Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahrizal
"Sejumlah literatur menunjukkan, bahwa pada komunitas bilingual atau multilingual dimungkinkan terjadinya kontak bahasa. Penggunaan salah satu bahasa akan berkaitan dengan tindak identitas. Di samping itu, salah satu cara mendefinisikan identitas etnik seringkali dapat dilihat pada kesetiaan memelihara bahasa minoritas dan bahasa daerah nonstandard. Tulisan ini mempelajari penggunaan bahasa Betawi dalam tindak komunikasi orang Betawi di Condet Bale Kambang, Jakarta Timur.
Penelitian dengan pendekatan etnografi komunikasi dan metode pengamatan terlibat, wawancara, serta perekaman ini ingin melihat bagaimana penggunaan bahasa Betawi dalam komunikasi sehari-hari dalam sejumlah speech event yang terjadi di masyarakat Condet Bale Kambang. Tindak komunikasi yang melibatkan partisipan dari berbagai kelompok umur akan dilihat pada tiga ranah, yaitu keluarga, keagamaan, dan pertemanan. Sejumlah peristiwa tutur pada tiga ranah dianalisis berdasarkan komponen-komponen komunikasi, termasuk di dalamnya analisis alih kode, fenomena generik pada masyarakat multilingual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah keluarga pada umumnya bahasa Betawi masih sangat komunikatif. Pada ranah keagamaan, bahasa Betawi digunakan untuk menginterpretasikan pembahasan yang umumnya berbahasa Melayu Tinggi. Sedangkan pada ranah pertemanan, bahasa Betawi pun masih komunikatif. Sebagai salah satu kantong masyarakat Betawi, ternyata orang-orang Condet masih mampu menjaga. keberlangsungan pemakaian bahasa ibunya. Dengan demikian, mereka tetap dapat dilihat identitas etniknya dari tindak komunikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwan
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mempermasalahkan interaksi antara pendatang dan masyarakat asli di Mentawai, khususnya interaksi dalam aktifitas ekonomi. Kemudian bagaimana relevansinya dengan konsep patron klien.
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan realitas sosial dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi. Sedangkan informan penelitian adalah pendatang dan masyarakat asli yang terlibat dalam aktifitas ekonomi. Metode yang dipakai dalam proses pengumpulan data adalah wawancara, observasi langsung terhadap informan.
Hasil penelitian menunjukkan, secara ekonomis hubungan antara pendatang dan masyarakat asli diawali dengan pertukaran barang atau jasa. Bagi pihak luar pertukaran barang dan jasa tersebut, masyarakat asli Mentawai berada pada pihak yang merugi. Ternyata hubungan itu saling menguntungkan, masyarakat asli Mentawai menerima perlakuan yang menguntungkan. Pada saat mereka butuh uang, ataupun tidak memiliki peralatan pengolahan hasil ladang, untuk sementara pendatang mengatasinya. Dan memang hubungan pendatang dan masyarakat asli itu didasarkan atas unsur saling menguntungkan, tanpa adanya unsur saling menguntungkan hubungan itu sendiri tidak dapat berlangsung.
Untuk menjamin kelangsungan hubungan yang telah terjalin antara pendatang dengan penduduk asli, keduanya melengkapi hubungan sebagai teman, tetangga ataupun sebagai kerabat. Hubungan ini dapat terjadi karena keduanya warga desa yang sama, saling memanggil dengan sebutan kawan, saling kunjung-mengunjungi pada saat hari besar, pesta perkawinan, dan pada saat masyarakat asli punya waktu luang.
