Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhadjir
"Dialek Melayu Jakarta, bahasa Melayu yang dipakai di. wilayah ibukota Republik Indonesia, merupakan "pulau bahasa" di kawasan bahasa Sunda yang umumnya dipakai di daerah Jawa Barat. Di sebelah barat dan selatan, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Sunda. Hanya di daerah pantai di batas sebelah timer, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Jawa dialek "lokal" (Budhisantoao, 1976).
Luas pemakaian dialek Jakarta, secara geografis, melebihi daerah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di sebelah timur, dialek ini dipakai hingga di kecamatan Tambun, kabupaten Bekasi; di sebelah selatan sampai di Gisalak, kabupaten Bogor; dan di sebelah barat hingga di Tanggerang (Jawa Barat).
Di luar Tambun, Ciselak, dan Tanggerang, luas wilayah Jakarta adalah 577 km2 (terletak pada 68° lintang selatan, 11° 15° lintang selatan, 94°45° bujur timur, 04005° bujur laut (Jake dalam Ranks). Serta jumlah penduduk 4.546.492 jiwa.
Berlainan dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek Me1ayu lainnya seperti Melayu Medan, Riau, dan Palembang, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnik yang homogen. Komposisi penduduk, sejak abad ke-17 selalu terdiri dari kelompok-kelompok etnis yang beragam-ragam. akibat migrasi dari dalam maupun dari luar Indonesia (Castles, 1967). Dan migrasi penduduk hingga kini terus berlangsung, bahkan makin beragam latar belakang sosial dan kebudayaannya.
Ketika Jan Pieterezoon Coan berhasil menduduki kota Jakarta pada tehun 1619, sebagian penduduk melarikan diri ke arah Banten. Coen kemudian berusaha menutup kota Jakarta dari penduduk pedalaman, yang dilakukannya demi alasan keamanan; menghalau setiap usaha penduduk asli yang hendak memasuki kembali deerah pertaniannya yang ditinggalkan (Leiriasa , 19731).
Sejak itu kota Jakarta "bersih" dari penduduk asli. Beberapa tahun kemudian Coen membiarkan orang Gina menjadi penduduk kota, menyusul orang-orang Banda. Pedagang rempah-rempah Jepang sampai tahun 1636 juga merupakan unsure penting penduduk kota Jakarta. Penduduk merdeka lainnya adalah suku-suku Melayu, Bali, Bugis, Ambon, serta bangsa "wore", yakni bangsa India Selatan yang beragama Islam. (Castles, 1967: 155). Tetapi penduduk terbesar saat itu hingga abad ke-19 adalah para budak yang diangkut dari berbagai tempat pada masa permulaan zaman itu budak-budak yang diangkut ke Jakarta adalah budak-budak deri pentai Koromandel, dari Malabar, Benggali, dan dari Indonesia sebelah Timur: dari Flores, Sumbawa, Sumba, Timor, Bias, Kalimantan, dan pulau Luzon. Tetapi sumber tetap untuk budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan.
Pada akhir abad ke-19 kelompok etnis yang beraneka asalnya itu teleh menjelma menjadi penduduk asli Jakarta yang kemudian dikenal dengan nama "Anak Betawi" termasuk di dalamnya 5 ribu penduduk pinggir kota yang berasal dari Jawa den Sunda.
Penduduk merdeka dari berbagai kelompok etnis itu, pada umumnya, tinggal di kampung-kampung secara terpisah-pisah. Sisa nama kampung mereka hingga kini masih melekat nama kampung seperti: kampung Jawa, kampung Bugis, kampung Ambon, den sebagainya.
Setelan perdagengan budak dihapuskar, pulau Jawa merupakan sumber migrasi penduduk ke kota Jakarta. Menurut senaus 1930 (Castles, I967:166), kurang lebih 50 % penduduk Jakarta adalah kelahiran Betawi {778.953 jiwa), dengan 50% lainnya kelahiran luar Jakarta, yang kelompok terbesarnya berasal dari suku Sunda dan Jawa. Sejak zaman Republik Indonesia, arus urbanisasi ke ibu kota Jakarta ini makin menderas. Pendatang baru itu bukan saja makin banyak jumlahnya, tetapi juga makin beraneka ragam dan status sosialnya"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D219
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajatrohaedi, 1939-2006
"ABSTRAK
Menurut Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa di Indonesia terdapat tidak kurang dari 400 bahasa daerah dan sabdaraja. Baik jumlah pemakai, luas daerah pakai, maupun pemakai bahasa dan sabdarajanya itu tidak sama. Ada bahasa yang jumlahnya sangat banyak, seperti misalnya bahasa Jawa (BJ) dan bahasa Sunda (BS), ada pula yang jumlah pemakainya sangat sedikit, seperti misalnya bahasa-bahasa di Irian Jaya."
