Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iskandar Rahardjo Budianto
Abstrak :
Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung (PH) adalah suatu penyakit kongenital akibat tidak terbentuknya sel ganglion Meissner dan Auerbach pada lapisan sub mukosa dan lapisan intermuskularis usus. Komplikasi dari PH yang umum terjadi adalah Hirschsprung associated Enterocolitis (HAEC) yang dapat mengancam nyawa, biasa terjadi karena keterlambatan diagnosis PH, namun masih dijumpai pasca operasi definitif PH. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab HAEC, mulai dari gangguan elektrolit dan air, disbiosis kuman usus maupun gangguan homeostasis mukosa dinding usus, seperti berkurangnya musin yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel neuroendokrin yang berperan pada motilitas dan sekresi usus, namun sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari HAEC. Sel Paneth, salah satu sel epitel pembentuk dinding mukosa usus yang berfungsi sebagai sel pertahanan yang menghasilkan beberapa protein dan peptide antimikroba, salah satunya α-defensin. Dalam keadaan normal sel paneth tidak ditemukan di kolon, namun pada penyakit radang usus seperti Penyakit Crohn dan kolitis ulserativa, ditemukan metaplasia sel Paneth akibat inflamasi yang terjadi. Peran sel paneth yang berfungsi sebagai sel pertahanan terhadap mikroba blm diteliti dalam terjadinya HAEC. IL-β adalah sitokin proinflamasi yang berperan pada peradangan dan kerusakan jaringan usus dan pada penyakit Crohn, peningkatan derajat keparahan peradangan mukosa terlihat sejalan dengan peningkatan konsentrasi protein IL-1β. Indikator inflamasi lainnya yaitu calprotectin, suatu protein penanda biologis yang ditemukan pada tinja ketika terjadi inflamasi di usus dimana konsentrasinya akan meningkat 4-6 kali dari konsentrasinya di plasma. Penelitian ini berfokus pada peran dan fungsi sel Paneth pada patogenesis HAEC dan diharapkan dapat menjawab permasalahan pada HAEC dan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PH di masa yang akan datang. Tujuan. Mengetahui peran sel Paneth, α-defensin, IL-β dan calprotectin pada patogenesis HAEC Metode Penelitian. Penelitian menggunakan hewan coba tikus jantan Sprague-Dawley. Kelompok sampel dibagi menjadi 11 kelompok yang terdiri dari 10 kelompok perlakuan BAC 0.1% dan 1 kelompok kontrol. Jumlah masing–masing kelompok adalah 5 ekor. Pengambilan sampel dan sacrifice dilakukan pada hari ke-0, 3, 5, 7, 10, 12, 14, 16, 18 dan 21 hari setelah 7 hari diberi perlakuan BAC. Jaringan usus kolon sigmoid dan serum diambil untuk pemeriksaan histologi (derajat enterokolitis dan metaplasia sel Paneth) menggunakan pewarnaan hematoxyllineosin serta pemeriksaan biokimia menggunakan teknik ELISA untuk menentukan konsentrasi α- defensin, IL-β dan calprotectin. Analisis statistik data numerik menggunakan uji Anova, uji Mann–Whitney dan uji korelasi Spearman. Hasil. Enterokolitis mulai terjadi pada kelompok PH+7 dengan derajat yang makin meningkat sejalan dengan waktu. Terdapat perbedaan bermakna pada metaplasia sel Paneth antara kelompok PH+0 dan PH+7 serta PH+0 dan PH+18, namun tidak didapati perbedaan bermakna pada konsentrasi α-defensin jaringan, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin terhadap kelompok PH+0. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi α-defensin dengan jumlah metaplasia sel Paneth, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin. Simpulan. Derajat enterokolitis meningkat sejalan dengan berjalannya waktu pada PH yang tidak dilakukan intervensi dan terjadi metaplasia sel Paneth yang tidak diikuti dengan peningkatan konsentrasi konsentrasi protein α-defensin. ......Background. Hirschsprung disease (HD) is a congenital disease, characterized by absence of Meissner and Auerbach ganglion cells in the submucosal and intermuscularis layer of the gut. Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC) is a common and sometimes life threatening complication of HD, presenting either before operation due to delayed in diagnosis or after definitive surgery for HD. Variety of HAEC causes has been thought, such as electrolyte and water metabolism defect, infection caused by dysbiosis of gut microflora, and various dysfunction of intestinal homeostasis like disordered intestinal motility by neuroendocrine cells, mucosal immunity defect and abnormal mucin production by goblet cells. Despite the advancement of HD management therapy, HAEC etiology and pathophysiology remain poorly understood and unconfirmed. Paneth cell, one of the principle cell type of the epithelium of the intestinal mucosal wall, an innate antimicrobial peptides that contribute to mucosal host defence by producing antimicrobial peptides and protein, including α-defensin. Normally, Paneth cell is not found in the adult colon, but in intestinal bowel disease (IBD) like Crohn disease and ulcerative colitis, paneth cells metaplasia due to inflammation was found. The role of paneth cell as mucosal host defence has not been investigated in the pathophysiology of HAEC. Pro inflammation cytokine IL-β known to be involve in the inflammation and tissue defective in Crohn disease, where increasement of the inflammation degree was followed by IL-β increasement respectively. Other inflammation indicator, calprotectin, a biomarker protein, found in the feces when inflammation occurred in the intestine, would increased 4-6 fold from the plasma concentration. This study is to investigate the role of paneth cell in the pathogenesis of HAEC so that morbidity and mortality of HD could be lowered in the future. Aim. To investigate the role of Paneth cell, α-defensin, IL-β and calprotectin in HAEC patogenesis. Method. Male Sprague Dawley rat was used in this study, divided into 11 groups, one control group and 10 Benzalkonium Chloride (BAC) 0.1% intervention groups, each group consisted of r rats. Sacrifice and sample harvesting done on day 0, 3, 5 ,7 10,12, 14, 16, 18 and 21; 7 days after BAC 0.1% intervention was done. Sigmoid colon and blood serum harvested for histological examination (aganglionosis segmen, HAEC degree and Paneth cell metaplasia) with hematoxyllin-eosin staining and biochemical examination with ELISA technique to measure α-defensin, IL-β and calprotectin concentration. Statistic analisys using Anova, Mann-Whitney test and Spearman test. Result. HAEC occurred on the 7th day after 14 days application of BAC, analog to 7 days after HD, with increasement of enterocolitis degree along with the time of scarifice. In term of paneth cell metapasia, there is a significant differences between HD+0 and HD+7, and between HD+0 and HD+18, but there is no significant differences for tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin concentration compare to HD+0. There are no significant correlation between tissue α-defensin concentration compare to paneth cell metaplasia, plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin respectively. There are also no significant correlation between degree of Enterocolitis compare to paneth cell metaplasia, tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin. Conclusion. HAEC degree increase alongside with time in HD without intervention, Paneth cell metaplasia occurred in HAEC but not followed by increasement of α-defensin concentration.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Pauline Tamba
Abstrak :
Latar Belakang. Kelahiran bayi prematur di Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia. Sebanyak 50% bayi prematur memiliki risiko kematian yang lebih tinggi akibat infeksi, dimana 90% diantaranya disebabkan oleh infeksi saluran cerna. Hal ini dikaitkan dengan imaturitas saluran cerna. Spermin, senyawa poliamin, diketahui berperan penting dalam proliferasi, pertumbuhan, serta diferensiasi sel. Pada saluran cerna, spermin diketahui berinteraksi dengan protein penyusun barier usus dan berperan penting dalam penyembuhan luka serta sistem imun. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek spermin selama masa gestasi, sehingga efek spermin terhadap maturasi usus in utero menjadi penting untuk diketahui. Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh suplementasi spermin dalam diet terhadap maturasi protein tight junction selama masa gestasi yang berbeda pada kelinci. Metode Penelitian. Desain penelitian merupakan studi analitik eksperimental menggunakan hewan coba kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus), yang dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Histologi FKUI, Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI, dan Laboratorium Terpadu FKUI mulai dari bulan Oktober 2018 - September 2019. Setelah dilakukan anestesis umum, sampel jaringan usus halus janin kelinci diambil dan dibagi dalam 6 kelompok yang terdiri dari kelompok perlakuan (dengan suplementasi spermin 20 mg/kgBB) dan kelompok tanpa perlakuan (tanpa suplementasi spermin), masing-masing kelompok berasal dari induk kelinci dengan usia gestasi 24 hari, 26 hari, dan 28 hari. Jumlah masing-masing kelompok adalah 