Di samping itu, bertahannya hubungan pendatang dengan masyarakat asli sebagai hubungan patron klien, ditentukan oleh kondisi sosial budaya dan lingkungan, antara lain ketergantungan masyarakat asli terhadap pola pertanian dan pemasaran hasil produksi mereka. Hasil pertanian yang mereka produksi jarang dijual kepada sesama masyarakat asli tetapi kepada pendatang yang terlibat dalam aktifitas ekonomi (bisa pegawai negeri, polisi, dan pengembang agama). Pola pertanian yang mereka lakukan tidak punya waktu dalam menanam dan memanen. Ada waktu-waktu tertentu masyarakat tidak mau mengolah atau memetik hasil ladang mereka karena harga turun. Tanaman yang ada merupakan tanaman turunan, artinya tidak banyak tanaman baru yang di tanam, serta masyarakat asli tidak mungkin melakukan pekerjaan lain kecuali memburuh di pelabuhan pada saat kapal datang. Pola hidup masyarakat asli boros, tidak ada kebiasan menabung, jika memperoleh penghasilan yang banyak, habis dipergunakan untuk minum-minum di kedai atau membeli barang-barang konsumtif. Kondisi seperti ini menyebabkan masyarakat asli mengalami kesulitan pada saat membutuhkan uang, masyarakat tidak melihat alternatif lain selain melakukan hubungan dengan masyarakat pendatang.
Usaha telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah masyarakat asli, paling tidak untuk memasarkan hasii produksi seperti dengan mendirikan koperasi di desa dimana penelitian dilakukan. Usaha ini tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, ternyata usaha-usaha itu tidak dapat berbuat seperti apa yang dilakukan pendatang terhadap masyarakat asli. Pendatang tetap menikmati kedudukannya sebagai pihak yang selalu beruntung dan masyarakat asli tidak melihat alternatif lain, selamanya mereka secara ekonomi tetap dalam keadaan mendapat sedikit keuntungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Arief Wicaksono
"ABSTRACT
Ini adalah studi antropologi tentang Muslim pengikut Nahdlatul Ulama Nahdliyin di Jawa Timur dengan mengambil kasus pada beberapa tempat di Jawa Timur: Desa Jerukwangi, Kabupaten Jombang, Desa Krucil, Kabupaten Probolinggo, dan Kampung Ciptomulyo, Kota Malang. Studi ini mencoba menyajikan argumen bahwa perwujudan kehidupan beragama Islam pada struktur sosial budaya masyarakat Nahdliyin di Jawa Timur merupakan bentuk kontekstualisasi kebudayaan Tradisi Besar Islam terhadap Tradisi Kecil masyarakat Jawa melaui Tradisi Perantara. Kontekstualisasi kebudayaan ini dimungkinkan karena keberadaan kiai sebagai perantara dan pengelola kebudayaan antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil tersebut. Selain itu, penerimaan kontekstualisasi kebudayaan dari kiai oleh masyarakat Nahdliyin dimungkinkan karena adanya kultur ittiba dan taqlid pada jamiyyah dan jamaah Nahdlatul Ulama. Bentuk-bentuk kontekstualisasi kebudayaan yang dilakukan oleh kiai tersebut dapat dilihat dengan perspektif simbol dalam antropologi. Tulisan ini didasarkan pada penelitian dengan metode penelitian etnografi: pengamatan dan wawancara serta studi-studi literatur.

ABSTRACT
This is an anthropological study about Muslim of Nahdlatul Ulama Nahdliyin in East Java by taking cases in several places in East Java Jerukwangi Village, Jombang Regency, Krucil Village, Probolinggo Regency, and Ciptomulyo Village, Malang City. This study tries to present the argument that the embodiment of Islamic life on the socio cultural structure of the Nahdliyin community in East Java is a form of contextualizing the culture of the Great Islamic Tradition to the Small Tradition of Javanese society through the Intermediate Tradition. Contextualization of this culture is possible because of the presence of kiai as an intermediary and cultural manager between the Great Tradition and the Small Tradition. In addition, the acceptance of cultural contextualization of the kiai by the Nahdliyin community is because of ittiba and taqlid cultures in jamiyyah and jamaah of Nahdlatul Ulama. The forms of cultural contextualization carried out by the kiai can be seen with the symbolic perspective in anthropology. This paper is based on research with ethnographic research methods observations and interviews and also literature studies. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prudensius, Maring
"Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan yang dilakukan di tengah pangaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Masyarakat Sumber Agung tinggal di pinggir kawasan hutan dan memanfaatkan lahan kawasan hutan. Praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan meliputi kegiatan berladang, tumpangsari, kebun monokultur dan kebun campuran. Dalam kenyataan, bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan karena banyak aspek yang telah memberikan pengaruh terhadap pilihan bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut.
