Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yeni Artanti
"Adaptasi novel ke film atau sebaliknya selalu menimbulkan perubahan sebagai akibat perubahan media dan perubahan interpretasi penulis dan sutradara. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menemukan perubahan unsur-unsur cerita dan penceritaan yang terjadi sebagai akibat adaptasi novel Le Colonel Chabert ke dalam film, (2) dan menemukan dampak yang ditimbulkan perubahan-perubahan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan Strukturalisme, yang memfokuskan pada unsur-unsur intrinsik suatu karya. Unsur-unsur novel dan film yang dianalisis dan dibandingkan dalam penelitian ini adalah alur penyajian kedua, alur sebab-akibat, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, pada keduanya. Sudut pandang dalam penelitian ini hanya dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan sekaligus perbedaan dalam alur penyajian dan alur sebab akibatnya, tokoh dan penokohan serta latar ruang dan waktu pada novel dan film. Cerita pada keduanya pada dasarnya sama tetapi detil-detil yang berlimpah dan pengulangan-pengulangan perang dalam film Le Colonel Chabert rnembuat film lebih tampak realistis dan padat daripada novelnya. Demikian juga pada ketidakterpusatan penokohan dalam film memberikan kesan bahwa film terasa lebih menyajikan suatu peristiwa yang bisa menimpa semua manusia. Pemadatan latar ruang dan waktu selain karena kebutuhan sinematografis yang bertujuan untuk mengikat penonton pada satu ruang dan waktu yang terbatas, juga mampu menimbulkan kesan yang tampak lebih realistis jika dibandingkan dengan novelnya. Semua perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan interpretasi sutradara atas cerita novel Le Colonel Chabert karya Honore de Balzac.

Narrative Changes and Presentation in The Adaptation Into Film of The Novel Le Colonel Chabert : Comparison StudyThe adaptation of any novel into film, or vice verse, always result in some changes due to the change of medium and to the interpretation of the author and the film director. This thesis aims to (1) study the changes in the elements and the presentation of the story that are results of the adaptation of the novel Le Colonel Chabert into film, (2) and study the effect of these changes.
The method used in this analysis is structuralism, focusing on the intrinsic elements of the work. The elements of the story to be analyzed in this thesis are the plot, the characters, the background, and the timing.
The result of this thesis shows that there are similarities and differences in plot, character, time and space and their presentation in the film and the novel. The story remains the same in the film but the discourse slightly changes. But the amount of details, and the number of repetition of the some elements, especially the war event, the abundance of details of the character and space-time in the film increased the realistic impression. The compression of the time of story in the film is pure cinematic consideration due to the limited duration. The whole differences reveal the specific interpretation of the director on the sad story, and the need of cinemato graphical language.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbullah
"This thesis deals with the ideal facts in a work of George Sand, a French female-writer from 19th century. Sand believes that writing novel needs the touch of idealization. Idealization here is restricted to social aspect, especially the social values, which prevail in societies depicted in La Mare au Diable. To explore the object systematically, the structural method is chosen to observe the poetic aspect of the novel. As preliminary stage of discussion, this first step shows a sintagmatic axis of the story which concentrates merely on two characters, namely Germain and Marie. It also reveals that the intrigue of the story is basically simple, consisting only of a chronological set of simple events.
The characters represent several social groups. It comes out that among societies of three villages, that's to say, Belair, Onueaux, and Farouche, all observations end up in privileging Belairian characters more than those of the two others. Positive characters and features belong totally to Belair. Good old generation, good young generation, tolerant men and intelligent women are those of Belair. On the contrary, the people of the two other villages have the opposite qualities.
To put it briefly, Belair has the good characters. It is then justified with values prevailing and binding the individuals within the society. Originality in tradition, harmonious relationship, freedom from religious obligations, respectful status of women and the dominance of agricultural profession, are distinctive features which characterize Belair. On the contrary, Ormeaux and Farouche people show pragmatism, individualism, materialism, and exploitation. These facts are completed with the description of space and time which clearly confirms the fore-mentioned statement about Belair's excellent position.
