Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Annisa Citra Permadi
"Latar Belakang : Uveitis adalah suatu kelompok penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi intraokular, berkontribusi sebanyak 25% kebutaan di dunia. Kekeruhan vitreus adalah salah satu tanda klinis yang penting untuk evaluasi dan monitor penyakit khususnya pada uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis.
Tujuan : Memperoleh pengukuran kuantitatif dari kekeruhan vitreus menggunakan optical coherence tomography (OCT) dengan Image J sebagai metode alternatif dari standar baku pengukuran kualitatif, skala Nussenblatt.
Metode: Studi ini adalah studi potong lintang, prospektif. Studi ini menyertakan karakteristik klinis dan demografis pasien uveitis dan kontrol. Penilaian OCT makula dan foto fundus dilakukan oleh dua orang yang berbeda.
Hasil: Sebanyak 29 partisipan dengan uveitis dan 29 kontrol sehat diikutkan dalam penelitian. Lebih dari setengah pasien memiliki panuveitis (59.6%) dengan toksoplasma sebagai etiologi tersering (27.6%). Median dari Vitreus/Epitel Pigmen Retina intensitas relatif (VRIr) sebagai pengukuran yang didapat dari OCT didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan uveitis dibandingkan dengan kontrol sehat (0.265; 0.168-0.605 dan 0.175;0.152-0.199 secara berurutan). Nilai intra-rater dengan kedua metode ini menunjukkan hasil yang sangat baik dengan penilai 1 memperoleh 0. 975 (0.958, 0.985); penilai 2 memperoleh 1.00 (0.999, 1.000) untuk VRIr, dan penilai 1 memperoleh 0.920 (0.829, 0.962) dan penilai 2 memperoleh 0.908 (0.804, 0.957) untuk skala Nussenblatt. VRIr memiliki nilai inter-rater yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan skala Nussenblatt (0.998; 0.996 - 0.999 dan 0.717; 0.696 - 0.737, p<0.001). Korelasi positif yang kuat ditemukan diantara VRIr dan skala Nussebblatt (rho= 0.713, p<0.001).
Kesimpulan: VRIr memiliki nilai inter-rater dengan kesesuaian yang hampir sempurna dan kesesuaian intra-rater yang sangat baik dengan adanya korelasi positif yang kuat terhadap skala Nussenblatt, menjadikan VRIr sebagai metode kuantitatif dari pengukuran kekeruhan vitreus.

Background : Uveitis is a group of diseases characterized by intraocular inflammation, causing 25% of blindness world-wide. Vitreous haziness is one of important clinical endpoint for disease evaluation and monitoring in intermediate, posterior uveitis and panuveitis.
Purpose : To obtain quantitative measurement of vitreous haziness using optical coherence tomography (OCT) with Image J as alternative method to gold standard qualitative measurement, Nussenblatt scale.
Methods: Prospective , cross-sectional study was conducted for this purpose. Clinical and demographic characteristic of uveitic and healthy control were recorded in this study. OCT macula and fundus photograph were obtained and graded by two independent graders.
Result: A total of 29 uveitic eyes and 29 healthy controls were included in this study. More than half of recruited patients had panuveitis (59.6%) with toxoplasma as the most common etiology (27.6%). Median of Vitreous/RPE relative intensity (VRI) as the OCT-derived measurement showed higher in uveitic patients compared to healthy controls (0.265; 0.168-0.605 and 0.175;0.152-0.199 respectively). Intra-rater of two methods showed excellent result with grader 1 was 0.975 (0.958, 0.985) ; grader 2 was 1.00 (0.999, 1.000) for VRI, and grader 1 was 0.920 (0.829, 0.962) and grader 2 was 0.908 (0.804, 0.957) for Nussenblatt Scale. VRI had higher inter-rater agreement compared to Nussenblatt scale (0.998; 0.996 - 0.999 and 0.717; 0.696 - 0.737, p<0.001). Strong positive correlation was found between VRI and Nussenblatt scale (rho= 0.713, p<0.001).
