplikasi mayor saat kateterisasi jantung pada pasien PJB di pusat rujukan nasional di Indonesia. Metode Data cross-sectional pasien anak PJB yang menjalani kateterisasi jantung dengan anestesi umum pada bulan Januari 2020 hingga Februari 2022 di Pelayanan Jantung Terpadu, rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dikumpulkan melalui rekam medis. Data yang dikumpulkan meliputi demografi pasien, jenis PJB, laporan prosedur, dan komplikasi. Kami meninjau dan menjelaskan data kateterisasi jantung anak untuk PJB selama periode 14 bulan. Hasil Tercatat sebanyak 179 prosedur kateterisasi jantung, dengan total 13 komplikasi yang terjadi pada 9 (5,0%) kasus. Dari jumlah tersebut, 7 merupakan komplikasi mayor, yang terjadi pada 5 (2,79%) prosedur. Komplikasi mayor meliputi bradikardia, desaturasi dan hipotensi yang menyebabkan upaya resusitasi atau pemindahan ke unit perawatan intensif jantung (CICU), serta aritmia, dan hipoksemia berat. Komplikasi minor terjadi pada 4 tindakan (2,23%). Komplikasi mayor lebih sering terjadi pada penyakit jantung bawaan yang kompleks dan memiliki median usia dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan prosedur tanpa komplikasi. Kesimpulan Insiden prosedur dengan komplikasi mayor selama kateterisasi jantung untuk PJB dengan anestesi umum dalam penelitian ini adalah 2,79%, hal ini konsisten dengan studi lain. Komplikasi mayor masih dapat terjadi dalam prosedur diagnostik, hal ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penempatan staf, persiapan, dan pemantauan peri-prosedural, terutama pada pasien berisiko tinggi dan penyakit jantung bawaan kompleks.

Introduction Cardiac catheterisation is an essential diagnostic and therapeutic tool in patients with congenital heart disease (CHD). While it is effective, the procedure carries a risk of complications, with little information published from low-middle income countries in Asia. This study aimed to investigate the incidence of major complications during cardiac catheterisation in patients with CHD at a national referral centre in Indonesia. Method Cross sectional data for paediatric patients with CHD who underwent cardiac catheterisation under general anaesthesia from January 2020 to February 2022 at Pelayanan Jantung Terpadu, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, were collected via medical records. Data on patient demographics, types of CHD, procedural details, and complications were collected. We review and describe the data on paediatric cardiac catheterisations for CHD over a period of 14 months. Results A total of 179 cardiac catheterisation procedures were recorded, with a total of 13 complications which occurred in 9 (5.0%) cases. Of these, 7 were major complications, which occurred in 5 (2.79%) procedures. Major complications included bradycardia, desaturation and hypotension leading to resuscitation efforts or transfer to cardiac intensive care unit, as well as arrhythmias, and severe hypoxemia. Minor complications occurred in 4 procedures (2.23%). Major complications occurred more often in complex congenital heart disease cases and had a lower median age and weight relative to procedures without complications. Conclusion The incidence of procedures with major complications during cardiac catheterisation for CHD under general anaesthesia in this study was 2.79%, which is consistent with other studies. Major complications can still occur in diagnostic procedures, highlighting the importance of careful staffing, preparation and peri-procedural monitoring, especially in higher risk patients and complex congenital heart disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fikry Firdaus
"Latar Belakang: Kecemasan praoperatif mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembiusan dan pembedahan. Saat ini belum ada instrumen spesifik untuk mengukur kecemasan praoperasi pada populasi Indonesia. Instrumen APAIS merupakan instrumen yang telah digunakan luas di dunia untuk mengukur kecemasan praoperatif. Penerjemahan, validasi dan reliabilitas instrumen APAIS pada populasi Indonesia merupakan tujuan penelitian ini.
