Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saprina Maryani
Abstrak :
Tesis ini merupakan penelitian di bidang manajemen pemasaran rumah sakit yangbertujuan untuk mengetahui segmen, terget dan posisi pasar dalam bauranpemasaran di Poliklinik Terpadu Anak Sehat POTAS RSAB Harapan Kita tahun2016 dalam rangka peningkatan angka kunjungan pasien dan revitalisasi programpelayanan unggulan terpadu untuk tumbuh kembang anak.Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan pendekatankualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan penyebarankuesioner sebagai instrumen terhadap 96 responden yang memanfaatkan layanandi POTAS dan data kualitatif diperoleh dengan wawancara mendalam terhadappihak manajemen rumah sakit, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasilpenelusuran terhadap dokumen dan data laporan bulanan rumah sakit, data dariProfil Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Barat.Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan tentang segmen pasarrawat jalan terpadu sehingga dapat mempermudah menentukan pasar sasarannyauntuk dituangkan dalam suatu penetapan dan pernyataan posisi yang akandipergunakan sebagai dasar strategi pemasaran untuk pelayanan POTAS yangakan datang. ......This thesis is a study in marketing management hospital that aims to identify themarket segmentation, targeting, and its positioning in the marketing mix at thePoliklinik Terpadu Anak Sehat POTAS RSAB Harapan Kita on 2016 in order toincrease the number of patient visits and the revitalization of the service programfeatured integrated development of the child.This study is a survey using qualitative and quantitative approaches. Primary datawere collected by distributing questionnaires as an instrument against 96respondents who use the service in POTAS and qualitative data obtained indepthinterviews with the hospital management, while secondary data obtained from thesearch results to documents and data monthly report hospital and from the HealthProfile of West Jakarta.Hopefully this research can enrich the knowledge of the market segmentation ofoutpatient integrated so as to facilitate determining the target market for theestablishment and forth in a position statement that will be used as the basis ofmarketing strategy for the POTAS services later.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Nurcahaya
Abstrak :
Latar belakang. Epilepsi merupakan satu dari penyakit neurologi yang sering menyebabkan disabilitas dan kematian. Prediktor terbaik menentukan remisi epilepsi adalah respons awal terhadap OAE. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi respons awal terapi diantaranya etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi.Tujuan. Mengetahui respons awal dan faktor-faktor yang mempengaruhi respons awal OAE monoterapi pada pasien epilepsi baru pertama kali di RSCM Metode penelitian. Penelitian merupakan penelitian kohort prospektif pada 92 anak berusia < 17 tahun dengan melihat respons awal OAE monoterapi pada anak penderita epilepsi baru selama 3 bulan yang berobat ke poliklinik rawat jalan RSUP dr Cipto Mangunkusumo sejak Januari 2017 sampai Agustus 2017. Faktor-faktor risiko etiologi epilepsi, jumlah kejang sebelum pengobatan, bentuk bangkitan kejang, status neurologi, usia awitan dan gambaran elektroensefalografi dianalisis secara bivariat dan multivariat. Hasil penelitian. Terdapat 92 pasien epilepsi baru yang memenuhi kriteria penelitian. Insidens epilepsi baru pada penelitian ini adalah 21,9 . Pasien epilepsi baru yang mendapat OAE monoterapi sebagian besar berumur ge; 1 tahun, awitan kejang ge; 1 tahun, etiologi struktural, jumlah kejang sebelum pengobatan ge; 10 kali, mempunyai kelainan neurologi, bangkitan kejang umum dan gambaran normal pada pemeriksaan EEG. Respons awal yang baik pada penderita epilepsi baru terhadap OAE monoterapi adalah sebesar 77,2 dalam 3 bulan pengobatan. Faktor yang memengaruhi respons awal baik dalam 3 bulan OAE monoterapi setelah analisis multivariat jumlah kejang dan gambaran EEG. Simpulan. Sebagian besar pasien epilepsi menunjukkan respons awal baik terhadap obat antiepilepsi monoterapi. Faktor yang berperan terhadap respons awal terapi OAE monoterapi adalah jumlah kejang dan gambaran EEG ......Background. Epilepsy is one of neurological disorder that cause disability and death. Initial