Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ziana Naz Zahra Hidayat
"Belanda yang telah mengokupasi Indonesia selama berabad-abad lamanya meninggalkan sejumlah peninggalan budaya dari para pelakunya, termasuk peninggalan yang paling dekat dengan kehidupan sebagai seorang manusia; makam. Di Indonesia, tinggalan dari bangsa penjajah berupa makam dapat ditemui di seluruh wilayahnya, salah satunya adalah Bogor. Di Kabupaten Bogor, terdapat kompleks makam keluarga milik mantan tuan tanah Bogor berkebangsaan Belanda pada abad ke-19 yaitu Gerrit Willem Casimir van Motman. Kompleks makam keluarga yang dilengkapi dengan mausoleum dibangun dengan megah, sampai akhirnya penghancuran yang dilakukan secara sengaja terjadi. Pasca penghancuran identitas yang dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga tersebut tidak lagi dapat dikenali. Bentuknya pun tidak lagi sama. Untuk memperoleh informasi serta gambaran tambahan mengenai bangunan makam keluarga van Motman, penelitian ini dilakukan dengan berfokus pada kajian bentuk makam dengan membandingkan makam keluarga van Motman di Bogor dengan Museum Prasasti menggunakan metode penelitian studi literatur dan observasi lapangan. Meskipun hasil perbandingan keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, perbedaan tetap ditemukan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tempat pembuatan bangunan makam, juga rentang waktu yang cukup jauh pada situs tersebut.

The Dutch, who have occupied Indonesia for centuries, have left a number of cultural materials, including the closest remains to life as a human being; tombs. In Indonesia, the colonizer's cultural materials in the form of tombs can be found throughout the region, one of which is Bogor. In Bogor regency, there is a family cemetery belonging to a former Dutch Bogor landlord in the 19th century named Gerrit Willem Casimir van Motman. The family cemetery, which is equipped with a mausoleum, was built magnificently, until the deliberate destruction occurred. After the destruction the identity of those buried in the family cemetery are no longer recognizable and the tomb is no longer in its original form. In order to obtain additional information and description about the building of the van Motman family tomb, this research was conducted by focusing on the study of the shape of the tomb by comparing the van Motman family tomb in Bogor with Museum Prasasti using the research method of literature study and field observation. Although the results of the comparison of the two did not reveal significant differences, differences were still found. This is due to the difference in the place of manufacture of the tomb building, as well as the considerable time span of the sites."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Syawaludin Ilham
"Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein atau eks rumah pastori merupakan bukti karya kebudayaan dan wujud pencapaian karya arsitektural yang unik, khas, dan langka, mengandung nilai arkeologis dan sejarah pada masa kolonial. Salah satu cara untuk memperkuat hubungan antara masyarakat dan warisan budaya adalah melalui pemanfaatan, dimana cagar budaya diusahakan agar memiliki nilai dan manfaat yang konkret bagi masyarakat. Namun pada studi kasus objek penelitian ini, pengelola sekaligus sebagai pemilik bangunan tidak serta merta menerapkan prinsip pemanfaatan yang berdaya guna untuk masyarakat luas sebagaimana hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya. Metode yang dipakai pada kajian riset berikut umumnya dilakukan lewat tiga proses, yaitu pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran data. Untuk menguraikan pemanfaatan bangunan saat ini, penelitian ini didasarkan pada data yang didapatkan ketika datang langsung ke lapangan. Selain itu, data yang didapatkan tersebut ditunjang dengan data wawancara terhadap tokoh terkait. Bersumber UU Cagar Budaya No.11/2010, pengelola sekaligus pemilik bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein tidak secara maksimal memanfaatkan bangunannya demi urusan keagamaan, kebudayaan, sosial, ilmu pengetahuan, pendidikan, serta teknologi. Meskipun begitu, pengelola pada hal tersebut memiliki rencana untuk memaksimalkan pemanfaatan bangunan untuk kepentingan pariwisata sekaligus pengetahuan, yakni dimanfaatkan sebagai museum. Maka dari itu, penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa bentuk pemanfaatan bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein sampai dengan saat ini selain sebagai sarana perkantoran adalah untuk kepentingan pariwisata dan pengetahuan. Pemanfaatan terhadap objek penelitian ini didapatkan belum mengerahkan peran serta masyarakat secara luas. Namun pada satu sisi, bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein ini dalam pemanfaatannya sudah berlandaskan pada kaidah pelestarian.

