Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Farida Soenarto
"Latar belakang: Halotan, anestetika inhalasi yang poten semakin banyak ditinggalkan karena efek aritmogeniknya. Penelitian di tingkat selular kebanyakan dilakukan pada penyandang hipertermia maligna (MH), membuktikan bahwa halotan mengaktivasi reseptor ryanodin (RyR) pada otot rangka, menyebabkan penglepasan berlebihan Ca2+ dari retikulum sarkoplasmik (SR) ke sitosol, memicu hiperkontraktur otot rangka. Diasumsikan halotan mempunyai efek serupa pada otot jantung. Belum banyak penelitian mengenai efek pemberian Mg2+ terhadap perubahan konsentrasi Ca2+ akibat halotan, meskipun Mg2+ dikenal sebagai obat antiaritmik. Mg2+ diduga menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol dengan cara meningkatkan ambilan kembali ke dalam SR melalui aktivitas SERCA.
Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vitro, dengan subjek sel kultur miosit jantung tikus. Miosit yang dimuat dengan indikator Indo1 dibagi menjadi lima kelompok. Sel kontrol tidak dipajankan dengan halotan. Kelompok sel lainnya dipajankan dengan halotan berkonsentrasi 2 mM (setara dengan 1 - 3 MAC) selama 5 menit. Pada kelompok 1, setelah dipajankan dengan halotan, pajanan dihentikan dan diperiksa besar emisinya (penghentian menit ke- 0). Selanjutnya pemeriksaan emisi dilakukan setelah penghentian pajanan diteruskan selama 5, 10, 15 dan 20 menit. Sel kelompok 2 dan 3 diberi MgSO4 11 M dan 22 mM setelah pajanan halotan, kelompok 4 dan 5 diberi MgSO4 11 mM dan 22 mM sebelum pajanan halotan. Perubahan konsentrasi Ca2+ sitosol diketahui dengan pemindaian laser menggunakan mikroskop konfokal, dihitung dari perubahan besar emisi pada sel terpajan dengan analisis pixel.
Hasil: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung secara bermakna. Pemberian MgSO4 sebelum pajanan halotan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Pemberian MgSO4 setelah pajanan halotan tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol, namun ditemukan kecenderungan turunnya konsentrasi Ca2+ sitosol dengan penambahan dosis MgSO4, setara dengan efek penghentian pajanan halotan selama 10 menit. Lima belas menit setelah penghentian pajanan halotan, konsentrasi Ca2+ turun secara bermakna. Dua puluh menit setelah pajanan halotan dihentikan, konsentrasi Ca2+ sitosol telah kembali ke nilai awal.
Simpulan: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung. Mg2+ tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung dan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung akibat pajanan halotan. Setelah penghentian pajanan halotan selama 15 menit, konsentrasi Ca2+ sitosol turun secara bermakna.

Background: Halothane, a potent inhalational anesthetic, has been recognized to cause arrhythmia, probably due to activation of ryanodine receptor (RyR), triggering Ca2+ release from sarcoplasmic reticulum (SR) to the cytosol. The similar mechanism had been known in skeletal muscle of malignant hyperthermia (MH) patients. Mg2+ hypothetically prevents Ca2+ release by inhibition of RyR and increasing Ca2+ reuptake to SR by SERCA activity. Although Mg2+ had been used as an antiarrhythmic agent, the effect on reducing halothane-induced high intracellular Ca2+ concentration is not well studied.
Method: This experimental in vitro study was done on cultured cell of rat cardiomyocytes. Cells divided into 6 groups. 5 groups were exposed to halothane for 5 minutes (at concentration of 2 mM, equal to 1-3 MAC) and one was not. Of the 5 halothane-exposed groups, group 1 received no additional treatment, but observed immediately after discontinuation of halothane exposure, then 5, 10, 15 and 20 minutes after discontinuation. Group 2 and 3 were given 11 mM and 22 mM MgSO4 after halothane exposure, respectively. Group 4 and 5 had the corresponding MgSO4 treatment prior to exposure. The change in cytosolic Ca2+ was observed by a confocal microscope and measured by pixel analysis for the emission.
