Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan Akhir Priatmaja
"PT. Pos Indonesia (Pos Indonesia) adalah salah satu BUMN yang mengemban dua tugas penting negara, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pelayanan pos yang terjangkau di seluruh pelosok nusantara, sekaligus juga memberikan keuntungan bagi negara. Namun, akibat persaingan yang sangat ketat, serta biaya operasional yang semakin meningkat, Pos Indonesia mengalami kinerja keuangan yang kurang baik. Untuk menghadapi permasalahan teresbut, Pos Indonesia memformulasikan strategi yang memiliki sasaran strategis 3G, yaitu ?Good place to work, Good place to shop, Good place to invest?.
Strategi adalah hal penting agar perusahaan dapat bersaing dan memenangkan persaingan. Namun hal yang terpenting adalah justru implementasi strategi itu sendiri. Untuk memformulasikan dan mengimplementasikan strategi, dibutuhkan suatu sistem manajemen stratejik yang dapat menterjemahkan misi, visi, strategi pada tindakan nyata dalam bentuk program kerja. Sesuai dengan sasaran strategis 3G tersebut, Pos Indonesia berencana untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja berbasis balanced scorecard. Sistem tersebut akan digunakan untuk memonitor dan mengendalikan kinerja Pos Indonesia setiap saat seperti layaknya dashboard pada sebuah mobil.
Dalam perkembangannya, balanced scorecard sesungguhnya merupakan suatu sistem manajemen stratejik yang tidak hanya mencakup sistem pengendalian kinerja saja. Lebih dari itu, balanced scorecard dapat dimanfaatkan untuk menerjemahkan strategi ke dalam program kerja. Selain itu, penerapannya juga membutuhkan usaha yang spesifik, agar dapat efektif dijalankan. Untuk itu, consulting paper ini akan membahas upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan oleh Pos Indonesia dalam menerapkan balanced scorecard sebagai sistem manajemen stratejiknya. Namun sebelum itu, akan di bahas terlebih dahulu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Pos Indonesia kurang dapat mengimplementasikan strateginya secara efektif dengan menggunakan model manajemen stratejik yang dimilikinya saat ini.
Berdasarkan hasil study, dilihat bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Pos Indonesia dalam mengimplementasikan strateginya adalah penentuan sasaran dan pengukuran kinerja. Pos Indonesia memang telah memiliki berbagai sasaran strategis, namun masih belum cukup jelas dan kurang terfokus. Pada Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) disebutkan banyak sekali sasaran strategis yang kurang terfokus. Selain itu, pengukuran kinerjanya pun masih belum cukup jelas untuk mendukung pencapaian sasaran strategis 3G. Pos Indonesia pun terlihat kurang dapat mengimplementasikan strateginya, karena program kerja dan anggaran yang dicanangkan terlihat masih belum terkait dengan strateginya.
Dari analisa tersebut, consulting paper ini mengusulkan agar Pos Indonesia menerapkan balanced scorecard sebagai lebih dari sekedar sistem pengendalian kinerja, melainkan menjadikannya sebagai sistem manajemen stratejik. Ini dilakukan untuk memudahkan Pos Indonesia mengimplementasikan strateginya dalam bentuk program kerja. Selain itu, balanced scorecard memiliki framework yang cukup lengkap sehingga organisasi dapat berfokus pada strategi. Di sini juga ditekankan bahwa penerapan balanced scorecard membutuhkan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dan pemberdayaan, serta didukung oleh budaya perusahaan yang kuat.

PT. Pos Indonesia (Pos Indonesia) is one of state owned enterprise that has two major mission. First they should provide postal service, with affordable price and reach nationwide (known as Universal Service Obligation). Second they should be a profitable company. With fierce competition and increasing operational expenses, Pos Indonesia lately has a unfavorable financial performance. Therefore, Pos Indonesia formulated a new strategy which has the strategic objectives namely 3G: ?Good place to work, Good place to shop, Good place to invest?.
Strategy is one of the important thing that a company should have in order to be competitive. But the most important thing is the implementation itself. To implement the strategy, it requires a strategic management system that can translate the mission, vision, and strategy into operational terms in initiative programs. According to the strategic objective, Pos Indonesia plans to implement a performance measurement system based on balanced scorecard. The system will be used for monitoring and controlling the performance of Pos Indonesia in a real time, like a dashboard system.