Kajian ini menjelaskan hubungan interaktif antara bentuk-bentuk praktek pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga, pasar, pengetahuan lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan merupakan keputusan yang dilakukan di tengah situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya. Untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dan mengungkap pertimbangan yang mendasarinya maka kajian ini mengacu kepaga kerangka teori pengambilan keputusan. Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan Oktober 1998 - Oktober 1999. Penelitian dilakukan di kampung Sumber Agung, sebuah kampung berbatasan dengan kawasan hutan yang dihuni masyarakat yang sumber penghidupannya berasal dari pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan gunung Betung.
Kajian ini mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan dalam menghadapi berbagai faktor yang saling berkaitan terutama upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, ketersediaan pasar dan kepastian harga, pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Pada setiap praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan, pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga selalu menjadi pertimbangan masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai pilihan tanaman pada semua bentuk praktik pemanfaatan lahan yang selalu dipertimbangan untuk dapat memenuhi kebutuban pangan dan uang tunai dalam jangka pendek dan sebagai investasi jangka panjang. Pertimbangan ekonomi dalam pilihan tanaman tahunan selalu diintegrasikan dengan ketersediaan pasar dan harga jual. Pengetahuan teknis budidaya tanaman dan kemampuan memahami kesesuaian agroklimat dengan pilihan tanaman selalu dikembangkan dalam proses belajar dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Tidak konsistennya penerapan kebijakan pembangunan, di satu sisi telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan praktik pemanfaatan lahan hutan. Tetapi di sisi lain telah menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat dan telah mengabaikan kemampuan dan pengalaman masyarakat dalam pengelolaan lahan kawasan hutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yophie Septiady
"Rumah adat atau rumah tradisional merupakan bahan yang menarik dalam penelitian Antropologi. Beberapa peneliti telah banyak `mengupas' tentang bahan penelitian ini, seperti; Cunningham (1964), Raglan (1964), Rapoport (1969), Singarimbun (1975), Broadbent (1984), Duly (1985), Oliver (1987), Mangunwijaya (1988), Fox (1990, 1993), Waterson (1991, 1993), Egenter (1995), Gintings (1996), Molnar (1996,1999), Suparlan (1999), Woodward (1999), Provencher (1999), dan lain-lain, yang membahas dari tujuan dan sudut pandangnya masing-masing.
Berdasarkan pengetahuan referensi di atas, saya mencoba mengkaitkan antara simbol-simbol pada bangunan rumah adat Karo di desa Lingga dengan cerita prosa rakyat yang ada pada masyarakatnya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas, karena hubungan yang terjadi di dalamnya berkaitan erat sekali dengan unsur-unsur budaya dari masyarakatnya, seperti; agama, ideologi, kekerabatan, status sosial, pranata, dan adat istiadat. Pemakaian folklor (cerita prosa rakyat) sebagai salah satu bagian dari budaya akan lebih mempertajam pemahaman budaya untuk mengetahui budaya pada masyarakatnya.
Cerita prosa rakyat dan simbol memiliki hubungan yang sating mendukung. Cerita prosa rakyat dalam penyampaian atau penuturannya kadang kala menggunakan alat bantu pengingat (mnemonic device), biasanya berupa benda-benda yang memiliki mutan simbol-simbol untuk mempermudah dan memperkuat penuturannya. Begitu pula dengan simbol, beberapa di antaranya membutuhkan cerita prosa rakyat untuk lebih menegaskan pemahaman dan penyampaian maksud dari dibuatnya simbol tersebut.
