Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Maharddhika Pambudy
"Latar Belakang: Uveitis anterior akut terkait HLA B27 adalah inflamasi kronik rekuren traktus uvea terutama pada bilik mata depan. Mekanisme yang mendasarinya melibatkan autoimunitas dan autoinflamasi. Antigen sering kali diduga sebagai pencetus uveitis akan tetapi mekanisme yang mendasarinya masih belum jelas. Seorang pasien dengan uveitis akut pasca injeksi Botulinum Toxin memberikan kita kesempatan untuk mempelajari peran stimulus antigen dalam mencetuskan uveitis.
Tujuan: Secara sistematik mengkaji respon imunologi dari individu dengan HLA-B27 yang
distimulasi berbagai antigen untuk menegakkan peran jaras respon imun innate dan adaptif
dalam mencetuskan uveitis, dan menegakkan peranan BoNT/A dalam jaras tersebut.
Metode: Ini merupakan systematic review, yang mengkaji bukti-bukti keterlibatan antigen,
termasuk BoNT/A dalam mencetuskan spektrum penyakit HLA B27. Kami mencari bukti dari
empat database yaitu Pubmed, Ebscohost, Sciencedirect, dan Google Scholar. Kami juga
mengkaji respon imunologi terhadap BoNT/A , sekuens asam amoinonya dan homologi dengan
protein manusia.
Hasil: Sembilan penelitian diikutkan dalam systematic review ini. Lima penelitian
menitikberatkan peran jaras autoinflamasi yang melibatkan pembentukan homodimer B27 dan
interaksinya dengan TH-17. Empat penelitian menitik beratkan jaras autoimunitas yang
melibatkan molecular mimicry dan aktivasi dari sel-T CD8+ autoreaktif. Seluruh bukti
mengarahkan peran sentral dari sel dendritic sebagai antigen presenting cells. Lima penelitian menjabarkan respon imun terhadap BoNT/A. BoNT/A mampu mengaktivasi sistem imun
adaptif dan innate. Menggunakan program BLAST dari NCBI, kami menemukan homology BoNT/A dengan cytokeratin 8
Kesimpulan: Dua jaras terlibat dalam mencetuskan uveitis terkait HLA B27. Jaras pertama melalui kemampuan antigen sebagai antigen uveitogenik. Mekanisme kedua melalui formasi homodimer. BoNT/A dapat menginduksi uveitis pada individu dengan HLA B27 melalui
pembentukan homodimer dan aktivasi CD8+ self-reaktif karena homologi BoNT/A dengan sitokeratin 8 yang diekspresikan di jaringan uvea manusia.