Conclusion: VRI had near perfect inter-rater agreement and excellent intra-rater agreement with strong positive correlation with Nussenblatt scale, making VRI a quantitative method of vitreous haziness measurement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Joshua Partogi Ferdinand
"Tujuan: Membandingkan efek sitikolin pada hewan coba model traumatic optic neuropathy(TON) ditinjau dari gambaran histopatologi dan ekspresi imunohistokimia.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental terhadap 4 kelompok hewan coba. Sebanyak 12 mata dari 12 hewan coba kelinci jenis New Zealand White menjalani optic nerve crush injury(ONC) untuk menciptakan model TON. Tindakan ONC dilakukan dengan menggunakan Hartmann Mosquito Clamp. Evaluasi histopatologi berupa pemeriksaan densitas sel ganglion retina dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi bcl-2 serta caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina pada setiap kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai normal. Perbandingan berdasarkan periode waktu, baik periode 3 hari dan 7 hari, menunjukkan perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan periode yang sama pada subjek tanpa terapi (p<0.001). Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan peningkatan ekspresi bcl-2 secara signifikan pada hari-3 (p=0.012) dan hari-7 (p=0.046).Pemeriksaan imunohistokimia pada kelompok terapi bila dibandingkan dengan kelompok tanpa terapi menunjukkan penurunan ekspresi caspase-3 secara signifikan pada hari-3 (p=0.046) namun tidak pada hari ke-7 (p=0.072).
Kesimpulan: Pemberian sitikolin mampu menurunkan tingkat kematian sel ganglion retina dibandingkan tanpa terapi pada TON dan didukung dengan peningkatan ekspresi bcl-2 sebagai anti-apoptosis yang bermakna serta penurunan dari ekspresi caspase-3 sebagai pro-apoptosis.

Aims: Comparing citicoline effect in animal model of traumatic optic neuropathy (TON) in histopathology and immunohistochemical evaluation.
Methods: This is an experimental research for 4 groups of animal model. Twelve eyes from 12 New Zealand White rabbits underwent optic nerve crush injury (ONC) to create TON. The ONC was done using the Hartmann Mosquito clamp. Histopathological evaluation of retinal ganglion cell density by hematoxylin-eosin staining and immunohistochemical examination with bcl-2 and caspase-3 antibodies.
Results: Retinal ganglion cell density in each group showed a significant difference when compared with normal values. For comparisons based on the time period, 3 days and 7 days, both showed a significant difference when compared to the non-citicoline subjects in same period (p <0.001). Immunohistochemical examination in citicoline group, when compared to the non-citicoline group, showed a significant increase in bcl-2 expression on day-3 (p = 0.012) and day-7 (p = 0.046). Immunohistochemical examination in the citicoline group, when compared with the non-citicoline group, showed a significant decrease in caspase-3 expression on day-3 (p = 0.046) but not on day-7 (p = 0.072).
Conclusions: Citicoline is able to reduce the rate of retinal ganglion cell death and supported by a significant increase in the expression of bcl-2 as anti-apoptosis and a decrease in caspase-3 expression as pro-apoptosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Aurora Sicilia
"Edema makula diabetik (EMD) merupakan penyebab tersering hilangnya penglihatan
pada pasien retinopati diabetik. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF)
diketahui dapat memberikan perbaikan anatomi dan tajam penglihatan pada EMD.
