Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eric Daniel Tenda
"ABSTRAK
Tujuan : Untuk menilai dan mengetahui pengaruh pemberian kombinasi asam
amino rantai cabang (AARC) dengan L-ornitin L-aspartat (LOLA) larut malam
terhadap status nutrisi dan ensefalopati hepatikum derajat rendah pada pasien
sirosis hati.
Metode : Populasi terjangkau penelitian adalah pasien poliklinik hati rumah sakit
Cipto Mangunkusumo periode Juni 2011 – Juni 2012 yang kemudian dilakukan
evaluasi critical flicker frequency (CFF). Semua pasien yang masuk dalam
populasi penelitian adalah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian. Subjek penelitian kemudian diberikan edukasi diet sesuai dengan
konsensus ESPEN. Subjek penelitian dibagi dalam 2 kelompok sesuai hasil
randomisasi, yaitu kelompok makanan selingan siang hari (MSSH) dan kelompok
makanan selingan malam hari (MSMH). Evaluasi terhadap anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan CFF dilakukan 1 bulan setelah intervensi.
Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian uji acak tersamar tunggal ini
adalah uji t independen.
Hasil : Tiga puluh dua pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dibagi dalam 2
kelompok intervensi. Kelompok A, MSSH (07.30 dan 12.30) dan kelompok B,
MSMH (07.30 dan 22.30), masing-masing kelompok memiliki 16 subjek
penelitian. Setelah 1 bulan intervensi didapatkan hasil rerata lingkar lengan atas
(LLA) kelompok MSMH (26.1±6.0 cm) (p = 0.001) dibandingkan kelompok
MSSH (25.5±4.0 cm). Pada hasil CFF, didapatkan kelompok MSMH (39.5±3.9
Hz) (p = 0.001) dibandingkan kelompok MSSH (38.4±4.2 Hz). Tidak didapatkan
perbaikan kadar prealbumin dan derajat SGA setelah 1 bulan intervensi pada dua
kelompok. Hal ini dipikirkan karena perbedaan karakteristik dasar dan jumlah
sampel yang relatif kecil.
Simpulan : Proses randomisasi tidak berhasil menyamakan karakteristik dasar
pada kedua kelompok. Terdapat peningkatan bermakna pada lingkar lengan atas,
berat badan dan CFF setelah 1 bulan pemberian kombinasi AARC dan LOLA
sebagai makanan selingan malam hari pada pasien sirosis hati.

ABSTRACT
Aim : To determine the effect of L-ornithine L-aspartate (LOLA) and branch
chain amino acids (BCAA) as a combination supplementation on nutritional status
and minimal hepatic encephalopathy improvement in liver cirrhosis patient.
Methods : Liver cirrhosis patient in walk-in clinic of Cipto Mangunkusumo
Hospital in June 2011 – June 2012 were evaluated by critical flicker frequency
(CFF) test. Encephalopathy is defined when CFF < 38 Hz. All subjects who
fulfilled the inclusion criteria received education for an adequate diet based on the
ESPEN Guidelines. They were divided into two groups based on randomization.
One group was given the combination supplement as day snacks, while the other
group as late evening snacks. The evaluation based on anamnesis, physical
finding, laboratory result and CFF test after 1 month of interventions. Statistical
analysis conducted for this single blind randomized clinical trial was independent
t-test.
Results : Thirty two patients who fit the inclusion criteria were divided into two
groups, group A : day snacks (7.30 am and 12.30 pm) and group B : late evening
snacks groups (07.30 am and 10.30 pm), each groups has 16 subjects. Statistical
analysis obtained the statistically significant (p = 0.001) of increasing of the mean
mid arm circumference in group B (26.1±6.0 cm) compared to group A (25.5±4.0
cm). Statistically significant (p = 0.001) were also revealed in mean CFF value in
group B (39.5±3.9 Hz) compared to group A (38.4±4.2 Hz). However, the mean
prealbumin level and SGA score after 1 month intervention in both groups was
not met statistically significant, caused by the small subjects.
