Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suha Sidratul Yahya
"Nanofluida telah dikembangkan menjadi alternatif media quench dalam industri perlakuan panas dengan kinerja pendinginan yang lebih baik. Nanofluida memiliki konduktivitas termal lebih tinggi daripada media quench konvensional seperti larutan polimer, air, dan oli. Penelitian ini dilaksanakan untuk mempelajari kondisi operasi optimum pada quenching baja S45C dengan cara melihat pengaruh media quench nanofluida dengan sumber karbon yang berbeda serta konsentrasi yang juga berbeda.
Sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk karbon murni dan karbon aktif dengan variasi konsentrasi 0,1, 0,3, 0,5 w/v untuk masing-masing nanofluida karbon. Hasil penelitian menunjukkan dengan menggunakan High Energy Planetary Mill selama 15 jam, ukuran partikel karbon murni tereduksi menjadi 7885,3 nm dan karbon aktif menjadi 339,3 nm.
Hasil peningkatan konduktivitas termal fluida dasar menggunakan nanopartikel karbon murni optimum pada konsentrasi 0,3 w/v dengan nilai konduktivitas 0,47 W/moC dan rasio konduktivitas adalah 2,94, serta untuk nanofluida karbon aktif dihasilkan rasio konduktivitas termal optimum sebesar 3,06 pada konsentrasi 0,1 w/v dengan nilai konduktivitas nanofluida 0,49 W/moC. Nilai kekerasan sampel baja hasil quenching paling tinggi dihasilkan dari nanofluida karbon aktif pada konsentrasi 0,1 w/v dengan nilai 728,89 HV.

Nanofluids have been developed as an alternative quench medium in heat treatment industry as a quenching medium with better cooling performance. Nanofluids have higher thermal conductivity than conventional quench medium such as polymer, water, and oil. This study is held to observe the optimum operating conditions of quench medium for quenching S45C steel with different carbon sources and different concentrations.
The carbon source used in this study were laboratory grade carbon powder and activated carbon powder with concentration variations of 0.1, 0.3, 0.5 w v for each carbon nanofluid. The results showed by using High Energy Planetary Mill for 15 hours, the size of laboratory grade carbon and activated carbon particles reduced to 7885.3 nm and 339.3 nm respectively.
The enhancement of thermal conductivity of pure carbon nanofluid was optimum at 0.3 w v with thermal conductivity of 0.47 W moC and conductivity ratio of 2.94, and for activated carbon nanofluid produced an optimum thermal conductivity ratio of 3,06 at a concentration of 0.1 w v with a thermal conductivity of 0.49 W moC. The highest hardness of the quenching steel samples was obtained from activated carbon nanofluids at concentrations of 0.1 w v with hardness value of 728.89 HV.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresnodrianto
"Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh nanofluida sebagai salah satu media pendinginan cepat dalam proses perlakuan panas dari baja S45C. Pembuatan nanofluida dilakukan dengan mencampurkan nano partikel karbon yang dilakukan proses penggilingan dengan 500 rpm selama 15 jam dengan fluida dasar air distilasi menggunakan metode Ultrasonic.Partikel karbon yang digunakan dalam pembuatan nanofluida adalah sebesar 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 w/v. Sampel karbon dikarakterisasi dengan menggunakan SEM-EDS dan pengujian XRD. Nanofluida dikarakterisasi menggunakan PSA dan Pengujian Konduktivitas Termal. Sampel baja S45C dikarakterisasi menggunakan OES, serta uji kekerasan Vickers dan pengamatan mikrostruktur sebelum dan sesudah proses pendinginan cepat dlakukan.Hasil yang didapatkan secara umum menunjukkan peningkatan tingkat kekerasan dan konduktivitas termal dengan penambahan nanofluida. Namun, penggunaan nanofluida dengan jumlah partikel berlebih dapat menurunkan hasil yang didapat.