response to antiepileptic drugs AEDs is the best predictive indicator to determine remission of epilepsy. Factors that influence the initial response are the etiology of epilepsy, pre treatment frequency of seizures, type of seizures, neurological deficits, age of onset, and electroencephalography EEG findings. Objectives. To investigate the initial response and influence factors of the initial response in monotherapy antiepileptic drug in patients with newly diagnosed epilepsy Method. Cohort prospective study was conducted in neurology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo hospitals RSCM between January to August 2017 on newly diagnosed pediatric epilepsy. Response of AED monotherapy was observed after three months of treatment. The risk factors were analyzed by bivariate and multivariate statistical analysis. Results. There were 92 subjects that fulfilled the criteria. The incidence of newly diagnosed epilepsy children at RSCM was 21.9 . The age of subjects who take monotherapy AED were commonly ge 1 year old, onset of the first seizure ge 1 year, with structural as the etiology, already have more than 10 times seizure before initial treatment begin, neurological deficit and normal EEG findings. Of 77.2 subjects have a good initial response to monotherapy AED. Multivariate analysis showed that frequency of seizures and electroencephalography EEG findings were the risk factors of the initial response to monotherapy AED in newly diagnosed epilepsy patient. Conclusion. Most of the subject have a good initial response to monotherapy AED. The influence factors of the initial response are frequency of seizures and EEG findings.
Depok: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Siti Daliyanti
Abstrak :
Latar belakang : Pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang dikaitkan dengan kekerapan terjadinya defisiensi vitamin D,Suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kadar 25 OH D sehingga menurunkan angka morbiditasnya. Tujuan : Mengetahui profil vitamin D pada anak epilepsi dan mengetahui efektivitas terapi suplementasi vitamin D. Metode : Analisa before and after pada subjek epilepsi politerapi > 1 tahun dan menggunakan>2 obat, evaluasi pre- dan paska suplementasi vitamin D selama 3 bulan. Hasil penelitian : Dari 51 subjek yang diteliti ditemukan 25 49 subjek sufisien, 19 37,3 pasien insufisien, dan 7 13,7 subjek defisien. Faktor risiko yang memiliki kemaknaan statistik adalah usua pubertas dan prapubertas p=0,004 , busana tertutup p=0,002 ,jenis epilepsi fokal p=0,032 dan frekuensi kejang p=0,047 . Evaluasi pemberian suplementasi vitamin D selama 3 bulan memberikan peningkatan kadar 25 OH D yang bermakna secara statistic p=0,001. Kesimpulan : Diperlukan pemantauan periodic kadar vitamin D pada anak epilepsi dan peranan terapi suplementasi dalam menurunkan angka morbiditasnya. ...... Background : in epileptic children, a number of medications are used. Antiepileptic drugs are known to exert deleterious effect on vitamin D metabolism. Reports of vitamin D deficiency associated with anticonvulsant drugs in pediatric patients are conflicting. Objective : To determine vitamin D status and risk factors in epileptic children and evaluate the effect of vitamin D supplementation. Methods : A prospective pre and post intervention study was done in 51 epileptic children aged 5 18 years on polytherapy for at least one year in Ciptomangunkusumo Hospital and Bekasi Hospital, over a vitamin D supplementation period of 3 months from January 2017 to May 2017. Results : Of the 51 patients studied, 25( 49,0%) subjects had sufficient vitamin D levels (>20 ng/mL), 19 ( 37,3%) subjects had insufficient vitamin D levels (12-20 ng/mL), and 7 (13,7 %) subjects had vitamin D deficiency( <12 ng/mL). It was seen that the risk of vitamin D deficiency increased, in the dress used ( full-covered dress) (p=0,002) , pre-pubertal and pubertal age ( p=0,004), focal epilepsy (p=0,032) and in seizure frequency (p=0,047), which was statistically significant. The role of vitamin D supplementation showed beneficial effect in increasing vitamin D level, which was statistically significant( p=0,001). Conclusion : vitamin D supplementation in epileptic children effectively increases serum 25(OH)D.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Jenny Br.