Background: HLA B27 related acute anterior uveitis is a chronic recurrent inflammation of uvea mainly in anterior chamber. The underlying mechanism seems to involves autoimmunity and autoinflammatory. Antigen has been proposed as a trigger, but its precise role is unclear. A patient presenting to us with uveitis after Botox injection provides us opportunity the role of antigenic stimuli in triggering uveitis.
Aim: Systematically review the immunology response, from HLA-B27 individual that is
stimulated with various antigen to explain the innate and adaptive immune response triggering
uveitis, and possibility of botulinum neurotoxin A (BoNT/A) involvement in this pathway.
Methods: We systematically searched evidence for the involvement of antigen, including
BoNT/A in triggering HLA-B27 associated disease. We searched four data base including
Pubmed, Ebscohost, Sciencedirect, and Google Scholar. We also review the immunologic
response to BoNT/A, its amino acid sequence, and homology with human protein
Results: Nine studies reviewed which include the role of antigen in triggering uveitis. Four
studies favour autoinflammatory pathway which involves B27 homodimer formation and its
interaction with TH-17. Four studies favour autoimmunity pathway which involves molecular
mimicry and activation of self reactive CD8+ T-Cells. All of which centralize the role of
dendritic cells as antigen presenting cells. Five studies describe immune response to BoNT/A. BoNT/A capable of activating innate and immune system. Using BLAST program from NCBI,
we found BoNT/A homology with cytokeratine 8.
Conclusion: Two possible pathway on how antigen might trigger HLA B27 AAU. The first is
through uveitogenic capacity of the antigen. The second mechanism is through homodimer
formation. BoNT/A might induce uveitis in HLA B27 individual through induction of
homodimer and activation of self-reactive CD8+ T-Cells due to shared homology with
cytokeratine 8 that is extensively expressed in human uvea
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia Anggraini
"Latar belakang: Perubahan okular pasien oftalmopati Graves (OG) tidak pernah mengalami remisi sempurna pasca tatalaksana berdampak negatif pada psikososial pasien. Kuesioner Graves Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) versi Bahasa Indonesia belum tervalidasi sehingga belum bisa mengevaluasi kualitas hidup pasien yang menjadi indikator dalam tatalaksana pasien OG.
Tujuan: Menyajikan kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dan mengetahui hubungan kualitas hidup pasien dengan aktivitas klinis dan derajat keparahan OG.
Metode: Proses validasi melalui adaptasi transkultural dengan desain potong lintang. Validitas dinilai dengan content validity index (CVI) dan reliabilitas dinilai dengan Cronbach's alpha.
Hasil: Kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia memiliki content validity index (CVI) mencapai 1,00. Nilai Cronbach’s alpha  subskala fungsi penglihatan 0,971; subskala tampilan 0,993; total 0,986. Kualitas hidup pasien OG di subskala tampilan dan keseluruhan  memiliki hubungan bermakna dengan clinical activity score (p<0,05) dan derajat keparahan (p<0,001).
Kesimpulan: GO-QoL versi Bahasa Indonesia validitas dan reliabilitas sangat baik. Aktivitas klinis OG yang aktif dan semakin tinggi derajat keparahan memperburuk kualitas hidup pasien pada subskala tampilan dan keseluruhan.

Background: Graves' ophthalmopathy (GO) ocular abnormalities persisted even after treatment, negatively impacting the patient's psychological and social health. The Indonesian Graves' Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) Questionnaire has not been validated, hence it cannot measure patient quality of life, which is crucial to GO treatment.
Objective: Providing a reliable Indonesian GO-QoL questionnaire and identifying an association between patient quality of life and clinical activity and severity of GO.
Method: The process of questionnaire validation involves transcultural adaptation and cross-sectional design. The content validity index (CVI) and Cronbach's alpha assessed validity and reliability, respectively.
Result: Content validity index (CVI) was 1.00 for the Indonesian GO-QoL questionnaire. Cronbach's alpha visual function subscale value was 0.971, while the appearance subscale value was 0.993, and the total score was 0.986. The appearance subscale and total score of OG patients' quality of life had a significant association with the clinical activity score (p<0.05) and disease severity (p<0.001).
Conclusion: The Indonesian version of GO-QoL has good validity and reliability. Both the active clinical activity of OG and the severity of the disease decreased the patient's appearance and general quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Joshua Partogi Ferdinand
"Tujuan: Membandingkan efek sitikolin pada hewan coba model traumatic optic neuropathy(TON) ditinjau dari gambaran histopatologi dan ekspresi imunohistokimia.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental terhadap 4 kelompok hewan coba. Sebanyak 12 mata dari 12 hewan coba kelinci jenis New Zealand White menjalani optic nerve crush injury(ONC) untuk menciptakan model TON. Tindakan ONC dilakukan dengan menggunakan Hartmann Mosquito Clamp. Evaluasi histopatologi berupa pemeriksaan densitas sel ganglion retina dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi bcl-2 serta caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina pada setiap kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai normal. Perbandingan berdasarkan periode waktu, baik periode 3 hari dan 7 hari, menunjukkan perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan periode yang sama pada subjek tanpa terapi (p<0.001). Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan peningkatan ekspresi bcl-2 secara signifikan pada hari-3 (p=0.012) dan hari-7 (p=0.046).Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan penurunan ekspresi caspase-3 secara signifikan pada hari-3 (p=0.046) namun tidak pada hari ke-7 (p=0.072).
Kesimpulan: Pemberian sitikolin mampu menurunkan tingkat kematian sel ganglion retina dibandingkan tanpa terapi pada TON dan didukung dengan peningkatan ekspresi bcl-2 sebagai anti-apoptosis yang bermakna serta penurunan dari ekspresi caspase-3 sebagai pro-apoptosis.

