Berdasarkan riset Greenpeace pada tahun 2015, jumlah e-waste di Indonesia adalah 812.000 ton/tahun. Jumlah ini mengalami peningkatan setiap tahunnya yang mendorong industri informal untuk melakukan proses daur ulang. Salah satu komponen yang didaur ulang yaitu plastik dengan jenis ABS dan HIPs. Proses daur ulang yang tidak sesuai kriteria menyebabkan terjadinya pelepasan senyawa kimia yang dapat menyebabkan dampak risiko terhadap lingkungan maupun manusia. Penelitian ini merupakan penelitian observasi deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran proses daur ulang limbah plastik ABS yang terdapat dalam E-Waste di industri informal yang berada di Kota Bekasi dan melihat faktor risiko kesehatan dan lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Populasi dalam penelitian ini yaitu semua subjek yang berkaitan dalam proses daur ulang limbah plastik ABS. Pengambilan sampel menggunakan teknik quota sampling dengan jumlah sampel 100 orang. Variabel yang diteliti yaitu karakteristik, sosial ekonomi, lama pajanan, pengetahuan, perilaku, dan gejala klinis individu berisiko. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner, wawancara terbuka, dan observasi peneliti. Hasil dari penelitian ini yaitu proses daur ulang limbah plastik ABS yang terdapat dalam E-Waste di Indonesia masih belum teratur dan terintegrasi. Faktor risiko kesehatan yang ditimbulkan yaitu terkena benda tajam dan gigitan binatang, serta terpapar limbah hasil proses. Faktor risiko terhadap lingkungan dapat berupa limbah hasil proses, sampah organik, dan sampah yang tidak memiliki nilai jual. Individu berisiko didominasi oleh pria (80.7%) dibandingkan dengan wanita (19.7%), dengan persentase terbanyak pada usia produktif (50.0%). Serta memiliki tingkat pendidikan menengah kebawah (72.7%). Kesimpulan penelitian ini yaitu terdapat risiko kesehatan dan lingkungan pada proses daur ulang limbah plastik ABS di Kota Bekasi.
Â
Based on Greenpeace research in 2015, the amount of E-Waste in Indonesia is 812.000 ton per year. Because of the total amount of E-Waste is increasing annually, informal instances start to do recycle process. One of the components that is recycled is plastic with ABS and HIPs types. Recycling processes that do not meet the criteria can cause the release of chemical compounds that has a risky impact on environment and humans. This research is a descriptive observational study, the purpose of this research is to look at an overview of ABS plastic waste recycling process contained in E-Waste from informal industries located in Bekasi City and also to see the health risk factors and the environment harms it might cause. The population of this research are all of the subjects related to the recycling process of ABS plastic waste. The sample are taken by using Quota sampling technique with a sample size of 100 people. The variables studied are characteristics, socioeconomic, length of exposure, knowledge, behavior and clinical symptoms of the risky individual. Data collection was done by filling out questionnaires, open interviews, and researcher observation. The result of this research is that the recycling process of ABS plastic waste contained in E-Waste in Indonesia is still unorganized and unintegrated. The health risk factors that can be caused are exposure to sharp objects and animal bites, and exposure of process waste. Risk factors for the environment can be in the form of processed waste, organic waste, and waste that has no sale value. Individuals at risk are dominated by men (80.7%) compared to women (19.7%), with the highest percentage at productive age (50.0%). As well as having an under average education level (72.7%). The Research conclude that there are health and environmental risks to the recycling process of ABS plastic waste in Bekasi city.
Â
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang sebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi virus dengue dari penderita kepada orang lain. Penyakit ini endemik lebih dari 100 negara beriklim tropis dan sub tropis di belahan dunia. Sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi yang berisiko terkena demam berdarah di seluruh dunia tinggal di negara-negara Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat, salah satunya Indonesia. Pada tahun 2016, DKI Jakarta ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD, dengan jumlah penderita sebanyak 22.697 kasus dan Incidence Rate (IR) sebesar 220.8 per 100.000 penduduk. Kota Jakarta Barat menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kejadian DBD tertinggi dibandingkan dengan kota lain di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis spasial kejadian DBD di Kota Jakarta Barat tahun 2015-2019 dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti demografi, iklim, dan angka bebas jentik. Desain studi yang digunakan pada penelitian ini yaitu studi ekologi dengan pendekatan analisis spasial dan analisis korelasi untuk melihat kekuatan hubungan antara kejadian DBD dengan faktor kepadatan penduduk, iklim, dan angka bebas jentik. Secara spasial kejadian DBD cenderung terjadi di wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi dan ABJ rendah. Secara statistik, analisis korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk, kelembanam udara, dan curah hujan dengan kejadian DBD. Sedangkan suhu udara dan angka bebas jentik menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD di Kota Jakarta Barat. Dari 56 kelurahan di Jakarta Barat, terdapat 53 kelurahan yang tergolong tingkat kerawanan tinggi, dan 3 kelurahan tergolong kategori kerawanan sedang terjadinya kasus DBD. Tingginya masalah kasus DBD di Jakarta Barat membuat Dinas Kesehatan sebaiknya meningkatkan upaya atau perencanaan serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan kasus DBD.
Kata kunci:
Demam Berdarah Dengue (DBD), Kepadatan Penduduk, Iklim, ABJ, Analisis Spasial.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is an infectious disease transmitted by Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes who infected with dengue virus. DHF have been affecting more than 100 tropical and sub-tropical countries in the world. Around 1.8 billion (more than 70%) of the population at risk of dengue fever worldwide live in countries of Southeast Asia and the Western Pacific Region, including Indonesia. In 2016, DKI Jakarta was assigned the status of outbreak of DHF, with a total of 22,697 cases and an incidence rate (IR) of 220.8 per 100,000 population. West Jakarta is one of the regions with the highest DHF incidence rate compared to other cities in DKI Jakarta. This study aims to determine the spatial analysis of the incidence of dengue in West Jakarta in 2015-2019 by considering several factors such as demographics, climate, and larval free index. This study uses an ecological study with a spatial analysis approach and correlation analysis to see the strength of the relationship between the incidence of DHF with factors of population density, climate, and larvae free index. Spatially the incidence of DHF tends to occur in areas with high density and low larvae free index. Statistically, correlation analysis shows that there is a significant relationship between population density, air humidity, and rainfall with the incidence of DHF. Meanwhile, there is no significant correlation between the air temperature and larvae free index with the incidence of DHF in West Jakarta. Result shows that from 56 urban villages in West Jakarta, there are 53 urban villages that are categorized as high vulnerability, and 3 urban villages categorized as medium vulnerability. The high problem of dengue cases in West Jakarta makes the authorities should increase efforts or planning and optimize community empowerment in eradicating dengue cases.
Keywords:
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), Population Density, Climate, Larvae Free Index, Spatial Analysis.
"