Abstrak :
Latar Belakang: Epilepsi di negara berkembang dua kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Sekitar 60-70% pasien bebas kejang dengan obat antiepilepsi (OAE) generasi satu, jika tidak respons dan kejang menetap maka dipertimbangkan OAE generasi dua. Keberhasilan pengobatan epilepsi dipengaruhi oleh pelbagai faktor serta bergantung terhadap plastisitas dan maturitas otak hingga usia tiga tahun. Belum ada penelitian yang menilai faktor-faktor keberhasilan terapi OAE generasi dua. Tujuan: Mengetahui faktor risiko keberhasilan keberhasilan terapi OAE generasi 2 pada pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun. Metode: Studi kasus kontrol dengan data sekunder berupa rekam medis. Sampel penelitian adalah anak epilepsi berusia di bawah tiga tahun yang mendapatkan minimal salah satu OAE generasi 2 berupa topiramat/levetiracetam/lamotrigin. Subyek terbagi kelompok kontrol (dilakukan matching usia) yang kejangnya tidak terkontrol dan kelompok kasus yang kejangnya terkontrol minimal enam bulan. Faktor risiko yang diteliti adalah tipe kejang, status perkembangan, status neurologis awal, gambaran elektroensefalografi (EEG) awal, evolusi klinis dan evolusi EEG. Hasil: Didapatkan 60 subyek pada masing-masing kelompok; pada kelompok kasus paling banyak dijumpai 66,7% laki-laki, 31,7% rentang usia 6-12 bulan, 83,3% usia awitan kejang <12 bulan, dan 93,3% tipe kejang umum. Dari 6 faktor risiko yang diteliti, hanya evolusi EEG berperan independen dalam memengaruhi keberhasilan terapi, nilai p<0,001; aOR 9,53; IK95% 3,39-26,77. Kesimpulan: Pasien dengan evolusi EEG baik memiliki kemungkinan sebesar 9,53 kali lipat lebih besar untuk kerjangnya terkontrol dengan OAE generasi 2, dibandingkan pasien dengan evolusi EEG buruk.
Background: Epilepsy in developing countries is twice compared developed countries. About 60-70% epilepsy patients had seizure-free with first generation antiepileptic drugs (AED), if there is no response and persistent seizures, second generation AED is considered. The success of epilepsy treatment is influenced by various factors and depends on the plasticity and maturity of the brain until the first 3 years. There are no studies that assess the success factors of second generation OAE therapy. Purpose: To assess the risk factors that affecting the success of second generation therapy in children under 3 years old with epilepsy. Methods: A case control study with secondary data from medical records. The study sample was children under 3 years old with epilepsy who received at least one of second generation AED (topiramate/levetiracetam/lamotrigine). Subjects were divide into 2 groups, control groups (age matching) whose seizure were not controlled and case groups whose seizure were controlled for at least six months. The risk factors studied were seizure type, developmental status, initial neurological status, initial electroencephalography (EEG), clinical evolution and EEG evolution, Results: There were 60 subjects in each group; the most proportion in case group were 66,7% males, 31,7% of the age range of 6-12 months, 83,3% onset of seizures <12 months, and 93,3% general seizures. Of the 6 risk factors studied, only the EEG evolution significantly and independently affecting the success of therapy, with p value <0,001; aOR 9.53; 95%CI 3.39-26.77. Conclusion: Patients with good EEG evolution were 9.53 times more likely to have controlled seizure with second generation AED, compared to patients with poor EEG evolution.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library