Balanced scorecard has evolved from a measurement system to a strategic management system. It requires commitment at all levels and strong leadership to implement the system. Therefore, this consulting paper will explain the principles that have to be done by Pos Indonesia in order to implement balanced scorecard as its strategic management system. Before that, it will be explained the factors that makes Pos Indonesia unable to implement its strategy.
Based on the study, it can be concluded that the problem that Pos Indonesia in implementing its strategy is its disability to set clear and focus strategic objectives and its performance measurement. In the Company Long Term Plan (Rencana Jangka Panjang Perusahaan), there are many unfocused strategic objectives mentioned. Instead, the performance measurement is not clear enough to support its strategy. It is obviously seen that Pos Indonesia has problems with implementing its strategy. It?s initiative programs and budget seems not linked with the strategy. From the analysis, it will be suggested that Pos Indonesia should implement balanced scorecard, not only as a performance measurement system, but as a strategic management system.
It is suggested because balanced scorecard could alleviate Pos Indonesia to formulate and implement strategy into a concrete initiative programs. Instead of that, balanced scorecard has an adequate framework so that it can create a strategy focused organization. One thing that should be taken into consideration that its implementation needs a strong communicating and empowering leadership style and supported by strong corporate culture."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T25481
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fikra Yudha
"Dewasa ini kesadaran mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah perusahaan makin mengemuka. Studi mengenai budaya perusahaan telah banyak yang dilakukan para ahli manajemen. Budaya perusahaan memiliki peranan strategis dalam suatu perusahaan karena keberhasilan sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat hard-side seperti struktur dan strategi, namun juga oleh faktor soft-side yaitu faktor budaya. Budaya perusahaan dianggap sebagai jiwa yang memberi hidup dan mendukung strategi. Keberhasilan implementasi strategi ditentukan oleh keselarasan antara budaya dengan strategi perusahaan. Meskipun disadari bahwa mengubah budaya membutuhkan proses dan waktu yang rumit dan panjang, tetap disarankan agar budaya perusahaanlah yang sebaiknya diselaraskan dengan strategi. Hal tersebut disebabkan oleh persaingan dewasa ini semakin ketat dan kompleks, dengan derajat ketidak-pastian yang tinggi. Diperlukan budaya perusahaan yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan. Budaya sebagai suatu pola pikir dan pola perilaku, memiliki nilai-nilai utama dan nilai-nilai dasar yang dianut secara kolektif oleh karyawan suatu perusahaan.
Hofstede (1980) membedakan dimensi budaya masyarakat dan budaya organisasi. Karakteristik utama yang membedakan keduanya adalah pada tingkat kedalamannya. Budaya perusahaan lebih bersifat superfisial dan tampak pada ekspresi perilaku karyawan, sedangkan budaya masyarakat bersifat lebih dalam dan tertuju pada nilai-nilai yang mendasari suatu budaya. Budaya masyarakat dibedakan dalam dimensi power distance, uncertainty avoidance, indivdualism, dan femininity-masculinity. Sedangkan dimensi budaya perusahaan terdiri dari process vs. result oriented, job vs. people oriented, parochial vs. professional, tighly vs. loosely controled, open vs. closed system, dan pragmatic vs. normative oriented. Kecenderungan dari tiap dimensi budaya dapat dinilai efektif atau tidak bila telah dikaitkan dengan pilihan strategi perusahaan. Dimensi budaya yang selaras dengan strategi terpilih perusahaan, tentu bernilai baik, karena akan mendukung keberhasilan implementasi strategi. Penelitian ini dilakukan di PT Pos Indonesia sebagai subyek penenlitian. Pertimbangan utama adalah karena Pos Indonesia yang lahir jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945 -bahkan praktek kegiatan jasa pos telah ada sejak jaman kerajaan- namun juga karena dalam perkembangannya Pos Indonesia telah menerapkan konsep manajemen strategi yang terencana.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa karakteristik budaya Pos Indonesia bersifat kolektif yang dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan nilai yang signifikan antara masing-masing kelompok responden berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, masa kerja, unit kerja, maupun jabatan. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa budaya Pos Indonesia cukup homogen. Tidak terlihat sub budaya tertentu yang menonjol dikalangan karyawan Pos Indonesia. Meskipun tingkat homogenitas budaya perusahaan dapat dijadikan kriteria untuk menyatakan kuat atau lemahnya suatu budaya perusahaan, namun demikian dimensi dan nilainilai budaya yang dianut mencerminkan masih lemahnya budaya perusahaan Pos Indonesia. Dimensi dan nilai-nilai budaya yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa budaya Pos Indonesia belum mampu berperan sebagai alat kontrol sosial yang efektif dalam kehidupan perusahaan. Hal itu juga tercermin dari panjang dan berbelitnya birokrasi di Pos Indonesia. Perusahaan terlalu rinci mengandalkan ketentuan-ketentuan detail yang bertujuan untuk mengontrol perilaku karyawannya. Budaya perusahaan yang lemah tidak mendorong karyawan Pos Indonesia untuk menjadikan budaya perusahaan sebagai acuan berprestasi. Akibatnya budaya perusahaan belum mampu berfungsi sebagai motivator yang kuat bagi karyawannya sendiri. Budaya perusahaan Pos Indonesia juga belum mampu membangun identitas karyawan. Citra Pos Indonesia yang masih rendah di mata masyarakat menyebabkan budaya perusahaan tidak membantu karyawan dalam membangun komunikasi dengan pelanggan.