Namun mayoritas kasus membutuhkan injeksi anti-VEGF berulang. Penelitian ini
menilai perubahan central macular thickness (CMT) dan tajam penglihatan setelah
terapi kombinasi intravitreal Bevacizumab (IVB) dan panretinal photocoagulation
(PRP) dibandingkan dengan monoterapi IVB berulang pada EMD. Dua puluh delapan
mata dengan EMD pada Nonproliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) berat
dirandomisasi ke dalam kelompok IVB berulang (n=14) dan kelompok IVB + PRP
(n=14). CMT dan best-corrected visual acuity (BCVA) dinilai sebelum dan 1, 2 dan 3
bulan setelah terapi. Median CMT menurun secara signifikan pada kelompok IVB
berulang (-136.5 μm) dan kelompok IVB + PRP (-114 μm). Median BCVA
meningkat secara signifikan pada kelompok IVB berulang (9 hutuf) dan kelompok
IVB + PRP (9 huruf). Tidak ditemukan perbedaan CMT dan BCVA yang bermakna
antara kedua kelompok studi pada akhir follow-up."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Citra Susanti
"ABSTRAK
Mendapatkan nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan
mencari perbandingan nilai tersebut berikut tingkat kenyamanan pasien menggunakan
elektroda Jet, Dencott dan Dawson-Trick-Litzkow pada populasi orang Indonesia
dewasa di RSUPNCM. Melalui metode convenient sampling dari 49 subjek orang
Indonesia berusia 19-49 tahun dengan kedua mata normal, dilakukan pengukuran
amplitudo dan latensi gelombang berdasarkan rekomendasi ISCEV. Pengukuran
meliputi gelombang N1 dan P1 pada ring 1 sampai 5. Terdapat perbedaan signifikan
nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada populasi orang
Indonesia dewasa secara statistik antara elektroda dengan amplitudo gelombang lebih
tinggi dan latensi lebih panjang pada elektroda Jet dan Dencott dibandingkan dengan
DTL. Elektroda DTL dan Jet dirasakan lebih nyaman daripada elektroda Dencott bagi
orang Indonesia dewasa normal untuk pemeriksaan elektroretinografi multifokal.
Elektroda DTL memberikan amplitudo gelombang yang paling rendah, latensi yang
apling pendek dan tingkat kenyamanan yang paling tinggi dibandingkan elektroda Jet
dan Dencott dalam pemeriksaan elektroretinografi multifokal pada orang Indonesia
dewasa normal.

ABSTRACT
To establish normal values of multifocal electroretinography (ERG) and to compare
the values and the comfort level using Jet, Dencott and DTL electrode in Indonesian
Adult. Through convenient sampling 49 normal Indonesian subjects between 19 and
49 yeras oldwere selected. Multifocal ERG amplitudes and implicit time values were
measured according to recommendation by the International Society for Clinical
Electrophysiology of Vision. Evaluation consisted of N1 and P1 wave in ring 1 to 5.
after the examination, all subjects filled in a questionnaire about comfort level,
adopted from the visual analog scale. We observed a statistically significant
difference in multifocal ERG normal values between electrode with higher wave
amplitudes and longer implicit time in Jet and Dencott electrodes compared to DTL
electrodes. Jet and DTL electrodes are more comfortable than Dencott electrodes for
Indonesian adults in multifocal ERG. DTL electrodes give the lowest wave amplitude
and the shortest implicit time and are the most comfortable electrode compared to Jet
and Dencott electrodes, in multifocal ERG in Indonesian adults."
2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Hartomuljono
"Latar Belakang: Kelainan soket mengerut merupakan salah satu kasus rekonstruksi mata yang sering dijumpai. Kelainan ini menyebabkan protesa mata tidak dapat dipasang sehingga dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang berdampak pada kualitas hidup pasien. Rekonstruksi soket mengerut dapat dilakukan menggunakan berbagai materi autogenous graft, namun graft kartilago aurikular dinilai lebih kuat dan lebih tahan lama.
Tujuan: Menilai peran penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut derajat ringan - sedang, baik secara objektif maupun subjektif.
Metode: Penelitian prospektif ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan membandingkan sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Pasien dengan kelainan soket mengerut derajat ringan-sedang dengan riwayat protesa mata terlepas akan dilakukan rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular. Dilakukan pemeriksaan soket secara objektif pada pasien sebelum dan sesudah dilakukan intervensi hingga 8 minggu pascaoperasi, berupa kedalaman forniks inferior, volume soket, dan epitelisasi konjungtiva. Secara subjektif, kualitas hidup pasien dinilai menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF sebelum dan sesudah rekonstruksi.
Hasil: Rekonstruksi menggunakan graft kartilago aurikular dilakukan pada 12 pasien (rerata usia 47,7±0,1 tahun). Didapatkan perubahan kedalaman forniks inferior sebelum intervensi 1 - 5 mm (2,75±1,1 mm) menjadi 4 - 9 mm (7,17±1,5 mm) setelah 8 minggu pascaoperasi (p<0,001). Volume soket pada awal kedatangan 0,2-0,6 ml (0,45±0,1 ml) meningkat menjadi 0,7 - 1,1 ml (0,87±0,1 ml) pada minggu ke-8 pascaoperasi (p<0,001). Epitelisasi lengkap terlihat pada seluruh subjek di minggu ke-8. Kualitas hidup pasien dinilai mengalami peningkatan signifikan (p<0,001) pada seluruh domain dengan skor melebihi 65% pasca rekonstruksi.