Metode: Penerjemahan APAIS dilakukan dengan penerjemahan maju dan mundur. Sebanyak 102 pasien yang akan menjalani operasi elektif mengisi instrumen APAIS versi Indonesia satu hari sebelumnya. Validitas konstruksi dinilai dengan metode analisis faktor. Reliabilitas dinilai dengan konsistensi internal Cronbach’s Alpha.
Hasil: Sebanyak 102 pasien (42 laki-laki dan 60 perempuan) menjadi subjek penelitian penelitian ini. Analisis faktor dengan rotasi oblique menghasilkan dua skala yaitu skala kecemasan dan kebutuhan informasi. Hasil reliabilitas Cronbach’s Alpha skala kecemasan dan kebutuhan informasi APAIS versi Indonesia cukup tinggi yaitu 0,825 dan 0,863. Pasien dengan kebutuhan informasi tinggi menunjukkan kecemasan praoperatif yang lebih tinggi. Skala APAIS tidak berhubungan dengan jenis kelamin, riwayat operasi, jenis operasi atau jenis anestesi.
Simpulan: APAIS versi Indonesia sahih (valid) dan handal (reliable) untuk mengukur kecemasan praoperatif pada populasi Indonesia. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas cut off point kecemasan pada populasi Indonesia.

Background: Preoperative anxiety has a significant effect on anesthesia and surgery. Currently there is no specific instrument for measuring preoperative anxiety in Indonesian population. APAIS have been used worldwidely to measure preoperative anxiety. Translation, validation and reliability of instrument APAIS in Indonesian population is the purpose of this study.
Methods: The translation was done in forward and backward translation. Total sample 102 patient undergoing elective surgery answered the Indonesian APAIS one day before operation. Construct validity was determined by factor analysis with oblique rotation. The internal consistency was evaluated by Cronbach’s alpha.
Results: A total 102 patient (42 men and 60 women) enrolled in this study. The two scales anxiety and need for information could be replicated by factor analysis. High reliability Cronbach’s alpha anxiety and need for information scale Indonesian APAIS respectively 0,825 and 0,863. Patient with high information needs showed higher preoperative anxiety. The APAIS scale are independent of sex, previous surgery, type of operation or type of anesthesia.
Conclusion: Indonesian APAIS proved to be reliable and valid instrument to measure preoperative anxiety in Indonesian population. Further research is needed to determine the sensitivity and specificity of Indonesian APAIS to get cut off point anxiety of Indonesian population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prediksi kedalaman rongga epidural pada pediatrik untuk
menghindari komplikasi tertusuknya dura. Rumus Bosenberg 1 mm/kgbb
merupakan rumus yang sering digunakan untuk menentukan jarak kulit ke rongga
epidural (loss of resistance) pada pasien pediatrik pada ras Kaukasia. Terdapat
perbedaan anatomi antara ras Asia dan Kaukasia, sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah rumus Bosenberg 1 mm/kgbb tepat digunakan untuk
menentukan jarak kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu dan
faktor apa saja yang berhubungan untuk menentukan kedalaman rongga epidural.
Metode : Penelitian ini adalah uji Bland Altman dan analisis regresi dengan
pengambilan data dari rekam medis pasien pediatrik ras Melayu yang menjalani
tindakan anestesia epidural pada bulan Januari 2011-Juli 2015 di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Sebanyak 67 subjek yang menjalani tindakan anestesia epidural.
Data yang diolah berupa usia, berat badan, tinggi badan dan loss of resistance
(LOR). Dengan menggunakan SPSS 22, dilakukan uji Bland Altman terhadap
LOR aktual dan LOR yang didapat berdasarkan rumus Bosenberg. Analisis
regresi linear digunakan pada variabel usia, berat badan dan tinggi badan untuk
menentukan hubungan antara ketiga variabel ini terhadap LOR.