Cerita prosa rakyat yang terbagi menjadi 3 katagori; mite, legenda, dan dongeng, memiliki ciri dan wujud masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya yang dapat dihubungkan dalam makna dari simbol-simbol yang ada, sehingga makna tersebut menjadi semakin jelas arahnya tujuannya. Cerita prosa rakyat dan simbol-simbol yang ada pada rumah adat Karo menunjukkan suatu hubungan yang saling mendukung untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan dan budaya mereka agar hidup selaras, baik antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alamnya. Untuk meneliti masalah ini tidaklah mudah, sebagai seorang peneliti haruslah benar-benar `masuk' (dapat menyelami) dan sabar dalam mengamati masalah penelitiannya, karena pengamatan penelitian bukan hanya pada tahap; melihat apa yang mereka kerjakan, mencatat apa yang mereka tuturkan dan benda apa yang mereka gunakan, tetapi juga memahami perilaku dan konsep berfikir yang ada pada diri mereka, serta `mewaspadai' konsep berfikir kita sendiri adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pramono Priyo Wibowo
"ABSTRAK
Pembangunan subsektor kehutanan lima tahun mendatang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, serta untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman basil hutan bagi pembangunan industri.
Keinginan pemerintah di atas masih belum terpenuhi, karena dalam kurun 20 tahun pelaksanaan pengusahaan hutan melalui HPH, pembangunan subsektor ini masih ditekankan pada peningkatan produksi. Misi forest for people yang diobsesikan oleh para rimbawan masih sulit diwujudkan karena masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan obyek. Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat "paternalistik" dan "sentralistik" diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab lemahnya peran lembaga-lembaga lokal karena tidak memberi tempat bagi berkembangnya kelembagaan lokal. Penulis tertarik dan berusaha mempelajari pengembangan kelembagaan yang terjadi, serta kemudian mencoba mengetengahkan model pengembangan kelembagaan lokal yang efektif.
Melalui studi ini penulis ingin melanjutkan tradisi studi pengembangan kelembagaan yang sempat tenggelam, serta mencari alternatif model dan metode pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan. Penulis percaya dengan apa yang dikatakan Uphoff dan Esman bahwa diperlukan adanya organisasi lokal untuk bisa mempercepat proses pembangunan di pedesaan. Adanya organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat lokal, yang bertanggung jawab pada masyarakat lokal, dan yang melibatkan fungsi-fungsi pembangunan pedesaan, dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan pedesaan lebih sukses. Dengan kata lain, jika pembangunan subsektor kehutanan diintegrasikan dengan pembangunan pedesaan, maka tujuan pembangunan subsektor kehutanan akan semakin efektif dicapai dengan mengembangkan kelembagaan lokal. Apakah pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan sudah seperti itu? Ini merupakan pilihan, dan akan dipelajari efektivitasnya dalam dimensi-dimensi karakteristik hutan dan penggunanya, batasan-batasan hutan dan penggunanya, serta bagaimana distribusi biaya dan manfaatnya.
Upaya untuk mengembangkan kelembagaan lokal, penulis mengetengahkan pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTI-Rakyat) tanaman Sungkai. Untuk pembahasan mengenai alternatif local institutional development, penulis menggunakan pendekatan Pembinaan Kapasitas Pembangunan Desa (The Rural Development Capacity-Building Approach) yang dikembangkan oleh Development Alternatives Inc. (DAI). Honadle mengidentifikasikan 7 (tujuh) elemen yang hares diperhatikan dalam upaya pengembangan kelembagaan lokal, yaitu: pembagian risiko diantara para klien dan penyedia jasa; keterlibatan para aktor pada berbagai level kegiatan; keberhasilan atau kemanfaatan yang ditunjukkan oleh teknologi atau perilaku yang baru atas yang lama; gaya operasi yang kolaboratif serta tindakan bersama; penekanan pada belajar; perangsang yang sesuai; dan menggunakan basis sumberdaya yang ada.
Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH, termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha HPH cenderung tidak berhasil. Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan berkurang tingkat kesejahteraannya, karena peningkatan penghasilan hanya terjadi secara absolut. Sedangkan biaya hidup secara keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka. Ini terutama karena semakin sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).
