Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
Christou Imanuel
"Indonesia sedang merundingkan penetapan batas laut dengan Palau karena terdapat klaim yang tumpang tindih antara kedua negara. Wilayah yang belum didelimitasi kerap menyimpan potensi pelanggaran hukum oleh negara yang sama-sama memiliki klaim atau bahkan negara ketiga. Untuk itu UNCLOS memberikan kewajiban bagi negara pihak untuk berusaha membuat provisional arrangement/pengaturan sementara di wilayah yang delimitasinya belum ditentukan. Kini Indonesia dan Palau belum memiliki pengaturan sementara. Penelitian ini bertujuan untuk menilik keberadaan urgensi untuk dibentuknya pengaturan sementara di wilayah yang sedang dirundingkan oleh Indonesia dan Palau. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menyarikan norma internasional terkait pengaturan sementara dari UNCLOS dan praktik negara-negara. Inti yang disarikan adalah urgensi yang biasa menjadi dasar pemicu dibentuknya pengaturan sementara. Hasilnya akan disandingkan dengan kondisi terkini di wilayah perbatasan Indonesia dan Palau. Kecocokan antara dasar pengaturan sementara dan kondisi setempat akan menjadi dasar analisis urgensi. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa kecocokan antara kondisi di lapangan dan norma serta praktik terkait pengaturan sementara namun belum cukup untuk menjadi dasar pembentukan pengaturan sementara. Meskipun demikian, aspek keamanan, perlindungan lingkungan, sumber daya, dan negosiasi perlu diperhatikan untuk antisipasi dibutuhkannya pengaturan sementara.
Indonesia is negotiating the delimitation of maritime boundaries with Palau because there are overlapping claims between the two countries. Territories that have not been delimited often harbor the potential for legal violations by countries that share claims or even third countries. For this reason, UNCLOS provides an obligation for state party to try to make provisional arrangements in areas whose delimitations have not been determined. Currently Indonesia and Palau do not yet have a provisional arrangement. This research aims to examine the existence of urgency for the establishment of provisional arrangements in the region currently being negotiated by Indonesia and Palau. To achieve this goal, this research summarizes international norms regarding the provisional arrangements of UNCLOS and the practices of countries. The essence that is extracted is the urgency which is usually the basis for triggering the formation of provisional arrangements. The results will be compared with current conditions in the border areas of Indonesia and Palau. The match between the basis of provisional arrangements and local conditions will form the basis of the urgency analysis. This research found that there is partial alignment between field conditions and the norms and practices related to provisional arrangements but not enough to be the basis for establishing provisional arrangements. However, aspects of security, environmental protection, resources and negotiations need to be considered to anticipate the need for provisional arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Azura Zuhria
"Kemajuan teknologi dan globalisasi mendorong perubahan di berbagai bidang, salah satunya di bidang perekonomian. Namun, perubahan tidak selalu membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang dari perubahan ini adalah timbul kejahatan lintas batas dan kejahatan terorganisir, seperti kejahatan pencucian uang. Sehingga, negara perlu membentuk suatu perjanjian bantuan hukum timbal balik antar negara untuk memberantas dan menanggulangi kejahatan yang terjadi yang disebut MLAT. MLAT mengatur berbagai bantuan hukum, salah satunya menyita, merampas, dan membekukan aset hasil kejahatan. Negara menggunakan asas retroaktif dalam MLAT yang menyebabkan bantuan hukum berlaku secara surut sebagai upaya menanggulangi dan memberantas kejahatan, seperti MLAT Indonesia-Swiss. Sedangkan, Pasal 28 VCLT menyatakan bahwa perjanjian berlaku secara non-retroaktif, kecuali ditentukan lainnya dalam perjanjian. Perjanjian yang berlaku surut juga berpotensi melanggar hak seseorang untuk tidak dihukum oleh hukuman yang berlaku surut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan mengkaji mengenai kedudukan hukum asas retroaktif dalam MLAT serta melakukan perbandingan dengan MLAT yang telah diratifikasi Indonesia. Kesimpulannya, asas non-retroaktif dalam Pasal 28 VCLT tidak mutlak. Asas retroaktif dalam MLAT Indonesia-Swiss tidak menyimpangi hukum perjanjian internasional. Walupun begitu, akan lebih baik MLAT berlaku secara non-retroaktif. Apabila MLAT bersifat retroaktif, maka penerapan harus dilaksanakan dengan hati-hati.