Hasil : Empat belas subjek dikeluarkan dalam penelitian karena data tidak
lengkap dan terdapat kriteria ekslusi pada subjek. Tersisa 53 subjek yang masuk
dalam penelitian ini. Uji Bland Altman menghasilkan rentang nilai limit of
agreement -4,41 sampai 3,15. Nilai ini mempunyai rentang yang cukup lebar dari
nilai limit of agreement yang diharapkan (-1,25 dan 1,25). Pada analisis bivariat
diperoleh korelasi sangat kuat terhadap usia (r= 0,809), berat badan (r=0,966), dan
tinggi badan (r=0,906). Analisis regresi linear menghasilkan tiga persamaan dari
tiap-tiap variabel dengan nilai R
2
tertinggi adalah berat badan (92,7%) diikuti
tinggi badan (75,9%) dan usia (57%).
Simpulan: Rumus 1 mm/kgbb tidak tepat digunakan untuk menentukan jarak
kulit ke rongga epidural pada pasien pediatrik ras Melayu di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Terdapat hubungan antara usia, berat badan, dan tinggi badan terhadap jarak kulit ke rongga epidural.

ABSTRACT
Background : Skin-epidural distance prediction on pediatric patient undergoing
procedure is necessary to prevent complication. Bosenberg prediction formula of
1 mm/kg of body weight is widely used in Caucasian pediatric patient. However,
there is anatomical variation between Caucasian and Asian which created question
on the accuracy of Bosenberg prediction formula if used on Malayan pediatric
population and factors related to skin-epidural distance in these population.
Methods : This study use cross-sectional design in which the data from medical
record was used to collect information about age, weight, height and skin-epidural
distance from pediatric (loss of resistance) patient undergoing epidural procedure.
SPSS 22 was used to perform statistical calculation on this set of data. Accuracy
of Bosenberg formula was analysed using Bland-Altman test in which the skinepidural
distance measured using loss of resistance (LOR) compared with
prediction from Bosenberg formula. Linear regression analysis was used to
identify predictor variable for skin-epidural distance.
Result : 67 subject was recruited for the study in which 14 was not included in
analysis because the exclusion criteria. Bland-altman test reveal limit of
agreement between -4,41 and 3.15 which is significantly larger than the expected
limit of agreement (-1,25 to 1.25). There is strong corelation between age, weight
and height to skin-epidural distance. The regression model derived from weight
variable have the strongest power to predict skin-epidural distance (R
value for
weight, height and age based model is 92.7%, 75.9% and 57% respectively.
Conclusion : The Bosenberg prediction formula of 1 mm/kg of body weight is not
accurate to predict skin-epidural distance in Malayan pediatric population. There
is relationship between age, height, and weight to skin-epidural distance in Malayan pediatric patient. "
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Penggunaan propofol semakin populer untuk sedasi selama tindakan endoskopi saluran cerna. Selain dengan bolus berkala, akhir-akhir ini telah tersedia pemberian propofol teknik target-controlled infusion (TCI). Teknik tersebut mungkin lebih menguntungkan karena dosisnya lebih efisien, efek samping yang lebih rendah dan waktu pulih yang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keluaran antara pemberian propofol teknik bolus berkala dengan TCI pada tindakan endoskopi saluran cerna. Keluaran yang diteliti adalah dosis total propofol, konsumsi permenit, biaya total, efek samping dan waktu pulih.
METODE: Lima puluh pasien (bolus, n=25, TCI, n=25), ASA I-III, usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dirandomisasi untuk mendapatkan sedasi dengan pemberian propofol bolus berkala (IB) atau target-controlled infusion (TCI) setelah dipremedikasi fentanil 1 µg/kgBB. Pasien kelompok bolus mendapatkan dosis propofol awal 1mg/kgBB dan tambahan 0.3 mg/kgBB hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pasien kelompok TCI menggunakan aplikasi rumusan Scnider dan mendapatkan dosis konsentrasi effect-site (Ce) 3 µg/ml yang kemudian dinaikkan atau diturunkan 0.5 µg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pemantauan dilakukan pada tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dosis propofol, kedalaman sedasi dan waktu pulih.