This research is conducted to know the effet of Nanofluids as a quench medium in the heat treatment process of S45C steel. Nanofluids are created by mixing carbon nano particles that had been milled in 500 rpm for 15 hours with distilled water as the base fluid using Ultrasonic. Carbon particles of 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, and 0.5 w v were used in creating the nanofluid. Carbon sample are characterized with SEM EDS and XRD testing. Nanofluid are characterized with PSA and thermal conductivity test. S45C steel are characterized with OES, and also Vickers hardness testing and metallographic observation before and after the quenching process. Thv results of mentioned testing generally indicate an increase in hardness and thermal conductivity with the use of nanofluid. However, the use of nanofluid with extensive carbon particle can reduce the result in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta

ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meristiana Christiane
"ABSTRAK
Latar Belakang: Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kelainan tidur yang terjadi secara periodik dan disertai henti napas. OSA pada anak dapat menyebabkan gangguan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, komplikasi kardiovaskular atau disfungsi metabolik endokrin. Tatalaksana kasus OSA anak dapat berupa pembedahan ataupun medikamentosa. Perbaikan kualitas hidup OSA pada anak secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner OSA 18 dan secara objektif dengan pemeriksaan polisomnografi.
Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi tonsiloadenoidektomi pada OSA anak dibandingkan dengan terapi Mometasone Furoate. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis dengan alokasi acak dua kelompok melibatkan 20 subjek, dengan 10 subjek terapi tonsiloadenoidektomi dan 10 subjek menggunakan Mometasone furoate. Analisis dilakukan berdasarkan perubahan skor OSA 18 dan polisomnografi sebelum dan sesudah terapi 6 minggu.
Hasil: karateristik jenis kelamin lebih banyak perempuan, dengan rentang usia terbanyak pada kelompok usia 5 hingga 7 tahun, mayoritas tingkat pendidikan sekolah dasar, dengan status gizi subjek berat badan normal (P5%-P85%), rerata lingkar leher adalah 25,28 cm (SB 2,28). Karakteristik pemeriksaan fisik terbanyak adalah hipertrofi tonsil (T3), posisi palatum derajat 2 dan hipertrofi adenoid derajat III berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur. Faktor predisposisi alergi pada subjek penelitian didapatkan hasil uji tusuk kulit positif. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan perubahan skor OSA 18, Skala Analog Visual (SAV) dan Apnea Hypopnea Index (AHI) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi, baik pada kelompok intervensi bedah maupun kelompok Mometasone furoate. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen terendah (Sat O2) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Pada OSA anak, kuesioner OSA 18, SAV dan parameter AHI dari polisomnografi dapat digunakan sebagai penilaian efektifitas terapi OSA. Tonsiloadenodektomi dapat menjadi pilihan tatalaksana pembedahan, disamping pemberian Mometasone furoate pada pasien OSA anak yang disertai alergi.

