Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hari Poerna Setiawan
"Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negara-negara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju mengimbau agar negara berkembang ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat.
Awal tahun 1990-an PBB menyepakati pembentukan UNFCCC sebagai wadah bagi pelaksanaan perundingan untuk menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan perubahan iklim. Protokol Kyoto yang disusun sebagai mekanisme mengikat (legally binding) untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dapat berjalan efektif karena pertentangan kepentingan negara maju dan negara berkembang terkait dengan kepentingan ekonomi. Diantara negara maju, Jerman merespon isu perubahan iklim dengan kebijakankebijakan yang aktif dan progresif. Bersama Uni Eropa, Jerman senantiasa menunjukkan komitmennya dalam mengusulkan dan memelopori tindakantindakan konkret dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto. Kebijakan luar negeri Jerman yang progresif dalam menangani isu perubahan iklim lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi politik domestik. Sebagai negara demokrasi liberal, pemerintah federal Jerman berperan untuk mengelola dinamika politik domestik untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global.
Perundingan internasional dalam kerangka UNFCCC yang berlangsung setiap tahun pada kenyataannya telah menjadi wahana pertarungan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju berhadapan dengan negara berkembang. Ditengah kondisi tersebut, kebijakan luar negeri Jerman senantiasa mendinamisasi politik perubahan iklim dari kebuntuan-kebuntuan yang mengancam bubarnya kesepakatan global mengenai upaya memerangi perubahan iklim.

Climate change has increasingly threatened the life of people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem can not be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world.. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economic interests among them. In this issue, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries.
In early 1990s, the United Nations has approved the establishment of UNFCCC, forum under United Nations, as a tools for negotiation in order to arrange the mechanisms for the prevention and dealing with climate change issue. Kyoto Protocol is one of binding mechanism in order to reduce greenhouse gas emissions. However, it is not be effective because of conflict in economic interest between developed and developing coutries. Among developed countries, Germany has strong political leadership in responding to global climate change. German is also very active and progressive in developing its climate change policies. Germany with the EU always shows its strong commitment in recommending and pioneering actions in order to reduce emissions even more than as required in the Kyoto Protocol. German foreign policy in dealing with climate change is more influenced by domestic political conditions. As a liberal democratic country, the federal government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change.
International negotiation in the UNFCCC framework conducts every year. Nevertheless, this negotiation forum is used to fight the economic and political interests between developed and developing countries. In this condition, German foreign policy often comes up with progressive policy that avoids the impasse of global agreement efforts in combat climate change."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25044
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Anastasia
"Tesis ini membahas kekuatan Non-Governmental Organization (NGO) dalam menjalankan strategi kampanye untuk mengubah kebijakan dari aktor-aktor lain. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisa studi kasus Kampanye Anti-Deforestasi Greenpeace Terhadap Asia Pulp and Paper (APP) di Indonesia. APP telah cukup lama diketahui melakukan praktik deforestasi di area-area pabrik penebangan kayu miliknya tanpa adanya rencana konservasi hutan yang memadai. Beberapa NGO lingkungan berusaha untuk memperoleh komitmen dari APP untuk menjalankan rencana konservasi hutan yang lebih efisien, tetapi mengalami kegagalan dalam prosesnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Greenpeace berhasil dalam menjalankan Kampanye Anti-Deforestasi terhadap APP, ketika NGO lingkungan lainnya gagal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode process tracing untuk melihat titik-titik penting dalam proses kampanye tersebut. Operasionalisasi konsep yang digunakan adalah Blanket Strategy oleh Gritten and Mola-Yudego, yang lebih memfokuskan analisa pada kampanye NGO lingkungan terhadap Multi-National Corporation (MNC). NGO memiliki kekuatan jejaring transnasional untuk menjalankan berbagai macam strategi kampanye. Greenpeace menggunakan empat strategi utama dalam kampanyenya, yaitu Information Politics, Symbolic Politics, Leverage Politics, dan Accountability Politics. Jejaring transnasional, penyebaran dan pembentukan informasi, serta pengetahuan Greenpeace terhadap isu yang terkait, menjadi faktor-faktor penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan kampanye Greenpeace untuk memperoleh komitmen dari APP.