1978
D28
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Rusyana, 1938-
"Masalah yang diteliti adalah masalah interferensi di bidang morfologi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak yang barbahasa pertama bahasa Sunda, murid sekolah dasar di daerah propinsi Jawa Barat.
Menurut Mackey, kedwibahasaan merupakan masalah ilmu linguistik yang paling panting, tetapi juga yang paling dlabaikan. Penelitian yang ada tentang hal ini, terutama mengenai interferensi dan peminjaman, dari masa sabelum tahun 50-an, menunjukkan pandangan unsuriah terhadap bahasa. Penelitian tentang kedwibahasaan dengan konsep yang lebih luas dalam hubungan dengan faham struktural, mulai pada tahun 50-an, terutama ditandai oleh karya-karya U.Weinreich (1953, 1958), dan L.Haiigen (1950, 1953, 1956). Beberapa paper yang penting karya Hans Vogt (195i), W.F. Mackey (1956), Robert A.Hall Jr. (1952), dan lain-lain, telah memberikan arah mengenai konsep kedwibahasaan, dan telah melahirkan keperluan akan metodologinya.
Perhatian terhadap kedwibahasaan tercermin dari kepustakaan yang ada tentang hal itu, riisalnya seperti yang disusun r1aftarnya oleh U.Weinreich, E.Haugen, dan Els Oksaar.
Berkenaan dengan masalah kedwibahasaan itu, yang terutama menarik perhatian ahli linguistik, ialah gejala-gejala penyimpangan yang terjadi pada setiap bahasa, sebagai akibat kontak bahasa, Berta pengaruhnya terhadap norma setiap bahasa itu. Masalah kontak bahasa dan gejala interferensi telah dijadikan pokok yang aangat penting untuk penelitian kedwibahasaan.
Penelitian yang akan dilakukan sekarang, yaitu tentang masalah interferensi di bidang morfologi pada tuturan dwibahasaan, kiranya cukup beralasan ditinjau dari segi ilmu linguistik, lebih-lebih mengingat masalah yang diajukan belum pernah diteliti. Disamping itu, sehubungan dengan pokok penelitian yang berupa tuturan anek-anak, penelitian ini semakin besar alasan kepentingannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1975
D280
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
D. Edi Subroto
"ABSTRACT
This thesis tries to describe the transposition from adjectives to verbs and vice versa in standard Javanese.In this case, each of the major word-classes (substantive, verb, adjective) is determined primarily and accordingly to a set of its morphological features which differ in the whole aspects from the others. Except for those features, a set of its syntactical valences are also identified. Adjectives and verbs in Javanese are two different word-classes. Each of them is a word-class system which covers a set of morphological categories-i.e. a series of words with identical formal features corresponding to identical semantic features which differ in the whole aspects from each other.
The verbal system is divided into two classes (class I and class II). Morphologically, class I is characterized by di-D category (passive) which is in contrast with N-D category (active-transitive), whereas class II isn't, although it has N-D category (intransitive). Structurally, there are some important differences between the two classes caused by this principal difference. Each of the classes is also separated into two parts (part A and part B). Morphologically, part B is characterized by two specific categories: maq-D 'to do D suddenly' and patin-D ?plural subject involved to do something varies in rhythm and intensities?, and semantically is characterized by "emotive-expressive" or "onomatopoeic" semantic values, whereas part A isn?t. The object being studied in this thesis is the verbal morphological proceeds whether productive or improductive which transpose adjectives in monomorphemic category into verbs (or maybe called "deadjectival, verbal categories") and the adjectival morphological procedes which transpose verbs into adjectives (or maybe called "deverbal, adjectival categories") Based on the data, we know that the great parts of the monomorphemic adjectives can be transposed into verbs class II A (none into class II B) and only some of them can be transposed into class I A (none into class I B). Most of the transpositional categories in verb II A are productive; their formal forms: N-D-i, N-D-ake; ke-D-an; di-D-i, di-D-ake; ka-D-an, ka-D-ake; -in-D-an, -in-D-ake; taq-D-i, taq-D-ake; taq-D-ane, taq-D-ne; koq-D-i, koq-D-ake; D-ana, D-na; D-I?, _D-ke?, D-in-D-an, D-in-D-ake; D-D--an; but there are some other categories which are improductive. On the other hand, all of the transpositional categories in verb I A are improductive. There are only three procedes of adjectives (-an, ke-en, -em-//-um-) which transpose verbs into adjectives. All of the transpositional categories of adjective are improductive. In this thesis, we also know that a certain word-class system is not totally transposed into the other."