The result of the analysis mentioned-above is then compared to real rustic life in 19th century social history of France documented by social historians. There are a lot of contrasts resulting from this comparison. History reveals that societies in French villages were individualistic in nature, despite the fact that they were religious people. Besides, there was no equality of respect and opportunity for women. Social life was characterized by resolute segregation stemming from strict social classes. Moreover, typical villagers regarded other people in a fully suspicious stance so that no possible interaction could be put into reality, particularly with the urban society.
From this comparison we can conclude that Belairian society is an idealized one which can be found in a noel. It typically represents all literary works in romantic tradition which expresses people's longing for the natural beauty. Such artistic trend reflects the basic concept in art, known as back to nature, whose origin can be traced back to the French philosopher, lean Jacques Rousseau. Sand can be classified as the writer who tries to create an ideal world to materialize her dreams and aspirations. In brief, La Mare au Diable accommodates Sand's obsession of perfect people who live in simple but happy life."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T2956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumiyadi
"Majalah Budaya Jaya merupakan majalah kebudayaan umum yang diterbitkan secara bulanan oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1968 hingga tahun 1979. Baik majalah maupun dewan kesenian tersebut berdiri berkat kebijaksanaan kebudayaan dari Gubernur Jakarta pada saat itu, yaitu Ali Sadikin. Karangan dalam jenis esai mempunyai rubrik tersendiri dan sesuai dengan misi Budaya Jaya, esai yang dimuat sangat beragam: taxi, musik, teater, dan seni atau budaya secara umum. Akan tetapi, tulisan dalam bentuk esai sastra kerap kali muncul dalam setiap terbitannya. Oleh sebab itu, masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah mengenai gambaran esai sastra Indonesia, khususnya yang menyangkut esai, objek esai, dan kecenderungan konteks esai yang ditulis dalam Budaya Jaya.
Sumber data penelitian adalah semua majalah Budaya Jaya yang pernah diterbitkan sejak tahun 1968 hinggga 1979, yaitu 134 edisi yang di dalamnya terdapat tulisan esai sastra Indonesia sebanyak 73 judul. Penelitian memanfaatkan kerangka teori yang dikemukakan oleh Donald Keesey dalam buku Context for Criticism. Keesey memang tidak membahas esai secara khusus, melainkan pada kritik sastra. Namun, ada beberapa alasan yang memungkinkan kerangka teori Keesey digunakan dalam penelitian ini. Pertama, kritik dan esai sastra memiliki hubungan yang sangat berat karena keduanya merupakan tanggapan terhadap karya sastra. Kedua, dalam tradisi kesusastraan Indonesia, sesuai dengan pendapat H.B. Jassin, kritik merupakan bagian dari esai sastra. Menurut Keesey, skema dapat membantu kita dalam mendefinisikan, menganalisis, dan membandingkan konteks yang beragam sesuai dengan interpretasi esai pada saat menulis esai sastra.
Berdasarkan skema Keesey kita dapat mengelompokkan lima kecenderungan esai sastra, sesuai dengan konteks yang menjadi orientasinya, yaitu konteks pengarang, konteks pembaca, konteks realitas, konteks karya sastra itu sendiri dan konteks karya sastra lainnya.
Berdasarkan analisis didapatlah kenyataan bahwa esai sastra yang terdapat dalam Budaya Jaya (1968-1979) beragam apabila ditinjau dari aspek esais, objek esai, dan kecenderungan konteks esai sastranya. Para esais sebagian besar berkelahiran antara tahun 1930-1940-an, yang berarti mereka berusia sekitar 30-40 tahunan. Sebagian besar berjenis kelamin pria dan terdapat pula beberapa esais yang berkewarganegaraan asing.
Para esais sastra dalam Budaya Jaya masih menampakkan latar profesi kewartawanan atau jurnalistik, namun dengan tambahan profesi guru atau dosen di perguruan tinggi. Selain itu, sebagian besar esais adalah penyair dan yang sangat pruduktif menulis adalah Subagio Sastrowardojo. Kepenyairan para esais berpengaruh terhadap esai yang mereka tulis, sehingga sebagian besar berobjek puisi pula (34 judul).
