Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Nuryati Chairani
Abstrak :
ABSTRAK Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Hubungan antara jenis kelainan histopatologik tertentu pada radang berulang tonsil dengan kelainan imunopatologik yang terjadi belum banyak diselidiki. Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara kelainan histopatologik tertentu dengan kelainan imunopatologik yang timbul dengan jalan menghitung jumlah dan penyebaran set pengandung imunoglobulin (SPIg) pada tonsil serta mengukur kadar imunoglobulin serum pada penderita radang berulang tonsil. Diperiksa 125 pasang tonsil dan serum yang berasal dari 125 anak usia 4-14 tahun yang menjalani tonsilektomi. Dengan pewarnaan HE dilakukan penggolongan jenis kelainan histopatologik. Dengan cara imunoperoksidase (PAP) diperiksa jumLah SPIg (keLas G,M,A,E dan D) pada daerah sentrum germinativum (SG), kelim limfosit (KL), interfolikuler (IF) dan epitel retikuler kripta (ER). Dengan cara imunodifusi radial diperiksa kadar imunoglobulin (kelas G,M dan A) dalam serum penderita. Sebagai perbandingan diperiksa kadar Ig serum yang berasal dari 33 anak sehat dengan tonsil yang tidak menunjukkan tanda radang. HasiL dan Kesimpulan: Secara histopatologik ditemukan jenis kelainan yaitu: hiperplasia tonsil (HT), 60,5 %; tonsilitis kronik .(TK), 23,2% dan tonsilitis kronik eksaserbasi akut (IKEA), 16,0%. Jumlah SPIg di daerah KL pada kelompok TK Lebih banyak dan berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok TKEA dan HT. Di daerah ER, jumlah SPIg pada kelompok TK Lebih sedikit dan berbeda bermakna dibandingkan keLompok TKEA. Ditemukan peningkatan bermakna kadar Ig G dalam serum pada kelompok TK dan HT dibandingkan dengan keLompok kelola, dan peningkatan bermakna kadar Ig A dalam serum penderita TK dibandingkan dengan kelompok kelola. Perbedaan jumlah dan penyebaran SPIg pada tonsil yang mengatami radang berulang sesuai dengan jenis kelainan histopatoLogik, yang diikuti dengan peningkatan kadar Ig G dan Ig A dalam serum.
ABSTRACT Scope and Method of Study: The relationship between histo pathological and immunopathological changes caused by recurrent inflammation of the tonsil has not been studied extensively. The aim of this study was to see the relationship between particular histopathological changes by counting the immunoglobulin containing cells (Ig CC) and its distribution in tonsil and to measure immunoglobulin (Ig) Level in serum of patients with recurrent inflammation of the tonsil. One hundred and twenty five pairs of tonsils and 125 sera from children aged 4-14 years, who underwent tonsillectomy were examined. Histopathological diagnosis was based on routine H and E staining. Immunoperoxidase (PAP) staining was performed to count the amount and distribution of Ig CC (G,M,A,E and D classes) in germinal center (GC), Lymphocyte cuff (LC), interfoLlicular (IF) and reticular part of epithelium (RE) areas. Ig (G,M and A) serum Levels were measured by radial immunodiffusion technique. As a comparison, Ig serum levels of 33 healthy children without signs of inflammation of the tonsil was examined. Findings and Conclusions: Three histopathological changes were found: hyper plastic tonsil (HT), 60.8%; chronic tonsillitis (CT), 23.2% and chronic tonsillitis with acute exacerbation (CTAE), 16.0%. Significantly higher proportion of Ig CC in LC area was found in CT group compared to CTAE and HT groups. In contrast, in RE area the proportion of Ig CC in CT group was significantly Lower than in CTAE group. There were significant elevations of Ig G serum level in CT and HT groups compared to the control group. Ig A serum Level in CT group was significantly higher than the control group. This study revealed that Ig G CC have different distribution in inflamed tonsil according to its histopathological changes, and those changes were accompanied by the increase of Ig G and Ig A serum Levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit. Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library