Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Imas Sholihah
"Penelitian ini berangkat dari permasalahan Keputusan Tata Usaha Negara pasca berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Adanya pergeseran paradigma fiktif negatif yang bermakna ditolak menjadi fiktif positif yang bermakna dikabulkan, menimbulkan akibat hukum. Keputusan fiktif positif seharusnya menjadi unsur pendukung tujuan UUAP yang menghendaki percepatan penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Namun, dalam praktik terdapat Putusan No. 175 PK/TUN/2016 mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap permohonan fiktif positif yang kemudian dijadikan yurisprudensi. Padahal, putusan permohonan fiktif positif bersifat final and binding. Kondisi demikian berpotensi menghambat tujuan UUAP dimaksud. Berdasarkan hasil penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus dan konsepsional, ditemukan bahwa, akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pergeseran paradigma keputusan fiktif negatif menjadi fiktif positif adalah demi kepastian hukum, ketentuan fiktif negatif dalam Pasal 3 UU Peratun menjadi tidak berlaku. Adanya upaya hukum Peninjauan Kembali adalah sebagai sarana corrective justice terhadap kekhilafan hakim pada penerapan judex factie putusan permohonan fiktif positif di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus tetap memperhatikan pemenuhan persyaratan prosedur permohonan. Ketentuan fiktif positif bersifat sementara, jika good governance sudah tercapai dan dalam kondisi stabil, pengaturan fiktif positif akan ditiadakan dan diberlakukan kembali pengaturan fiktif negatif. Mahkamah Agung sebagai pemegang regulasi beracara di PTUN diharapkan terus responsif dalam mengimbangi perkembangan penerapan keputusan fiktif positif. Diperlukan kehati-hatian, kecermatan, dan pengetahuan hakim dalam penerapan judex factie pada pemeriksaan PTUN tingkat pertama.

This research departs from the problems in an administrative decision after the enactment of Act No. 30 years 2014 on Government Administration (Government Administration Act). The existence of paradigm movement from fictitious negative which is meaning rejected into the fictitious positive meaning accepted, give rise to legal consequences. A fictitious positive decision purpose should be supporting elements of Government Administration Act which requires the acceleration of organizing government administration. However, in practice there is a Decision No. 175 PK/TUN/2016 regarding Judicial Review Remedies against a fictitious positive petition was then made of the jurisprudence. Whereas, the fictitious positive decision is final and binding. These conditions could potentially hinder the purpose of Government Administration Act that requires the presence of an acceleration in the conduct of the administrative service. Based on the results of normative research with regulatory, cases, and conceptional approaches, it was found that legal consequences arising from the existing paradigm of a fictitious negative decision to fictitious positive are the provisions in article 3 negative fictional in Administrative become not valid. An attempt of Law Review is as a means of corrective justice against the judge's mistakes for judex factie application of the fictitious positive decision in administrative court. In organizing the public service must remain mindful of eligibility procedures. Fictitious positive provisions are temporary, if good governance had already been achieved and in stable condition, the fictitious positive regulation and enforced will pass back to fictitious negative. The Supreme Court as the holder of the regulation in Administrative court is expected to continue to be responsive in development of the fictitious positive application. Necessary prudence, accuracy, and the knowledge of judges in applying the judex factie on investigation Administrative court first level.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Samhan Nafi`BS
"Pemerintah Indonesia sedang berupaya mencapai kemandirian industri sediaan farmasi yang salah satu tujuannya untuk memenuhi kebutuhan Produk Obat Derivat Plasma (PODP) secara nasional. PODP dihasilkan dari proses fraksionasi plasma yang hanya boleh dilakukan oleh fasilitas fraksionasi plasma. Salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya kemandirian tersebut adalah penyelenggaraan fraksionasi plasma secara kontrak antara industri farmasi dalam negeri dengan industri fraksionasi plasma luar negeri yang saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Fraksionasi Plasma. Penelitian ini menganalisis peraturan menteri kesehatan yang mengatur penyelenggaraan fraksionasi plasma secara kontrak berdasarkan teori perundang-undangan dan menganalisis wewenang serta tanggung jawab hukum Menteri Kesehatan dalam penyelenggaraan fraksionasi plasma secara kontrak. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam peraturan menteri kesehatan yang mengatur penyelenggaraan fraksionasi plasma secara kontrak, masih terdapat ketentuan norma yang bertentangan dengan peraturan pemerintah yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi. Selain itu peraturan menteri kesehatan sebagai peraturan delegasi, masih terdapat beberapa rumusan norma yang belum memenuhi asas kejelasan rumusan. Adapun wewenang yang menjadi dasar bagi Menteri Kesehatan melakukan tindakan hukum dalam rangka penyelenggaraan fraksionasi plasma secara kontrak, belum seluruhnya merupakan wewenang yang bersumber dari atribusi, delegasi, atau mandat. Pada wewenang yang bersumber dari delegasi, Menteri Kesehatan memikul tanggung jawab hukum atas pelaksanaan tindakan hukum tersebut.