4 induk gestasi dengan berat badan berkisar antara 3-3,5 kg dengan janin berkisar 5-9 ekor per induk gestasi. Jaringan usus halus dari setiap kelompok diambil untuk pemeriksaan biokimia menggunakan teknik ELISA untuk β-actin, β-catenin, dan occludin, serta pemeriksaan histomorfologi dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin. Analisis statistik menggunakan uji Mann-Whitney U, uji Chi Square dengan uji Fisher untuk data proporsi, dan uji korelasi Spearman untuk data numerik. Hasil. Tidak ditemukan perbedaan konsentrasi β-actin, β-catenin, dan occludin antar kelompok perlakuan dan non perlakuan. Pada kelompok perlakuan dan tidak pada kelompok non-perlakuan, ditemukan adanya korelasi positif bermakna antara konsentrasi β-actin dan β-catenin, β-actin dan occludin, serta β-catenin dan occludin. Hasil skoring maturasi barier pada kelompok dengan suplementasi spermin pada usia gestasi 24 dan 26 hari mendekati kelinci aterm. Simpulan. Suplementasi spermin dalam diet selama masa gestasi memperbaiki interaksi antar molekul tight junction pada janin kelinci prematur. ......Background. Indonesia is ranked 5th as a country with premature births. Half of the premature infants carry higher risks of death, in which 90% are due to gastrointestinal tract infection — these cases associated with the immaturity of the gastrointestinal tract system. Spermine is a polyamine molecule known for its essential role in cell proliferation, growth, and differentiation. Previous studies reported that spermine could interact with junctional proteins in the small intestine and responsible for maintaining the intestinal barrier integrity. However, to date, the efficacy of dietary spermine supplementation during the gestation period in utero remains unclear. Thus, an investigation is required. The purpose of the present study is to investigate the mechanism of spermine in improving intestinal villi barrier in premature rabbit fetus. Aim. To investigate the effect of spermine supplementation in diet on the maturation of intestinal tight junction proteins during different rabbit gestation period. Method. This study was an analytical, experimental study on New Zealand White Rabbits (Oryctolagus cuniculus) as animal models, performed at Laboratorium Hewan Coba Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Departments of Histology FKUI, Department of Biochemistry and Molecular Biology FKUI, and Integrated Laboratory FKUI, from October 2018 until September 2019. Following general anesthesia, rabbit fetal intestinal specimens were taken and divided into six groups, consisting of groups given the intervention (spermine 20 mg/kg BW supplementation) and groups without intervention, each group based on the gestation period of 24 days, 26 days, and 28 days. β-actin, β-catenin, and occludin of ileal portion were determined and was stained by hematoxyllin-eosin for histomorphological assessment. Statistical analysis was carried out using the Mann-Whitney U test, Chi-Square test with Fisher test for data proportion, and Spearman’s rank correlation for numeric data. Results. There was no significant difference for β-actin, β-catenin, dan occludin concentration between groups with- and without spermine supplementation. Significantly positive correlation was obtained in the groups with- but not in the groups without spermine supplementation, between concentration of β-actin and β-catenin, β-actin and occludin, as well as β-catenin and occludin. The barrier scoring of ileal histomorphology in groups with spermine supplementation at gestation period of 24 dan 26 days were similar to a mature fetus. Conclusion. Spermine supplemented diet given during the gestation period improves the interaction between proteins composing tight junction in premature fetal rabbits.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hening Rahayatri
Abstrak :