Ketertarikan esais belum berpaling pada pesona puisi-puisi Chairil Anwar, meskipun mereka sudah mulai memperhatikan pascagenerasi Chairil Anwar, yaitu puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Dalam genre prosa dan drama terdapat beberapa karya yang menjadi fokus perhatian mereka, yaitu novel Ziarah karya Iwan Simatupang dan drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer. Dalam esai mengenai kriiik sastra teoretis, tampak juga bahwa metode analitik dan metode ganzheit masih tetap jadi topik pembahasan, seperti terlihat dalam tulisan Achdiat Kartamihardja dan Arief Budiman. Apabila kita kaitkan dengan fungsi majalah sebagai media informasi, maka fenomena semua ini dapat menunjukkan "arus sastra" yang berkembang di sekitar akhir tahun `60 sampai dengan akhir tahun `70-an.
Dari analisis dapat diketahui pula bahwa yang banyak ditulis adalah esai yang cenderung pada konteks karya sastra itu sendiri dan pada konteks realitas. Hal ini dapat menunjukkan bahwa para esais dalam Budaya Jaya tartarik perhatiannya pada karya sastra, baik pada struktur formalnya maupun pada bahan atau isi yang dikandungnya. Ketertarikan pada unsur formal sastra, dapat juga dilihat dari sudut kepraktisan sebab unsur-unsur itulah yang tampak di depan mata esais sebagai unsur intrinsik yang selalu menyertai karya sastra. Sementara itu, ketertarikan mereka pada segi realitas atau kenyataan disebabkan oleh banyaknya karya sastra yang dianggap mencerminkan realitas yang ditangkap pengarangnya. Realitas yang demikian, tampaknya dapat ditangkap juga oleh para esaisnya yang sebagian besar mengakrabi dunia kepenyairan.
Penelitian ini telah memperlihatkan beberapa aspek esai yang terdapat dalam majalah Budaya Jaya dari terbitan perdananya (1968) hingga terbitan yang terakhir (1979). Selama lebih kurang sebelas tahun itu, Budaya Jaya telah memuat 73 esai sastra Indonesia yang ditulis oleh 36 orang esais. Apabila kita meninjau majalah tersebut dari konteks kekinian, maka Budaya Jaya telah menjadi masa lalu kita selama lebih kurang 25 tahun. Kita pun kini dapat melihat bahwa ada di antara esaisnya seperti Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, dan Umar Junus yang telah mengoleksikan esainya itu ke dalam bentuk buku. Akan tetapi, terdapat juga beberapa esais seperti Abdul Hadi W.M, Popo Iskandar, dan Satyagraha Hoerip yang tampaknya produktif menghasilkan esai pada majalah tersebut, namun belum mengumpulkannya dalam bentuk buku. Hal itu sudah sepantasnyalah menjadi agenda bagi pihak yang peduli terhadap tradisi esai sastra Indonesia sehingga dapat menindaklajutinya dengan penerbitan esai mereka ke dalam bentuk buku.

Budaya Jaya magazine represent the magazine of public culture published in monthly by Council of Artistry Jakarta (Dewar Kesenian Jakarta) since year 1968 till year 1979. Whether magazine and also the artistry council stand up blessing of culture wisdom from Governor Jakarta at that moment that is Ali Sadikin. Composition in type essay has separate rubric and as according to Budaya Jaya mission, essay loaded very immeasurable: dance, music, theatre, and cultural or artistic in general. However, article in the form of literary essay is very often emerging in its derivative. On that account, problem which will be expressed in this research is hit the picture of essay of Indonesian literary , especially which is concerning essayist, object essay, and tendency of context essay which written in Budaya Jaya.
Source of research data is all Budaya Jaya magazine which have been published since year 1968 till 1979, that is 134 edition which in it there are article of essay of Indonesian literary as much 73 title. Researches exploit the theory framework opened by Donald Keesey in book of Context for Criticism. Keesey is true not study the essay peculiarly, but at literary criticism. There are some reasons of framework of theory Keesey used in this research. The first, criticize and literary essay own the very hand in glove relation because both representing response to belles-lettres. Second, in tradition of Indonesian literary , as according to opinion HB.
Jassin, criticize the literature represent the part of literary essay. According to Keesey, scheme can assist us in defining, analyzing, and comparing immeasurable context as according to interpretation essayist at the time of writing literary essay. Pursuant to scheme Keesey, we can group five tendency of literary essay, as according to context becoming its orientation, that is author context, reader/audience context, reality context, context of itself work, and other literature context.