Kesimpulan: Penggunaan graft kartilago aurikular pada rekonstruksi soket mengerut menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan rerata selisih pada kedalaman forniks inferior 4,42±1,2mm dan volume soket 0,42±0,2ml. Epitelisasi konjungtiva terjadi lengkap pada seluruh pasien penelitian di minggu ke-8. Tidak ada morbiditas pada area donor. Secara subjektif, pasien mengalami peningkatan kualitas hidup yang bermakna pada aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.

Background: A contracted socket is one of the most common ocular reconstruction cases. This abnormality causes prosthetic eye cannot be attached, leading to decreased productivity which affects the patient's quality of life. Contracted socket reconstruction can be performed with various autogenous graft materials, although auricular cartilage graft provides greater support and longer durability
Objective: To assess auricular cartilage graft application in mild to moderate degree of contracted socket reconstruction, both objectively and subjectively.
Methods: This prospective study was a quasi-experimental study using a comparison of the sample before and after an intervention. Patients with a contracted socket of mild to moderate degree with a history of prosthetic eye detachment were reconstructed using auricular cartilage graft. Objective assessments, such as inferior fornix depth, socket volume, and epithelization, were done before and after the surgery until eight weeks postoperative. Subjectively, the patient's quality of life was observed using the WHOQOL-BREF questionnaire before and after the reconstruction.
Result: Reconstruction using auricular cartilage graft was performed in 12 patients (mean age 47,7 ±. This study found inferior fornix depth changed from 1 - 5 mm (2,75 ± 1,1 mm) pre-operative to 4 - 9 mm (7,17 ± 1,5 mm) 8 weeks after surgery (p<0,001). Socket volume increased from 0,2-0,6 ml (0,45 ± 0,1 ml) in pre-operative assessment to 0,7 - 1,1 ml (0,87 ± 0,1 ml) in 8-week follow up (p<0,001). Complete epithelization was seen in all subjects after 8 weeks period. Patient's quality of life showed significant increase (p<0,001) in all domain with score exceeding 65% after reconstruction.
Conclusion: Auricular cartilage graft application in contracted socket showed a significant increase with a mean difference of inferior fornix depth 4,42±1,2mm and socket volume 0,42±0,2ml. Complete conjunctival epithelization was seen in all patients on the eighth week. No morbidity was found in the donor area. Subjectively, patients showed a significant increase in quality of life from physical health, psychological, relationship, and environmental aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian prepost tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre-MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti-glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Hasiana
"Latar Belakang: Penggunaan jangka panjang steroid sebagai kontrol inflamasi pada uveitis non-infeksi dan idiopatik dapat menyebabkan efek samping, dan hal tersebut memicu kebutuhan untuk agen imunomodulator lainnya. Penggunaan herbal dan obat tradisional saat ini sedang meningkat. Beberapa herbal memiliki efek imunomodulator dan diduga memiliki peran dalam uveitis. Akan tetapi, bukti penggunaan herbal pada uveitis belum diketahui secara pasti.
Tujuan: Untuk meninjau bukti-bukti ilmiah mengenai efikasi, keamanan, dan mekanisme penggunaan herbal pada uveitis dan model uveitis.
Metode: Tinjauan sistematis berdasarkan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis. Kata kunci uveitis dan herbal serta sinonim terkait digunakan pada database PubMed, CENTRAL, dan ScienceDirect. Penelitian herbal sebagai terapi ajuvan uveitis pada manusia dan penelitian herbal pada model uveitis dipilih. Penelitian kemudian ditelaah dan dinilai validitasnya.