This thesis will examine the power of Non-Governmental Organization (NGO) in running a campaign strategy to change the policies of other actors. This research is a qualitative case study analysis of Greenpeace Anti-Deforestation Campaign Against Asia Pulp and Paper (APP) in Indonesia. APP has long been known for deforestation practice at their logging mill without a sufficient forest conservation program. Some environmental NGOs has been trying to obtain commitment from APP to run a more efficient forest conservation program, but failed along the process. The aim of this research is to determine how Greenpeace succed in running Anti-Deforestation Campaign against APP, when other environmental NGOs failed.
This research used process tracing method to see the important points from this campaign process. Operationalization concept for this research is Blanket Strategy by Gritten and Mola-Yudego, which focus on the analysis of environmental NGO campaign against Multi-National Corporation (MNC). NGO have the power of its transnational network to run a variety of campaign strategies. Greenpeace used four main strategies in their campaign, namely Information Politics, Symbolic Politics, Levergae Politics, and Accountability Politics. Transnastional network, the dissemination and formation of informations, and Greenpeace knowledge on related issues, become important factors that contribute to the success of Greenpeace campaign to obtain a commitment from APP."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Masna Raisalah
" ABSTRAK
City diplomacy merupakan sebuah upaya yang saat ini tengah marak digunakan oleh pemerintah kota di dunia. Diplomasi ini didukung oleh jaringan internasional yang dibentuk dengan melibatkan kerjasama antar pemerintah kota bersama aktor bisnis maupun Non-Governmental Organizations NGOs ; disertai hubungan baik antara pemerintah kota dengan pemerintah nasional dan pemerintah regional yang menaungi. Pemerintah Kota London sebagai salah satu aktor internasional turut mencanangkan city diplomacy melalui Cities Climate Leadership Group C40 . Pembentukan organisasi lintas negara tersebut menjadi salah satu cara Pemerintah Kota London untuk menurunkan gas emisi dan menyelesaikan masalah perubahan iklim di wilayah mereka. Beberapa faktor utama seperti solidaritas, aktivisme sosial, dan pemenuhan kepentingan, didukung oleh kepemilikan sumber daya, karakter pemerintah nasional yang membawahi, hubungan kota dengan negara, posisi kota, dan letak geografis kota sebagai faktor pendukung, merupakan faktor-faktor pendorong terbentuknya city diplomacy. Selain itu, salah satu temuan dari penelitian ini adalah pentingnya kepemimpinan visioner oleh pemerintah kota sebagai faktor keberhasilan city diplomacy. Keberhasilan city diplomacy yang dilakukan oleh Pemerintah Kota London melalui C40 pada akhirnya mampu menunjukkan signifikansi peran pemerintah kota dalam isu perubahan iklim dunia.
ABSTRACT City diplomacy is an effort that being rapidly adopted by the municipal government in the world recently. This diplomacy is supported by international network which engages between the local government with business actor and Non Governmental Organizations NGOs along with a mutual relation between city and the national as well as regional government. London rsquo s Government as one of the international actor also doing city diplomacy by creating Cities Climate Leadership Group C40 . The establishment of that international organization is one of the processes for the London rsquo s Government to reduce their emission gas and solve the climate change problem in their area. Some of main factors such as solidarity, social activism, and fulfillment of interest, supported by resources, the character of national government, linkage between the central government and the cities, cities influential location within the state, and the geographical of cities as supporting factor, are the push factors of city diplomacy. Beside that, one of the results of this research is the importance of visionary leadership by city government as a factor in the succession of city diplomacy. At last, the success of city diplomacy by London rsquo s Government can indicates the significance of city government role in solving the climate change problem in the world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nimas Gilang Puja Norma
"Tulisan ini hendak berargumen bahwa Amerika Serikat mempunyai pengaruh mendalam dalam konvensi perubahan iklim Protokol Kyoto. Melalui Productive power, Amerika Serikat mampu terlibat dalam setiap keputusan yang dihasilkan dalam konvensi ini. Selain itu productive power Amerika Serikat juga mampu mengkontrol segala bentuk aturan dan mekanisme yang berjalan di dalam onvensi termasuk rezim yang berlangsung. Rezim perubahan iklim yang belangsung dewasa ini mempunyai kekurangan sehingga mengakibatkan ketidakefettifan proses konvensi.

This paper will argue that productive power of United States has deeper influence on the climate changes convention of Kyoto Protocol. Through productive power, United States could insist in every decision of the convention. Besides, productive power of United States also could control every single rules and mechanism which happen on the convention, include the regime which exist. As we know that climate change regime which happens today has its weakness so that it has impact to the infectivity of the convention process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28873
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library