Pursuant to analysis got by fact that literary essay which is there are in Budaya Jaya (1968-1979) immeasurable if evaluated from aspect essayist, object essay, and tendency of its context literary essay. All essayists of most have birth among year 1930-1940's, meaning they have age to about 30-40's annual. Mostly have gender of man and there are also some essayist who has foreign civic too.
All essayists literature in Budaya Jaya still look the background of profession of journalism or journalistic, but additionally profession is teacher or lecturer in college. Others, most essayists are poet and very productive write like Subagio Sastrowardojo. Poets of all essayists have an effect on to essay that they write, so that most have object to poem also (34 title). Essays interest not yet looked away at glamour of poems Chairil Anwar, though they have started to pay attention to the next generation of Chairil Anwar, that is poems Sutardji Calzoum Bachri. In genre of prose and drama, there are some masterpiece becoming their attention focus that is novel of Ziarah of masterpiece of Iwan Simatupang and drama of Kapai-Kapai of masterpiece Arifin C. Noer. In essay of concerning theoretical criticism, visible also that analytic method and method ganzheit still become this topic of solution, like seen in article of Achdiat Kartamihardja and Arief Budiman. If we hook correlate with the magazine function as information media, hence phenomenon all this can show the "literature current" expanding around year-end 60's up to final 70's.
From analysis, knowable also that which is a lot of writes is an essay, which is in a mood for context of itself belles-lettres and reality context This matter can indicate that all essayists in interested by Budaya Jaya its attention at belles-lettres, its formal structure and also substance or content contained.
Interested to formal element of literature is also seen practical from the aspect of elements cause that's visible before very eyes essayist as intrinsic element, which always accompany the belles-lettres. Meanwhile, their interest at facet of reality or fact because the number of belles-lettres assumed minor the capturer reality its author. Such reality, seems earn be under arrest also by all chummy essayists mostly world poets.
This research have showed some aspect essay which is there are in Budaya Jaya magazine than its maiden derivative (1968) till last derivative (1979). During more or less that eleven year, Budaya Jaya has loaded 73 essay of Indonesian literary writes by 36 essayists. If we evaluate the magazine from context nowadays, hence Budaya Jaya have come to our past during more or less 25 year. We even also nowadays can see that there is among essayists like Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, and Umar Junus collected those essays into book form. However, there are also some essayists like Abdul Hadi W.M., Popo Iskandar, and Satyagraha Hoerip, which productive to seem yield the essay at magazine, but not yet collected it in the form of book. That matter has proper become the agenda for party, which cares about to tradition of essay of Indonesian literary so that earn to follow-up with their publication essay into book form.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dad Murniah
"Tesis ini meneliti salah satu dari karya-karya Ahmad Tohari yang berjudul Bekisar Merah. Ahmad Tohari dikenal sebagai seorang pengarang yang selalu menceritakan kehidupan masyarakat desa. Masalah pedesaan merupakan hal yang menarik untuk diteliti karena dunia pedesaan mempunyai bentuk yang mapan dan lukisan alam serta budaya yang dapat menambah wawasan pemikiran.
Dari hasil analisis, tesis ini dapat disimpulkan bahwa konflik-konflik yang terdapat dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari terbangun dari konflik-konflik yang terjadi pada individu dengan alam, individu dengan individu, dan individu dengan masyarakat. Konflik itu terlihat pada satuan-satuan isi cerita berupa tindakan dan deskripsi yang menyebabkan alur bergerak. Konflik juga terlihat pada analisis tokoh yaitu dengan adanya penokohan yang berbeda secara mencolok, baik fisik maupun psikis antara tokoh Lasi (tokoh utama) dengan tokoh-tokoh lain. Konflik juga terlihat pada analisis latar, yaitu dengan adanya pelukisan alam yang sulit untuk dikuasai manusia yang menyebabkan manusianya pasrah dengan keadaan yang sudah ada tanpa berusaha mengubahnya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pemahaman tentang alur, tokoh, dan latar membantu memahami makna sebuah karya sastra. Permasalahan yang dapat diketahui dari analisis alur, tokoh, dan latar novel Bekisar Merah dirumuskan dalam sebuah tema yaitu pencarian jati diri manusia yang menyebabkan setiap individu tokoh tiba-tiba mengedepankan sebuah kepentingan yang untuk ukuran sebuah desa yang selama ini mempunyai rasa kebersamaan yang tinggi, tenggang rasa, serta gotong-royong adalah hal yang baru dan hal yang mengakibatkan terjadinya konflik."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahasoan, Mardiani
"Abad XIX di Perancis merupakan masa yang penuh gejolak akibat keadaan politik yang tidak stabil, namun memperlihatkan perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan kemajuan yang pesat dalam bidang industri dan ekonomi.