Advances in technology and globalization have driven changes in various fields, one of which is in the economy. However, change does not always bring positive impacts, but also negative impacts. One of the negative impacts of this change is the emergence of cross-border crime and organized crime, such as money laundering. Thus, States needs to form a mutual legal assistance agreement among them to eradicate and overcome crimes that occur. MLAT regulates various legal assistance, one of which is confiscation, seizure, and freezing of assets resulting from crimes. States includes the retroactive principle in MLAT which causes legal assistance to apply retroactively as an effort to tackle and eradicate crime, such as Indonesia-Swiss MLAT. Meanwhile, Article 28 of the VCLT states that an international agreement applies non-retroactively, unless established otherwise in the treaty. A retroactive treaty also has the potential to violate a person's right not to be punished by a retroactive penalty. This research is normative, by examining the legal position of the retroactive principle in MLAT and compare MLATs which has been ratified by Indonesia. In conclusion, the principle of non-retroactivity in Article 28 of the VCLT is not absolute. The retroactive principle in the Indonesia-Swiss MLAT does not deviate from law of treaties. Even so, it would be better for MLAT to apply non-retroactively. If the MLAT is retroactive, it must be implemented with caution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Saragih, Donny Hartama
"Penelitian ini berguna untuk menganalisis bagaimana penggunaan aspek historis dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim dan sejauh mana aspek historis tersebut dapat memengaruhi sebuah putusan pengadilan terkait sengketa delimitasi maritim. Penyelesaian sengketa delimitasi maritim sendiri telah diatur dalam UNCLOS 1982 beserta Annex-nya, mulai dari pilihan forum yang dapat dipakai hingga prosedur-prosedur apa saja yang tercantum di dalamnya. Dalam konvensi yang sama disebutkan juga tentang aspek historis, walaupun konvensi ini tidak menjelaskan secara rinci tentang definisinya dan bagaimana penggunaannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim. Hal ini lah yang menjadi tujuan dari penelitian ini agar menemukan titik terang antara apa yang tertulis dalam UNCLOS 1982 dan praktik yang dilakukan oleh pengadilan dalam penerapannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim.
This research aims to analyze how the use of historical aspects in the settlement of maritime delimitation disputes and the extent to which these historical aspects can influence a court decision related to maritime delimitation disputes. The settlement of maritime delimitation disputes itself has been regulated in the 1982 UNCLOS and its Annexes, starting from the choice of forum that can be used to the procedures listed therein. The same convention also mentions the historical aspect, although this convention does not explain in detail about its definition and how it is used in resolving maritime delimitation disputes. This is the purpose of this research in order to find a bright spot between what is written in UNCLOS 1982 and the practice carried out by the courts in its application in the settlement of maritime delimitation disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Reyra Dewanti Kumala Raden
"Indonesia sebagai negara bukan anggota dari Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi (Konvensi Pengungsi) sering kali disalahkan atas ketidakmampuannya dalam pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak. Posisi hukum suatu negara terhadap suatu konvensi merupakan landasan dari terbentuknya kewajiban negara tersebut atas ketentuan yang terdapat didalamnya. Adanya keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi hak asasi manusia lainnya menyebabkan ketidakpastian atas standarisasi pemenuhan hak pendidikan anak berdasarkan statusnya sebagai pencari suaka maupun pengungsi. Maka, berdasarkan masalah ini, peneliti melakukan penelitian berdasarkan metode penelitian hukum normatif kualitatif melalui studi kepustakaan. Selanjutnya penemuan atas penelitian bahwa dalam hal kewajiban negara bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi terhadap hak pendidikan anak, terdapat 2 kewajiban yaitu penerimaan berdasarkan
non-refoulement dan penghormatan atas hak asasi manusia yang keduanya merupakan bagian dari hukum adat internasional. Sebagaimana hasil penelitian, seharusnya komunitas internasional membantu secara aktif upaya pemenuhan hak pendidikan pencari suaka anak dan pengungsi anak melalui kontribusi nyata baik secara langsung maupun tidak langsung dan bukannya menuntut pemenuhan hak tersebut secara sepihak kepada negara-negara bukan pihak, yang dalam hal ini salah satunya adalah Indonesia.