Sirosis dekompensata pada anak merupakan indikasi utama transplantasi hati. Mayoritas pasien yang menunggu transplantasi hati memiliki masalah malnutrisi dan infeksi yang berhubungan dengan prognosis buruk, sehingga dibutuhkan terapi antara untuk memperbaiki kondisi pasien sebelum transplantasi hati. Skor pediatric end-stage liver disease (PELD) adalah sistem penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas transplantasi hati. Semakin tinggi nilainya, semakin buruk kondisi pasien. Terapi granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) telah memberikan hasil yang menjanjikan pada pasien sirosis dewasa, namun penelitian pada sirosis dekompensata anak belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh G-CSF terhadap skor PELD dan status nutrisi. Juga dinilai pengaruh terapi G-CSF terhadap neutrofil, CD34+, sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi, hepatocyte growth factor (HGF), biomarker fungsi hati, adverse event dan kesintasan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2019–Februari 2022 di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), bersifat uji acak terkontrol open-label. Subjek adalah pasien anak dengan usia antara 3 bulan hingga 12 tahun dengan diagnosis sirosis dekompensata yang dibagi dalam kelompok intervensi (n = 26) dan kelompok kontrol (n = 24). Subjek pada kelompok intervensi diberikan 12 kali injeksi subkutan G-CSF (5 µg/kg/hari) serta terapi standar sirosis, dan pada kelompok kontrol hanya diberikan terapi standar sirosis. Tidak terdapat penurunan skor PELD yang bermakna setelah pemberian G-CSF. Terdapat perubahan bermakna pada kadar neutrofil dan leukosit (uji ANOVA, p < 0,001, untuk kedua parameter). Terdapat tanda mobilisasi sel punca yang dilihat dari peningkatan kadar CD34+, namun hasilnya tidak bermakna. Pemberian G-CSF secara bermakna menurunkan kadar tumor necrosis factor (TNF)-α (uji ANOVA, p = 0,001), dan meningkatkan interleukin (IL)-10 dan HGF (uji ANOVA, p = 0,003 untuk kedua parameter) yang menunjukkan bahwa imunitas bawaan dan regenerasi hati subjek dapat diperbaiki. Tidak ada perbedaan bermakna antara lingkar lengan atas (LILA) dan triceps skinfold thickness (TST) berdasarkan z-score setelah pemberian G-CSF. Kadar alanine aminotransferase (ALT) menurun secara bermakna pada kelompok intervensi (uji ANOVA, p = 0,038). Subjek yang mengalami kejadian infeksi lebih rendah pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol (uji eksak Fisher, p = 0.04). ......Decompensated cirrhosis in children is the main indication of liver transplantation. The majority of patients awaiting liver transplantation have malnutrition and infection problems that are associated with poor prognosis, thus requiring a bridging therapy to treat these conditions prior to liver transplantation. Pediatric end-stage liver disease (PELD) score is a scoring system used to determine liver transplantation priority, higher scores indicates a worse prognosis. Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) therapy has shown promising results in adult liver cirrhosis. Our study aimed to investigate the effect of G-CSF on pediatric end-stage liver disease (PELD) scores and nutritional status in pediatric liver cirrhosis. The study also investigated the effects of G-CSF on neutrophils, CD34+ cells, pro-inflammatory and anti-inflammatory cytokines, hepatocyte growth factor (HGF), liver function markers, adverse events, and survival. This study was conducted on September 2019–February 2022 at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). This was an open-label, randomized controlled trial (RCT) including subjects between 3 months and 12 years of age with decompensated cirrhosis. The subjects were divided into intervention group (n = 26) and control (n = 24). Subjects from the intervention group received 12 courses of subcutaneous injection of G-CSF (5 μg/kg/day) plus standard medical treatment (SMT) for liver cirrhosis, while the control received SMT. Our study did not identify a significant difference in PELD scores between the intervention and control groups after 3 months of G-CSF treatment. Leucocyte and neutrophil counts showed significant differences between the intervention and control groups (ANOVA test, p > 0.001, for both). There was evidence of stem cell mobilization based on increased CD34+ cells in the intervention group; however, the results were not significant. G-CSF administration significantly decreased TNF-α (ANOVA test, p = 0,001), and significantly increased IL-10 and HGF (ANOVA test, p = 0,0003, respectively) indicating improvement in subjects’ immunity. There was no significant difference in nutritional status according to mid-upper arm circumference (MUAC) and triceps skinfold thickness (TST) based on the z-scores. Alanine aminotransferase (ALT) levels significantly decreased in the intervention group (ANOVA test, p = 0,038). Subjects in the intervention group experienced fewer infection events, with a significant difference in the occurrence of sepsis in the intervention group compared to the control (Fisher’s exact test, p = 0.04).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library