Results: Halothane increased cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes, in which was not substantially altered by MgSO4 given before or after the exposure. There was a trend of decreasing Ca2+ concentration with higher dose of Mg2+. MgSO4 of 22 mM decreased cytosolic Ca2+ concentration to the same extent as discontinuation of halothane for 10 minutes. The cytosolic Ca2+ concentration significantly decreased 15 minutes after discontinuation of halothane exposure and the cytosolic Ca2+ concentration returned to the basal level 20 minutes after discontinuation of halothane exposure.
Conclusion: Halothane increases cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes. Neither pre- nor post-halothane exposure administration of MgSO4 substantially alters this phenomenon. Cytosolic Ca2+ concentration was significantly reduced 15 minutes after discontinuation of halothane exposure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Rosita Tantri
"Lidokain pada anestesia spinal dapat menimbulkan cedera saraf pasca anestesia berupa sindroma kauda equina atau neuropati lumbosakral persisten. Hipotermia ringan terapeutik adalah modalitas terapi yang dapat meningkatkan angka luaran dan kualitas hidup yang lebih baik pada pasien dengan cedera saraf. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran hipotermia ringan 35°C terhadap neurotoksisitas lidokain.
Metode
Peneiltian ini adalah penelitian eksperimental in vitro pada kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y. Kultur sel neuroblastoma SH-SY5Y dipaparkan dengan lidokain berbagai konsentrasi pada keadaan hipotermia 35°C dan normotermia 37°C, dan dianalisis persentase viabilitas sel serta mekanisme kematian sel yang terjadi. Persentase viabilitas sel secara kuantitatif didapat dari hasil pemeriksaan MTT colorimetric assay. Image based cytometry digunakan untuk mengetahui persentase jumlah sel yang mengalami nekrosis, apoptosis dan hidup. Persentase jumlah sel dan morfologi sel yang mengalami apoptosis diamati dengan pewarnaan TUNEL. Konsentrasi Bcl-2 dan caspase 3 aktif dikuantifikasi dengan menggunakan sandwich ELISA assay.
Hasil
Lidokain mengakibatkan kematian sel yang bersifat dose dependent. Lebih dari 50% kematian sel diakibatkan oleh proses nekrosis. Persentase viabilitas sel dan konsentrasi caspase 3 aktif pada keadaan normotermia dan hipotermia tidak berbeda bermakna. Tidak dijumpai peningkatan bermakna nilai IC50 lidokain dan konsentrasi Bcl-2 pada keadaan hipotermia 35°C dibandingkan pada 37°C. Tidak dijumpai pengurangan bermakna persentase sel yang mengalami apoptosis pada keadaan hipotermia baik pada pemeriksaan image based cytometry maupun pada pewarnaan TUNEL.
Kesimpulan
Hipotermia 35°C tidak memperbaiki viabilitas dan nilai IC50 sel neuroblastoma SH-SY5Y yang diberi paparan lidokain. Hipotermia 35°C tidak menginhibisi proses apoptosis dan nekrosis pada sel neuroblastoma SH-SY5Y yang mendapat paparan lidokain. Neurotoksisitas lidokain tidak dihambat oleh hipotermia 35°C.

Lid°Caine in spinal anesthesia may cause nerve injury and has been related to increase incidence of cauda equina syndrome and persistent lumbosacral neuropathy after spinal anesthesia. Therapeutic mild hypothermia is a new treatment, which increases survival chances and quality of life in ischemic nerve injury patients. The aim of this study is to obtain information about the role of mild hypothermia (35°C) in lid°Caine-induced neurotoxicity.
Methods
In this experimental in vitro research, neuroblastoma SH-SY5Y cell culture was exposed to various lid°Caine concentrations in hypothermic 35°C and normothermic 37°C condition. Viability of cells after various concentrations of lid°Caine exposure at 37°C and 35°C was quantitatively determined by MTT colorimetric assay. Image based cytometer was also used to determine quantitatively percentage of necrotic, apoptotic and viable cells. Apoptotic cell percentage and apoptotic cell morphology was assessed with TUNEL staining. In addition, an anti apoptotic factor, Bcl-2 and apoptosis executioner active caspase 3 were assessed with sandwich ELISA assay.
Results
Lid°Caine induced cell death °Ccured in dose dependent manner. More than 50% cell death was caused by necrosis pr°Cess. Active Caspase 3 concentration and viability percentage in normothermic and hypothermic condition were not significantly different. There was no significant increase in IC50 value of lid°Caine, Bcl-2 concentration and cell viability after exposure to hypothermia 35°C compared with 37°C. There was no significant decreased in apoptotic and necrosis cells in hypothermia of 35°C compared with normothermia 37°C.
