Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Dewinta Anggesti
"Sebagai sebuah institusi regional yang memiliki peranan cukup signifikan dalam menciptakan stabilitas kawasan, ASEAN melakukan upaya pengembangan kerja sama dari waktu ke waktu untuk menjaga relevansinya dalam dinamika politik internasional. Upaya signifikan yang dilakukan oleh ASEAN dalam perkembangannya adalah agenda pembentukan Komunitas ASEAN di mana pada fase ini, perdebatan mengenai pengaturan keamanan di ASEAN dari berbagai perspektif muncul. Perdebatan tersebut pada dasarnya membahas bentuk pengaturan keamanan yang beragam, akan tetapi komunitas keamanan merupakan konsep yang mendominasi sebagai sebuah konsep yang dianggap paling relevan dalam menjelaskan ASEAN pada masa ini. Meskipun begitu, literatur yang ada memperlihatkan bahwa perkembangan konsep pengaturan keamanan yang membahas mengenai komunitas keamanan belum mampu menjelaskan kondisi ASEAN saat ini dan di masa depan karena ASEAN tidak menunjukkan potensi untuk melakukan evolusi sebagai sebuah komunitas keamanan yang mapan menurut konsep yang sudah ada seperti layaknya Uni Eropa. Selain itu, salah satu hal yang menjadi urgensi ASEAN untuk melakukan reformasi institusi sebagai komunitas keamanan yang lebih baik, misalnya dengan reformulasi ASEAN Way.
As a regional institution that has significant role in creating regional stability, ASEAN has been developing cooperation from time to time in order to maintain its relevance in international politics. One significant step ASEAN has taken was the agenda of creating ASEAN Community which led to discourses from several perspectives about security arrangement as theoretical framework to understand ASEAN. Those discourses basically discussed different types of security arrangement, with the security community as the most relevant type of security arrangement dominating the study of ASEAN. However, the existing literatures discussing about security community as a security arrangement concept have not been able to fully explain the present and future condition of ASEAN. Since ASEAN has not show any indication yet to evolve into a mature security community as the concept said, just like European Union. Furthermore, there is an urgency for institutional reform within ASEAN to serve the purpose of being a better security community, such as by reformulating the ASEAN Way."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Herlizar Rachman
"Memorandum of Understanding Helsinki pada tahun 2005 merupakan capaian terbaik sebuah negara dalam menyelesaikan konflik asimetris secara damai. Perundingan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM menjadi titik paling menarik selama proses ini karena tidak banyak aktor negara yang berinisiatif untuk menyelesaikan sebuah konflik asimetris dengan menggunakan cara-cara yang non- koersif. Oleh karena itu, penelitian ini mengajukan pertanyaan mengapa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla membuka mediasi dengan pihak GAM dalam proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005?
Dengan menggunakan teori rekonsiliasi, penelitian ini menemukan bahwa cara non-koersif yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia pada proses resolusi konflik Aceh tahun 2004-2005 bertujuan untuk memanfaatkan momentum kemunduran GAM, membentuk citra positif di dunia internasional, serta rekonstruksi pasca-bencana. Temuan tersebut merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode process tracing yang memelajari percabangan-percabangan sejarah dari genealogi konflik Aceh dalam periode waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2005.
The 2005's Memorandum of Understanding of Helsinki was known as a state?s best response to asymmetric conflict using peaceful way. The negotiations between the Government of Indonesia and the Aceh Free Movement, or GAM, had become the core of the process since the rarity of such occassion in which a state solving an asymmetric conflict using non-coercive ways. Thus, this research asks why the Yudhoyono and Kalla administration opens a mediation with the Aceh Free Movement during the Aceh conflict resolution process in 2004-2005?Using reconciliation theory, this research finds that the Government of Indonesia?s choice in using non-coercive ways is due to maximizing the moment of the setback of the Aceh Free Movement, creating positive image among international community, and the post-disaster reconstruction. Those findings are the result of a process tracing method in which this research study the genealogy of the conflict of Aceh and its disjunctures of events during 2004-2005."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S63511
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library