Conclusion : The randomization process was not able to make a good comparison
in both groups. There is a significant increasing level of mid arm circumference,
body weight and CFF after 1 month combination of LOLA and BCAA as late
evening snacks for liver cirrhosis patient."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubertus Hosti Hayuanta
"Pasien sirosis hati perlu dievaluasi secara berkala untuk menentukan adanya varises esofagus (VE) dan ukurannya (besar atau kecil), karena VE besar membutuhkan penatalaksanaan yang lebih agresif. Evaluasi ini dilakukan dengan endoskopi yang tidak selalu ada, invasif, dan berbiaya tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemeriksaan yang non invasif, lebih murah, dan lebih mudah diakses untuk menentukan besarnya VE. Parameter yang diteliti adalah hitung trombosit, prothrombin time (PT), kadar albumin, dan bilirubin. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 64 subjek, terdiri atas 24 pasien sirosis hati dengan VE besar dan 40 tanpa VE besar.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna pada hitung trombosit, PT, dan kadar albumin antara kedua kelompok, sedangkan kadar bilirubin tidak memberikan perbedaan yang bermakna. Untuk parameter hitung trombosit didapatkan besar area under the curve untuk memprediksi VE besar sebesar 80,9%, dengan cutoff 89,5 x 103/μL didapatkan sensitivitas 79,2% dan spesifisitas 75,0%; PT 68,4%, dengan cutoff 14,05 detik didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 67,5%; kadar albumin 76,6%, dengan cutoff 3,275 g/dL didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 75,0%. Model prediksi sirosis hati dengan VE besar adalah P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) dengan Logit (y) = 11,989 – 0,026 x hitung trombosit – 2,243 x kadar albumin – 0,184 x PT.

Patients with liver cirrhosis require periodic evaluation to determine the presence and size of esophageal varices (EV), because the large ones demand more aggressive management. Evaluation is done using endoscopy, which is not always available, invasive, and costly. This study aims to acquire tests that are noninvasive, cheaper, and more accessible to determine the size of EV. Studied parameters were platelet count, prothrombin time (PT), albumin, and bilirubin level. The study design was cross sectional with 64 subjects, consisted of 24 liver cirrhotic patients with large VE and 40 without.
This study found significant difference in platelet count, PT, and albumin level between both groups, while bilirubin level was not. The size of area under the curve for platelet count to predict large VE was 80.9%, cutoff 89.5 x 103/μL (sensitivity 79.2%, specificity 75.0%), PT 68.4%, cutoff 14.05 seconds (sensitivity 70.8%, specificity 67.5%), and albumin level 76.6%, cutoff 3.275 g/dL (sensitivity 70.8%, specificity 75.0%). Prediction model for liver cirrhosis with large VE was P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) with Logit (y) = 11.989 – 0.026 x platelet count – 2.243 x albumin level – 0.184 x PT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubertus Hosti Hayuanta
"Pasien sirosis hati perlu dievaluasi secara berkala untuk menentukan adanya varises esofagus (VE) dan ukurannya (besar atau kecil), karena VE besar membutuhkan penatalaksanaan yang lebih agresif. Evaluasi ini dilakukan dengan endoskopi yang tidak selalu ada, invasif, dan berbiaya tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemeriksaan yang non invasif, lebih murah, dan lebih mudah diakses untuk menentukan besarnya VE. Parameter yang diteliti adalah hitung trombosit, prothrombin time (PT), kadar albumin, dan bilirubin. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 64 subjek, terdiri atas 24 pasien sirosis hati dengan VE besar dan 40 tanpa VE besar.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna pada hitung trombosit, PT, dan kadar albumin antara kedua kelompok, sedangkan kadar bilirubin tidak memberikan perbedaan yang bermakna. Untuk parameter hitung trombosit didapatkan besar area under the curve untuk memprediksi VE besar sebesar 80,9%, dengan cutoff 89,5 x 103/μL didapatkan sensitivitas 79,2% dan spesifisitas 75,0%; PT 68,4%, dengan cutoff 14,05 detik didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 67,5%; kadar albumin 76,6%, dengan cutoff 3,275 g/dL didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 75,0%. Model prediksi sirosis hati dengan VE besar adalah P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) dengan Logit (y) = 11,989 ? 0,026 x hitung trombosit ? 2,243 x kadar albumin - 0,184 x PT.