1985
D123
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajatrohaedi, 1939-2006
"ABSTRAK
Menurut Pusat Pwmbinaan dan pengembangan bahasa di Inodnesia terdapat tidak kurang dari 400 bahasa daerah dan sabdaraja. Baik jumlah pemakai, luas daerah pakai, maupun pemakai bahasa dan sabdarajanya itu tidak sama. Ada bahasa yang jumlahnya sangat banyak, seperti misalnya bahasa Jawa (BJ) dan bahasa Sunda (BS), ada pula yang jumlah pemakainya sangat sedikit, seperti misalnya bahasa-bahasa di Irian Jaya."
1978
D1576
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahruddin Kaseng
"Valensi morfologi dan penentuan kelas kata tanpa mengurangi pentingnya hasil pekerjaan para peneliti BB yang bekerja lebih dahulu daripada saya (B.F. Matthes, 1875.; N. Noorduyn, 1955: 8-20; R.A. Kern, 1940; Samsuri, 1962), sumbangan yang ingin saya berikan dalam rangka penelitian bahasa tersebut ialah pemerian (deskripsi) yang berkisar dalam kata kerja. Pemilihan kata kerja sebagai obyek tidak bersangkut paut dengan ciri linguistik pada tahun-tahun terakhir yang ditimbulkan oleh pengaruh dari ahli-ahli yang dikenal dengan nama tata bahasa generatif-transformasional,yang banyak mencurahkan perhatian pada soal-soal universal bahasa. Walaupun kata kerja (verb, predicator) telah dicanangkan sebagai salah satu unsur universal oleh ahli-ahli tersebut, tetapi pemilihan saya di sini hanyalah secara kebetulan saja karena, menurut hemat saya, mencari dan mengejar soal-soal universal lebih dahulu kemudian meneliti hal-hal khusus dalam bahasa yang belum diperkenalkan atau dideskripsikan secara sempurna, merupakan pekerjaan yang lebih sulit (dan mungkin tidak akan mungkin) jika dibandingkan dengan usaha meneliti hal-hal khusus lebih dahulu kemudian menentukan soal-soal universalnya.
Di samping itu, perlu dijelaskan bahwa penelitian ini mendasarkan diri pada valensi morfologi dasar kata. Yang dimaksud valensi morfologi ialah sejumlah penggabungan dengan berbagai-bagai imbuhan, dan yang dimaksud dasar kata ialah kata yang biasa disebut kata dasar oleh penulis-penulis tata bahasa BI (S. Takdir Alisjahbana, 1959; Tardjan Hadidjaja, 1967; C.A. Maas, 1969).
Penelitian seperti ini akan berguna dalam usaha mendapatkan patokan pemberian ciri atau karakteristik formal dasar kata (atau membandingkan satu dasar kata dengan dasar kata lain). Saya berpendapat bahwa pemberian ciri dasar kata akan besar sumbangannya pula terhadap penelitian lain yang bersifat struktural, yang menyangkut segi-segi gramatika, morfologi dan sintaksis, dan terhadap penelitian yang bukan struktural--tetapi erat hubungannya dengan penelitian struktural-- yaitu leksikografi.
Identifikasi unit-unit penting bagi setiap bahasa termasuk BB. Apakah tudang itu dalam kalimat Tudang'i ri olona sumpang e 'ia duduk di depan pintu' sama dengan sumpang? Kalau tidak sama, ciri-ciri apa yang membedakannya? Selanjutnya, apakah iitu sama dengan i dalam tudangi 'duduki'? Apakah ri di sini sama dengan ri dalam katarienung 'diminum' ?