Sejak diundangkannya UU No.5/1967 dan kemudian dienforcement dengan UU No.511979, semakin membuat masyarakat lokal tidak memiliki posisi tawar untuk ikut menentukan bentuk dan mekanisme pengelolaan hutan. Lembaga-lembaga lokal yang dulu cukup menentukan dalam menjaga kelestarian fungsi hutan sudah tidak efektif lagi, dan partisipasi masyarakat semakin pasif. Kondisi ini yang kemudian mendorong penulis untuk mengetengahkan set-up kelembagaan yang lebih memberi kemungkinan bagi lembaga-lembaga lokal untuk berkembang dan (paling tidak) menjadi penentu bagi masa depan kehidupannya sendiri.
Melalui ide HTI-Rakyat, penulis bekerjasama dengan Kantor Kehutanan Rengat dan Tembilahan, berusaha memassalkan penanaman kayu Sungkai (peronema canescens jacks) yang selama ini lebih banyak tumbuh sebagai tanaman liar dan tidak memiliki nilai ekonomis. Ide semacam ini pernah dicoba, yaitu dengan pemassalan penanaman kayu Akasia (acacia mangium), Sengon (aibirium falcata), dll., namun kurang berhasil karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek teknis (kecocokan, dsb.). Ide inilah yang penulis ajukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan subsektor kehutanan.
Pemassalan jenis Kayu Sungkai ini memiliki prospek yang cerah di masa mendatang untuk dipilih menjadi tanaman hutan rakyat, karena disamping memiliki fungsi konservasi, tanaman ini juga memiliki keuntungan marginal. Secara teknis, pemilihan jenis kayu Sungkai sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman rakyat di lokasi penelitian mengingat beberapa karakteristik yang ada, seperti : kesesuaian dengan tempat tumbuh; jenis yang khas dengan keunggulan tertentu; riap volume yang cukup tinggi;. daur yang relatif rendah; serta jenis dan kualitas kayu sesuai dengan industri IPKH yang ada.
Secara ekonomis, hasil penghitungan tahun 1992 terhadap percobaan budidaya Kayu Sungkai ini menunjukkan adanya keuntungan yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dengan biaya per hektar sebesar Rp 2.826.000,- dapat diperoleh hasil kayu senilai hampir Rp 16 juta dalam kurun waktu 15 tahun. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai hasil tambahan, seperti di antaranya hasil kayu dari penjarangan pada tahun ke 8 serta hasil tumpang sari, dsb. Jelas, bahwa usaha penanaman kayu Sungkai sebagai hutan tanaman akan menguntungkan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti: nilai akhir tanaman tidak dipengaruhi oleh adanya inflasi; produk ini tidak dapat disubtitusi; pertambahan nilai jual pasti; memiliki hasil antara, yaitu hasil dari kegiatan penjarangan; dan dapat dilakukan pula sistem tumpang sari yang akan memberikan hasil tambahan.
Dari segi kelembagaannya, dapat dikembangkan lebih jauh dengan cara di antaranya dengan menyerahkan pengelolaannya kepada kelompok-kelompok lokal yang terkait, seperti misalnya melalui semacam Kelompok Tani Hutan (KTH), dsb. Dalam penelitian, kegiatan belum sampai pada tahapan ini karena memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikan, mendasarkan pada pertimbangan yang diajukan oleh Honadle, usaha ini layak diterima, mengingat perimbangan antara cost dan benefit tidak lagi memberatkan masyarakat lokal. Disamping itu, dengan melibatkan langsung masyarakat lokal, maka estimasi terhadap kebutuhan kelangsungan ekologis cukup bisa dipertanggungjawabkan."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Rochana
"ABSTRAK
Masyarakat nelayan masih termasuk masyarakat yang secara nasional berpendapatan berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini terlihat, dibandingkan dengan ketentuan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) nasional yang besarnya minimal Rp 46.000,- per kapita per tahun, maka KFH masyarakat nelayan rata-rata baru mencapai Rp 35.000,- per kapita per tahun (Biro Pusat Statistik, 1987; lihat juga Rachman, 1983 :12 ). Padahal apabila dilihat potensi kekayaan laut Indonesia sangatlah melimpah, namun potensi tersebut belum bisa dimaitfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, dari luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 km2 dengan potensi lestari 8,8 juta ton per tahun, baru dimanfaatkan sekitar 24% dari potensi lestari yang tersedia.