ABSTRACT
Background: Obstructive Sleep Apnea is a sleep disorder that occurs periodically and accompanied by respiratory rest. OSA in children can cause behavioral disorders, poor academic perfomance, cardiovascullar, endocrine metabolic complications. Management of OSA in children were operatif and non operatif. Subjectively improvement quality of life can be measured with a questionnaire OSA 18 and objectively by polysomnography examination.
Objectives: To determine the effectiveness of the adenotonsilectomy in children with OSA compared with Mometasone furoate therapy. Methods: This study was a clinical trial with random allocation involves two groups of 20 subjects, i.e. 10 subject in adenotonsilectomy group and 10 subjects with Mometasone furoate. The analysis was perfomed based on the changes of OSA 18 scoring and polysomnography before and after 6 weeks therapy.
Result: The subject characteristic in this research was more girls, with average age of 5 to 7 years old, education level at primary school, normal body weight, mean neck circumference was 25.28 (2.28). Physical examination characteristic were tonsilar hypertrophy (T3), 2nd stage palatum position, 3rd stage adenoid hypertrophy based on the flexible nasoendoscopy. Allergy predisposing factor in this research showed positive result from skin prick test. There was statistical significant in OSA 18, Visual Analog Scale (VAS), and AHI at before and 6 weeks after treatment, either in surgical group or intranasal corticosteroid group. But there was no significant difference of the lowest oxygen saturation at before treatment and 6 week after treatment in both groups.
Conclusions: In children, OSA 18 Questionare, VAS, and AHI from polysomnography parameters can be used as evaluation effectiveness of treatment of OSA. Adenotonsilectomy can be treatment of choice as a surgical option along with intranasal corticosteroid as a treatment consideration for patient OSA with allergic. Keywords: Children OSA, OSA 18 Questionare, AHI, adenotonsilectomy, intranasal corticosteroid.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Astria Sriyana
"ABSTRAK
Latar belakang: Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko, salah satunya yang diduga adalah peran dari refluks laringofaring. Refluks laringofaring (RLF) merupakan naiknya cairan lambung yang mengenai daerah laring dan faring. Penelitian mengenai refluks pada pasien OMSK dewasa belum banyak diteliti sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan RLF dalam patofisiologi OMSK. Tujuan: Meningkatkan pengetahuan mengenai peran RLF sebagai salah satu faktor risiko OMSK. Metode: Penelitian potong lintang analitik untuk mengetahui refluks laringofaring sebagai faktor risiko OMSK berdasarkan hubungan reflux symptom index (RSI), reflux finding score (RFS) terhadap kadar pepsin. Hasil: Proporsi subjek OMSK dengan pepsin positif pada sekret telinga tengah sebesar 59,5%. Rerata kadar pepsin sekret telinga tengah lebih tinggi secara bermakna pada kelompok OMSK dengan RFS positif dibandingkan kelompok RFS negatif (P<0,05). RFS positif mempunyai risiko 5,13x terdapat pepsin positif pada telinga tengah (CI 95% = 1,095-24,073). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara nilai RSI dengan kadar pepsin telinga tengah. Kesimpulan: Penilaian RFS perlu dilakukan pada pasien OMSK untuk mengetahui adanya RLF yang dapat meningkatkan risiko terdapatnya pepsin di telinga tengah dan kemungkinan berperan dalam inflamasi kronis OMSK. RLF perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui hubungannya sebagai faktor risiko OMSK.
Kata kunci: Refluks laringofaring, pepsin, OMSK

ABSTRACT
Background: Laryngopharyngeal reflux is suspected to be the one of risk factor that contributes in chronic suppurative otitis media. Laryngopharyngeal reflux is defined as the reflux of gastric content into larynx and pharynx. This study purpose is to know the role of laryngopharyngeal reflux in the pathophysiology of CSOM. Objective: To increase the knowledge about the role of LPR as a risk factor CSOM. Methods: This study is a cross-sectional analytic research to study LPR as a risk factor CSOM based on RSI and RFS relationship with pepsin level in the middle ear. Results: This study found 59.5% CSOM subjects having positive pepsin in the middle ear. Mean middle ear pepsin levels were significantly higher in the group of CSOM with positive RFS than negative group (p<0.05). RFS positive increase the risk by 5.13 times the presence of positive pepsin in the middle ear (95% CI = 1.095 to 24.073). There are no significant relationship between RSI with pepsin levels in the middle ear. Conclusion: Positive RFS increase the risk of the presence of pepsin in the middle ear and may have role in chronic inflamation. LPR should be investigated further to determine its relationship as a CSOM risk factor
Keywords: Laryngopharyngeal reflux, Pepsin, CSOM"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nimim Putri Zahara
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angifibroma nasofaring belia ANB adalah tumor fibrovaskular yang jarang, secara histologi bersifat jinak tetapi secara klinis ganas dengan angka kekambuhan yang masih tinggi. Angka kekambuhan pada tumor ini banyak dihubungkan dengan karakteristik tumor yang dapat dilihat dari sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat vascular endothelial growth factor VEGF . Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan ANB sebagai upaya untuk memprediksi adanya kekambuhan. Metode: penelitian dengan rancangan observasional pendekatan kohort retrospektif yang mengevaluasi karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan. Hasil: didapatkan 38 jumlah kasus ANB, dengan kasus kambuh sebanyak 11 kasus dan tidak kambuh sebanyak 27 kasus. Insiden ANB terbanyak pada usia dekade kedua 12-30 tahun dengan rerata 15,8 tahun. Keseluruhan kasus berjenis kelamin laki-laki. Sumbatan hidung dan epistaksis merupakan keluhan utama pada semua kasus. Kekambuhan banyak ditemukan pada kasus usia muda, dengan onset cepat, stadium lanjut dan intensitas pewarnaan VEGF tinggi. Proporsi kekambuhan tidak berbeda secara statistik antara karakteristik sosiodemografik, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat ekspresi VEGF. Onset, massa tenggorok, stadium, embolisasi dan intensitas perwarnaan VEGF secara klinis mempunyai perbedaan yang bermakna. Pada penelitian ini embolisasi sebelum pembedahan tidak menurunkan angka kekambuhan. Kesimpulan: proporsi kekambuhan ANB sangat dipengaruhi oleh adanya residu tumor pasca operasi. Semakin bersih tumor diangkat, angka kekambuhan akan semakin menurun

