Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzy Marasabessy
"Tesis ini membahas mengenai korban kejahatan, yang akan mengalami viktimisasi lanjutan (post victimization) karena adanya penolakan dan pengabaian dari sistem peradilan pidana. Sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana, korban kejahatan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan perkara di pengadilan. Korban hanya dilibatkan sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Posisi korban sebagai pihak yang dirugikan, telah diambil alih oleh penyidik dan penuntut umum yang mengatasnamakan negara. Sementara itu dalam proses peradilan seringkah hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menyarankan korban kejahatan dapat dilindungi hak-hak yuridisnya serta lebih berperan dalam sistem peradilan pidana dimana korban kejahatan dapat ikut menentukan mengenai model penghukuman apa yang diinginkannya terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana atas dirinya. Apakah model penghukuman (retributif) atau ganti kerugian (restoratif).

This thesis topics about criminal casualties, that will get post victimization because of the existence of the refusal and carelessness from the criminal justice system, as the side that suffer and is damage resulting from the violation of criminal law, criminal casualties had not been involved in the process of the criminal judicature, from the investigation stage, the demanding, to the case inspection in the court, casualties are only involv in being limit gave the testimony as casualties 's witness, the position of casualties is as the side that incure a loss, taken over by the investigator and the public prosecutor by the name of State. In the meantime in the process of the judicature often the law too much put the rights forward deffendant, where as casualties 's rights are ignored, this thesis research is the juridical research normative and juridical sociological, results of the research suggest criminal casualties could be protect by his juridical rights as well as more play a role in the criminal judicature system where criminal casualties could be decisive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26103
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erianto N.
"Keberadaan asas subsidiaritas dalam penegakan hukum lingkungan bertujuan untuk meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap sistem nilai tentang pentingnya pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup masa kini dan masa depan. Asas subsidiaritas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan penyidik PPNS lingkungan hidup serta menganalisis beberapa putusan pengadilan mengenai tindak pidana lingkungan hidup.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa asas subsidiaritas belum maksimal digunakan disebabkan penjelasan mengenai bagaimana penerapan asas subsidiaritas masih kurang sehingga terjadi perbedaan penafsiran di tingkat penegak hukum maupun ahli hukum di lapangan. Tidak adanya kriteria dalam menentukan kapan dan dalam kondisi bagaimana asas subsidiaritas diterapkan atau dapat dikesampingkan menyebabkan penerapan asas subsidiaritas sangat tergantung pada subjektifitas penegak hukum itu sendiri. Konsep asas subsidiaritas di masa mendatang mesti diatur secara jelas dan tegas sehingga kepastian hukum, keadilan dan mamfaat penegakan hukum lingkungan dapat terwujud.

The existence of the subsidiary principle in environmental crime enforcement is intended to raise public compliance toward the value system on the importance of environmental conservation and development to support life at present time and in the future. The subsidiary principle as contained in the Law Number 23 of 1997 on Environmental Management stipulates that criminal code should be empowered if other forms of sanctions such as administrative sanction or civil sanction and when alternative settlement is ineffective in settling environmental cases or if offense is relatively serious and/or its impact has caused a restlessness among the community. This study is a judicial normative study supported by field research in the form of interviews with PPNS environmental investigators in conjunction with an analysis of several court decisions on environmental related cases.
The result reveals that in its current state the subsidiary principle has not been fully applied due to the insufficient technical guidelines on its application, which leads to different interpretation among the law enforcement officers and legal experts in the field. There is no specific criterion governing when and where and in what condition the subsidiary principle should be applied or when it can be waived. This kind of ambiguity has lead to a situation where the application of the subsidiary principle is highly dependent on the subjectivity of the law enforcement officers. In the future, the subsidiary principle must be laid down clearly to prevent ambiguity and different interpretation; therefore, legal certainty, justice and the benefits of environmental law enforcement may be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Kayana
"Proses penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat tempat hukum tersebut diterapkan. Partisipasi dan dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum semakin nyata saat rasa keadilan di dalam masyarakat terusik ditambah dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Salah satu wujud dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum adalah munculnya opini publik baik melalui media massa maupun media sosial. Tesis ini membahas mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum, sikap para penegak hukum dalam mengakomodir opini publik yang muncul dalam proses penegakan hukum serta pengaruh opini publik dalam proses penegakan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah membuka peluang peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum. Secara umum peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum lebih banyak diarahkan pada upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menunjukkan bahwa para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya telah berusaha mengakomodasi opini publik yang disampaikan oleh masyarakat namun dalam prakteknya tidak semua opini publik yang berhubungan dengan proses penegakan hukum berpengaruh terhadap hasil akhir proses penegakan hukum. Profesionalitas para penegak hukum sangat diperlukan untuk memilah opini publik tanpa harus mengganggu pelaksanaan tugasnya dalam upaya melaksanakan penegakan hukum.