Mencari jawaban untuk pertanyaan seperti itu merupakan usaha yang bertujuan memberi kelengkapan pemerian suatu bahasa. Ambil saja contoh bahasa Inggris, yang sudah lanjut tingkat pemeriannya. Penelitian yang intensif dan ekstensif terhadap bahasa Inggris dapat dilihat dalam hasil yang berupa uraian gramatika atau penyusunan daftar leksikon yang lebih sempurna. Kelengkapan ciri yang dijelaskan dalam setiap leksikon, kelasnya (apakah kata benda atau kata kerja atau kelas lain), subkelasnya (apakah transitif atau intransitif) yang jauh melebihi daftar leksikon bahasa yang belum lanjut deskripsinya, tidak dapat diartikan sepenuhnya bahwa bahasa Inggris mempunyai sistem lain, yang biasa dilakukan dalam membandingkan antara leksikon bahasa Inggris dan leksikon BI (sehingga, bagi mereka, dalam daftar leksikon BI tidak perlu dicantumkan ciri leksikon seperti dalam bahasa Inggris). Begitu juga dengan unit-unit lain dalam bahasa Inggris. Imbuhan-imbuhan dalam bahasa itu telah diperinci, mana imbuhan derivasi dan mana imbuhan fleksi. Bahkan, dalam hasil penelitian Hans Marchand dapat dilihat sejarah beberapa imbuhan, kapan imbuhan itu mulai dipakai. Perlu saya tambahkan bahwa mengemukakan hasil pemerian bahasa Inggris yang lebih sempurna bukanlah maksud saya menyatakan bahwa setiap ciri itu harus dicari-cari pula dalam bahasa lain, BB dan BI misalnya; tetapi yang penting ialah mencari ciri berdasarkan penelitian dalam bahasa itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1974
D164
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton M. Moeliono
"Bahasa Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya selaku bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial, dan politik Indonesia sangat penting. Beberapa monografi mutakhir memerikan aspek luar-bahasa itu dari berbagai sudut pandangan. Bodenstedt (1967), misalnya, dengan menggunakan ancangan (approach) sosiologi, berusaha menjelaskan tata hubungan antara bahasa kebangsaan dan gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Khaidir Anwar (1976) menangani masalah yang berhubungan dengan pengangkatan bahasa Malaya menjadi bahasa kesatuan nasional di Indonesia dan peranannya kemudian sebagai bahasa negara yang resmi di dalam perspektif sosiolinguistik. Aspek sejarah dan sosiolinguistik juga menjadi perhatian Husen Abas (1978) yang membahas peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa, pemersatu di dalam jaringan kornunikasi antarsuku dan antarbudaya.
Kemiripan telaah penulis ini dengan ketiga tesis yang disebut di atas terletak pada minat terhadap masalah kebahasaan dan cara pemecahannya. Perbedaannya akan tampak di dalam ancangannya yang menempatkan berbagai masalah itu di dalam kerangka teori perencanaan bahasa yang sedang berkembang. Studi ini berusaha mensistemkan konsep-konsep pokok di dalam teori itu dengan bertolak dari praktek pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia selama ini. Penelaahan itu menghasilkan kerangka acuan baru, yang pada hemat penulis ini, dapat memadukan bermacam-macam pandangan perencanaan bahasa ke dalam kesatuan yang lebih bersistem. Walaupun penulis ini tidak ingin dituduh hanya bermain dengan istilah yang lazim dipakai di dalam kepustakaan perencanaan bahasa, salah satu usaha awalnya, yang dirasakannya perlu dilakukan di dalam kalangan ini, justru berupa pencermatan pembatasan makna istilah yang kadang-kadang masih bersimpang-siur.
Di samping itu, sebagai pengarang yang menulis di dalam bahasa Indonesia, penulis ini juga berhadapan dengan masalah pengungkapan pikirannya di dalam ragam bahasa ilmiah. Atas kepercayaan bahwa perkembangan ilmu dan ragam bahasa ilmiah gantung-bergantung, maka di dalam tulisan ini akan ditemukan sejumlah istilah Indonesia yang mungkin digunakan untuk pertama kali untuk merujuk ke konsep yang pelambangannya di dalam bahasa Inggris sudah disepakati oleh kalangan ahli sosiolinguistik. Penulis ini pun ingin menunjukkan bahwa pergumulannya dengan materi pembahasannya, yang harus direkamkannya di dalam bahasa yang masih sering dianggap orang kurang terkembang, merupakan proses yang kreatif baginya.