Patients with liver cirrhosis require periodic evaluation to determine the presence and size of esophageal varices (EV), because the large ones demand more aggressive management. Evaluation is done using endoscopy, which is not always available, invasive, and costly. This study aims to acquire tests that are noninvasive, cheaper, and more accessible to determine the size of EV. Studied parameters were platelet count, prothrombin time (PT), albumin, and bilirubin level. The study design was cross sectional with 64 subjects, consisted of 24 liver cirrhotic patients with large VE and 40 without.
This study found significant difference in platelet count, PT, and albumin level between both groups, while bilirubin level was not. The size of area under the curve for platelet count to predict large VE was 80.9%, cutoff 89.5 x 103/μL (sensitivity 79.2%, specificity 75.0%), PT 68.4%, cutoff 14.05 seconds (sensitivity 70.8%, specificity 67.5%), and albumin level 76.6%, cutoff 3.275 g/dL (sensitivity 70.8%, specificity 75.0%). Prediction model for liver cirrhosis with large VE was P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) with Logit (y) = 11.989 ? 0.026 x platelet count ? 2.243 x albumin level - 0.184 x PT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hasan
"ABSTRAK
Prevalensi H.pylori di Indonesia berbeda pada masing-masing daerah dan etnis di Indonesia. Prevalensi, faktor virulensi dan faktor risiko infeksi H.pylori di Indonesia timur belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mendapatkan data prevalensi infeksi H.pylori, faktor virulensi Cag Pathogenecity Island (Cag-PAI) yang dihubungkan dengan gambaran endoskopi dan histopatologi serta faktor risiko infeksi H.pylori di Indonesia timur.
Penelitian ini menganalisis data secara retrospektif dari pengumpulan sampel di kota Kupang, Kolaka, Palu, Ternate dan Merauke. Data yang didapatkan berupa hasil wawancara, pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi, pemeriksaan histopatologi, dan pemeriksaan gen Cag-PAI pada kuman H.pylori. Data dari pemeriksaan rapid urease test, histopatologi dan dikonfirmasi dengan IHK mendapatkan angka prevalensi rata-rata adalah 16,6%. Prevalensi tertinggi didapatkan di Kupang (36,4%) diikuti Merauke (20%). Berdasarkan etnis prevalensi terbesar ditemukan pada etnis Timor (40%), etnis Bugis (20,8%) dan etnis Papua (20%). Gambaran endoskopi pada pasien dengan H.pylori positif yang paling banyak ditemukan adalah gastritis (64,7%) diikuti gambaran gastritis atrofik (26.5%) dimana proporsi gambaran gastritis atrofik lebih besar pada H.pylori positif. Pasien dengan H.pylori positif didapatkan memiliki derajat inflamasi dan atrofi yang lebih berat. Faktor virulensi Cag-PAI didapatkan di Kupang (39,4%), Merauke (20%) dan Kolaka (15,2%). Adanya faktor virulensi Cag-PAI secara signifikan bermakna terhadap derajat beratnya inflamasi dan atrofi (p<0.05). Faktor sosial ekonomi, sumber air, konsumsi alkohol dan merokok tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko infeksi H.pylori. Prevalensi H.yplori di Indonesia timur cukup tinggi jika dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Terdapat faktor virulensi Cag-PAI pada beberapa daerah di Indonesia timur yang berhubungan dengan derajat beratnya inflamasi dan atrofi gaster.
"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrihadi Putra
"Latar belakang dan tujuan : Derajat perlemakan hepar merupakan salah satu hal yang penting untuk dievaluasi pada calon donor transplantasi hepar. CT scan tanpa kontras merupakan salah satu modalitas radiologis yang dapat digunakan untuk menilai perlemakan hepar. Belum ada penelitian yang membuktikan akurasi CT scan tanpa kontras pada perlemakan hepar mild-moderate pada calon donor transplantasi hepar.