ABSTRACT
Background Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma JNA is rare of fibrovascular tumor, histologically benign but clinically malignant with high recurrency rate. The recurrency rate of JNA was influenced by its characteristics that can be seen from sociodemografical, clinical, radiological, surgical and vascular endothelial growth factor VEGF . Objective the aim of this study is knowing the relation between sociodemographic, clinic, radiologic, surgical technique and expression of VEGF characteristic that influenced recurrency to predict the recurrency of JNA. Methods observasional design with retrospective cohort approach to evaluate the characteristic of sociodemografical, clinical, radiological, surgical technique, and expression of VEGF of JNA and the connection with recurrency. Result 38 cases, with 11 recurrence cases and 27 cases with disease free survival. The incidence of JNA mostly found in second decade 12 30 year with mean age 15,8 year old. All of the cases were male. Nasal blockage and epistaxis were the most common complaint in all cases. Recurrency rate is higher in young age, early onset, late stage and high expression of VEGF. Proportion of recurrency was not statistically significant among characteristics. Onset, oropharyngeal mass, stage, preoperative embolization and intensity of VEGF have clinically difference. In this study, preoperative embolization does not decrease recurrency rate. Conclusion the JNA rsquo s recurrence proportion was influenced by the residual tumor. The less residual tumor will dicrease the recurrency."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arroyan Wardhana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas gambaran dan hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan tomografi komputer dengan menggunakan piranti lunak OsiriX. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode potong lintang. Hasil penelitian ini mendapatkan sebaran deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan pada rongga hidung sisi kanan sebesar 32,1% dan rongga hidung sisi kiri sebesar 29,5%. Selain itu didapatkan adanya hubungan deviasi septum, konka bulosa dan defleksi PU ke lateral yang terjadi bersamaan sebagai faktor risiko sebesar 9 kali terhadap terjadinya sinusitis maksila homolateral dibandingkan bila ketiga variasi anatomi tersebut tidak bersamaan (OR=9,09).

ABSTRACT
The focus of this study are the descriptions and the relationship in concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in chronic rhinosinusitis based on CT scan using OsiriX software. This research is an observational researh using cross-sectional method. Results of this research are that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) in the right nasal cavity is 32,1% and 29,5% in the left nasal cavity. Other result is that concurrent septum deviation, concha bullosa and lateral deflection of uncinate process (UP) has a 9 times risk factor for homolateral maxillary sinusitis when compared with the three anatomical variations each (OR=9,09)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
"ABSTRAK
Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini.
Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta.
Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI.
Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.

ABSTRACT
Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy.
Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta.
Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding.
Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gustav Syukrinto
"Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.

Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>