HASIL: Durasi tindakan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.718). Dosis total propofol, konsumsi permenit dan biaya total lebih besar pada kelompok TCI (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Pada kedua kelompok hipotensi, desaturasi dan waktu pulih tidak berbeda bermakna (p=0.248, p=0.609, p=0,33).
SIMPULAN: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propofol teknik bolus berkala lebih efisien pada dosis total, konsumsi permenit dan biaya total dibandingkan TCI. Angka kejadian hipotensi dan desaturasi serta waktu pulih sebanding pada kedua kelompok.

Propofol has become increasingly popular for sedation during gastrointestinal endoscopic procedure. Beside intermittent bolus, recently targetcontrolled infusion (TCI ) technic has become available for administration of propofol. It has been suggested that these device may offer advantages by efficient doses, lower side effect and faster recovery time. This study aims to compare the outcome of propofol administration technic via intermittent bolus and TCI in gastrointestinal endoscopic procedures. The outcomes investigated were propofol total dose and minute consumption, total cost, side effect and recovery time.
METHODS: Fifty patients (bolus, n= 25, TCI, n=25), ASA physical status I-III, aged 18- 65 years, BMI 18-30 kg/m2 were randomly assigned to receive intermittent bolus administration (IB) or target-controlled infusion (TCI) of propofol sedation after premedication 1 µg/kgBB of fentanyl. Patients in the bolus grup received an initial propofol dose 1 mg/kgBB and additional 0.3 mg/kgBB until IOC value 45-60 is reached. Patients in the TCI group received initial concentration effect-site (Ce) 3 µg/ml using Schnider pharmacokinetic model, and then either increased or decreased 0.5 µg/ml until IOC value 45-60 is reached. Vital signs, oxygen saturation, propofol dose, sedation deepth and the recovery time were evaluated.
RESULTS: Procedure duration time between two groups were not significantly different (p=0.718). Propofol total dose and minute consumption and total cost are higher in TCI group (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Hypotension, desaturation and recovery time were not significantly different (p=0.248, p=0.609, p=0,33) in both groups.
CONCLUSION: Our result suggest that IB technic was more efficient for total dose, minute consumption and total cost than TCI. Hypotension, desaturation and recovery time profiles were comparable between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambey, Barry Immanuel
"ABSTRAK
Latar belakang : Pemasangan kateter vena sentral (CVC) merupakan suatu
tindakan yang cukup rutin dilakukan dalam lingkungan perawatan intensif
maupun peri-operatif. Diperlukan suatu metode atau rumus sederhana dan akurat
untuk memperkirakan kedalaman kateter CVC yang tepat.
Tujuan : Mengevaluasi posisi dan kedalaman kateter vena sentral dengan
menggunakan rumus Peres ([tinggi badan/10]-2) dan pengukuran topografi
anatomi, serta menilai insiden malposisi pada pemasangan CVC.
Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional analitik. Lima puluh
pasien yang menjalani pemasangan kateter vena sentral (CVC) dengan pendekatan
vena subklavia kanan dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Rumus Peres
([tinggi badan/10]-2) dan kelompok Pengukuran Topografi Anatomi. Hasil
perhitungan prediksi dipakai untuk menentukan batas fiksasi kulit. Kedalaman
CVC dievaluasi dengan mengukur jarak antara ujung distal kateter CVC dengan
karina pada radiografi dada. Hasil pengukuran tersebut dianalisis dengan uji
statistik Bland Altman.
Hasil : Karakteristik pada kedua kelompok adalah sama. Dari uji statistik
didapatkan pada kelompok Rumus Peres rerata jarak antara karina dengan ujung
distal kateter CVC adalah sebesar 1,5 cm dibawah karina (IC 95% 1,2 sampai 1,9
cm) limit agreement 0,0 sampai 3,0 cm, sedangkan rerata jarak pada kelompok
pengukuran topografi anatomi sebesar 0,85 cm (IC 95% 0,5 sampai 1,1 cm) limit
of agreement -0,5 sampai 2,2 cm. Pada penelitian ini insiden malposisi ditemukan
sama pada kedua kelompok (masing-masing 3 insiden).