Metode: Analisis korelasi atas angka atenuasi hepar serta rasio atenuasi hepar/lien terhadap derajat perlemakan hepar secara histopatologi terhadap 30 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu Januari 2010 sampai Juli 2016. Analisis kurva ROC juga dilakukan dan didapatkan titik potong optimal serta nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil : Dengan uji korelasi spearman didapatkan p = 0,003, r = - 0,52 antara angka atenuasi hepar dengan derajat perlemakan secara biopsi. Sementara uji korelasi spearman terhadap rasio atenuasi hepar/lien dengan hasil biopsi didapatkan P

Background and objektive: Liver steatosis is one of important things that have to be evaluated in candidate of liver donor transplantation. There is no study proved the accuracy of unenhanced CT scan for assesing mild moderate liver steatosis in candidate of donor liver transplantation.
Methods: A cross sectional correlation study between radiologically liver atenuation value, liver spleen atenuation ratio and histopathologically liver steatosis grade conducted in 30 subjects by using secondary data in period of January 2010 to July 2016. Analysis of ROC was performed and get the optimal cut off value and also the sensitivity and specificity of that value.
Results: With Spearman correlation test, there is a significant negative correlation p 0,003, r 0,52 between liver atenuation value and liver biopsy. The spearman correlation test to liver spleen atenuation ratio and liver biopsy get a significant negative correlation p 0,001, r 0,65. This study also get the optimal cut off value 52,42 HU Sn 88 , Sp 80 for liver atenuation value and 1,05 Sn and Sp 100 for liver spleen atenuation ratio in differentiating 20 and ge 20 hepatic steatosis.
Conclusions: There is moderate negative correlation between liver atenuation value and liver spleen atenuation ratio radiologically and hepatic steatosis histopathologically liver biopsy .The correlation coefficient between liver spleen ratio and liver biopsy is higher than liver attenuation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization (WHO) memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.
Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.
Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan (69,9%), bekerja sebagai perawat (38,3%) dan dokter (38,3%), serta terpajan secara perkutan (93,4%). Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 (13%) sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 (8%) dan anti-HCV reaktif pada 12 (6%) sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 (28,1%) petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9% (81) petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5% (66) petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60% petugas minum ARV secara lengkap (28 hari). Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 (24%) dan 41 (22,4%) petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin (HBIG). Dari 22 (59%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 (2,7%) yang melakukan. Dari 15 (41%) yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 (5,4%) yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 (31,1%), 38 (28,8%) dan 2 (1,5%) petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 (21,4%) dan 37 (20,3%) petugas.
Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.

Introduction: Health care workers (HCW) have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization (WHO) estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post-exposure prophylaxis could reduce the transmission risk. Goal: To identify the implementation of post-exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Method: A cross-sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014-2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.
Result: Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female (69.9%), worked as nurse (38.3%) and doctor (38.3%), and exposed percutaneously (93.4%). Positive anti-HIV was found in 25 (13%) people of exposure sources, positive HBsAg in 13 (8%) people and positive HCV in 12 (6%) people. Workers with protective anti-HBs were 55 (28.1%) people. In 183 reports, 81 (45,9%) workers were recommended to receive ARV, 66(81.5%) workers did receive it, and 40(60%) workers took complete ARV (28 days). Follow-up 3 and 6 months was done by 44 (24%) and 41 (22,4%) workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and/or immunoglobulin (HBIG). In 22 (59%) recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 (2,7%) who took that. In 15 (41%) recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 (5,4%) who took both. Follow-up of HBsAg and anti-HBs on 3rd and 6th months were done by 41 (31,1%), 38 (28,8%) and 2 (1,5%) workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow-up of anti-HCV, 39 (21,4%) and 37 (20,3%) workers did the follow-up on 3rd and 6th month.
Conclusion: The implementation of post-exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker's knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library