Aims: Comparing citicoline effect in animal model of traumatic optic neuropathy (TON) in histopathology and immunohistochemical evaluation.
Methods: This is an experimental research for 4 groups of animal model. Twelve eyes from 12 New Zealand White rabbits underwent optic nerve crush injury (ONC) to create TON. The ONC was done using the Hartmann Mosquito clamp. Histopathological evaluation of retinal ganglion cell density by hematoxylin-eosin staining and immunohistochemical examination with bcl-2 and caspase-3 antibodies.
Results: Retinal ganglion cell density in each group showed a significant difference when compared with normal values. For comparisons based on the time period, 3 days and 7 days, both showed a significant difference when compared to the non-citicoline subjects in same period (p <0.001). Immunohistochemical examination in citicoline group, when compared to the non-citicoline group, showed a significant increase in bcl-2 expression on day-3 (p = 0.012) and day-7 (p = 0.046). Immunohistochemical examination in the citicoline group, when compared with the non-citicoline group, showed a significant decrease in caspase-3 expression on day-3 (p = 0.046) but not on day-7 (p = 0.072).
Conclusions: Citicoline is able to reduce the rate of retinal ganglion cell death and supported by a significant increase in the expression of bcl-2 as anti-apoptosis and a decrease in caspase-3 expression as pro-apoptosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Bintang Prakoso
"Tuberkulosis masih menjadi masalah di dunia terutama di Indonesia sebagai negara ke-3 terbesar penyumbang penderita tuberkulosis baru. Etambutol merupakan salah satu jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis di Indonesia. Etambutol memiliki efek samping gangguan fungsi mata yaitu neuropati etambutol. Diagnosis neuropati etambutol sulit ditegakkan karena sebagian besar anatomi fundus yang normal dan sering terdiagnosis terlambat sehingga kerusakan permanen dapat terjadi. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan toksisitas etambutol, diperlukan upaya mendeteksi kelainan ini sedini mungkin. Pemeriksaan pERG dan mfERG dilaporkan pada beberapa studi bermanfaat dalam mengkonfirmasi kasus toksisitas etambutol okular setelah terdapat gangguan secara klinis. Belum diketahui diantara pemeriksaan pERG dan mfERG yang dapat menunjukkan perubahan terlebih dahulu untuk mendeteksi toksisitas etambutol sebelum terjadi gangguan klinis.
Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif pada 40 sampel mata dianalisis dengan uji T berpasangan dan Wilxocon. Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pattern ERG dan multifokal ERG pada pasien yang terdiagnosis tuberkulosis kategori 1 selama 2 bulan pertama. Visus, sensitifitas warna dan kontras tidak berubah pada seluruh pasien selama follow-up 2 bulan. Terdapat penurunan waktu implisit P50 sebesar -1,27± 4,71 mS (p=0,049) dan amplitudo gelombang N95 sebesar -0,93± 4,49 μV (p=0,038) yang bermakna secara statistik pada pemeriksaan pERG. Tidak terdapat perubahan bermakna pada gelombang N1 dan P1 pada pemeriksaan mfERG. Pemeriksaan gelombang pERG lebih dahulu mengalami perubahan dibandingkan mfERG.