Dalam kaitannya dengan strategi, ditemui bahwa pemahaman visi dan misi Pos Indonesia dari karyawan masih rendah. Sasaran strategik Pos Indonesia ditekankan pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, peningkatan mutu layanan, serta pertumbuhan pendapatan. Strategi terpilih perusahaan tahun 2007-2008 adalah turn around dengan kontraksi dan konsolidasi. Namun demikian dimensi dan sistem nilai-nilai budaya yang dianut menunjukkan bahwa budaya Pos Indonesia belum mampu mendukung strategi yang dipilih. Dimensi dan nilai-nilai budaya yang berkembang di Pos Indonesia cenderung job oriented, power distance tinggi, uncertainty avoidance yang tinggi, individualism yang rendah, cenderung femininity, cenderung process oriented, cenderung parochial, close system, tighly controlled, dan lebih berorientasi normative. Penelitian ini mengajukan beberapa saran yang ditujukan pada manajemen Pos Indonesia. Saran utama adalah agar manajemen Pos Indonesia mulai secara terstruktur dan terencana melakukan manajemen budaya perusahaan. Hal ini penting agar perusahaan secara proaktif mampu menjaga keselarasan budaya dengan strategi perusahaan.

Nowadays, awareness on the importance of culture's role in a firm become more increased. There were huge of study about corporate culture done by management scholar. Corporate culture holds a strategic role in a firm because the success of the firm is not only defined by hard side Indonesia's independence in 1945. Furthermore, indeed the practice of postal services actually has been done to some extend since kingdom era. And during its journey, Pos Indonesia has tried to implement a planned strategic management concept. This research concluded that the culture of Pos Indonesia characterised by collectivism. It's proved by the absence of significant differences between each groups of respondent divided by gender, age, level of education, duration of employment, working unit, and management position.
So, it can be concluded that Pos Indonesia's culture is homogen. There weren't any particular subculture existed among employees. Eventhouh the level of culture homogenity can be used as criteria to examine the strength of corporate culture, the dimension and culture values held clearly indicated the weakness of Pos Indonesia's corporate culture. Dimension and culture values found in this research shown that the firm's culture couldn't serve as an effective social control tool. It was indicated from the long and complex of bureachracy exist in the firm. The firm was too detailed in controlling the behavior of its employee. That's why the corporate culture couldn't serve as a strong motivator for its own employees. The firm's corporate culture also couldn't build employee identity. The company's image that still low from customer standpoint has caused the corporate culture couldn't help its employee to build a good communication with customer.
In relation with strategy, it's found that employee's understanding of company's vision and mission still low. Strategic objective of the firm stressed on human resources development, improvement of service quality and revenue growth. Choosen strategy for the period of 2007 - 2008 was turnaround strategy with contraction and consolidation as the main program. At the other side, dimensions and culture values held by the employees as discovered in this research indicated that the firm's culture still couldn't support the strategy choosed. Dimensions and culture values existed at Pos Indonesia tend to be job oriented, high power distance, low individualism, feminity, process oriented, parochial, close system, tigjhly controlled and normative oriented.factors such as structure and strategy, but also by the soft one, that is culture factor. Ther successful of strategy implementation is primarily defined by alignment between culture and the strategy itself. Eventhough it was known that cultural change involve a complex process and should be done in a long period of time, but in order to succeed, it is crucial to align culture with the strategy. This alignment required by the complexity and high competitive situations today that come with high degree of uncertainty. As a framework and also as a set of behavior, culture has main values as well as the basic one that collectively held by employees in a firm.