Masih adanya ketimpangan antara potensi yang tersedia dan tingkat pemanfaatan tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang tersedia. Rendahnya tingkat produksi ini disebabkan penyebaran potensi dan penyebaran pemanfaatannya tidak merata. Penyebaran potensi akan terlihat tidak merata, yaitu sebagian terbesar potensi perikanan laut (81,6%) terdapat di perairan Indonesia Timur, Samudra Indonesia, dan Laut Cina Selatan. Sedangkan sebagian kecil potensi perikanan laut (38,4%) terdapat di perairan Selat Malaka, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali. Apabila dilihat penyebaran pemanfaatannya, juga terlihat tidak menyebar merata. Di Perairan Indonesia Timur (kecuali Selatan Sulawesi), Samudra Indonesia, dan Laut Cina Selatan tingkat pemanfaatannya masih rendah. Di lain pihak, di Perairan Selat Malaka, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali tinggkat permanfaatannya sudah mencapai melebihi penangkapkan (overfishing) (Rachman,ibid).
Selain rendahnya tingkat produksi, adanya ketimpangan antara potensi lestari dan tingkat pemanfaatan tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat teknologi yang digunakan masih rendah. Masih rendahnya tingkat teknologi yang digunakan mengakibatkan bahwa kegiatan penangkapan masih terpusat pada perairan pantai. Padahal di daerah pantai yang berpenduduk padat seperti Pantai Timur Sumatera, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali kondisi sumber dayanya sudah melebihi penangkapan. Lebihnya penangkapan sumber daya di daerah ini disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tidak seimbang dengan proses pemulihan populasi ikan. Proses pemulihan populasi ikan di daerah ini sangat lamban sebab tempat hidupnya (habitat) semakin rusak dan upaya penangkapan yang tidak terkendali. Menurut hasil survai Ekonomi Perikanan Laut yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Perikanan {1985), bahwa produktivitas para nelayan di daerah ini menurun dari 1,49 ton rata-rata pada tahun 1979, menjadi 1,34 ton rata-rata pada tahun 1983, atau rata-rata 2,6% per tahun (dalam Susilowati, 1987:119).
Selain terbatasnya daerah penangkapan, kurangnya pemanfaatan teknologi penangkapan juga mengakibatkan bahwa aktivitas penangkapan mempunyai resiko relatif besar. Salah satu indikasi dari resiko yang relatif besar ini dapat dilihat dari jumlah hari kerja nelayan. Dari Survai Sosial Ekonomi Perikanan Laut di Pantai Utara Laut Jawa yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1985), bahwa rata-rata jumlah hari kerja yang digunakan nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya 151 hari per tahun. Sedikitnya hari kerja per tahun ini disebabkan adanya naik turun atau fluktuasi hari kerja penangkapan pada musim panen ikan (bulan September - Nopember) dan musim tidak ada ikan (bulan floret - Agustus). Dengan demikian, meskipun laut menyediakan sumber ekonomi yang potensial bagi kelangsungan hidup manusia namun pekerjaan untuk memperolehnya beriangsung dalam suatu lingkungan berbahaya dan penuh ketidakmenentuan. Bahaya dan ketidakmenentuan ini tidak hanya disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan biotik laut serta terjadinya perubahan-perubahan lingkungan fisik tersebut, juga oleh kondisi-kondisi lingkungan sosial ekonomi dimana aktivitas penangkapan berlangsung (lihat Aeheson,1981:276). "
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donovan Bustami
"ABSTRAK
Intraksi sosial terjadi di asrama, di mana asrama Daksinapati tersebut penghuninya terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda, terdiri atas beberapa penganut agama yang berbeda dan seringkali menimbulkan permasalahan karena ada perbedaan kebudayaan masing-masing pendukungnya.