Tuberculosis (TB) are world health problem, especially in Indonesia as 3rd biggest leading for the new emerge patient TB. Ethambutol is included one of the standard therapy that still used to treat TB patient in Indonesia. Ethambutol have side effect that related with eye disease called neuropathy ethambutol. Neuropathy ethambutol is hardly to diagnose due to most cases have normal fundus anatomy and therefore frequently delayed to detect, permanent damage could happen in this situation. As we know that damage could happen from ethambutol toxicity, it necessary to detect this disease as soon as possible. Examination pattern electroretinography (pERG) and multifocal electroretinography (mfERG) is reported has an advantage to detect and to confirm ocular toxicity by ethambutol after the clinical problem had emerge. It is not yet known neither pERG nor mfERG could detect any changes to detect ethambutol ocular toxicity before the clinical problem emerge.
This study use prospective clinical trial to 40 eye sample and analyzed with paired t and wilcoxon test. The examination use Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pERG and mfERG in tuberculosis category 1 patient with 2 months follow-up. Visual acuity, sensitivity in color and contrast are normal to whole patient for 2 months follow-up. In pERG examination we found mean implicit time wave P50 are shorten by -1,27± 4,71 mS (p=0,049) and mean of amplitude wave N95 are reduced by -0,93± 4,49 μV (p=0,038) and both are statistically significant. In mfERG examination we did not find any statistically significant changes in both wave N1 and P1. Pattern ERG had earlier changes compare to mfERG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Anggarani Idham
"ABSTRAK
Edema makula diabetik (EMD) merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada pasien diabetes. Saat ini terapi utama pada pasien edema makula diabetik adalah injeksi intravitreal anti VEGF. Pada beberapa keadaan, hal ini menjadi kendala karena 50% pasien yang menjalani rangkaian injeksi intravitreal anti VEGF memiliki edema makula yang refrakter. Vitrektomi pars plana dan internal limiting membran (ILM) peeling diharapkan dapat menjadi alternatif terapi pada EMD refrakter. Penelitian ini bertujuan menilai hasil terapi tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien non proliferative diabetic retiopathy (NPDR) dengan EMD refrakter. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan NPDR dan EMD refrakter menjalani tindakan vitrektomi dan ILM peeling. Nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan diukur sebelum, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan sesudah tindakan. Komplikasi pasca tindakan juga dinilai pada setiap kunjungan yang direncanakan. Rentang usia 62,5 (39-72) tahun, lama menderita diabetes 10 (3-18) tahun, kadar HbA1C 6,4 (5,5 -10,8)%. Nilai CMT sebelum, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan sesudah tindakan adalah [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). Tajam penglihatan terbaik adalah [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). Terdapat komplikasi pasca tindakan pada pengamatan bulan kedua meliputi retinal detachment dan macular hole. Pada penelitian ini, tindakan vitrektomi dan ILM peeling pada pasien NPDR dengan EMD refrakter memberikan perubahan CMT yang bermakna. Tidak terdapat perubahan yang bermakna secara statistik pada nilai tajam penglihatan namun mayoritas subjek menunjukkan stabilitas tajam penglihatan.

ABSTRACT
Diabetic macular edema (DME) is one of the leading causes of blindness in diabetic patients. The main therapy of DME, up until now is intravitreal injection of anti-vascular endothelial growth factor (VEGF). In certain situation, medical dilemma appeared as in such circumstances 50% patients that underwent series of intravitreal injection of anti VEGF experienced the refractory DME. Pars plana vitrectomy and internal limiting membrane (ILM) peeling is expected to be an alternative treatment in refractory DME. The aim of this study was to assess the result of vitrectomy and ILM peeling in patients with non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with refractory DME. This study was a clinical trial with single arm intervention. The patients with NPDR with DME underwent vitrectomy and ILM peeling surgery. The assessment of the central macular thickness (CMT) and the visual acuity was conducted before the treatment and 1 month, 2 months and 3 months after. The complication after the treatment was assessed in each scheduled visit. The average age was 62.5 years old with range of 39-72 years old, the history duration of diabetes mellitus was 10 years (3-18) years, level of HbA1C was 6.4 (5.5-10.8)%. The CMT before treatment, 1 month, 2 months and 3 months after treatment were [492,0 (303-895) : 277,5 (97-809) : 264 (147-608) : 264,0 (142-660) µm] (p=<0,001). The best corrected visual acuity was [1,02 (0,60-1,30) : 1,04 (0,60-1,70) : 1,06 (0,52-2,00) : 1,04 (0,52-2,00) LogMAR] (p=0,635). The recorded complication after the treatment was retinal detachment and macular hole. These complications were found on the 2nd month. This study concluded that there was a significant CMT changes in patients with NPDR and refractory DME who underwent vitrectomy and ILM peeling. There was no statistically significant changes in the visual acuity yet majority of the subjects showed a stable visual acuity after the treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58740
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elyas Aditya Pradana
"