Hofstede (1980) differentiated societal culture from organizational culture in term of its depth. Organizational culture is superficial and can be observed from employees daily behavior, while societal culture has a more deep characteristic and served as an underlying values for the culture. Societal culture can be defined in term of its dimension, such as power distance, uncertainty avoidance, indivdualism, and femininitymasculinity. While dimensions of corporate culture can be defined as: process vs. result oriented, job vs. people oriented, parochial vs. professional, tighly vs. loosely controled, open vs. closed system, and pragmatic vs. normative oriented Tendency of culture dimensions can be examined as efective or not if it linked with the strategy choosed by the firm. Dimension of the culture that was aligned with choosen strategy would have a good score because it will support the successful of strategy implementation. The subject of this research was PT.Pos Indonesia. The main consideration was because Pos Indonesia has been existed long before Based on the result of this research, the author propose some suggestion for management of Pos Indonesia. The main suggestion is to start managing corporate culture with a well-structured and well-planned program. This initiative is important in order to increase the firm's ability to maintain alignment between its culture and strategy choosen."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T25523
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Asri
"Dalam perjalanannya sejak didirikan pada tahun 1876, Pos Indonesia terus berubah, berusaha beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang bergerak cepat, baik melalui perubahan bentuk dan struktur organisasi maupun lini bisnis yang dijalankan. Sejak dideregulasi pada tahun 1984, persaingan di industri perposan meningkat tajam, sehingga menjadi pasar yang makin fragmented dan menuju pada situasi persaingan sempurna. Hal ini diperparah dengan makin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi digital dan internet sebagai driver perubahan terkuat sekaligus sebagai produk substitusi bagi bisnis utama pos, yaitu komunikasi tertulis fisikal.
Sejak berubah status menjadi perseroan pada tahun 1995, kinerja Pos Indonesia terus mengalami stagnasi, dan mulai mengalami penurunan tajam sejak tahun 2000. Penurunan kinerja terus berlanjut yang akhirnya membawa perusahaan pada situasi krisis dan menimbulkan pertanyaan dalam studi ini: mampukah Pos Indonesia sebagai sebuah BUMN melakukan turnaround dan kembali mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelumnya? Apa saja aspekaspek khusus yang harus dilakukan dalam periode turnaround, dan alternatif strategi pertumbuhan apa yang dapat dipilih untuk mencapai sustainable competitive advantage.
Analisis terhadap proses turnaround Pos Indonesia dilakukan dengan menggunakan framework lima tahapan yang telah digunakan oleh Balgobin & Pandit (2001) untuk menganalisis proses turnaround IBM UK. Dari analisis terhadap tahapan yang sudah dijalani sampai saat ini, yaitu sampai pada tahap retrenchment and stabilisation, diketahui bahwa pada dasarnya sebagian besar elemen framework telah terpenuhi. Meskipun demikian, masih adanya elemen retrenchment yang belum dilaksanakan atau yang kadarnya belum maksimal, perlu mendapat perhatian manajemen. Hal ini penting karena adanya dua sasaran pokok dari tahapan retrenchment, yaitu stop the bleeding; untuk menstabilkan kondisi keuangan dan sekaligus menyiapkan fondasi yang kokoh untuk mencapai pertumbuhan pada tahap berikutnya. Walaupun sejauh ini sasaran pertama telah tercapai, dimana pada tahun 2006 dan 2007 Pos Indonesia sudah tidak lagi mengalami kerugian, tidak berarti bahwa sasaran kedua juga otomatis telah terpenuhi, terutama dengan masih adanya elemen yang belum dilaksanakan secara tuntas. Sehubungan dengan itu, penulis merekomendasikan agar Pos Indonesia menuntaskan langkah-langkah retrenchment, antara lain : o Meningkatkan level of ownership terhadap proses turnaround dari seluruh jajaran manajemen senior.
- Meningkatkan intensitas komunikasi, baik internal maupun eksternal untuk mendapatkan keterlibatan dan dukungan penuh dari para stakeholder utama bagi keberhasilan proses turnaround yang dijalankan.