Hasil: Dua uji klinis, satu laporan kasus, dan 32 penelitian hewan mengenai penggunaan herbal pada uveitis ditelaah secara kualitatif. Intervensi ekstrak Echinacea purpurae (pada uveitis anterior) dan kurkuma menghasilkan proporsi kasus inaktif yang tinggi: 85.70% dan 81.48%. Durasi bebas steroid pada kelompok ajuvan Echinacea lebih lama secara signifikan dibandingkan kelompok steroid saja (p<0.05). Intervensi herbal pada model uveitis mencakup 8 preparat herbal, 14 ekstrak herbal, dan 18 komponen herbal. Flare akuos dan skor klinis menurun secara signifikan. Penelitian yang didapat menunjukkan tak adanya efek samping atau kematian.
Kesimpulan: Echinacea dan kurkuma menunjukkan potensi yang baik, sementara Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, dan Yanyankang potensial untuk dilanjutkan menjadi penelitian klinis. Penelitian dengan level of evidence yang lebih tinggi dan risiko bias yang lebih rendah masih dibutuhkan. Data keamanan masih minimal. Mekanisme yang didapat dapat menjadi landasan untuk penelitian lanjutan.

Background: In non-infectious and idiopathic uveitis, long-term corticosteroid use can lead to undesirable side effects, and it warrants the need for other immunomodulatory agents. Use of herbal or traditional medicine is currently on rise. Some herbs displayed immunomodulatory features and are expected to have a role in managing uveitis. However, herbal roles in uveitis have not been established yet.
Objective: To review the human and animal evidence of herbal efficacy, safety, and mechanisms in uveitis.
Method: A systematic review was performed using standardised Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis guideline. Uveitis and herbal-related keywords were entered in PubMed, CENTRAL, and ScienceDirect databases to obtain evidences regarding herbal therapy in clinical (as adjuvant) and pre-clinical trials. The selected studies were reviewed, extracted, and assessed for their validities.
Result: Two clinical trials, one case report, and thirty-two animal studies were qualitatively reviewed. Echinacea purpurae extract (in anterior uveitis) and curcuma displayed high efficacy in inactive case proportion: 85.70% and 81.48%, respectively. Steroid-free duration in Echinacea adjuvant group was significantly longer than steroid group (p<0.05). Herbal intervention in experimental model consisted of eight herbal preparation, fourteen herbal extracts, and eighteen herbal components, with decreased aqueous flare measurement and clinical scoring, and no mortality. Review on animal models proposed an involvement of both innate and adaptive immunity in herbs mechanisms.
Conclusion: Echinacea and curcumin showed good potencies, while Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, and Yanyankang were potential to be continued as clinical trial. Studies with higher level of evidence and lower risk of bias are still needed. There were still lack of safety data. The proposed mechanisms were a good foundation to design further research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sahar Salim Saleh Alatas
"Pasca operasi glaukoma dapat ditemukan TIO pasien yang belum terkontrol. Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) merupakan salah satu jenis laser trabeculoplasty terbaru yang memiliki efikasi hampir serupa dengan laser trabeculoplasty terdahulu, dengan efek samping minimal, dan dapat menjadi terapi alternatif lini pertama pengganti obat anti glaukoma dalam menurunkan TIO. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penurunan jumlah obat anti glaukoma dan TIO pasca MLT pada pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Penelitian pre- post tanpa pembanding (Pre-post study design without control) dilakukan pada 30 mata pasien dengan riwayat operasi glaukoma. Pengukuran TIO dan jumlah obat anti glaukoma dilakukan pada pra MLT, satu jam, satu hari, 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu pasca MLT. Peningkatan TIO lebih dari sama dengan 5 mmHg pada 1 jam pasca MLT dibandingkan pra MLT hanya didapatkan pada 1 subjek penelitian. Tidak terdapat peningkatan rerata TIO yang bermakna pasca MLT. Jumlah obat anti glaukoma yang digunakan mengalami penurunan pada minggu kedua (p=0,008), minggu keempat (p=0,008), dan minggu keenam (p=0,099) pasca MLT dibandingkan pra MLT. Sebanyak 43,3% subjek mengalami penurunan satu jenis obat anti glaukoma pada 6 minggu pasca MLT dibandingkan pra MLT, dan sebanyak 20% subjek sisanya memiliki jumlah obat anti glaukoma tetap namun TIO berkurang dibandingkan pra MLT.