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian antara dacryoscintigraphy dibandingkan dacryocystography sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat (PANDO). Penelitian ini merupakan suatu studi diagnostik pada pasien tersangka PANDO dengan epiphora yang datang ke poliklinik Plastik dan Rekonstruksi RSCM Kirana. Pasien tersebut selanjutnya dikirim ke Departemen Radiologi untuk pemeriksaan dacryoscintigraphy dan dacryocystography. Selanjutnya dengan observasi dan kuesioner dinilai efek samping dan kenyamanan terhadap kedua pemeriksaan.

 

Penelitian ini merekrut 31 subjek (62 mata). Melalui tes irigasi dan sondase didapatkan 47 mata tersangka PANDO. Sebanyak 87.1% subjek berjenis kelamin perempuan, dengan kelompok umur terbanyak (74.2%) yaitu >40 tahun. Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sakus yaitu 0 menit, duktus (5 menit), dan kavum nasi (12.5 menit). Nilai kesesuaian antara kedua pemeriksaan dalam menentukan ada atau tidaknya obstruksi sebesar 83.8% (strong agreement), sedangkan dalam menentukan letak obstruksi sebesar 70.9% (agreement).

 

Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy tidak ditemukan adanya efek samping, sedangkan pada dacryocystography, terdapat 2 pasien yang menunjukan hiperemis konjungtiva. Terdapat 22 subjek mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryocystography, sedangkan tidak ada subjek yang mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryoscintigraphy (p<0.005). Sebanyak 16 subjek menyatakan dacryoscintigraphy lebih nyaman, 11 subjek menyatakan dacryocystography lebih nyaman, sedangkan 4 subjek menyatakan kedua pemeriksaan sama nyamannya. Dacryoscintigraphy memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan dacryocystography dalam menentukan ada atau tidak obstruksi dan menentukan letak obstruksi pada pasien PANDO. Kedua pemeriksaan tersebut mempunyai tingkat kenyamanan yang sama, namun pemeriksaan dacryocystography dirasakan lebih nyeri sewaktu atau durante tindakan dibandingkan dengan dacryoscintigraphy.


This study aims to assess conformity of dacryoscintigraphy compared to dacryocystography as supporting assessment in patient with primary acquired nasolacrimal duct obstruction (PANDO). This diagnostic study performed in PANDO with epiphora complaint whose visiting RSCM Kirana Plastic and Reconstruction Division. Subsequently, subjects were sent to Radiology Department for dacryoscintigraphy and dacryocystography examinations. After the examination, observation and questionnaire assessed the side effects and comfort of both examinations.

This study recruited 31 subjects (62 eyes). Through irrigation and probing, there were 47 eyes found with PANDO. As much as 87.1% subjects were female, with mostly (74.2%) aged >40 years old. With dacryoscintigraph, time needed to reach sac was 0 minutes, duct was 5 minutes, and nasal cavum was 12.5 minutes. Conformity value between the two examinations in detecting obstruction was 83.8%, meanwhile in detecting the location of obstruction was 70.9%.

With dacryoscintigraph, there were no side effects found. Meanwhile with dacryocystograph, there were 2 patients found with conjunctival hyperemia. There were 22 subjects complaining with pain at dacryocystograph examination, while there were none at dacryoscintigraph examination (p<0.005). Sixteen subjects feel dacryoscintigraph examination was more convenient, eleven subjects feel dacryocystohraph examination was more convenient, while 4 subjects feel the two examinations just as convenient.