Indonesia as a non-party to the 1951 Convention on the Status of Refugees (the Refugee Convention) is often blamed for its inability to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees. The legal position of a country towards a convention is the basis for the formation of the country's obligations for the provisions contained therein. The existence of Indonesia's participation in another human rights conventions causes uncertainty over the standardization of the fulfillment of children's education rights based on their status as asylum seekers or refugees. Therefore, based on this problem, the researcher conducts research based on qualitative normative legal research methods through literature study. Furthermore, the findings from the research show that in terms of the obligations of a country that is not a party to the Refugee Convention towards children's education rights, there are 2 obligations, namely acceptance based on non-refoulement and respect for human rights, both of which are parts of international customary law. As the research results, the international community should actively assist efforts to fulfill the educational rights of child asylum seekers and child refugees through real contributions, either directly or indirectly, instead of demanding the fulfillment of these rights unilaterally to non-parties, which in this case is Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Athalya Qotrunnada
"Perkembangan teknologi dalam senjata telah memengaruhi interaksinya dengan manusia dan hukum humaniter internasional. Penggunaan Autonomous Weapon System khususnya dalam konflik bersenjata telah menarik perhatian terkait dengan interaksi manusia dan mesin yang terdapat dalam sistem senjata tersebut. Ketiadaan kontrol manusia dalam fungsi kritis senjata, yaitu pemilihan dan penyerangan terhadap target, telah memicu kekhawatiran terkait hilangnya interaksi manusia dan mesin dalam penggunaan senjata. Selama ini, keberadaan kontrol manusia dalam penggunaan senjata merupakan hal penting untuk mempertahankan adanya tanggung jawab hukum internasional. Manusia sebagai pengguna senjata perlu memiliki kontrol untuk menilai dan mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang berlaku sebelum memutuskan penyerangan. Namun, manusia memiliki kontrol dan interaksi yang berbeda dalam penggunaan Autonomous Weapon System. Manusia hanya perlu mengaktifkan senjata, dan Autonomous Weapon System akan secara mandiri memilih dan menyerang target. Kemampuan senjata tersebut menimbulkan kekhawatiran terkait hilangnya kontrol manusia dalam fungsi kritis senjata. Perbincangan terkait interaksi antara manusia dan mesin dalam penggunaan Autonomous Weapon System mengangkat adanya konsep meaningful human control sebagai bentuk kontrol yang harus dimiliki manusia dalam senjata. Adanya meaningful human control dalam Autonomous Weapon System dinilai dapat memastikan adanya pihak yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang timbul dari penggunaan senjata. Namun, definisi, bentuk, dan ambang batas terkait meaningful human control belum secara eksplisit tercantum dalam peraturan hukum humaniter internasional yang telah ada. Ketiadaan pengaturan menimbulkan adanya celah dari bentuk kontrol manusia yang harus disertakan dalam penggunaan senjata secara umum. Selain itu, ketiadaan pengaturan tersebut juga mempersulit bentuk kontrol manusia yang seharusnya disertakan dalam penggunaan Autonomous Weapon System.