- Meningkatkan intensitas program efisiensi dan tight cost controls
- Mengimplementasikan program asset reduction yang telah direncanakan secara disiplin, terutama atas gedung, kendaraan, dan asset lain yang sudah tidak produktif atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan bisnis.
- Melakukan penyederhanaan lini bisnis dengan mendivestasikan atau melakukan spin-off atas lini bisnis yang tidak menguntungkan atau yang tidak memiliki prospek untuk dikembangkan lagi di masa yang akan datang.
- Melakukan penyederhanaan organisasi untuk mendapatkan struktur yang lebih sesuai dengan tuntutan bisnis yang dihadapi, sekaligus menyederhanakan proses koordinasi dan pengambilan keputusan.
- Melakukan perombakan struktur karyawan untuk mendapatkan komposisi dengan kapabilitas yang sesuai dengan tuntutan bisnis.
Selanjutnya, dari hasil analisis lingkungan eksternal dan internal, diketahui bahwa lingkungan bisnis perposan terus mengalami perubahan secara radikal, sehingga karakteristiknya di masa depan akan sangat berbeda dengan yang dihadapi selama ini. Hal ini tentu membutuhkan kapabilitas organisasi yang juga berbeda. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan strategic transformation secara cepat, penulis merekomendasikan alternatif strategi pertumbuhan sebagai berikut :
- Mencapai pertumbuhan dengan melakukan akuisisi horisontal, terutama dengan target pemain-pemain lokal yang menggarap segmen pasar tertentu secara terfokus serta perusahaan yang memiliki kapabilitas tertentu yang memang dibutuhkan untuk menguatkan dan melengkapi kapabilitas dan jangkauan Pos Indonesia.
- Memperkuat aliansi strategis dengan mitra bisnis lokal dan membentuk jointventure dengan mitra asing terpilih.
- Melakukan inovasi untuk pertumbuhan, terutama menemukan cara-cara kreatif dalam mengoptimalkan resources yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, fokus bisa diarahkan pada upaya untuk menggali potensi pengembangan jaringan pelayanan fisik yang beroperasi di daerah-daerah minus.
Dengan banyaknya contoh kesuksesan proses transformasi dan privatisasi administrasipos di negara-negara lain yang dapat dijadikan acuan, penulis berkeyakinan bahwa Pos Indonesia masih memiliki potensi besar untuk melewati periode turnaround dengan sukses dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan di masa yang akan datang. Untuk itu, diperlukan dukungan dari seluruh stakeholder utama perusahaan, terutama dari pemerintah sebagai regulator sekaligus sebagai pemegang saham dalam hal penegakan regulasi yang berlaku serta komitmen tambahan investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya dan kapabilitas infrastruktur Pos Indonesia.

During its journey since established in 1876, Pos Indonesia experienced continuous changes in its attempt to keep pace with the rapid changing of business environment. The changes has been done from the structure and form of organization to the lines of businesses. Since deregulated in 1984, competition in postal industry were increased and market structure were fragmented leading to perfect competition. The situation become worsened by the fast development of technology, digital communication and internet as the strongest driver of change and also serve as substitution to the main product of traditional postal service, that is physically written communication.
Since the change of its status to become fully privatized in 1995, performance of Pos Indonesia kept in stagnation and start to experience sharp declining since 2000. This performance decline continued in several years and the firm ended up with crisis situation. This situation brings up several questions. As an SOE (state owned enterprise), is it possible for Pos Indonesia to perform a successful turnaround process and achieve the performance and growth level as before the decline? What specific facet of turnaround process that need to be paid attention on? Which growth strategy alternatives available for Pos Indonesia in order to build and achieve sustainable competitive advantage? Pos Indonesia's turnaround process analyzed using the five stages framework developed by Balgobin & Pandit (2001) that has used by its author to analyse the turnaround of IBM UK.
Analysis of the stages that have been done, that is until retrenchment and stabilisation stage concluded that almost all of the turnaround element have been met. Eventhough, its still need a critical attention from firm's top management since there are still retrenchment elements didn't be well executed. This is a critical point due to the fundamental objective of the phase. Retrenchment and stabilisation stage has two main objective. It was intended to stop the bleeding and stabilize the financial condition, while at the same time provide a fondation needed to achieve profitable growth at the next stage. Since there were any element that didn't implemented yet, so even during 2006 and 2007 the firm didn't experience loss anymore, it doesn't mean that the fondation for growth has been built.