Dacryoscintigraph has good conformity value with dacryocystograph examination in detecting obstruction and defining the location in PANDO patients. Both examinations have high convenience level, even though dacryocystograph was more painful at the examination than dacryoscintigraph.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Ranovian
"Latar Belakang: Saat ini, injeksi intravitreal anti-VEGF merupakan tatalaksana medikamentosa lini pertama pada DME. Namun monoterapi bevacizumab dinilai kurang efektif dalam mengobati DME derajat sedang-berat, sehingga meningkatkan jumlah re-injeksi. Selain VEGF, mediator inflamasi juga berperan penting dalam pathogenesis DME. Sehingga diperlukan terapi adjuvant pada kasus dengan respon suboptimal.
Tujuan: Mengetahui perbedaan perubahan sensitivitas retina, ketebalan makula sentral (CMT) dan BCVA sesudah dilakukan injeksi intravitreal Bevacizumab dengan kombinasi Triamsinolon Asetonid (TA)  dibandingkan dengan monoterapi Bevacizumab pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang-berat.
Metodologi: Pada studi eksperimental lengan ganda dengan randomisasi blok ini didapatkan sejumlah 28 subjek dengan CMT > 400 mm dibagi menjadi dua kelompok. Subjek pada kelompok intervensi diberikan injeksi kombinasi Bevacizumab 1,25 mg dan TA 2 mg intravitreal, sedangkan subjek kelompok kontrol hanya diberikan injeksi Bevacizumab 1,25 mg. Evaluasi BCVA dan CMT dilakukan pada 1 minggu dan 1 bulan pasca injeksi, evaluasi sensitivitas retina pada 1 bulan pasca injeks, serta peningkatan TIO dan efek samping.
Hasil: Pasca 1 bulan injeksi didapatkan penurunan CMT yang lebih besar yang bermakna pada kelompok intervensi (-269,1 (170-413) mm vs -133,6 (50-218) mm, p< 0,001), begitu juga dengan peningkatan sensitivitas retina yang lebih baik pada kelompok intervensi (2,4 (0,02-7,1) dB vs 1,3 (0,16-3,5) dB, p = 0,035). Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada luaran BCVA logMAR antar kedua kelompok (0.2 (0-0.5) vs 0.15 (0-0.5)).
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan TA ini terbukti efektif dan cost-effective sebagai dalam menurunkan edema makula segera dan memperbaiki sensitivitas retina pada pasien DME derajat sedang-berat dan DME persisten.

Backgrounds: Intravitreal bevacizumab (IVB) monotherapy is less effective in treating moderate-to-severe diabetic macular edema (DME), potentially increasing the number of injections and the risk of permanent vision loss. In addition to VEGF, inflammatory mediators also play an important role in the pathogenesis of DME. Therefore, there is a need for additional treatment options for DME cases with suboptimal response to anti-VEGF therapy.
Objectives: To compare the efficacy and safety of the combination of IVB and triamcinolone acetonide (TA) with IVB monotherapy in treating moderate to severe DME.
Methods: In this double-arm randomized controlled trial study, a total of 28 DME patients with central macular thickness (CMT) >400 mm were assigned into two groups according to the therapeutic method: 1,25 mg of  bevacizumab combined with 2 mg of  TA as the intervention group and 1,25 mg of IVB as the control group. BCVA and CMT were observed at 1 week and 1 month follow-up, retinal sensitivity was observed at 1 month follow-up, as well as increased IOP and other side effects.
Results: CMT reduction after 1 month were higher in the intervention group with statistically significant different (-269,1 mm vs -133,6 mm, p< 0,001) as well as retinal sensitivity improvement also better in the intervention group (2,4 dB vs 1,3 dB, p = 0,035). But there was no statistically different in BCVA changes after 1 month follow-up (0,2 vs 0,15, p= 0,874) between the groups, even though 35,7% of the intervention group has gained more than 10 BCVA letters. No significant increase in IOP were observed at the end of the follow-up.
Conclusions: It is effective and cost-effective to treat moderate-to-severe or persistent DME by utilizing TA as an adjunct to anti-VEGF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Agnestasia Djunaedi
"Pembuatan kapsuloreksis secara kontinu dan kurviliniar menjadi salah satu langkah penting pada operasi bedah katarak yang dapat membantu menghasilkan luaran tajam penglihatan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas Farra Eye Model sebagai model mata artifisial baru, dibandingkan dengan Kitaro pada pelatihan kapsuloreksis. Penelitian merupakan studi pilot acak terkontrol yang melibatkan 28 residen mata program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang belum melalui stase kornea, katarak, dan bedah refraktif (KBR) serta belum pernah menjalani pelatihan kapsuloreksis sebelumnya. Subjek dibagi kedalam dua grup dan menjalani pelatihan kapsuloreksis selama tiga hari sesuai dengan randomisasi jenis model mata artifisial. Selanjutnya, subjek diuji dengan melakukan pembuatan kapsuloreksis pada mata kambing. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna nilai ICO:OSCAR Phaco bagian kapsuloreksis, jumlah forcep grab, durasi, dan ukuran kapsuloreksis (p > 0.05) antar kedua grup. Namun, nilai yang lebih baik pada ICO:OSCAR Phaco, jumlah forcep grab, dan durasi kapsuloreksis didapatkan pada kelompok yang berlatih dengan Farra. Oleh karena itu, Farra Eye Model valid dan reliabel untuk digunakan sebagai metode pembelajaran kapsuloreksis.