Law enforcement process is inseparable from the role of the community wherein the law is applied. The participation and support from the community in the enforcement of law become more evident when something disturbs their sense of justice and when their trust towards the law enforcement officers efforts in handling criminal cases has decreased. One example of community's support towards law enforcement is the emergence of public opinion in mass and social media. This thesis discusses the forms of public participation in the law enforcement process, the stance of law enforcement officers in accommodating the public opinion emerging in the law enforcement process, and the effect of such public opinion. The research applies a legal normative method which is supported by empirical studies. Meanwhile, the analysis in this research is made by using the secondary data as the main data and using the primary data as the supporting data.
The result of the research shows that the Indonesian laws and regulations have opened up an opportunity for the community to participate in the law enforcement process. In general, the public participation in the law enforcement process focuses more on the criminal acts prevention. This research shows that in doing their duties, the law enforcement officers have attempted to accommodate public opinion. However, in the practice, not all of the public opinion related to the law enforcement process can have any effect on the final result of the law enforcement process. Professionalism of the law enforcement officers is necessary to sort out public opinion without disrupting the performance of their duties in enforcing the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tirtana
"Tujuan pemidanaan terhadap anak harus disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan anak tersebut demi masa depannya karena anak memiliki ciri-ciri khusus yang melekat pada dirinya yang tidak dapat disamakan dengan pelaku dewasa. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi pidana alternatif, khususnya bagi terpidana anak. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofi pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomi. Community service order (CSO) atau pidana pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari pidana alternatif perampasan kemerdekaan atau penjara bagi anak yang bersifat non-institusional (di luar lembaga) yang direkomendasikan oleh instrumen internasional yaitu United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Pidana pelayanan masyarakat telah dimasukkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana anak Indonesia yaitu dalam Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak). Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pidana pelayanan masyarakat sangat menunjang tujuan pemidanaan dan pembinaan bagi terpidana anak, baik dilihat dari tujuan pemidanaan secara umum maupun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif. Relevansi antara pidana pelayanan masyarakat dengan pembaharuan sistem pemidanaan anak di Indonesia dapat diartikan bahwa pidana pelayanan masyarakat perlu dipahami dalam konteks kebijakan kriminal, dengan demikian pidana pelayanan masyarakat dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu kontrol sosial dalam menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Konsep pengaturan pidana pelayanan masyarakat yang ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak) masih perlu disempurnakan lagi karena masih bersifat sangat umum. Pidana pelayanan masyarakat memberikan prospek dan harapan besar untuk dapat diterapkan dalam peradilan pidana anak di Indonesia, mengingat pelbagai keuntungan yang didapat dari pidana pelayanan masyarakat tersebut.

Criminal sentencing of a juvenile offender should be adjusted to the special need and requirement of a juvenile or a minor, because despite being an offender, s/he is still a child, hopefully with a future and hence s/he has a special characteristic that is inherent to him/her that is not found in an adult offender. The recent development in criminal law reveals a growing international trend to seek an alternative to replace the more common method of incarceration, specifically in cases involving juvenile offender. This conviction stemmed from the notion that the concept of imprisonment is getting less popular, whether it is viewed from humane consideration, sentencing philosophy or economic consideration. Community service order (CSO) is one of the alternatives to incarceration to a juvenile offender that is non-institutionalized and it is recommended in an international instrument the United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). The concept of community service sentencing for juvenile offender has been entered into the draft reform of the Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak). This study is a judicial normative research supported by a field research in the form of interviews with competent respondents. From the result of the study, the author concludes that community service is highly supportive to the objectives of sentencing and education of a juvenile offender both from the perspective of sentencing in general or sentencing objectives that are integrative in nature. The relevance between community service sentencing and the juvenile criminal system reform may be interpreted that community service sentencing is perceived within the context of a policy on managing criminal offenders; therefore, community service sentencing may play its intended role as a social-control instrument to support the policy of managing criminal acts committed by juveniles in Indonesia. The existing draft on community service sentencing as contained in the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak) still needs to be improved since it is still too broad in nature. Community service sentencing has the prospect and possibility to be applied in Indonesia?s juvenile criminal court, considering the huge benefits that may be reaped from such application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Martinus Evan Aldyputra
"Perkembangan teknologi informasi memberikan kemudahan dalam mengakses segala jenis informasi. Hal ini mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama cyber crime. Dalam menghadapi akibat dari perkembangan tersebut, berbagai negara di dunia melakukan perkembangan dalam kebijakan hukumnya melalui pembuatan ketentuan yang dikenal dengan nama cyber law.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan perkembangan seperti itu, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) terdapatlah sebuah cyber law di Indonesia. Walaupun demikian, Undang-Undang tersebut dapat dikatakan memiliki kekurangan-kekurangan dalam pengaturannya. Salah satu kekurangan tersebut adalah dalam hal mengenai penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan. Menurut penulis, ketentuan yang mengatur penyebaran dengan muatan informasi seperti itu dapat menjadi masalah dalam penerapannya apabila tidak terdapat kejelasan dalam perumusannya. Oleh karenanya, untuk melihat sejauh mana ketentuan tersebut dapat menjadi masalah dilakukanlah penelitian ini.
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa ketentuan mengenai penyebaran informasi yang bermuatan penghinaan dalam Undang-Undang ITE dapat menjadi suatu masalah. Walaupun dari segi perumusannya dapat dijelaskan unsur-unsur yang dimilikinya, namun dari segi batasannya ketentuan tersebut terlalu luas pengaturannya sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dalam penerapannya.