Conclusion.
Hypothermia of 35°C did not influence viability, nor inhibit apoptotic pr°Cess, nor reduce neurotoxicity induced by lid°Caine in neuroblastoma SH-SY5Y cells."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arief Fadli
"Latar belakang PONV dapat terjadi pada 20-30% pasien, bahkan pada pasien- pasien yang berisiko tinggi bisa mencapai sekitar 70%. PONV menyebabkan peningkatan morbiditas, menurunnya kepuasan pasien dan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien. Salah satu cara nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan mual muntah pascaoperasi adalah dengan pemakaian akupresur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemakaian akupresur Sea-Band® untuk menurunkan angka kejadian mual muntah pascaoperasi pada pasien yang menjalani anestesia umum inhalasi.
Metode Dilakukan pembiusan umum pada 88 pasien ASA 1-2 yang menjalani pembedahan risiko tinggi PONV. Tujuh pasien dikeluarkan, akupresur 41 sampel dan kontrol 40 sampel. Pada kelompok perlakukan diberikan lakukan pemasangan akupresur Sea-Band® 30-60 menit sebelum dilakukan pembiusan. Seluruh sampel diberikan antiemetik. Dilakukan pencatatan angka kejadian mual muntah selama 0-2 jam pascaoperasi di ruang pulih dan 2-24 jam di ruang rawat inap. Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok.
Hasil: Didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok dalam insidens mual dan muntah di ruang pemulihan (0-2 jam). Insidens mual dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 9,75 % vs 25 % (p > 0,05) dan insidens muntah dalam 0-2 jam antara akupresur vs plasebo adalah 4,87 % vs 17,5 % (p> 0,05). Insidens mual dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 2,43 % vs 20 % (p < 0,05). Insidens muntah dalam 2-24 jam antara akupresur vs plasebo adalah 0 % vs 7,5 % (p > 0,05). Tidak didapatkan terjadinya efek samping pada kedua kelompok. Tercatat bahwa 90,2% mengatakan puas dengan manfaat penggunaan akupresur dan pemberian ondansetron, bahkan pada kelompok yang sama sebanyak 4,9% menyatakan sangat puas
Kesimpulan Penggunaan akupresur Sea-Band® dengan Ondansetron terbukti dapat menurunkan angka kejadian mual pada rentang waktu 2-24 jam setelah operasi dengan anestesia umum inhalasi.

Background : PONV may occur in 20-30 % of patients , even in patients at high risk could reach about 70 % . PONV lead to increased morbidity , decreased patient satisfaction and increased patient costs . One way nonpharmacological do to reduce postoperative nausea and vomiting is to use acupressure . This study aims to determine the effectiveness of the use of Sea - Band® acupressure to reduce the incidence of postoperative nausea and vomiting in patients undergoing general anesthesia inhalation .
Methods : Do general anesthesia in 88 ASA 1-2 patients undergoing high- risk surgery PONV . Seven patients were excluded , acupressure 41 samples and 40 control samples . In the treatment group was given did the installation of Sea - Band® acupressure 30-60 minutes prior to anesthesia . The entire sample is given antiemetic . Do recording the incidence of nausea and vomiting for 0-2 hours postoperatively in the recovery room and 2-24 hours in the inpatient unit . There were no side effects in both groups .