Continuous curvilinear capsulorrhexis (CCC) is one of the important steps in cataract surgery. A round and central CCC leads to an optimal visual acuity outcome. This study evaluates the validity and reliability of the Farra Eye Model, a new artificial eye model, compared to Kitaro for capsulorhexis practice. A pilot randomized control study involving 28 ophthalmological residents who have not entered cataract division nor practiced anterior capsulotomy. Subjects were divided into two groups based on the artificial eye model and underwent capsulorhexis training for three consecutive days before had an examination in goat’s eye. Results show no significant differences in ICO:OSCAR Phaco, number of forceps grabs, duration, and capsulorhexis size between the two groups (p>0.05). However, a slightly better score of ICO:OSCAR Phaco, number of forceps grabs, and duration is found in subjects trained with the Farra Eye Model. Thus, the Farra Eye Model is valid and reliable for capsulorrhexis training."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Nindhyatriayu Witjaksono
"ABSTRAK
Penelitian ini menilai validitas dan keandalan / reliability dari analisis hitung piksel untuk penilaian vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva dengan pemberian tetes mata fenilefrin 2,5%. Penelitian ini merupakan studi prospektif analitik berpasangan. Sebanyak 15 subjek dengan kriteria strabismus horizontal murni usia 5 - 35 tahun yang membutuhkan operasi koreksi strabismus dilibatkan pada penelitian ini. Pengambilan data dilakukan melalui foto konjungtiva yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan aplikasi FIJI. Foto dirubah menjadi bentuk binari menggunakan plugin semi-otomatis vessel analysis pada aplikasi FIJI. Modifikasi foto menjadi bentuk binari dapat membuat pembuluh darah dinilai berdasarkan hitung piksel. Pada penelitian ini, analisis hitung piksel dapat mendeteksi perubahan jumlah piksel pasca penetesan fenilefrin 2,5% yang bermakna secara statistik, sehingga bisa disimpulkan sebagai alat yang valid untuk menilai vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva. Keandalan dinilai menggunakan Intraclass Correlation Coefficient, namun didapatkan hasil yang bervariasi, namun nilai keandalan masih dapat ditingkatkan. Penelitian ini juga menunjukkan tetes mata fenilefrin 2,5% aman digunakan tanpa menimbulkan efek samping berdasarkan parameter kardiovaskular.