Dari tahun 1800 sampai 1900, Perancis mengalami sembilan kali perubahan bentuk pemerintahan yaitu : Consular, Kekaisaran, Restorasi, Monarki Juli, Republik Kedua, Kekaisaran Kedua dan Republik Ketiga sebagai rangkaian akibat dari Revolusi Perancis 1789.
Periode yang tidak stabil itu membawa pengaruh pula dalam kehidupan sosial dan ekonomi bangsa. Dengan adanya perubahan bentuk pemerintah tersebut, peranan kaum bangsawan dan gereja dalam kehidupan sosial dan ekonomi, beralih kepada golongan baru yaitu kaum borjuis dan para cerdik pandai.
Ketidakstabilan politik ternyata tidak menghambat perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan yang telah dimulai oleh para pernikir dari abad Pencerahan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran tradisional mengenai cara-cara memecahkan masalah kehidupan yang berdasarkan pada doktrin agama, digantikan oleh filsafat Positivisme Auguste Comte yang mendasarkan segala pemikiran pada ilmu pengetahuan (rains). Saat itu hanya ilmu pengetahuan sajalah yang diakui sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan berbagai masalah dan misteri di atas bumi ini. Maka terjadilah pemujaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam dunia sastra sikap tersebut melahirkan para pengarang realis dan naturalis seperti Balzac, Flaubert, dan Zola.
Perkembangan yang cepat dalam bidang industri pada saat itu, membuat masyarakat Perancis yang agraris dan statis bergerak menuju kota yang berkembang pesat menjadi pusat industri dan perdagangan. Ditemukannya mesin uap untuk kereta api dan kapal, telah mempercepat proses perubahan tersebut, dengan demikian terjadi pula perubahan dalam gaya hidup masyarakat. Di samping golongan borjuis, urbanisasi..."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Hadiansyah
"Adaptasi film ke dalam novel atau sebaliknya seialu menimbulkan perubahan, sebagai akibat dari perbedaan media dan hasil interpretasi penulis dan sutradara. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan sejumlah persamaan dan perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh adaptasi dari film ke dalam novel Biala Tak Berdawai, dilihat dari unsurunsur penceritaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan strukturalisme yang memfokuskan pada unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam film dan novel Biola Tak Berdawai. Unsur-unsur film dan novel yang dianalisis dan dibandingkan dalam penelitian ini adalah alur penyajian, alur sebab akibat, tokoh dan penokohan, latar ruang dan Tatar waktu.
Hasil analisis film dan novel Biola Tak Berdawai terhadap unsurunsur di atas, menunjukkan persamaan sekaligus perbedaan. Cerita dalam film dan novel pada dasarnya sama tetapi menjadi terkesan berbeda ketika Dewa dijadikan penutur di dalam novel. Tokoh Dewa menjadi serba tahu dan mampu menuturkan dengan fasih mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekelilingnya, padahal di dalam film, tokoh Dewa digambarkan sebagai anak yang sangat sulit untuk berkomunikasi dengan prang fain dikarenakan penyakit autis dan cacat ganda. Dengan demikian, tokoh utama di dalam novel tidak hanya Renjani, tetapi juga Dewa. Perbedaan Iainnya terletak pada berupa kemunculan cerita pewayangan di dalam novel, juga terdapat penghilangan, dan penambahan beberapa cerita. Semua perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan interpretasi penulis novel atas cerita film Biola Tak Berdawai.