"
1985
S12691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"ABSTRAK
Magersari adalah komunitas-komunitas penduduk di dalam kawasan hutan negara yang dikelola dan diusahakan Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) di Jawa. Penduduk telah bertahan-tahun dan bahkan secara turun-temurun bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, dan kehidupan mereka sangat tergantung pada sumber daya hutan, terutama tanah hutan dan pekerjaan kehutanan yang diberikan Perum Perhutani. Penduduk bekerja sebagai petani-petani penggarap lahan hutan dengan sistem tumpangsari (pesanggem), dan sebagai pekerja-pekerja hutan (blandong) yang diandalkan Perum Perhutani dalam kegiatan penjarangan tanaman, penebangan pohon, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu.
Studi ini pada dasarnya bertujuan untuk memberi pemahaman mengenai pola adaptasi petani pekerja hutan magersari dalam kegiatan wanatani yang dilakukan Perum Perhutani; mengapa penduduk magersari secara turun-temurun tinggal dan bertahan hidup di pemukiman-pemukiman magersari, padahal kesejahteraan hidup mereka dari tahun ke tahun selain tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, juga selalu diselimuti dengan ketidakterjaminan (insecurity) ekonomi, sosial, dan hukum dari segi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Untuk memahami pola adaptasi penduduk magersari terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, termasuk adaptasi terhadap kebijakan-kebijakan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan, maka paling tidak dapat dicermati dari tiga aspek, yaitu : (1) adaptasi penduduk di bidang ekonomi tercermin dari kegiatan-kegiatan pencaharian hidup yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya di dalam kawasan hutan; (2) adaptasi sosial penduduk tercermin dari sistem sosial magersari, nilai-nilai, norma-norma, .institusi sosial, dan mekanisme-mekanisme yang digunakan sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial dalam kehidupan magersari, yang meliputi elemen pengelompokan sosial (social alignment) yang membentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial; elemen media sosial (socia media) yang mengikat dan mempertahankan kehidupan bersama; elemen standar sosial (social standard) yang mengukuhkan dan mempertegas hak dan kewajiban, kedudukan dan peran anggota masyarakat; dan elemen mekanisme kontrol sosial (social control) yang menjaga dan memelihara keteraturan sosial dalam kehidupan bersama; dan (3) staretgi-strategi yang diciptakan penduduk magersari untuk menghadapi kebijakan pengelolaan hutan, sehingga mereka dapat mengakses sumber daya alam lebih banyak dari yang diperbolehkan Perum Perhutani.
Studi ini memperlihatkan bahwa pola interaksi antara penduduk magersari dengan Perum Perhutani dalam pengusahaan hutan pada dasarnya merupakan hubungan yang bercorak mutualistik (mutualistic relationship), yang saling memhutuhkan (mutual need), saling membantu (mutual help), dan saling menguntungkan (mutual benefit) karena : di satu sisi penduduk magersari membutuhkan sumber daya hutan, terutama tanah tempat tinggal, lahan garapan tumpangsari dan kebun kopi, kayu perkakas dan kayu bakar, sedangkan di sisi lain Perum Perhutani sangat memerlukan tenaga petani-pekerja magersari untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehutanan, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, penjarangan, penebangan, penyaradan, sampai pengangkutan ke tempat-tempat penimbunan kayu. Namun demikian, apabila dikaji secara lebih mendalam terutama dari substansi kontrak magersari dan kontrak tanaman yang mendasari perjanjian kerja penduduk dengan Perum Perhutani, maka ditemukan pola hubungan yang lebih bersifat patron-klien (patron-client relationship) yang didasarkan pada ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik, karena penduduk magersari berada pada kedudukan sub-ordinasi sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai super-ordinasi, atau penduduk magersari berada di pihak yang bersifat inferior, sedangkan Perum Perhutani diposisikan sebagai pihak yang bersifat superior dalam kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan hutan.
