Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Misbahul Munir
Abstrak :
ABSTRAK Suhu di area hot pres dalam kisaran 1650 C-185 0 C. Tingkat beban kerja ringan sampai dengan sedang, lama kerja 8 jam per hari. Upaya perlindungan tidak selalu bisa dicapai akibat faktor alam, teknis maupun faktor individu. Efek tekanan panas terhadap tubuh memberikan reaksi vasodilatasi pembuluh darah dan efek berkeringat. Belum ada data yang memberikan gambaran efek tekanan panas dalam jangka panjang terhadap fungsi ginjal. Diperlukan upaya deteksi secara dini untuk menghindari efek kerusakan ginjal yang bersifat permanen. Metode : Penelitian ini dilakukan secara potong lintang. Responden dipilih secara rendom. Tekanan panas diukur dengan alat Quest temp 34. Kadar cystatin C serum dianalisa dengan metode PENIA yang dijabarkan dalam estimasi laju filtrasi glomerolus dengan metode CKD EPI. Berat jenis urin diukur pada awal kerja dan akhir shift kerja. Variabel lainnya diperoleh melalui pemeriksaan fisik dan wawancara. Outcome didefiniskan sebagai gangguan ginjal yaitu kenaikan atau penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus dibadingkan dengan nilai rerata sesuai usia dengan standar deviasi sebesar 15 ml/menit. Faktor dominan yang mempengaruhi gangguan ginjal diperoleh dari analisa multivariat dengan regresi logistik menggunakan SPSS 17,5. Hasil : Penelitian ini dilakukan terhadap 101 responen di area dengan tekanan panas antara 28,50 C-31,50 C (ISBB). Prevalensi gangguan ginjal sebesar 17,9%(hyperfiltrasi sebesar 16% dan hipofiltrasi 1,9%). Lama terpajan >15343 jam memiliki risiko terjadinya gangguan ginjal sebesar 7 kali lipat (OR 7,919) dibandingakan dengan lama terpajan ≤15343 jam dengan nilai p 0,001. Pada uji multivariat diperoleh faktor usia >29 tahun merupakan faktor risiko. Terjadi peningkatan risiko 16 kali lipat (OR16,39) pada pekerja dengan usia > 29 tahun dengan nilai p 0,000. Kesimpulan : Prevalensi gangguan ginjal (abnormal eLFG) pada pekerja hot press sebesar 17,9% (hyperfiltrasi sebesar 16% dan hipofiltrasi 1,9%). Usia merupakan faktor dominan gangguan ginjal. Usia >29 dan memiliki risiko 16 kali lipat lebih tinggi sedangkan lama terpajan >15343 jam memiliki risiko 7 kali lipat (OR 7,919).
ABSTRACT Background: Temperature in hot press area in the range 1650 C-185 0 C. Workers performed of activity with mild to medium load for 8 hours per day. Protective measures can not always be achieved due to natural factors, technical and individual factors. The effects of heat stress on the body to react vasodilatation and sweating effect. No data that gives an explanation of the effects of heat stress in the long term on kidney function. Early detection efforts are needed to avoid the effects of permanent kidney damage. Metode: The motode of this study is a cross-sectional basis. Respondents were selected rendom. Heat stress was measured by Quest temp 34. Cystatin C serum level was analyzed by the method PENIA which described into glomerular filtration rate estimate by the method of CKD EPI. While the urine specific gravity was measured at the beginning and end of the work shift work. Other variables obtained through physical examination and interviews. Outcome of renal disorder is defined as an increase or decrease in filtration rate estimation glomerular which is compared to an average value according to age with a standard deviation of 15 ml / min. Dominant factor affecting kidney disorders derived from multivariate logistic regression analysis using SPSS 17,5. Result: The study was conducted on 101 responen who work in areas with hot pressure between 28.50 C to 31.50 C (WBGT). The prevalence of renal disorder was 17.9%(16% classified as hyperfiltration and 1,9% as hypofiltration). Period of long term exposure > 15343 hours had a risk of kidney disorder by 7-fold (OR 7.919 with p value of 0.001. In multivariate analysis obtained risk >29 years of age is the dominant factor of risk to kidney disorders. Occurred 16-fold increased risk (OR16,39) in workers with age> 29 years with p value of 0.000. Conclusion: The prevalence of kidney disorder to hotpress workers at 17.9% (16% classified as hyperfiltration and 1,9% as hypofiltration). Period of long term exposure > 15343 hours had a risk of kidney disorder by 7-fold (OR 7.919). Dominant factor related to kidney disorder is age.>29 years. Occurred 16-fold increased risk (OR16,39) in workers with age> 29 years.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arian Aditya Adi Nugroho