From this stand point, the author form some recommendation to be followed up by Pos Indonesia, if the turnaround initiative to be come into fruition, e.g:
- To increase senior management's level of ownership on turnaround processes
- To increase communication level, internally and externally, to gain full support from the main stakeholder, needed for the successful turnaround.
- To increase the intensity of efficiency and tight cost control programs
- To implement asset reduction program that have been planned, primarily on any assets such as building, vehicle or other assets didn't be productive anymore, or those that didn't met business specificity.
- To simplify the line of businesses through divestment or spin-off program.
- To simplify the line of organization in order to be aligned with the business environment
- To restructure employee composition through lay-off program to obtain people with matched capability
From external and internal analysis, it was known that the radical change of postal business environment required a different set of capabilities in order to survive in the future. In order to perform strategic transformation quickly, the author suggest some growth strategy alternatives as follows :
- To achieve growth through horizontal acquisition by targeting local player that specialized in specific segment of the market, and those who have specific capability needed to strengthen and complement the firm's existing capabilities.
- To broaden strategic alliances with local business partner and form a jointventure with selected foreign partner.
- To achieve growth through innovation, in particular to optimize the utilization of resources owned creatively. The focus can be directed specifically to leverage the physical network operated in rural area.
Due to the wide array of samples about public postal operator that has been successfully privatized, the author have a confidence that Pos Indonesia will also pass the turnaround period with promising result and achieve a strong growth base for building sustainable competitive advantage needed to overcome future challenges. That's why its need a full support from the main stakeholder, especially from the government as regulator and also as shareholder. Support from government particularly needed to enforce postal regulations and commitment of adding investment to strengthen Pos Indonesia's resources and infrastructure capability."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T25566
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djuanda Nugraha Ibrahim W.
"Penelitian ini menguji dampak kecerdasan emosi (EI-Emotional Intelligence) terhadap eskalasi komitmen (EC-Escalation of Commitment) dan kinerja organisasi. Secara khusus, dampak langsung dan tidak langsung dari kecerdasan emosi diselidiki untuk mengevaluasi apakah EC harus dihambat atau dilanjutkan. Dengan menggunakan praktik perusahaan listrik di negara berkembang, kajian ini melibatkan 103 manajer area sebagai responden, dimana peran mereka sangat penting untuk mencapai sasaran penyebaran listrik di wilayah yang mereka pimpin. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM-Structural Equation Model).
Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki dampak positif dan negatif terhadap eskalasi komitmen, dan juga terhadap kinerja. Dampak negatif terjadi jika komitmen lebih jauh terhadap proyek yang terindikasi gagal dievaluasi hanya dengan mempertimbangkan profitabilitas dan alokasi sumber daya semata. Namun, jika kecerdasan emosi dapat diartikulasikan dalam bentuk perilaku-perilaku berorientasi inovasi dan berorientasi pelanggan yang berdampak pada pencapaian tujuan organisasi lainnya, maka ia memiliki kapasitas untuk mendorong komitmen lebih jauh (misalnya ke arah eskalasi komitmen) menjadi kinerja yang baik. Semua temuan ini kemudian menyajikan penjelasan alternatif untuk mengevaluasi apakah eskalasi komitmen memang sebuah kesalahan pengambilan keputusan atau bukan.

This study examined the impact of emotional intelligence (EI) on the escalation of commitment (EC) and organizational performance. Specifically, the direct and indirect impacts of emotional intelligence was investigated to evaluate whether an EC should be hindered or continued. Using the practises in the Indonesian Electricity Company, this study involves 103 area managers as respondents, where their role is crucial to achieve the multiple goal states of electricity distribution in the area that they led. The collected data was then analyzed using structural equation model (SEM).
The result showed emotional intelligence has both negative and positive impact on escalation of commitment, and also on performance. The negative impact occurs if the further commitment on the existing loser projects was evaluated by considering profitability and resource allocation only. However, if emotional intelligence can be articulated in the form of innovation-oriented and customer-oriented behaviors, which impact on other firm goal states, it has capacity to drive further commitment (i.e. escalation of commitment) into a good performance. This findings then provide an alternative explanation to evaluate whether escalation of commitment is a decision error or not.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
D2348
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library