Development of information technology provides easy access to all kinds of information, this resulted in the emergence of new crime known as cyber crime. To face the consequences of these developments, many countries around the world develop a new legal policy known as cyber law.
Indonesia is one of the country that did such a development, through The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act (Law Number 11, 2008) cyber law exist in Indonesia. However, it can be said that the Act has flaws in its regulation. One of these is in the case regarding the spread of information that contains defamation. According to the authors, such policy could be a problem in practice if there is no clarity in the concept. Therefore, this research was conducted to see how far the policy can be a problem.
From the results of research, it can be said that Dissemination Policy of Defamation in The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act can become a problem. Although it can be explained in terms of concept, but in terms of usage it is too broad that making it possible to abuse in its implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wellza Ardhiansyah
"ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat pada semua bidang,
perkembangan dimaksud terutama dibidang ekonomi, keuangan, dan
perdagangan yang akan memberikan dampak pula terhadap hukum tidak satu
pun negara yang menutup diri, termasuk Negara Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional. Negara Indonesia sebagai anggota masyarakat
internasional telah meratifikasi konvensi internasional, salah satunya adalah
International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik), artinya mengesahkan dan mengundangkan
kovenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik ke dalam hukum nasionalnya
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005. Bahwa
selanjutnya juga Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mempunyai
kewajiban perlindungan hak asasi manusia dalam menjalankan kekuasaannya,
melalui konstitusinya yang diatur pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, melalui Undang-Undang yang diatur pasal 32 Undang-Undang tentang
Hak Asasi Manusia dan melalui 3 (tiga) pertimbangan Putusan Mahkamah
Konstitusi yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
006/PUU-I/2003 tertanggal 30 Maret 2004, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24
Februari 2011 telah melindungi hak privasi yang merupakan hak asasi manusia
warganegara Indonesia, namun pelaksanaan perlindungan hak privasi dalam
hukum nasional di Indonesia secara pratiknya masih terdapat konflik, khususnya
dikaitkan dengan pratek penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dan atau aparat negara yang lain khususnya dikaitkan dengan proses
penyadapan dalam kepentingan penegakan hukum dan kepentingan intelijen
negara. Oleh karena dari kesepuluh undang-undang yang mengatur kewenangan
penyadapan tersebut pengaturannya bersifat umum dan sektoral, serta tidak
secara jelas, terang dan tegas mengatur mengenai tata cara, mekanisme
pemantauan pelaksanaan penyadapan bahkan tidak mengatur mekanisme
komplain yang secara khusus disediakan untuk warganegara yang merasa
dirugikan atas pelaksanaan penyadapan tersebut. Maka dikuatirkan akan
melanggar hak privasi yang merupakan dasar dari perlindungan hak asasi
manusia.

ABSTRACT
Development of science and technology is fast on all fronts, especially in the field
is the development of economic, financial, and trade that will give effect to the
law also states that none of them shut down, including the State of Indonesia as a
member of the international community. State of Indonesia as a member of the
international community has ratified international conventions, one of which is
the International Covenant On Civil And Political Rights, that passed and enacted
international covenants on Civil and Political Rights into domestic law by the Act
Republic of Indonesia Number 12 of 2005. Furthermore state that Indonesia is a
country of law, which has the protection of human rights obligations in the run
rule, governed by its constitution Article 28 Paragraph G (1) of the Constitution of
1945, through Act that regulated article 32 of Law on the Right Human Rights
and through three (3) consideration of the Constitutional Court, Decision of the
Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 006/PUU-I/2003 dated
March 30, 2004, the Constitutional Court Decision No. 19 dated 012-016-
019/PUU-IV/2006 December 2006 and Decision of the Constitutional Court of
the Republic of Indonesia Number 5/PUU-VIII/2010 dated February 24, 2011 has
been protecting the privacy rights of a citizen of Indonesia human rights, but
implementation of the protection of privacy rights in national laws in Indonesia
are practical there are conflicts, particularly associated with practical conducted
by law enforcement officers or law enforcement and other state officials,
especially associated with the process of tapping the interests of law enforcement
and intelligence interests of the state. Because of the ten laws governing
wiretapping authority is general and sector arrangements, and not as clear, bright
and clear set of procedures, implementation of monitoring mechanisms do not
even regulate wiretapping complaint mechanisms that are specifically provided
for citizens who feel aggrieved over implementation of these intercepts. Then the
concern would violate the privacy rights that are the foundation of human rights
protection."
2012
T30645
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>