Abstrak :
Latar Belakang: Dry eye (DE) menjadi salah satu masalah kesehatan terbanyak yang dilaporkan di lingkungan kantor. Studi sebelumnya telah melaporkan sebesar 1 dari 3 pekerja perkantoran mengalami DE. Gejala DE dapat memengaruhi kenyamatan mata dan menurunkan kualitas hidup, yang selanjutnya dapat memperburuk produktivitas kerja dan menimbulkan beban ekonomi akibat perawatan medis dan menurunnya performa pekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan gejala DE pada pekerja perkantoran dan pekerja lapangan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang untuk menilai gejala DE pada pekerja perkantoran dan penebang tebu dengan menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI) versi Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menilai faktor risiko yang berperan pada terjadinya DE. Hasil: Sebanyak 268 subjek penelitian (142 pekerja kantoran dan 126 penebang tebu) diikutsertakan dalam analisis data. Lebih dari setengah (56.3%) pekerja mengalami gejala DE (OSDI >12). Prevalensi DE lebih besar pada pekerja perkantoran (37.7%) dibandingkan penebang tebu (18.7%) (OR 3.74, IK 95% 2.25, 6.23). Faktor yang mempengaruhi terjadinya DE antara lain usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, durasi jam kerja, status merokok, penggunaan lensa kontak, penyakit sistemik dan durasi menggunakan gadget. Hasil analisis multivariat menunjukan usia merupakan faktor yang paling memengaruhi terjadinya DE (p < 0.001). Kesimpulan: Penebang tebu memiliki risiko tiga kali lebih rendah untuk mengalami DE dibandingkan pekerja perkantoran. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan pada pekerja perkantoran yang dapat meningkatkan risiko terjadinya DE. Kata Kunci: Dry Eye; Mata Kering; OSDI; Risiko Pekerjaan; Pekerja Perkantoran; Penebang Tebu. ......Background: Dry eye (DE) is one of the most common health problems in the office environment. Previous study has reported that 1 out of 3 office workers experienced DE. The symptoms of DE may affect eye health and reduce the quality of life, which in turn decrease work productivity and cause an economic burden due to medical treatment and decreased worker performance. This study aimed to compare the severity of DE in office workers and field workers in Indonesia. Methods: This study was a cross-sectional observational study to assess the severity of DE in office workers and sugarcane loggers using the Indonesian version of the Ocular Surface Disease Index (OSDI) questionnaire. This study also assessed the risk factors that play a role in the occurrence of DE. Results: A total of 268 research subjects (142 office workers and 126 sugarcane loggers) were included in the data analysis. More than half (56.3%) of workers experienced DE symptoms (OSDI >12). The prevalence of DE was higher among office workers (37.7%) than sugarcane loggers (18.7%) (OR 3.74, 95% CI 2.25, 6.23). Factors that influence the occurrence of DE included age, gender, type of work, duration of working hours, smoking status, use of contact lenses, systemic diseases and duration of using gadgets. The results of multivariate analysis indicated that age was the most influencing factor for ED (p < 0.001). Conclusion: Sugarcane loggers have three times less risk of presenting DE symptoms than office workers. It is due to environmental influences on office workers which might increase the risk of DE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Magdalena
Abstrak :