Berbeda dengan unsur alur penyajian, alur sebab akibat antara film dan novel tidak menunjukkan perbedaan. Dad awal hingga akhir cerita, novel adaptasi tetap bersetia terhadap film sebagai cerita pertama. Begitu juga dengan latar ruang dan waktu.

The adaptation of film into novel or vice verse always produces changes as the consequence of the different media and the result of the actor and the director's interpretation. This study aims to present some basic similarities and differences which are produced by the adaptation from film into novel Biola Talc Berdawai, and viewed from the story elements.
The method used is structuralism, focusing on the intrinsic elements in film and novel Biota Tak Berdawai. The film and novel elements which are analyzed and compared in this study are plot, the characters and characterization, and setting.
The result of the analysis of film and novel Biola Tak Berdawai to the mentioned elements presents similarities and differences at the same time. The story in film and novel is basically the same but it imprisons different when Dewa is made as a narrator in the novel. The character of Dewa knows everything and he can utter fluently what happens in his surrounding, whereas in film the character of Dewa is showed as the boy who has difficulty to communicating with other people because he is autistic and has double deformity. So the main character in the novel is not only Renjani but also Dewa. The other difference is on the presence of things pertaining to the wayang story in the novel. All those differences present the difference of the writer's interpretation on the story of Biota Tak Berdawai film.
It is different to plot presence, the cause and effect plot between film and novel does not present the difference. From the beginning until the end of story, adapted novel keep loyal to film as the original story. It also happens to the setting of place and time.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Kristina Wulandari
"Sejarah kesusastraan Cina telah rnencatat kumpulan cerita pendek pertama Lu Xun yang berjudul Teriakan (sebagai satu momentum penting bagi munculnya kesusastraan Cina modern. Lu Xun memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi kesusastraan Cina modern karena Teriakan telah menggunakan bahasa sehari-hari yang menggantikan bahasa klasik. Selain itu pula, Lu Xun melakukan pembaharuan dengan mengangkat tema-tema tentang realitas sosial masyarakat yang sangat berbeda dati tematema kesusastraan Cina tradisional. Tiga karya yang menjadi obyek penelitian adalah Catatan Harlan Orang Gila, Kong Yiji, dan Obat, sedangkan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis ketiga karya tersebut adalah pendekatan strukturalis Todorov.
Masalah pokok yang diangkat adalah bagaimana ketiga cerita yang menjadi obyek penelitian menampilkan perbedaan dunia sebagai makna dari masing-masing cerita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing cerita menampilkan dunia yang berbeda dengan berbagai cara penyajian yang bervariatif. Dunia yang ditampilkan dalam Catalan Harlan Oran Gila dunia seorang manusia yang divonis rnenderita gangguan kejiwaan yang tidak berdaya menyesualsan dininya dengan lingkungan sosial di mina is betada. Sedangkan dunia yang ditampilkan dalam Kong Yrji adalah dunia seorang manusia yang terasing karena sosok dan pemikirannya yang tidak sejalan dengan zamannya. Pada cerita Obat dunia yang ingin ditampilkan adalah dunia di mana para tokoh utamanya tidak berdaya untuk keluar dari belenggu kanibalisme.
Perbedaan dunia yang disajikan oleh ketiga cerita mengandung makna yang sangat universal Karakteristik tokoh cerita tidak hanya rnenggambarkan karakteristik masyarakat Cina namun juga tidak dapat diabaikan bahwa karakteristik semacam itu adalah karakteristik sebagian besar manusia di seluruh dunia. Begitu pula halnya dengan rangkaian peristiwa yang ditampilkan Peristiwa saling memangsa antar manusia, hllangnya kepedulian dan sating mencintai antar manusia tidak hanya terjadi dalam lingkup masyarakat Cina, melainkan juga terjadi dalam lingkup universal kehidupan manusia.

The history of Chinese literature noted that Lu Xun's first short story compilation, Call To Arms or could also be translated Cry Out indicate a significant momentum for the birth of Chinese modern literature because it used Chinese vernacular rather than literary Chinese and also reformed the themes of Chinese literature by using the non mainstream of social reality. This research used structuralism approach of Todorov based on his three short stories, The Diary ofA Madman, Kong Yi Ji and Medicine.