Kondisi ini menyebabkan penduduk magersari tidak mempunyai pilihan dan tidak memiliki posisi tawar, selain menerima semua persyaratan dalam kontrak baku (standard contract) yang ditetapkan Perum Perhutani. Fakta ini pada gilirannya kemudian menciptakan paling tidak tiga kondisi ketidakterjaminan (insecurity) dalam kehidupan petani-pekerja magersari, yaitu : (1) ketidakterjaminan ekonomi (economical insecurity) dalam kaitan dengan hak atas lahan-lahan garapan tumpangsari dan kebun-kebun kopi sebagai sumber kehidupan penduduk sewaktu- waktu dapat dicabut Perum Perhutani; (2) ketidakterjaminan sosial (social insecurity) dalam hubungan dengan asuransi keselamatan kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, bea siswa untuk pendidikan anak-anak magersari belum pemah diberikan, walaupun penduduk magersari telah bertahun-tahun dan turun-temurun bekerja untuk Perum Perhutani; dan (3) ketidakterjaminan hukum (legal insecurity) yang berkaitan dengan status hak atas tanah pemukiman magersari; walaupun tanah magersari telah bertahun-tahun dan bahkan secara turun-temurun dipakai sebagai tempat tinggal, tetapi setiap saat dapat dicabut dan penduduk dapat dikeluarkan dari pemukiman magersari oleh Perum Perhutani.
Dengan menggunakan cara pandang emit: (emit view) dapat diketahui bahwa penduduk magersari tetap bertahan hidup dan tinggal di pemukiman-pemukiman magersari, karena apa yang diperoleh dari pemberian dan belas kasihan (charity) Perum Perhutani dirasakan cekap (cukup secara ekonomi) dan hidup di magersari dinikmati dalam suasana tentrem (tentram secara kejiwaan) dan rukun (bersahabat dalam hubungan antar tetangga). Suasana kehidupan seperti di atas cenderung mendorong penduduk bersikap menerima nasib apa adanya (nrimo ing pandum) dan pasrah menerima keadaan sebagai nasib (pasrah Ian sumarah) seperti ekspresi dari sikap hidup orang Jawa di daerah pedesaan pada umumnya.
Dengan demikian, implikasi teoritis dari studi ini memperteguh teori mengenai sikap hidup orang Jawa yang selalu merasa cekap (cukup) dan berupaya menciptakan suasana tentrem (tentram), angel (hangat dalam keluarga), rukun dalam kehidupan bertetangga, dan cenderung memiliki sikap hidup yang menerima nasib (nrimo ing pandum) atau pasrah menerima keadaan sebagai nasib, seperti tercermin dalam temuan-temuan C. Geertz (1985); H. Geertz (1985); Singarimbun dan Penny (1984); Guinness (1984, 1985); dan Sairin (1992). Implikasi metodologis dari studi ini adalah setiap kehijakan peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah pedesaan seperti dicanangkan Perum Perhutani melalui program perhutanan sosial (social forestry), atau program-program pemberdayaan masyarakat pedesaan dari pemerintah daerah dan intansi-instansi terkait semestinya juga ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk magersari, karena mereka secara administrasi pemerintahan menjadi bagian dari penduduk desa yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan penduduk desa-desa di sekitar hutan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
D512
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
"ABSTRAK
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan mengenai bagaimanakah budaya hukum dan sub-budaya hukum (kepentingan) masyarakat Batak Toba pada umumnya, yang tidak menempatkan perempuan sebagai ahli waris dengan berbagai dampaknya bagi perempuan, menyebabkan kelompok perempuan tertentu mcnciptakan budaya hukum dan sub budaya hukumnya sendiri, hal mana tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris
Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke pengadilan negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke pengadilan sebagai the last resort, sedangkan dibawanya sengketa ke pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan pilihan (choice). Keberanian anak perempuan untuk berperkara di pengadilan dengan risiko social loss yang besar, menjadikan mereka agent of change dalam hal waris di kalangan masyarakatnya. Para pihak yang terlibat dalam sengketa dan para hakim menggunakan hukum adat dan hukum negara secara bergantian. Dengan demikian sebenarnya para pihak tunduk sebagian kepada institusi hukum negara, dan sebagian pada hukum adat (borrowing), atau kadang-kadang ?mengemas? substansi hukum adat melalui institusi hukum ncgara (neo-traditional norms). Terdapat variasi hasil akhir dari konflik individual yang berlangsung bersamaan dengan konflik institusional, yaitu: kemenangan bagi perempuan, atau win-win solutions bagi semua pihak, atau kekalahan bagi perempuan. "
2000
D111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library