The Indonesian government is working to achieve the independence of the pharmaceutical preparation industry, one of its aim is to meet the national demand for plasma-derived medicinal products (PDMPs). PDMPs are produced from the plasma fractionation process, which may only be carried out by plasma fractionation facilities. One of the government policies to achieve independence is the implementation of toll plasma fractionation between the domestic pharmaceutical industry and the foreign plasma fractionation industry, which is currently regulated in the Minister of Health Regulation Number 4 of 2023 concerning the Implementation of Plasma Fractionation. This research analyzes the health minister's regulation governing the implementation of toll plasma fractionation based on the theory of legislation and analyzes the authority and legal responsibility of the Minister of Health in the implementation of toll plasma fractionation. This research was conducted using doctrinal research methods. The results showed that in the health minister's regulation governing the implementation of toll plasma fractionation, there are still normative provisions that conflict with government regulations, which are hierarchically higher. In addition, the regulation of the Minister of Health as a delegated regulation, there are still several formulations of norms that do not meet the principle of clarity of formulation. The Minister of Health does not fully derive its authority from attribution, delegation, or mandate, which forms the basis for taking legal action in the context of the implementation toll plasma fractionation. In the case of delegated authority, the Minister of Health accepts legal responsibility for the implementation of the legal action."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumanti Disca Ferli
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22434
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Kurniawan
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan instansi terakhir dari rangkaian sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan diupayakan agar sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan narapidana. Hal ini diharapkan agar narapidana dapat mengembangkan potensi dirinya masing-masing agar setelah habis masa pidananya dapat memperoleh bekal berupa keahlian dan kemampuan yang dapat dimanfaatkan pada saat berintegrasi dengan masyarakat. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah apakah yang diharapkan oleh narapidana untuk dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka pemenuhan hak narapidana guna mengembangkan diri. Hak narapidana untuk mengembangkan diri di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi, dapat dilihat melalui indikator ketersediaan fasilitas serta program pengembangan diri yang diberikan oleh pihak Lembaga pemasyarakatan. Sebenarnya pihak lembaga pemasyarakatan telah menyediakan fasilitas-fasilitas dimaksud melalui pengelompokan pada pos-pos kerja yang ada, namun jumlahnya masih sedikit dan tidak semua narapidana dapat terserap. Ketersediaan program pengembangan diri dapat dikatakan relatif sudah tersedia, meskipun demikian pihak Lembaga pemasyarakatan belum dapat mengakomodir semua program pengembangan diri yang sesuai dengan minat dan bakat narapidana. Pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, mint dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, sehingga biaya produksi yang telah dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang tidak diharapkan. Faktor penghambat lain yaitu lemahnya manajemen sumber daya manusia khususnya dalam fungsi kepemimpinan dan pengorganisasian.