After glaucoma surgery, patients may still experience uncontrolled Intraocular Pressure (IOP). Micropulse Laser Trabeculoplasty (MLT) is an advanced laser trabeculoplasty technique with efficacy comparable to its predecessors, minimal side effects, and can be used as a primary alternative therapy, replacing anti-glaucoma drugs, for IOP reduction. This study aims to evaluate the decrease in both anti-glaucoma drug usage and IOP after MLT in patients with a history of glaucoma surgery. Conducted as a pre-post study without a control group, the research involved 30 eyes of patients with a glaucoma surgery history. IOP and the number of anti-glaucoma drugs were assessed pre-MLT, one hour, one day, two weeks, four weeks, and six weeks post-MLT. An IOP increase of 5 mmHg or more at 1 hour post-MLT compared to pre-MLT was observed in only one subject. On average, there was no significant IOP increase after MLT. The use of anti-glaucoma drugs decreased in the second week (p=0.008), fourth week (p=0.008), and sixth week (p=0.099) post-MLT compared to pre- MLT. At 6 weeks post-MLT, 43.3% of subjects experienced a reduction in one type of anti- glaucoma drug compared to pre-MLT, while the remaining 20% had a constant number of anti-glaucoma drugs but reduced IOP compared to pre-MLT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
"Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya
dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi.
Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek
berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai
menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam®-Oculus. Dosis paparan
radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek
diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter.
Hasil: Prevalensi katarak terinduksi radiasi sebanyak 16.7%. Median dosis radiasi
kumulatif berdasarkan kuesioner menunjukkan median 0,8 (0.1- 35.6) Gy. Hubungan
korelasi positif didapatkan antara dosis radiasi kumulatif dengan densitas lensa (R
Spearman= 0.64). Sebanyak 83.9% subyek menggunakan tabir pada 71-100% masa
kerjanya, tetapi mayoritas subyek penelitian (40.6%), tidak menggunakan kacamata
pelindung. Peningkatan risiko katarak terinduksi radiasi meningkat secara bermakna
seiring dengan kepatuhan penggunaan proteksi radiasi yang kurang. Subyek dengan
proteksi tabir radiasi 31-50% dari masa kerjanya meningkatkan risiko katarak 10.80
kali lipat (IK 95% 1.05-111.49, p=0.044). Sementara itu, kelompok proteksi tabir
radiasi 51-70% meningkatkan risiko katarak 8.64 kali lipat (p=0.001). Subyek yang
tidak memakai kacamata pelindung memiliki OR 164.3 (IK 95% 19.81-1363)
dibandingkan dengan kelompok pengguna kacamata pelindung.
Kesimpulan: Katarak terinduksi radiasi pada pekerja radiasi bidang kardiologi
intervensi tergantung pada dosis paparan radiasi dan penggunaan proteksi radiasi.
Oleh karena itu, kepatuhan pekerja radiasi perlu ditingkatkan sesuai ketentuan
proteksi radiasi.

Objectives: to determine the prevalence of radiation-induced cataract and correlate
with radiation exposure dose and radiation protection use among radiation workers of
interventional cardiology.
Methods: A cross-sectional and retrospective case-control study. One hundred and
eighty subjects were included. Prevalence of radiation-induced cataract was assessed
using Scheimpflug analysis on the Pentacam®-Oculus. Individual cumulative
radiation exposure dose and radiation protection use of subjects were identified from
questionnaire and personal dosimeter.
Results: The prevalence of radiation-induced cataract was 16.7%. Median cumulative
radiation dose was 0.8 (0.1-35.6) Gy. A positive correlation was found between
cumulative radiation dose and lens density (RSpearman=0.64). This study showed that
83.9% of subjects used ceiling-suspended shield in 71-100% of their working period,
however the majority of subjects (40.6%) did not wear protective eyewear.
Statistically significant increasing risk of cataract was found along with unresponsive
use of radiation protection. The subjects using ceiling-suspended shield in 31-50% of
their working period were increasing their cataract risk by 10.80 times (95% CI 1.05-
111.49, p=0.044). Meanwhile, the subjects using protective eyewear in 51-70% of
their working period were increasing their cataract risk by 8.64 times (p=0.001).
Subjects who did not wear protective eyewear had an OR 164.3 (95% CI 19.81-1363)
compared to those who wore protective eyewear.