Results : Obtained results were not significantly different between the two groups in the incidence of nausea and vomiting in the recovery room ( 0-2 hours ) . The incidence of nausea within 0-2 hours between acupressure vs placebo was 9.75 % vs. 25 % ( p > 0.05 ) and the incidence of vomiting within 0-2 hours between acupressure vs placebo was 4.87 % vs. 17.5 % ( p > 0.05 ) . The incidence of nausea in 2-24 hours between acupressure vs placebo was 2.43% vs. 20 % ( p < 0.05 ) . The incidence of vomiting in 2-24 hours between acupressure vs placebo was 0 % vs. 7.5 % ( p > 0.05 ) . There were no side effects in both groups . It was noted that 90.2 % said satisfied with the benefits of using acupressure and ondansetron administration , even in the same group as much as 4.9 % said very satisfied
Conclusions : The use of acupressure by Sea - Band® Ondansetron shown to reduce the incidence of nausea in the period 2-24 hours after surgery with general anesthesia inhalation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farahniar Hamidiana
"ABSTRAK
Latar belakang. Status volume intravaskular hipovolemia atau hipervolemia dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Baku emas penilaian status volume intravaskular adalah pemeriksaan immunoassay, sifatnya invasif, sulit dan lama sehingga para klinisi mencari teknik yang tidak invasif, mudah dan singkat. Pemeriksaan diameter vena kava inferior IVC dan vascular pedicle width VPW merupakan teknik noninvasif yang mulai dipakai untuk menilai status volume intravaskular. Keuntungan VPW adalah dapat dilakukan pada rumah sakit yang tidak memiliki USG. Uji kesesuaian IVC dan VPW dalam menilai status volume intravaskular hanya pernah dilakukan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian hasil penilaian status volume intravaskular antara teknik ultrasonografi diameter IVC dengan teknik radiografi dada VPW pada pasien napas spontan. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis observasional analitik potong lintang untuk mengetahui kesesuaian hasil penilaian status volume intravaskular pasien di ruang resusitasi IGD antara IVC dengan VPW pada bulan Mei 2018. Didapatkan 40 subjek yang memenuhi kritera penerimaan dan bersedia menandatangani informed consent penelitian. 40 subjek diukur VPW-nya dari hasil radiografi dada oleh sejawat Radiologi di IGD lalu dinilai diameter IVC maksimal, minimal dan reratanya serta collapsibility index-nya oleh peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif. Terdapat 1 subjek yang dikelurkan karena nilai VPW tidak dapat diukur. Analisis data menggunakan analisis Kappa. Hasil. Nilai median diameter IVC 1,1 cm dengan nilai minimum 0,46 cm dan maksimum 3 cm. Nilai median collapsibility index 33 dengan nilai minimum 10,2 dan maksimum 100 . Nilai median VPW 5,7 cm dengan nilai minimum 3,5 cm dan maksimum 10,8 cm. Didapatkan hasil tidak adanya kesesuaian antara diameter rerata IVC dengan VPW koefisien Kappa -0,085 . Tidak terdapat kesesuaian antara diameter maksimal IVC dengan VPW koefisien Kappa -0,123 . Tidak terdapat kesesuaian juga antara collapsibility index dengan VPW koefisien Kappa 0,069 Simpulan. Penilaian status volume intravaskular teknik ultrasonografi diameter IVC tidak sesuai dengan teknik radiografi dada VPW. Kata Kunci: status volume intravaskular; kesesuaian; IVC; VPW ABSTRACT
Background. Intravascular volume status hypovolemia or hypervolemia can both increase morbidity and mortality. The gold standard for assessing intravascular volume is immunoassay measurement. It is an invasive measurement, difficult and requires time before a final evaluation is complete. So there is a significant need for a rapid, noninvasive and easy technique to determines volume status. Inferior vena cava IVC and vascular pedicle width VPW are noninvasive and easy technique to measure intravascular volume status. VPW can be done without USG. Compatibility between IVC and VPW had only been done in patient with mechanical ventilation. This study was conducted to see compatibility between IVC diameter and VPW for assessing intravascular volume status in spontaneous patient. Methods. This was a cross sectional analytic study in the emergency room to see compatibility between IVC diameter and VPW for assessing intravascular volume status in spontaneous patient during May 2018. There were 40 subjects who fulfilled inclusion criteria and agreed to sign informed consent. VPW of 40 subjects were assessed by the radiologist then the maximum, minimum, mean diameter and collapsibility index of the IVC were assessed by anesthesiologist resident in the emergency room. There was 1 drop out subject due to VPW can not be measured. We use Kappa analysis for this study.. Results. Median of IVC diameter for this study was 1,1 cm, with minimum diameter was 0,46 cm and maximum was 3 cm. Median of collapsibility index was 33 , with minimum value was 10,2 and maximum was 100 . Median of VPW was 5,7 cm, with minimum outcome was 3,5 cm and maximum was 10,8 cm. We found that there was no compatibility between IVC mean diameter and VPW Kappa coefficent was -0,085 . There was also no compatibility between IVC maximum diameter and VPW Kappa coefficient -0,123 . WE also found there was no compatibility between collapsibility index of IVC and VPW Kappa coefficient 0,069 Conclusion. Assessment intravascular volume status by ultrasonography technique of IVC diameter was not compatible with radiographic technique of VPW. Keywords: intravascular volume status; compatibility; IVC; VPW."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ade Wijaya Ramlan