Technological developments in weapons have affected their interaction with humans and international humanitarian law. The use of Autonomous Weapon System, especially in armed conflicts, has raised concerns regarding the human-machine interaction in the related weapon systems. The absence of human control in the weapon's critical functions, target selection and attack, has raised concerns regarding the loss of human-machine interaction in weapon use. It has been recognized that the existence of human control in the use of weapons is crucial to maintaining international legal responsibility. Humans as weapon users need to have the control to assess and consider the applicable principles of international humanitarian law before they decide to attack. However, humans have different controls and interactions in the use of Autonomous Weapon System. Humans are only required to activate the weapon, and the Autonomous Weapon System will autonomously select and attack targets. The weapon's capabilities have led to concerns regarding the loss of human control in critical functions of the weapon. The discussion related to the interaction between humans and machines in the use of Autonomous Weapon System brings up the concept of meaningful human control as a form of control that humans should have in weapons. The presence of meaningful human control in the Autonomous Weapon System is believed to ascertain the responsibility of the party responsible for violations of international humanitarian law arising from the use of weapons. However, the definition, form, and threshold related to meaningful human control have not been explicitly stated in existing international humanitarian law rules. The absence of regulation creates a gap in the form of human control that must be included in the use of weapons. In addition, the absence of regulation also imposes difficulties on the form of human control that should be required in the use of Autonomous Weapon System."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fariza
"Tindakan penyiksaan merupakan salah satu serangan paling kejam terhadap harga diri manusia dan merupakan salah satu kejahatan inti dalam hukum internasional. Pada dasarnya, tindakan penyiksaan telah diatur dalam Convention against Torture (CAT), dengan Committee against Torture (CmAT) berperan sebagai badan pengawas implementasi dari ketentuan dalam CAT dalam negara peserta. Perpanjangan fungsi sekretariat Sekretaris Jenderal PBB yang kompeten dalam bidang hak asasi manusia, yaitu The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) memiliki tugas untuk membantu CmAT dalam meningkatkan kemajuan dan perlindungan seluruh hak asasi manusia. Pada bulan Agustus 2022, OHCHR mengeluarkan laporan berjudul OHCHR Assessment of human rights concerns in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, People’s Republic of China (OHCHR Assessment), yang berisi laporan mengenai dugaan tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan terhadap kelompok etnis Muslim Uyghur di Xinjiang, China. Hasil analisis temuan dalam OHCHR Assessment termasuk ke dalam ketentuan CAT terkait kategori tindakan penyiksaan fisik dan mental, serta perlakuan merendahkan terhadap kelompok etnis Muslim Uyghur di Xinjiang, China. Penentuan kategori temuan tersebut dilakukan melalui peninjauan ketentuan-ketentuan CAT, kajian putusan pengadilan internasional, beserta kajian beberapa buku, artikel ilmiah, dan berita terkait tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. OHCHR juga memberi beberapa rekomendasi dalam OHCHR Assessment terkait upaya untuk melindungi hak asasi manusia kelompok etnis Muslim Uyghur di China. Rekomendasi tersebut hadir sebagai salah satu bentuk pemenuhan perlindungan hak asasi manusia oleh OHCHR, khususnya bagi kelompok etnis manusia Uyghur di Xinjiang, China.