ABSTRACT
This study assessed the validity and reliability of pixel count analysis for evaluating vasoconstriction of conjunctival vessels by administering 2.5% phenylephrine eye drops. This study was a paired analytic prospective study. A total of 15 subjects with horizontal strabismus, aged 5-35 years, whose requiring strabismus correction surgery were included in this study. Data retrieval was done through conjunctival photos which then processed and analysed using the FIJI application. Photos were converted into binary forms using a semi-automatic plugin called vessel analysis in the FIJI application. By transforming blood vessel into binary forms to allow analysis using pixel count. In this study, pixel count analysis can detect changes in the number of pixels after 2.5% phenylephrine administration and were statistically significant, so that it can be concluded that pixel count analysis as a valid tool for assessing conjunctival blood vessel vasoconstriction. The reliability was analysed using Intraclass Correlation Coefficient and the value was obtained varied but can still be improved. This study also found that 2.5% phenylephrine eyedrop is safe with no side effects on cardiovascular parameter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hielda Afpa Koeswara
"Latar Belakang: Pembelajaran jarak jauh anak sekolah selama pandemi COVID-19 menyebabkan penggunaan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Peningkatan pajanan monitor dan aktivitas melihat dekat diduga meningkatkan angka kejadian astenopia.
Tujuan: Mendapatkan angka kejadian astenopia subjektif dan menilai faktor yang mempengaruhinya pada anak SMP dan SMA Negeri di Jakarta di era pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) diadaptasi ke dalam Bahasa melalui tahapan validasi. Skoring CISS 16 sebagai batasan keluhan astenopia yang dialami subjek.
Hasil: Kuesioner CISS versi Bahasa adalah valid dan reliabel dengan nilai p<0,05 dengan koefisien Cronbach’s ±  sebesar 0,910 dan 0,925. Subjek penelitian sebanyak 901 responden. Angka kejadian astenopia sebesar 36%. Analisis multivariat didapatkan pencahayaan ruangan yang kurang terang di luar PJJ (OR=8,25;p=0,001), durasi screen time >2 jam saat PJJ (OR>3,73;p=0,001), penyakit mata lain (OR=3,72;p=0,002), melakukan aktivitas dekat dengan posisi berbaring (OR=2,45;p=0,014), durasi tidur malam <8 jam (OR=2,29;p<0,001), penggunaan kacamata (OR=2,10;p<0,001), aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV (OR=1,67;p=0,004), dan jarak baca <30 cm saat PJJ (OR=1,47;p=0,016) merupakan faktor risiko independent untuk astenopia pada anak sekolah.
Kesimpulan: Kuesioner CISS versi Bahasa merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk mendiagnosis astenopia pada anak sekolah. Angka kejadian astenopia di Jakarta cukup tinggi dengan faktor risiko berupa pencahayaan ruangan kurang terang, durasi daring >2 jam, penyakit mata lain, aktivitas dekat dengan posisi berbaring, durasi tidur malam <8 jam, penggunaan kacamata, aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV, dan jarak baca <30 cm saat PJJ.

Background: Schoolchildren's distance learning during the COVID-19 pandemic has led to digital devices as learning media.
Increased exposure to monitors and near-vision activities is thought to increase asthenopia incidence. Obtain the incidence of
subjective asthenopia and assess the factors that influence Jakarta's junior high and high school students during the COVID-19 pandemic.
Methods: A cross-sectional design study using the Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) questionnaire was adapted
into Indonesian through a validation stage. CISS score 16 as a limitation of asthenopia complaints experienced by the subject.
Result: Indonesian version of the CISS questionnaire is valid and reliable with p-value <0.05 with Cronbach's coefficient of 0.910 and 0.925,
respectively. The research subjects were 901 respondents. The incidence of asthenopia is 36%. Multivariate analysis showed that the room
lighting was not bright when distance learning (OR=8.25; p=0.001), screen time duration >2 hours during distance learning (OR>3.73;p=0.001),
other eye diseases (OR=3 ,72;p=0,002), doing activities close to the lying position (OR=2,45;p=0,014), sleep duration <8 hours
(OR=2,29;p<0,001), wearing glasses (OR=2 ,10;p<0.001), close activity watching movies with digital devices/TV (OR=1.67;p=0.004), and
reading distance <30 cm during distance learning (OR=1.47;p=0.016) were independent risk factors for asthenopia in schoolchildren.
Conclusion: Indonesian version of the CISS questionnaire is a valid and reliable instrument for diagnosing asthenopia in school children.
The incidence of asthenopia in Jakarta is relatively high with risk factors in the form of poor lighting, online duration >2 hours, other eye
diseases, activities close to lying down, sleep duration <8 hours, use of glasses, close activities watching movies with digital devices/ TV,
and reading distance <30 cm during distance learning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library