Conclusion: Radiation-induced cataract among radiation workers of interventional
cardiology was depend on radiation exposure dose and radiation protection.
Therefore, the compliance of radiation safety recommendation should be improved."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hielda Afpa Koeswara
"Latar Belakang: Pembelajaran jarak jauh anak sekolah selama pandemi COVID-19 menyebabkan penggunaan perangkat digital sebagai media pembelajaran. Peningkatan pajanan monitor dan aktivitas melihat dekat diduga meningkatkan angka kejadian astenopia.
Tujuan: Mendapatkan angka kejadian astenopia subjektif dan menilai faktor yang mempengaruhinya pada anak SMP dan SMA Negeri di Jakarta di era pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang menggunakan kuesioner Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) diadaptasi ke dalam Bahasa melalui tahapan validasi. Skoring CISS 16 sebagai batasan keluhan astenopia yang dialami subjek.
Hasil: Kuesioner CISS versi Bahasa adalah valid dan reliabel dengan nilai p<0,05 dengan koefisien Cronbach’s ±  sebesar 0,910 dan 0,925. Subjek penelitian sebanyak 901 responden. Angka kejadian astenopia sebesar 36%. Analisis multivariat didapatkan pencahayaan ruangan yang kurang terang di luar PJJ (OR=8,25;p=0,001), durasi screen time >2 jam saat PJJ (OR>3,73;p=0,001), penyakit mata lain (OR=3,72;p=0,002), melakukan aktivitas dekat dengan posisi berbaring (OR=2,45;p=0,014), durasi tidur malam <8 jam (OR=2,29;p<0,001), penggunaan kacamata (OR=2,10;p<0,001), aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV (OR=1,67;p=0,004), dan jarak baca <30 cm saat PJJ (OR=1,47;p=0,016) merupakan faktor risiko independent untuk astenopia pada anak sekolah.
Kesimpulan: Kuesioner CISS versi Bahasa merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk mendiagnosis astenopia pada anak sekolah. Angka kejadian astenopia di Jakarta cukup tinggi dengan faktor risiko berupa pencahayaan ruangan kurang terang, durasi daring >2 jam, penyakit mata lain, aktivitas dekat dengan posisi berbaring, durasi tidur malam <8 jam, penggunaan kacamata, aktivitas dekat menonton film dengan perangkat digital/TV, dan jarak baca <30 cm saat PJJ.

Background: Schoolchildren's distance learning during the COVID-19 pandemic has led to digital devices as learning media.
Increased exposure to monitors and near-vision activities is thought to increase asthenopia incidence. Obtain the incidence of
subjective asthenopia and assess the factors that influence Jakarta's junior high and high school students during the COVID-19 pandemic.
Methods: A cross-sectional design study using the Revised Convergence Insufficiency Symptom Survey (CISS) questionnaire was adapted
into Indonesian through a validation stage. CISS score 16 as a limitation of asthenopia complaints experienced by the subject.
Result: Indonesian version of the CISS questionnaire is valid and reliable with p-value <0.05 with Cronbach's coefficient of 0.910 and 0.925,
respectively. The research subjects were 901 respondents. The incidence of asthenopia is 36%. Multivariate analysis showed that the room
lighting was not bright when distance learning (OR=8.25; p=0.001), screen time duration >2 hours during distance learning (OR>3.73;p=0.001),
other eye diseases (OR=3 ,72;p=0,002), doing activities close to the lying position (OR=2,45;p=0,014), sleep duration <8 hours
(OR=2,29;p<0,001), wearing glasses (OR=2 ,10;p<0.001), close activity watching movies with digital devices/TV (OR=1.67;p=0.004), and
reading distance <30 cm during distance learning (OR=1.47;p=0.016) were independent risk factors for asthenopia in schoolchildren.
Conclusion: Indonesian version of the CISS questionnaire is a valid and reliable instrument for diagnosing asthenopia in school children.
The incidence of asthenopia in Jakarta is relatively high with risk factors in the form of poor lighting, online duration >2 hours, other eye
diseases, activities close to lying down, sleep duration <8 hours, use of glasses, close activities watching movies with digital devices/ TV,
and reading distance <30 cm during distance learning.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>