Torture constitutes one of the most severe attacks on human dignity and is considered as a core crime under international law. The provisions of torture is regulated in Convention against Torture (CAT), with Committee against Torture (CmAT) serves as the treaty body to ensure the implementation of CAT by the State parties. The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), as the competent extension of the Secretary-General of the UN in the field of human rights, has the duty to assist CmAT in the enhancing the promotion and protection of all human rights. In August 2022, OHCHR published a report entitled OHCHR Assessment of human rights concerns in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, People’s Republic of China (OHCHR Assessment), which contains reports concerning alleged acts of torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment of the Uyghur Muslim ethnic group in Xinjiang, China. The result of the analysis of the findings in the OHCHR Assessment fall under the provisions of the CAT concerning the category of physical and mental torture, as well as degrading treatment of Uyghur Muslim ethnic group in Xinjiang, China. Determination of the categories of these findings was carried out through a review of CAT provisions, studies of international court decisions, along with a review of several books, journal articles, and news related to torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. OHCHR also provides several recommendations in the OHCHR Assessment regarding means to protect the human rights of Uyghur Muslim ethnic group in China. The recommendations comes as a form of fulfilling the protection of human rights by the OHCHR, specifically for the human rights of Uyghur Muslim ethnic group in Xinjiang, China."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini
"Skripsi ini membahas mengenai tinjauan hukum internasional atas konflik bersenjata, dengan studi kasus konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina. Piagam PBB melalui Pasal 2 ayat (4) mengatur bahwa seluruh negara dilarang untuk mengancam atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan negara lain atau dengan cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan dari PBB. Dalam hukum internasional larangan tersebut tidak bersifat mutlak dan dikecualikan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pada tanggal 24 Februari 2022, Presiden Rusia mengumumkan ‘special military operation’ di Ukraina dan memerintahkan pasukan militer Rusia untuk memasuki wilayah Ukraina. Tindakan yang dilakukan oleh Rusia telah melibatkan penggunaan kekuatan sebagaimana dilarang dalam Piagam PBB. Penggunaan kekuatan oleh Rusia dapat sah apabila tindakan tersebut sesuai dengan bentuk pengecualian atas larangan penggunaan kekuatan dalam hukum internasional. Dengan mengacu pada berbagai sumber hukum internasional, penelitian skripsi ini akan membahas bagaimana hukum internasional mengatur larangan penggunaan kekuatan, bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam kasus operasi militer khusus Rusia di Ukraina, serta bagaimana legalitas dari operasi militer khusus oleh Rusia di Ukraina menurut hukum internasional. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa penggunaan kekuatan oleh Rusia di Ukraina dalam bentuk operasi militer khusus tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional dan Rusia telah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.
This thesis discusses the review of international law on armed conflict, with a case study of the armed conflict between Russia and Ukraine. The UN Charter through Article 2 paragraph (4) stipulates that all countries are prohibited from threatening or using force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations. Under international law, this prohibition is not absolute and is excluded in certain circumstances. On February 24, 2022, the President of Russia announced a ‘special military operation’ in Ukraine and ordered Russian military forces to enter Ukrainian territory. The actions taken by Russia have involved the use of force as prohibited in the UN Charter. The use of force by Russia can be legal if the action is in accordance with the exceptions to the prohibition on the use of force in international law. With reference to various sources of international law, this thesis research will discuss how international law regulates the prohibition of the use of force, how these rules are applied in the case of a special Russian military operation in Ukraine, and how the legality of a special military operation by Russia in Ukraine according to international law. Based on the normative legal research conducted, it was concluded that the use of force by Russia in Ukraine in the form of a special military operation was not in accordance with the provisions of international law and Russia had violated the provisions of Article 2 paragraph (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Binanda Afia Millenia
"Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan
use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB.
The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rafie Haristio Putra
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan klausul security exception dalam Pasal XXI GATT. Skripsi ini akan membahas mengenai proses pembentukan klausul security exception dalam hukum WTO terutama GATT beserta perkembangannya serta kontroversi yang meliputi klausul ini seperti yurisdiksi WTO, sifat self-judging dari klausul ini hingga penerapannya dalam hukum WTO terutama GATT. Selain itu skripsi ini akan menganalisis mengenai penerapan klausul security exception yang terletak di Pasal XXI GATT dalam kasus Russia-Measures concerning traffic in transit kasus pertama yang berhubungan dengan penerapan klausul security exception dalam Badan Penyelesaian Sengketa WTO yang modern. Skripsi ini akan membandingkan interpretasi Panel mengenai klausul security exception dengan interpretasi dari beberapa akademisi dan para pencetus terbentuknya klausul ini. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan untuk menghasilkan data yang kemudian akan dianalisis dengan metode kualitatif untuk menghasilkan data penelitian yang deskriptif analitis mengenai topik penelitian yang dibahas dalam skripsi ini.