Correctional institution is the last institution from criminal judicature system that based on Acts Republic of Indonesia Number 12 year 1995 about Institutional has function as reconstruction place for prison and pupil of institutional. Implemented reconstruction is attempted to adjust their desire, intelligent and necessity of prison. This is accepted in order to depelop them after they finish their punishment can obtain know-how such as skill and used ability when they enter into community.The main problem in this research is what accepted from prisoner so that it provide useful for correctional institution in attempt to right fulfillment to develop them. From obtained conclusion that lack of chance for prison at Class I Correctional Institution Sukamiskin Bandung to develop them during concerned with their phunisment progress. Prisoner right to develop them at Sukamiskin Correctional Institution cannot be fully fulfilled, viewed from facility infrastructure indicator as well as reconstruction program that provided by correctional institution internal line. In fact, they provided such facilities through work posts classification that exist, but insufficient to accommodate the prisoner, nevertheless correctional institution internal line not yet accommodate all development program concerned with their desire and intelligent and willing or inappropriately with situation and condition that they face. Training for them often not suitable with technology and skill so that ineffective where production cost exceeded their hope. Other factor is poor human resources management especially in leadership and organizational function."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fiqi Fatichadiasty
"ABSTRAK
Hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai lembaga penegak hukum
administrasi bagi para pencari keadilan, seringkali menemui hambatan atas
pelaksanaan/eksekusi putusan. Putusan yang dimaksud ialah dalam konteks
putusan tersebut sudah in kracht, terhadap putusan yang sudah in kracht tersebut
Pejabat TUN selaku pihak yang kalah seringkali tidak mau mematuhi isi putusan
dari para hakim PTUN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan data sekunder. Terhadap faktor-faktor tidak
dilaksanakannya putusan TUN disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
seperti belum adanya pengaturan pelaksanaan terkait uang paksa, penggunaan
media massa sebagai upaya pejabat TUN jera ternyata tidak mudah dijangkau oleh
penggugat, eksekusi hierarkis yang sering tidak ditindaklanjuti, serta dapat
disimpulkan sekalipun terdapat berbagai macam upaya paksa ternyata letak
martabat dan daya eksekusi putusan TUN sendiri berada pada kesadaran/self
respect dari pejabat TUN. Adapun perbuatan tidak patuh terhadap isi putusan
TUN tersebut dapat masuk kedalam unsur perbuatan Contempt of Court yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Adapun jenis perbuatan
konstitutif ketidak patuhan pejabat TUN masuk kedalam bentuk penentangan
terhadap perintah pengadilan secara terbuka atau disebut Obstruction of Justice.
Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kemungkinan kriminalisasi Pejabat TUN
sesuai Pasal 216 KUHP atas konsekuensi perbuatan tidak patuh tersebut.

ABSTRACT
The presence of the State Administrative Court (TUN) as an administrative law
enforcement agency for justice seekers, often faces obstacles to the
implementation / execution of decisions. The verdict in question is in the context
of the verdict already in kracht, against the verdict that is already in kracht TUN
officials as the losing party often do not want to comply with the contents of the
decisions of the PTUN judges. This type of research is normative legal research
using secondary data. The factors that the implementation of the TUN verdict
were not caused by several factors such as the lack of implementation
arrangements related to forced money, the use of mass media as a deterrent from
TUN officials was apparently not easy to reach by the plaintiff, hierarchical
executions were often not followed up, and it could be concluded even though
there were various the kind of forced effort turns out that the location of the
dignity and power of execution of the TUN decision itself is in the awareness /
self respect of the TUN official. The act of not complying with the contents of the
TUN decision can be included in the Contempt of Court element of action
mentioned in Act Number 14 of 1985 jo Law Number 5 of 2004 concerning the
Supreme Court. The type of constitutive act of disobedience of TUN officials goes
into the form of open opposition to court orders or called Obstruction of Justice.