The Cornelis Chastelein Institute Foundation Office or former manse is evidence of cultural work and a form of achievement of unique, ditstinctive and rare architectural, containing archaeological and historical value during the colonial period. One way to streghthen the relationship between society an cultural heritage is through utilization, where cultural heritage is sought to have concrete value and benefits for society. However, within the case consider of this investigate protest, the director as well as the proprietor of the building does not fundamentally apply the guideline of viable utilize for the wider community as expressed within the Social Legacy Law. The method used for this research study is generally carried out trough three processes, namely data collection, processing, and interpretation. To decipher the current use of buildings, this study is based on data obtained when it comes directly to the field. In addition, the data obtained is supported by interview data on related figures. Based on Cultural Heritage Law no.11 of 2010, the manager and owner of the Cornelis Chastelein Foundation Office building does not optimally utilize the building for religious, social, cultural, educational, scientific and technological purposes. Even so, the manager in this case has a plan to maximize the use of buildings for tourism as well as knowledge, which is used as a museum. Therefore, this aim concluded that the form of use of the Cornelis Chastelein Foundation Office building until now other than as office facilities is for the benefit of tourism and knowledge. The use of this research object has not mobilized the participation of the community at large. But on the one hand, the Cornelis Chastelein Foundation Office building in its use is based on the principles of preservation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Shinta Mia Ayunia Pribadi
"Bangunan Hotel Niagara pada masanya merupakan bangunan rumah tinggal yang paling tinggi dan paling megah di lingkungan tempat bangunan ini didirikan. Dirancang oleh arsitek F.J. Pinedo dan memulai pembangunan pada akhir abad 19 hingga awal abad 20 bersamaan dengan masa berkembangnya gaya arsitektur di Indonesia. Arsitek-arsitek pada masa itu dilanda wabah pembaharuan menentang arsitektur sebelumnya yang dianggap cenderung baku, kaku, angkuh, dan tidak sesuai dengan zaman baru. Bedasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan gaya bangunan Hotel Niagara yang dibangun pada masa peralihan pandangan arsitektur dari gaya Indische Empire ke arah yang lebih modern. Metode yang digunakan adalah metode deskripsi dengan membagi bangunan secara vertikal, dilanjutkan proses analisis dengan mengklasifikasikan tiap komponen bangunan (struktural, fungsional, dan ornamental) bedasarkan bentuk dan ruangnya. Tahap terakhir yaitu penafsiran data termasuk didalamnya membandingkan objek penelitian dengan bangunan lain yang didirikan oleh arsitek F.J Pinedo yaitu rumah Tan Hie Sioe dan bangunan BII Surabaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan Hotel Niagara memiliki gabungan dari gaya Indische Empire Style, Empire Style, Art Deco, Art Nouveau, dan Art Bouwen.

The Hotel Niagara Lawang designed by architect F.J. Pinedo, was a towering and grand residential building of its time. Constructed during the transition from the 19th to the 20th century, along with the development of architectural style in Indonesia. The architects of that era challenged the rigidity of previous architectural styles that were deemed incompatible with the new era. This study aims to find out how the Hotel Niagara building style was applied, which was built during a period of changing architectural views from the Indische Empire Style to a modern direction. To achieve this goal, the study employed a descriptive approach, dividing the building vertically and analyzing each building component (structural, functional, and ornamental) according to its shape and space. The final stage is the interpretation of the data, including comparing the research objects with other buildings built by architect F.J. Pinedo, such as Rumah Tan Hie Sioe and the BII Surabaya building. The findings of the study reveal that the Hotel Niagara building has a combination of Indische Empire Style, Empire Style, Art Deco, Art Nouveau, and Art Bouwen."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Febri Anti
"Konservasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah kerusakan, menghambat proses pelapukan, serta tindakan menangani koleksi yang telah mengalami kerusakan agar koleksi museum pada kondisi yang baik sesuai dengan aslinya. Penelitian ini  membahas mengenai konservasi terpadu yang dilakukan pada pamor keris sebagai warisan budaya tak benda. Mengingat pentingnya pelestarian dilakukan, konservasi mengenai pamor masih jarang dibahas, bilah keris merupakan perwujudan dari seni teknologi tempa sehingga menghasilkan pola yang disebut pamor. Mengingat pembuatannya yang kompleks konservasi terhadap bilah keris memerlukan penanganan khusus agar konservasi yang dilakukan tidak mengubah konteks artefak atau malah merusaknya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Robert H. Sharer dan Wendy Ashmore (2010) yang terdiri dari formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengelolaan data, analisis, interpretasi dan publikasi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka dan perekaman data di Museum Negeri Sonobudoyo. Hasil penelitian menjelaskan bahwa peran arkeolog  sebagai konservator keris, juga memperhatikan bahan-bahan penyusun pamor selain pada kerusakan keris sebagai indikator pelestarian.

Conservation is an effort made to prevent damage, inhibit the weathering process, and act to handle collections that have experienced damage so that the museum collection is in good condition according to the original. This research discusses integrated conservation carried out on the prestige of the keris as an intangible cultural heritage. Considering the importance of preserving it, conservation regarding pamor is still rarely discussed, the keris blade is an embodiment of the art of forging technology which produces a pattern called pamor. Considering the complex nature of the construction, conservation of keris blades requires special handling so that the conservation carried out does not change the context of the artifact or even damage it. This research uses the research method of Robert H. Sharer and Wendy Ashmore (2010) which consists of formulation, implementation, data collection, data management, analysis, interpretation and publication. Data collection was carried out by means of literature study and data recording at the Sonobudoyo State Museum. The results of the research explain that the role of archaeologists as keris conservators is also to pay attention to the materials that make up the prestige apart from damage to the keris as an indicator of preservation. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library