This thesis discusses the implementation of security exception clause under Article XXI GATT. This thesis will discuss about the formulation of the clause on WTO law, especially GATT and its controversies such as Panel’s jurisdictions to inspect cases regarding security exception under WTO law and its self-judging nature. This thesis will analyze implementation of the clause on Russia-measures concerning traffic in transit case, the first case regrading security exception under WTO law that had been solved by the Dispute Settlement Body of the WTO. This thesis will analyze the interpretation of the Panel regarding the clause under Article XXI GATT and compare it with other views from experts and the founder of the clause. This research will be done with normative judicial manner with literature study to obtain data and materials which were analyzed with qualitative methods to have an analytical descriptive data about the topic."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Talitha Marie Imomirara
"Adanya kemajuan dari segi teknologi di dunia pelayaran mendorong kebutuhan akan suatu instrumen hukum yang mengatur registrasi kapal sebab. Bagi negara bendera terdapat terdapat hak bagi negara untuk menetapkan syarat pemberian benderanya. Dari hak tersebut, lahirlah rezim-rezim pendaftaran kapal. Salah satu dari pendaftaran tersebut adalah pendaftaran terbuka. Pada pendaftaran terbuka dikenal praktik flag of convenience di mana suatu kapal dapat dimiliki oleh pihak asing secara semu. Karena kepemilikan ini, terdapat permasalahan dalam implementasi kontrol efektif oleh negara bendera dalam hal teknis, administratif, dan sosial sebagaimana dimuat di dalam UNCLOS. Selain itu, pada kapal berbendera flag of convenience, terdapat kekaburan pertanggungjawaban dalam hal terjadi kecelakan di laut. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa masih terdapat permasalahan implementasi kewajiban hukum internasional ke dalam hukum nasional Panama dan Liberia sebagai negara-negara yang mempraktikkan flag of convenience, berbeda dengan Indonesia yang cenderung lengkap dalam mengadopsi ketentuan hukum internasional ke dalam hukum nasionalnya. Ditemukan pula dalam kasus-kasus kecelakaan kapal di mana pertanggungjawaban yang seharusnya dibebankan kepada pemilik kapal menjadi sulit ditentukan karena kepemilikan kapal berbendera flag of convenience. Saran dari penulis adalah perlunya peningkatan kontrol efektif oleh negara bendera yang memiliki kapal-kapal berbendera FoC melalui instrumen hukum nasional dan penghidupan kembali konsep genuine link antara kapal dengan pemilik kapal sebagaimana dirumuskan di dalam UNCLOS.
The technological advancement in the shipping world encourages the need for a legal instrument that regulates ship registration because. For flag states, there is a right for the state to determine the conditions for granting its flag. From this right, ship registration regimes were born. One of these registrations is open registration. Open registration is known as the practice of flag of convenience in which a ship can be quasi-owned by a foreign party. Because of this ownership, there are problems in implementing effective controls by the flag state in technical, administrative and social matters as contained in UNCLOS. In addition, on ships with the flag of convenience, there is a vagueness of responsibility in the event of an accident at sea. This research was written using normative juridical and typological methods that are descriptive analytical. Through this study, the authors find that there are still problems implementing international legal obligations into the national law of Panama and Liberia as countries that practice the flag of convenience, in contrast to Indonesia which tends to be complete in adopting international legal provisions into its national law. It was also found in cases of ship accidents where the responsibility that should be borne by the ship owner becomes difficult to determine because the ownership of the ship has a flag of convenience. Suggestions from the author are the need to increase effective control by flag states that own ships with the FoC flag through national legal instruments and revitalize the concept of genuine link between ships and ship owners as formulated in UNCLOS."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library