Di dalam proses penulisan itu, penulis ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Haugen, pelopor teori perencanaan bahasa, yang lewat karangannya turut mewarnai penafsiran pelbagai pokok bahasan studi ini. Penulis ini juga merasa diperkaya oleh wawasan Ferguson, Fishman, Rubin, Neustupny, dan Jernudd, yang baik lewat percakapan pribadi maupun lewat tulisannya, merupakan sumber bagi apa pun yang berharga di dalam studi ini. Dengan sendirinya penyimpangan anggapan terhadap apa yang disebut perencanaan bahasa yang sekarang dianut oleh penulis ini tidak dapat dipulangkan kepada mereka. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1981
D1004
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salombe, Cornelius
"Penghuni sebagian terbesar daerah Sulawesi Tengah dan sebagian daerah Utara jazirah Sulawesi Selatan, secara konvensional disebut suku Toraja, dan bahasanya disebut bahasa Toraja. Adriani-Kruyt mengelompokkan suku tersebut atas: Toraja Timur (di daerah Tojo-Poso, Sulawesi Tengah), Toraja Barat (di daerah Kaili-Parigi, Sulawesi Tengah), dan Toraja Selatan (disebut juga Toraja Saqdan) di daerah Utara jazirah Sulawesi Selatan, sepanjang aliran sungai Saqdan (Adriani-Kruyt, 1950, I, 3).
Sesuai dengan pengelompokan tersebut di atas, maka bahasa-bahasa pada ketiga daerah itu berturut-turut diberi nama: bahasa Bareqe, bahasa Uma, Bahasa Taeq, berdasarkan kata negasi bareqe 'tidak', uma 'tidak', taeq 'tidak' (Salzner, 1960, 114-115) yang umum terdapat dalam masing-masing bahasa bersangkutan. Bahasa-bahasa tersebut meskipun serumpun, nampaknya agak berbeda satu dengan yang lain. Antara bahasa Bareqe dengan bahasa Taeq, misalnya, terdapat perbedaan tertentu dalam sistematik morfemisnya. Yang disebut pertama, antaranya membentuk kata kerja transitif (bentuk aktif) dengan prefiks ma- (Adriani, 1931, 172), prefiks mampo- (Adriani, 1931, 177) dan lain seterusnya, sedang yang disebut kemudian itu membentuk kata kerja transitif (bentuk aktif) dengan prefiks u(N)-, prefiks umpo- dan lain sebagainya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D00316
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gregorius
"Tujuan penelitian untuk disertasi ini adalah mencoba mengungkapkan morfologi Dialek Lamalera, sebuah dialek yang dipergunakan penduduk desa Lamalera, yang terletak di pantai Selatan pulau Lembata. Persiapan-persiapan berupa penelitian pendahuluan telah diadakan di Jakarta pada pertengahan tahun 1973 dengan mempergunakan informan penutur asli yang berada di Jakarta. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan selama empat bulan dari bulan Desember 1974 hingga bulan Maret 1975.
Dialek Lamalera sebagai obyek penelitian hanya akan bisa dilihat lebih jelas, bila statusnya di antara dialek/bahasa sekitarnya sudah diungkapkan secara lebih pasti. Sebab itu sudah dilakukan pula pencatatan tambahan berupa pengumpulan kosa kata dasar (basic vocabulary} dari 36 desa di Flores Timur. Data-data tersebut menghasilkan suatu klasifikasi linguistis sebagai yang terlihat dalam Lampiran VI. Di sana dapat dilihat dengan jelas di mana tempat dialek Lamalera di antara bahasa-bahasa sekitarnya, yang lazimnya disebut sebagai bahasa Soler. Uraian singkat sebagai latar belakang mengenai bahasa di Flores Timur ini akan dikemukakan dalam no. 4 dan 5.