"ABSTRAK
Pemakaian obat anestetika inhalasi sevofluran terbukti meningkatkan angka kejadian delirium emergens terutama pada anak. Delirium emergens yang terjadi pascapajanan dengan anestesia inhalasi merupakan kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan keselamatan pasien dan pada akhirnya meningkatkan biaya perawatan. Mekanisme kerja sevofluran pada sel saraf menyebabkan kadar kalsium intrasel meningkat. Penelitian ini adalah penelitian invitro yang meneliti kejadian delirium emergens pada hewan coba dan invivo dengan mengkaji fisiologi kelistrikan sel, konsentrasi kalsium intrasel dan peran magnesium.Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian FKUI, anak tikus Sprague-Dawley berusia 2 ndash;5 minggu yang memenuhi kriteria penerimaan diberikan pajanan dengan obat anestetika sevofluran. Satu kelompok mendapatkan suntikan magnesium sulfat intraperitoneal setelah induksi anestesia. Setelah pajanan anestesia dihentikan diamati kejadian hipereksitasi yang terjadi, kemudian tikus didekapitasi dan dibuat sediaan irisan jaringan otak tikus untuk diperiksa menggunakan patch clamp dengan metode cell-attached current clamp dan voltage clamp. Sebagian irisan jaringan otak tikus juga diberikan pewarna sensitif kalsium Fura-Red AM, yang memiliki sifat rasiometri sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran kadar kalsium intrasel secara kuantitatif. Sisa jaringan otak tikus diproses menjadi homogenat untuk pemeriksaan reaksi inflamasi NF?B dan stress oksidatif Malondialdehyde.Angka kejadian perilaku eksitasi pascapajanan sevofluran pada hewan coba sebesar 9 dari 15 ekor tikus dan tidak terdapat perilaku eksitasi pada kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat. Hasil pemeriksaan reaksi inflamasi dan stres oksidatif menunjukkan nilai rerata normal. Hewan coba yang mengalami delirium emergens memiliki kadar kalsium sitosol yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami delirium emergens dan kelompok yang mendapat magnesium sulfat, namun perbedaannya tidak memiliki kemaknaan statistik. Hasil perekaman dengan menggunakan patch clamp metode cell attached current clamp dan voltage clamp memperlihatkan angka yang lebih tinggi pada kelompok yang mengalami delirium emergens, walaupun masih dalam rentang normal.Terdapat peningkatan konsentrasi Ca2 sitosol sel neuron neokortikal anak tikus Sprague-Dawley dengan potensial membran istirahat yang lebih tinggi pada saat pajanan dengan gas anestetika sevofluran dihentikan dan mengalami delirium emergens. Pemberian magnesium sulfat terbukti mencegah terjadinya delirium emergens pada hewan coba.
Sevoflurane has been proven to increase the event of emergence delirium. The increase in cytosol calcium level post sevoflurane anaesthesia may play role in emergence delirium. This study reviews the level of intracellular calcium in rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane; also the role of magnesium in preventing hyperexcitatory behaviour after sevoflurane exposure in rats.After ethical approval, 2 ndash;5 week old Sprague-Dawley mice were insufflated with sevoflurane in a modified anaesthesia chamber. A group of rats were randomnly chosen to receive MgSO4 administration intraperitoneally. After the exposure to sevoflurane was stopped, we observe the event of hyperexcitation. Preparations from the rats rsquo; brain tissue were done for measurement of its cell membrane electricity using patch clamp method, intracellular calcium level quantitatively using Fura Red AM, and the presence of inflammation or oxidative stress reaction using NF?B and MDA.The incidence of hyperexcitatory behaviour post sevoflurane exposure was 52.6 in the observation group and none in the group receiving MgSO4. The assay for inflammation and oxidative stress were averaging normal. Rats showing hyperexcitation showed a statistically significant higher level of cytosol calcium concentration compared to other groups. The recording for cell attached patch clamp method showed a higher resting membrane potential in group with hyperexcitatory behaviour, though still within normal range.There is an increase in neurocortical neurons calcium concentration with a higher resting membrane potential in Sprague-Dawley rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane. The administration of MgSO4 can prevent the event of hyperexcitation in experimental animals. "
2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library