Latar Belakang: Pandemi COVID19 telah menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan dunia kerja diantaranya pemberlakukan bekerja dari rumah / Working from Home (WFH) bagi hampir semua pekerja perkantoran di Jakarta. Tujuan penelitian mengetahui prevalensi dan berbagai faktor risiko gangguan kualitas tidur diantaranya beban kerja mental, lingkungan kerja dan faktor sosiodemografik pada pekerja perkantoran yang bekerja dari rumah selama pandemi COVID19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain mixed method..Metode kuantitatif dilakukan dengan sampel 71 orang pekerja bagian HR. Penelitian ini menggunakan kuesioner PSQI untuk negukur ganggguan kualitas tidur, kuesioner NASA-TLX untuk menilai beban kerja dan kuesioner PHQ9 serta GAD7 untuk menentukan sample yang dieksklusi. Sementara metode kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 15 subjek yang memiliki skor PSQI tertinggi dan yang bersedia dilakukan wawancara. Hasil: Prevalensi gangguan kualitas tidur pada pekerja divisi HR perusahaan farmasi PT.X di Jakarta sebesar 40.8% dengan jenis terbanyak adalah Insomnia. Beban kerja memiliki korelasi sedang dengan gangguan kualitas tidur yaitu dengan koefisien korelasi 0.51 dimana semakin tinggi beban kerja maka kualitas tidur semakin buruk. Selain itu, Kualitas tidur juga berhubungan secara bermakna masing-masing dengan ruangan yang dipakai selama WFH (p0.028, OR 3.019 (IK 1.109-8.223), penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur (p0.005, OR 4.8 (IK 1.539-14.97), keberadaan balita di rumah (p0.022, OR 3.89 (IK 1.164-13.03) dan jumlah jam kerja harian selama WFH (p 0.024, OR 5.4 (IK 1.107-26.34) dan jenis kelamin (p 0.037, 3.26 (1.040-10.243)).Dari hasil kualitatif ditemukan beban kerja yang lebih besar dengan jam kerja lebih panjang, ruang kerja yang tidak kondusif karena kebisingan dan posisi kerja yang tidak nyaman, disertai kebiasaan perilaku sebelum tidur yang buruk dan distraksi oleh aktivitas personal disertai dialami oleh responden dengan ganggaun tidur sedang berat. Kesimpulan: Prevalensi gangguan kualitas tidur pada pekerja bagian HR perusahaan Farmasi PT.X adalah sebesar 40.8%. Beban kerja memiliki korelasi sedang dengan gangguan kualitas tidur. Faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan kualitas tidur diantaranya ruangan yang dipakai selama WFH, jumlah jam kerja, penggunaan perangkat elektronik sebelum tidur, balita di rumah, dan jenis kelamin. ......Background: COVID19 Pandemi has created huge changes in worklife, including implementation of Working from Home (WFH) fpr almost all office workers in Jakarta. Th purpose of this research is to investigate prevalence and risk factors of sleep quality disturbance, among others are mental workload, work environment, and sociodemographic factors among office workers working from home during pansdemic COVID19. Method: This research use mixed method.Quantitative method was done with 71 samples of workers in HR Dept. This research used PSQI questionnaire to measure disturbance of sleep quality, NASA-TLX questionnaire to measure workload, PHQ9 and GAD7 to determine excludion samples.Qualitative method was done by in-depth interviews to 15 respondents with the highest PSQI scores and who were willing to participate. Results: Prevalence of sleep quality disturbance among office workers of HR dept in pharmaceutical company PT.X in Jakarta was 40.8%, with Insomnia as the most common type. Workload has moderate correlation with sleep quality disturbance, that is with correlation coefficient 0.51,the higher the workload, the poorer the sleep quality.Besides that, sleep quality has significant association with room used during WFH (p0.028, OR 3.019 (IK 1.109-8.223),, use of electronic devices before sleeping (p0.005, OR 4.8 (IK 1.539-14.97),, existence of children under 5-years-old at home (p0.022, OR 3.89 (IK 1.164-13.03), and daily work hours during WFH (p 0.024, OR 5.4 (IK 1.107-26.34), and gender (p 0.037, 3.26 (1.040-10.243 Respondent with moderate severe sleep disorder reported increased workload, longer working hpurs, unconducive work space and poor position during working, along with poor sleep hygiene and distraction from personal family living. Conclusion: Prevelence of sleep quality disturbance among workers in HR dept of pharmaceutical company PT.X was 40.8%. Workload has moderate correlation wit sleep quality disturbance. Risk factors associated with sleep quality distuabnce are room used during WFH, number of daily workhours, use of electronic device before sleeping, children under five at home, and gender.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library