Mengambil sebuah aspek yang lebih sempit dari morfologi Dialek Lamalera kami hindari dengan suatu alasan bahwa literatur mengenai bahasa Solor sangat kurang, sehingga aspek yang lebih sempit ini akan ketiadaan landasan yang lebih kuat. Sebab itu sebagai suatu karya awal yang mencoba melihat aspek bahasa-bahasa ini secara linguistis, kami menganggap perlu mengambil suatu topik yang lebih luas yaitu morfologi. Dengan landasan ini diharapkan akan muncul karya karya baru yang mencoba menganalisa dan mengupas aspek-aspek yang lebih sempit atau lebih khusus pada masa-masa mendatang.
Mengapa justru dialek Lamalera? Sebagai alasan pertama dapat dikemukakan bahwa dialek ini merupakan salah satu dari bahasa Lamaholot (istilah yang sekarang dikenal adalah bahasa Solar) sebagai yang pernah diselidiki oleh P.A. Arndt SVD. Dengan demikian hasil penelitian yang dikemukakan dalam uraian ini dapat kiranya dibandingkan dengan kesimpulan-kesimpulan atau deskripsi yang pernah dilakukan itu.
Dari sekian banyak dialek/bahasa Lamaholot, dialek Lamalera memperlihatkan identitas sendiri berupa fonem﷓fonem tertentu (i./f/ dan /.f } di samping struktur morfologis dan perbendaharaan kata yang khas, bila dibandingkan dengan dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
Ketiga, dalam sejarah Lamalera sudah disebut dalam berita mengenai perkembangan agama Katolik, yaitu mengenai pembunuhan dua orang pastor dalam tahun 1662. Sesudah itu Lamalera perlahan-lahan berkembang menjadi pusat pengembangan keagamaan di pulau Lembata, yang secara resmi ditetapkan sebagai satu paroki pada tahun 1921, dengan pusatnya di Lamalera. Penyampaian pengajaran agama, ibadahibadah keagamaan dilakukan dengan dialek Lamalera ke seluruh pulau ini. Dalam tahun 1937 disusunlah sebuah buku kebaktian Soedoe Horinat yang dipakai pula di semua gereja di seluruh Lembata, dengan mempergunakan dialek Lamalera. Semua kotbah dan injil juga disampaikan dengan dialek ini kepada penganut agama katolik di seluruh pulau Lembata. Sehingga dengan demikian, walaupun tidak menjadi bahasa standar untuk kabupaten Flores Timur, namun sekurang-kurangnya selama puluhan tahun dialek ini memegang peranan yang sangat penting sebagai bahasa ?resmi? dalam bidang keagamaan, termasuk daerah Kedang di ujung timur Lembata, yang secara linguistis sudah termasuk dalam keluarga bahasa yang lain.
Alasan lain adalah bahwa dalam waktu yang terbatas tidak akan dicapai hasil yang memuaskan bila peneliti tidak mengenal dan tidak mengetahui semua latar belakang masyarakat yang dapat mempengaruhi analisa bahasa ini. Penulis sendiri adalah seorang penutur asli dialek ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D166
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Badudu, Jusuf Syarif
"ABSTRAK
Menurut dongengnya daerah Gorontalo yang ada sekarang ini berasal dari sebuah pulau. Lama-kelamaan air laut sekitar pulau itu sudut dan di sekitar pulau itu tampaklah daerah yang luas dengan tiga buah gunung di tengah-tengahnya, masing-masing bernama Gunung Malenggalila don Gunung Tilonggabila, yang kemudian berubah namanya ,menjadi Tilongkabila. Gunung yang ketiga tidak bernama. Sebuah lembah di sebelah selatan Gunung Tilongkabila itulah yang bernama Hulontalangi, daerah yang kemudian bernama Hulontalo atau Gorontalo.
Bermacam-macam pendapat orang mengenai arti kata hulontalangi. H.M. Liputo mengatakan, bahwa kata hulontalangi berasal dari dua patah kata, yaitu kata huluntu yang berarti ?lembah? dan kata langi yang berarti ?mulia?. Jadi hulontalangi berarti lembah yang mulia. Kano mengatakan, bahwa hulontalangi berasal dari kata huntu yang berarti ?onggokan? (tanah, dsb.) atau ?pematang?, dan langi-langi yang berarti ?tergenang? . Jadi hulontalangi berarti ?daratan yang tergenang air? sesuai dengan dongeng asal daerah ini."
1975
D57
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>