The topic explain how his works revealed the difference of world's meaning from each story and how each story figure the difference of world with various style of writing. The Diary ofA Madman, describe a man who judge by people surround him as a man who suffering schizophrenia and he can not himself in social environment. Kong Yi Ji, describe a man who was alienated by people surround him because his ideas and figures did not in line with the era. Medicine, describe a man who can not escape from the repression of cannibalism because his power lack mess.
The worlds in those stories have universal meaning. The characters of main actor not only describe the Chinese's unique character but also represent general human character in world. More over, the narrations of events such as cannibalism, lack of love and careness among people in context of human life also describe the general human character.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosida Erowati
"Film merupakan ekspresi seni yang diciptakan secara massal oleh sekelompok seniman dengan berbagai keahlian. Sebagai ekspresi seni, film selalu berbicara' tentang sesuatu. Film memiliki pesan yang dibicarakan melalui penyajian naratif dan bentuknya. Film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan tentang perdamaian yang seharusnya dapat tercipta di antara agama, generasi, gender dan negara melalui upaya untuk memahami dan memposisikan diri secara fleksibel dengan melakukan perjalanan melintas batas.
Dalam teks ini, peneliti mempertanyakan kondisi multikultur dan pesan perdamaian yang ditampilkan. Bagaimana keduanya dibicarakan, siapa yang membicarakannya dan bagaimana strategi-strategi untuk menciptakan perdamaian dalam kondisi multikultur muncul di dalam naratif dan bentuk film. Analisis terhadap kondisi multikultur dan pesan perdamaian di dalam film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran dengan menggunakan teori tentang struktur film, representasi, dan identitas yang cair menunjukkan bahwa film ini membicarakan kondisi multikultur dan perdamaian dalam konteks hubungan antara pusat dan pinggiran dalam wacana kebudayaan. Pusat dalam film ini adalah Prancis-Eropa, Yahudi, maskulin dan generasi tua. Sementara pinggiran adalah Turki-Mediterania, Islam, feminin dan generasi muda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran mengalami pergeseran dan akhir film yang berupa alur siklik membuka interpretasi tentang pembalikan kritis dalam hubungan tersebut. Di tengah perbincangan tentang hubungan Barat dan Timur yang didominasi isu terorisme atas nama agama, film ini dapat dipertimbangkan memiliki alternatif visi untuk menilai kembali hubungan Barat dan Timur, pusat dan pinggiran.

Film is an art expression that is created collectively by a group of artists with various individual skills. As an art expression, film always "speaks" something. Film has messages that are "spoken" and conveyed through narrative presentation and its own form. As a whole, the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran film wants to deliver a message about peace that is supposed to be able to be created among religions, generations, gender, and countries through some attempts to understand and position ourselves flexibly by committing a borderless journey.
In this text, the researcher questions the multicultural condition and the peace message presented. How these are spoken, who speaks about them, and how the strategies to create peace in a multicultural condition appear in the narration and film form. Analysis on the multicultural condition in the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Comm film, using the theories of film structure, representation, and identity which is liquid, shows that this film talks about the multicultural condition and peace in relation between the periphery and center context in the cultural discourse. The center in this film is France-Europe, Jewish, masculine, and old generation. On the other hand, the periphery is Turkish-Mediterranean, Moslem, feminine, and young generation.
The analysis result shows that the center-periphery relation undergoes a shifting and the end of the movie, which is cyclical, opens an interpretation about critical reversal in that relation. Among many discourses about the relation between the West and East that is dominated by terrorism issue based on religion, this film can be considered as having the alternative vision to re-value the relation between the West and East, the center and periphery."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Lesmana
"Michelle Lesmana Kerumitan Penyajian Roman These Karya Andre Gide (di bawah bimbingan DR. Apsanti Djokosujatno), Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok, 1993. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan penyajian roman These yang khas dan rumit. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan struktural dan teori yang dipakai adalah teori Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik, teori Todorov mengenai cerita ideologis dan cerita mitologis, teori Hudson tentang penokohan dan teori E.M. Forster tentang tokoh bulat dan tokoh datar.