Simpulan : Rumus Peres dan Pengukuran Topografi Anatomi tidak tepat dalam
memprediksi kedalaman kateter CVC pada orang Indonesia.
Kata kunci. Kateter vena sentral (CVC), subklavia kanan, metode prediksi,
rumus Peres, topografi anatomi.

ABSTRACT
Background: The central venous catheter (CVC) insertion is a routine in either
intensive care or perioperatively circumstances. Simple and accuracy method or
rule are needed to predict the optimum depth of Aim : Evaluating the position and depth of central venous catheters by using the
formula Peres ([height / 10] -2) and Landmark measurement, as well as assessing
the incidence of malposition of the installation of CVC
Method: This research is an analytic observational study. Fifty patients
undergoing central venous catheter (CVC) with the right subclavian vein
approach is divided into two groups: Formula Peres ([height / 10] -2) and
Anatomy Topography Measurement group. The results of the calculations used to
determine the boundary prediction skin fixation. CVC depth was evaluated by
measuring the distance between the distal end of the catheter CVC with karina on
chest radiographs. The measurement results were analyzed by statistical tests
Bland Altman.
Result: The patients characteristic are equal in both groups. In Peres Group we
found that the mean of the distal CVC is 1,5 (0,82) cm under carina (IC 95% 1,2
to 1,9 cm), with the limit of agreement 0,0 cm to 3,0 cm, and the means of
landmark groups is 0,85 (0,73) cm (IC 95% 0,5 to 1,1 cm) with limit of agreement -
0.5 cm to 2,2 cm. The incidence of malposition was found similar in both groups.
Conclusion: The result shows that both prediction methods are not accurate to
predict the depth of CVC insertion in Indonesian people.
Keywords: Central venous catheter (CVC), right subclavian, prediction methods,
Pere?s formula, landmarks."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Irtani Cahyadi
"Latar belakang: Aritmia jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada operasi jantung. Stroke merupakan komplikasi penting dari fibrilasi atrial pascaoperasi (FAPO). Lama rawat di rumah sakit bertambah dengan adanya FAPO. Terapi medikamentosa yang sudah ada untuk penanganan FAPO belum memuaskan hasilnya. Neuromodulasi saraf vagus menggunakan Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS) berpotensi untuk mengurangi FAPO dan inflamasi pascaoperasi jantung sehingga layak untuk diteliti.
Metodologi: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien dewasa yang menjalani operasi jantung pintas koroner dan katup elektif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang pada bulan April-Juli 2023. Sebanyak 66 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi dua kelompok secara tersamar. Kelompok pertama mendapat perlakuan TVNS dan kelompok kedua sham TVNS. Perekaman dan pengamatan EKG kontinyu selama 3 hari pasca operasi dan kadar IL-6 diukur 24 jam praoperasi dan 72 jam pascaoperasi. Uji statistik menggunakan Chi Square dan Mann Whitney.
Hasil penelitian: Pada luaran primer, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna durasi per episode FAPO (p=0,069) dan peningkatan kadar IL-6 pascaoperasi (p=0,64) pada kelompok TVNS dan sham TVNS. Demikian juga pada luaran sekunder, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada durasi awal tanpa terapi standar fibrilasi atrial (p=0,64), kebutuhan vasopressor inotropik (p = 0,517 dan 0,619) dan beban fibrilasi atrial (p=0,07).
Kesimpulan: TVNS tidak memberikan perbedaan bermakna pada durasi per episode FAPO dan derajat inflamasi pascaoperasi bedah jantung dewasa.

Background: Postoperative arrhythmia is a frequent complication in cardiac surgery. Stroke is an important complication of postoperative atrial fibrillation (POAF). The length of hospital stay increases with POAF. Existing medical therapy for POAF has not shown satisfactory results. Vagus nerve neuromodulation using Transcutaneous Vagus Nerve Stimulation (TVNS) has a potential effect to reduce FAPO and inflammation after cardiac surgery, so it is beneficial to study.