This can have implications for the possibility of criminalization of TUN Officials
in accordance with Article 216 of the Criminal Code for the consequences of such
non-compliance.
"
2020
T54430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"ABSTRAK
Dalam negara hukum modern (negara kesejahteraan), diskresi yang
dilakukan oleh pejabat administrasi negara merupakan hal yang tak terhindarkan.
Dinamisnya tugas-tugas administrasi negara serta keterbatasan peraturan
perundang-undangan dalam merespon kemajuan masyarakat menjadikan diskresi
acapkali dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
Walaupun diskresi sering diartikan sebagai kewenang bebas atau kebebasan dalam
bertindak, namun sejatinya penggunaan disresi dalam administrasi negara tidak
benar-benar bebas, tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kedua hal tersebut
merupakan acuan ketika menggunakan wewenang diskresi agar tidak menjadi
penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang yang justru malah merugikan
masyarakat. Selain itu, pejabat administrasi negara pun harus dapat
mempertanggungjawabkan diskresi yang telah dilakukan, tanggung jawab ini
berupa tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.

ABSTRACT
In modern state law( welfare state ), discretion by administrative officials
is inevitable. Dynamic state administration tasks as well as the limitations of
legislation in response to the progress of society often make discretionary done in
solving the problems that arise. Although discretion is often interpreted as free
authority or freedom to act, but actually the use of discretion in the administration
officials is not really free, but still have to pay attention to the laws in force and
the general principles of good governance. Both of these are a reference when
using discretionary powers so as not to be an abuse of authority and arbitrary that
it actually detrimental to society. In addition, administration officials must be
accountable discretion that has been made, the liability is a moral liability and
legal liability."
2014
T38720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Heykal Djajadiningrat
"ABSTRAK
Dalam hal ihwal negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa, Pasal 22 UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Namun timbul problema hukum mengenai siapakah yang menentukan kapan terjadinya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tersebut, dan siapa yang menentukan keadaan seperti apakah kondisi kegentingan yang memaksa telah terpenuhi, sehingga Presiden menjadi berhak menetapkan Perppu. Penelitian ini bertujuan menjawab dua pertanyaan, yaitu: (i) bagaimana pengaturan Perppu dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (ii) bagaimana kesesuaian antara Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 terhadap UUD 1945. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder atau data kepustakaan terkait dengan kegentingan yang memaksa, Perppu, kewenangan Presiden dan kewenangan DPR. Dari analisis dapat diketahui, pertama, syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tidak boleh diidentikan dengan keadaan bahaya seperti dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Jika dianggap identik, justru akan timbul kesulitan karena Perppu hanya boleh ditetapkan dalam keadaan darurat saja. Kedua, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perppu. UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tidak secara tegas mencantumkan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.

ABSTRACT
In the conditions of pressing crisis, Article 22 Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 entitles the President to establish government regulations in lieu of laws or (Perppu). However, legal problems arise regarding who decides what the "conditions in pressing crisis" is, and who determines the conditions so that President is entitled to assign Perppu. This study aims to answer two questions, namely : (i) how Government Regulation is referred in the Constitution and the prevailing legislation (ii) the conformity between the Constitutional Court Verdict Number 138/PUU-VII/2009 against Constitution. The method used in this study is normative research using secondary data or literature data associated with conditions in pressing crisis, Government Regulation, the authorities of President and Parliament. Analysis shows, firstly, requirement of conditions in pressing crisis according to Article 22 paragraph (1) of Constitution should not be identified with the state of emergency as defined by Article 12 of Constitution. If it is considered identical, there will be a problem because Government Regulation should only be applied in emergencies only. Secondly, the Constitutional Court Verdict No. 138/PUU-VII/2009 is contrary to the Constitution. The Constitutional Court does not have the authority to conduct judicial review of Government Regulation. The Constitution and Act Number 24 of 2003 does not expressly include the authority of the Constitutional Court to conduct judicial review against the Constitution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>