Setelah penelitian dilakukan ternyata satuan-satuan isi cerita These dapat dikelompokkkan ke dalam subcerita-subcerita yang dapat berdiri sendiri dari segi histoire. Subcerita-subcerita tersebut mempunyai tema yang sama yaitu nilai manusia terletak pada usahanya untuk mengabdi bagi kemanusiaan. Sebagian dari subcerita-subcerita itu dimasukkan ke dalam cerita pokok dengan cara enchessement dan sebagian lagi dengan cara alternance. Banyaknya subcerita-subcerita yang merupakan cerita berbingkai, mengakibatkan pengaluran tokoh These terpotong-potong dalam gugus-gugus episode. Abstraksi fungsi-fungsi utama diperlukan untuk menemukan hubungan antara cerita pokok dan subcerita-subcerita yang kehadirannya secara sepintas lalu seperti tak memiliki hubungan yang langsung dan dalam.
Abstraksi itu perlu dilakukan karena cerita These menggambarkan pemikiran-pemikiran yang menjadi penghubung episode-episode. Pengaluran tersebut menunjukkan bahwa cerita These termasuk cerita ideologis. Pengaluran roman These juga berkaitan erat dengan penutur, karena cerita yang berlapis-lapis tersebut diiringi pula oleh aspek penuturan yang berlapis-lapis. Penokohan roman These juga sangat khas karena tokoh-tokoh dalam roman tersebut, selain ditampilkan melalui deskripsi tokoh These juga dibiarkan berbicara sendiri (melalui kutipan] sehingga pembaca seolah merasakan kehadiran mereka secara langsung dan hidup. Kekhasan penokohan dalam These juga dicapai berkat tokoh-tokoh yang hampir seluruhnya digambarkan sebagai tokoh bulat yang memiliki banyak segi, baik kelebihan maupun kekurangan mereka masing-masing. Tokoh-tokoh bulat tersebut ditampilkan secara langsung maupun tak langsung. Dari hasil penelitian terungkap bahwa roman These memiliki penyajian yang khas dan rumit."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S14299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sapulete, A. Yvonne N.
"Tujuan penelitian ini adalah memperlihatkan timbulnya efek keragu-raguan dalam roman La Peau de Chagrin yang dibangun melalui penyajian cerita, tokoh serta ruang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural. Teori yang digunakan adalah teori Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik, serta teori Tzvetan Todorov tentang timbulnya efek keragu-raguan melalui pembacaan irreversible, yaitu pembacaan secara runut dari awal sampai akhir cerita.
Dalam penelitian, untuk menelusuri pembacaan cerita secara irreversible, satuan-satuan isi cerita dibagi dalam episode-episode yang merupakan satu bagian yang dapat berdiri sendiri dalam deretan peristiwa suatu cerita. Melalui episode-episode tersebut dapat terlihat bahwa awal cerita yang menyangkut Raphael dipilih ketika ia sedang mengalami keputusasaan tanpa diketahui keadaan sebelumnya, maupun latar belakang kehidupannya yang sebenarnya. Demikian pula kemunculan jimat yang sangat misterius. Dalam penyajian cerita selanjutnya yang berjalan secara natural, peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi pada Raphael selalu dikaitkan pada jimat yang muncul sampai akhir cerita. Hal itu menimbulkan kesan kuat pada hubungan sebab-akibat yang tak wajar. Kehadiran sebab-akibat tak wajar sangat menonjol dan mendominasi cerita. Hal ini terlihat baik melalui peletakan antara peristiwa sebab dan akibat yang berdekatan, maupun penyajiannya yang panjang sehingga penceritaannya terasa lebih lama dan berkesan. Sebaliknya sebab-akibat yang natural hanya dikemukakan secara ringkas dan terselip. Kehadiran dua hubungan sebab-akibat yang mendapat porsi yang tidak seimbang inilah yang menimbulkan keragu-raguan dalam cerita. Timbulnya efek keragu-raguan dalam roman ini ditunjang pula oleh kehadiran tokoh dan ruang yang pada bagian awal disajikan dalam gambaran supranatural dengan menggunakan metafora-metafora yang menimbulkan kesan seram dan tak wajar. Pada bagian-bagian selanjutnya, baik tokoh maupun ruang disajikan dalam gambaran yang natural. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa efek keragu_raguan dalam roman La Peau de Chagrin ini dibangun melalui penyajian cerita, tokoh serta ruang."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S14544
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>