Methodology: This study was a single-blind randomized control trial conducted on adult patients undergoing elective coronary bypass graft and heart valve surgery at Dr. Kariadi General Hospital in April-July 2023. A total of 66 subjects who met the inclusion criteria were randomly divided into two groups in a blinded manner. The first group received TVNS treatment and the second group received sham TVNS. Continuous ECG recording and reading for 3 days after surgery and IL-6 levels were measured 24 hours preoperatively and 72 hours postoperatively. Statistical analysis using Chi-Square and Mann-Whitney test.
Results: In the primary outcome, there was no significant difference in duration per episode of POAF (p=0.069) and the increase of postoperative IL-6 levels (p=0.64) in the TVNS and sham TVNS groups. Similarly in secondary outcomes, there were no significant differences in the initial duration without standard therapy of atrial fibrillation (p=0.64), the need for inotropic vasopressors (p = 0,517 and 0,619), and the burden of atrial fibrillation (p=0.07).
Conclusion: No significant difference in the duration per episode of FAPO and the degree of inflammation after adult cardiac surgery with TVNS treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanita Zahrah
"Latar belakang. Emergence Delirium (ED) merupakan stadium dari disosiasi kesadaran pasca pembiusan dengan gejala khas berupa gelisah,mengamuk,tidak dapat dibujuk dan inkoherensi. Angka kejadian ED pada anak yang menjalani pembiusan umum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 39,7%. Saat pulih stimulus auditorik menyebabkan sinaps talamus di Lateral amigdala sehingga menimbulkan respons takut berlebihan yang merupakan salah satu faktor terjadinya ED. Kebisingan di kamar operasi yang tinggi dapat dikurangi dengan penggunaan ear plug.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan September-Desember 2018. Sebanyak 107 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok earplug (n=53) dilakukan pemasangan ear plug di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak dilakukan pemasangan ear plug. Kejadian ED, waktu ekstubasi dicatat. ED dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan analisa multivariate regresi logistik dan analisa ANCOVA.
Hasil. Kejadian ED pada kelompok ear plug sebesar 16,7% sedangkan kontrol 32,1% (OR = 0,402; IK 95% 0,152-1,062; p=0,066). Rerata waktu ekstubasi kelompok ear plug vs kontrol (5,76+3,23 menit) vs (6,54+ 3,67 menit) selisih rerata 0,825(0,530-2,180); p=0,230.
Simpulan. Pemberian ear plug di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian ED pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence Delirium (ED) is classified as a transient postoperative disassociation state with characteristic such as agitation, irritable, umcompromising, uncooperatative, inconsolably crying. The incidence of ED in pediatric patients who underwent general anesthesia in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 39,7%. During emergence state, auditoric stimulation induce Thalamic synaps in Lateral amigdala which leads to over respons of fearness (one of the risk factor of ED). A high noise level in operating room can be reduced with ear plug application to the patient.
Method. A double blind randomized clinical trial towards 1-5 years old pediatrics patients who underwent inhalation general anesthesia in RSCM from September-December 2018. One hundred and seven subjects were randomized after a consecutive sampling into two groups. Earplug group (n=53) with application of ear plug at the end of surgery, while in control group (n=54) without application of ear plug. The incidence of ED and time to extubation were recorded. ED was measured using Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). All the data was analyzed using multivariate logistic regression and ANCOVA.
Result. Incidence of ED in ear plug group was 16.7% while in control group was 32.1% (OR = 0.402; CI 95% 0.152-1.062; p=0.066). Mean value of time to extubation in ear plug vs control group (5.76+3.23 minutes) vs (6.54+ 3.67 minutes) with mean difference of 0.825(0.530-2.180); p=0.230.
Conclusion. Ear plug application at the end of anesthesia was not statistically effective. However, it was clinically effective in reducing the incidence of ED in pediatric patient underwent inhalation anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>