Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustinus Sujatmiko
"Latar Belakang : Tinju merupakan olahraga yang paling sering menimbulkan cedera kranioserebral . Pada pukulan langsung di kepala akan terjadi proses akselerasi - deselerasi tinier dan rotatoar yang akan diakhiri dengan cedera serviko kranioserebral akut. Penelitian terbaru pada petinju menyatakan bahwa cedera kranioserebral kronis dihubungkan dengan adanya faktor genetik ( APO E 4) yang mungkin dicurigai menaikkan resiko cedera kranioserebral kronis pada petinju. . Tujuan : Dari penelitian ini dapat diketahui hubungan antara paparan bertinju ( lama bertinju, jumlah pertandingan,kelas bertinju, riwayat KOffKO dan usia) dengan gangguan neurologik yang terjadi dengan menggunakan skor CBI, dan hubungan antara skor CBI dengan APO E 4, yang dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya evaluasi dan monitoring kesehatan para petinju dan pencegahan terjadinya gangguan lebih tanjut. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang bersifat analitik. Didapatkan 59 petinju profesional yang aktif , dibawah naungan Board Supervisory-and Control For /ndone.'iian Profesional Sport (BPP-OPI) dan Komisi Tinju Indonesia yang mengikuti penelitian ini. Pada petinju dilakukan tiga tes, masing-masing · untuk mengetahui : gangguan fungsi motorik dengan penilaian skor motorik pada pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan motorik dari Skala Terpadu Penyakit Parkinson (Unified Parkinson's Disease Rating Scale ) ,gangguan fungsi kognitif dengan menggunakan MMSE, gangguan perilaku dengan menggunakan skor keparahan NPI . Selanjutnya, semua hasil dijumlah dan ini merupakan skor Chronic Brain Injury ( CB[). Skor CBJ antara 0-9, dengan klasilikasi : normal bila total skor =0 , gangguan ringan ( total skor CBl I atau 2 ). gangguan sedang ( total skor CBl nilai 3 atau 4 ). gangguan berat (total skor CB~ lebih dari 4). Dilakukan juga pemeriksaan APO E4 . Kadar normal APO E dalam darah adalah 4,0 ± 0,9 mgldl . Bila kadar APO E kurang dari 3,1 mgldl , maka dalam tubuh orang tersebut terdapat APO E4 • sedangkan kadar APO E darah diatas 4,9 mg/d, menunjukkannya adanya APO E2. Hasil : Petinju dengan kadar APO E <3,1 mgldl berpeluang untuk terjadinya cedera kranioserebral kronis 32,38 kati (95 C.I :3,01-297,00) dibandingkan dengan petinju dengan kadar APO E t ,3 mg/dl atau lebih. Petinju yang bertanding sebanyak 12 kali atau lebih berpeluang untuk terjadinya cedera kranioserebral kronis 29,932 kali (95% C. I : 3,56-294,00) dibandingkan dengan petinju yang bertanding kurang dari I 2 kali. Kadar APO E merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan cedera kranioserebral kronis."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2003
T58383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony
"Tesis ini membahas hubungan hasil pemeriksaan tujuh Functional Movement Screen (FMS) dengan kejadian cedera ekstremitas bawah pada Atlet Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar Provinsi DKI. Pemeriksaan FMS dilakukan satu kali diawal pemeriksaan atlet. Setelah itu, peneliti melakukan pencatatan cedera ekstremitas bawah atlet yang terjadi dalam waktu tiga bulan dari awal pemeriksaan atlet. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain cross-sectional. Hasil penelitian mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara hasil tujuh pemeriksaan FMS dengan kejadian cedera ekstremitas bawah. Hasil ini diduga oleh penggunaan cut off yang lebih tinggi dan tidak dilakukan penilaian asimetri gerakan saat pemeriksaan FMS. Riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih memegang peranan penting dalam menentukan risiko cedera ekstremitas bawah/ Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu dilakukan modifikasi penilaian FMS yang lebih baik untuk menilai risiko cedera ekstremitas bawah.

This study focus on association between the result of seven examination of Functional Movement Screen (FMS) with incidence of lower extremity injuries on young athlete on Atlet Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar Provinsi DKI. The examination of FMS was being carried once on the first examination of athlete. Next, the researcher recorded incidence of lower extremity injuries for the next three months after examination of FMS. This research is observational analitic study with cross sectional design. This study found that there was not statistically significant association between the result of seven examination of FMS with incidence of lower extremity injuries. This result was caused by usage of cut off point too high and didn’t evaluate asymmetry movement when screening FMS. History of injuries in the last 6 months and time exposure of training had significant association with lower extremity injuries. This study conclude that it is necessary to do modification in evaluation of FMS to determine risk of lower extremity injuries."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Mohammad Shofwan
"

Spesialisasi cabang olahraga didefinisikan sebagai latihan yang intensif sepanjang tahun dan banyak dilakukan pada anak dan remaja. Latihan intensif dengan jumlah jam latihan yang tinggi akan meningkatkan risiko cedera. Salah satu cedera di lutut pada atlet remaja adalah Tibial Tubercle Apophysitis (TTA). Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 168 atlet remaja berusia 10-15 tahun (rata-rata usia 14,5 ± 1,10) yang melakukan spesialisasi pada 18 cabang olahraga di Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) di Jakarta. Akan dicatat usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), lama berlatih di PPOP, jumlah jam latihan/minggu yang melibatkan sendi lutut dan pemeriksaan kebugaran (fleksibilitas otot kuadrisep, hamstring, dan kekuatan otot tungkai) untuk kemudian dianalis dengan kejadian TTA. Didapatkan 22 dari 168 subjek dengan TTA pada 11 dari 18 cabang olahraga dengan Prevalensi 13,1%. Terdapat hubungan jumlah jam latihan per minggu dan TTA dengan nilai median 20 jam. Selain itu  juga terdapat hubungan fleksibilitas yang kurang dengan TTA. Tidak didapatkan hubungan antara usia, jenis kelamin, IMT, lama berlatih, dan kekuatan otot tungkai dengan TTA. Selama program latihan, jumlah jam latihan/minggu lebih dari 20 jam dan adanya fleksibilitas kuadrisep yang kurang perlu dipantau serta dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya TTA pada atlet remaja yang melakukan spesialisasi cabang olahraga.

 

 


Sports specialization is defined as intense and year-round training in children and adolescents and widely adopted as a process to form elite athletes. Intense training with a high number of weekly training hours can increased risk of injury. One of the injuries in adolescent athlete is Tibial Tubercle Apophysitis (TTA). A cross-sectional study was conducted in 168 adolescent athletes specializing in sports with age ranged between 10 and 15 years (mean 14,5 ± 1,10). from 18 sports in Student Sports Training Center (PPOP) in Jakarta. Age, sex, Body Mass Index (BMI), period of training in PPOP, weekly training hours involving the knee joint, flexibility (quadriceps & hamstring) and leg muscle strength are recorded for later analysis. From 168 subjects, 22 were found with TTA in 11 sports with a prevalence of 13.1%. There is association between weekly training hours and TTA with a median value of 20 hours. There is also association of poor quadriceps muscle flexibility with TTA. There was no association between age, sex, BMI, period of training, and leg muscle strength with TTA. More than 20 hours of weekly training and poor quadriceps flexibility during periodization needs to be monitored and evaluated for the possibility of TTA occurrence in adolescent athletes who specialize in single sports.

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library