Hasil: Terdapat total 36 pasien silikonoma penis yang direkonstruksi dengan tandur kulit, dan 19 pasien bersedia untuk ikut serta pada penelitian ini. Dari total pasien, 16 (84,2%) pasien memiliki fungsi seksual yang normal, 2 (10,5%) mengalami disfungsi ereksi ringan dan 1 (5,3) mengalami disfungsi ereksi ringan-sedang.
Kesimpulan: Pasien dengan silikonoma penis yang mendapatkan rekonstruksi dengan penutupan defek menggunakan tandur kulit memiliki fungsi seksual jangka panjang yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai opsi penutupan defek.
Latar Belakang : Terdapat perdebatan jangka panjang di antara dokter bedah plastik mengenai bahan benang yang ideal untuk penjahitan luka. Banyak dokter bedah berpendapat bahwa material monofilamen lebih baik dibandingkan dengan monofilamen karena lebih mudah dalam melakukan simpul, tidak mudah terbuka, dan menimbulkan reaksi radang yang minimal. Pendapat lain tidak keberatan dengan benang multifilamen dan menganggap hasil yang diberikan tidak lebih buruk dibandingkan dengan monofilamen Pasien dan Metode : Defek sekunder donor tandur kulit full-thickness di area inferior abdomen dijahit menggunakan Vicryl 4.0 untuk lapisan dalam, dan pada lapisan luar dibagi menjadi grup Vicryl 4.0 dan grup Nylon 4.0. Seluruh pasien dilakukan follow-up hingga enam bulan setelah tindakan operasi dan diukur nilai VAS masing-masing pasien terhadap bekas luka jahitan. Hasil : Terdapat total 20 pasien disertakan dalam penelitian ini. Setelah 6 bulan pasca operasi, skor VAS pada grup pasien multifilamen memiliki nilai rerata 6.8, sedangkan pada grup monofilamen nilai rerata 7. Komplikasi berupa infeksi, dehisens, dan peradangan ditemukan pada satu pasien dari setiap grup. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara bekas luka yang dihasilkan dan komplikasi yang terjadi pada luka yang dijahit menggunakan benang multifilamen dengan monofilamen.
Background : There is long-standing disagreement among plastic surgeons as to the ideal suture material for closing skin wounds. Many surgeons believe hat monofilament suture material is preferable, as it is easier to tie, is unlikely to break prematurely, and elicits a minimal inflammatory response. Others feel that these issues are of minor importance and prefer absorbable multifilament sutures because they do not have to be removed, thus saving the surgeon time and decreasing patient anxiety and discomfort. Patients and Methods: Full thickness skin graft were taken from inferior abdominal. All deep tissues were closed with 4.0 Vicryl, while on the subcuticular level one group was sutured using 4.0 Vicryl and the other with 4.0 Nylon. All patients were followed for up to 6 months after surgery and VAS score of the scar were recorded from each patient. Result : Twenty patients were included in this study and divided into two groups. After 6 months evaluation, the mean VAS score for the aesthetic perception of the scar from the multifilament suture group was 6.8 and from the monofilament group was 7. Infection, dehiscence, and inflammation were found on one patient from the multifilament group and hypertrophic scar on one patient from each group. Conclusion : There are no significant difference on scar formation and complication between FTSG donor defects that were sutured using multifilament and monofilament suture.
"Latar Belakang: Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mengeksplorasi efek asam traneksamat dan kombinasinya dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intra- dan pascaoperasi pada model luka bakar babi.
Metode: Dua subjek hewan digunakan dalam penelitian eksperimental ini. Empat luka bakar dibuat pada punggung masing-masing hewan. Setiap luka bakar diberi salah satu dari perlakuan berikut: (1) larutan tumesen satu per satu juta; (2) asam traneksamat; (3) larutan tumesen satu per satu juta yang dikombinasikan dengan asam traneksamat; atau (4) kelompok kontrol. Setelah injeksi, jaringan nekrotik dieksisi oleh satu orang operator yang tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan pada masing-masing jaringan nekrotik. Jumlah perdarahan intraoperasi dan 24 jam pascaoperasi diukur menggunakan pengukuran gravimetri dan analisis subjektif dengan visual analogue guide oleh dua penilai independen.
Hasil: Larutan tumesen satu per satu juta saja tampaknya menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan perdarahan intraoperasi; perdarahan rebound tidak terjadi. Efektivitas injeksi asam traneksamat saja atau dalam kombinasi dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intraoperasi tidak dapat disimpulkan dalam studi pendahuluan ini. Tidak ada perbedaan signifikan dalam perdarahan 24 jam pascaoperasi di antara semua kelompok.
Simpulan: Penelitian menyeluruh harus dilakukan untuk memberikan bukti yang lebih konklusif mengenai efektivitas infiltrasi asam traneksamat dan perbandingannya dengan larutan tumesen satu per satu juta dan kombinasinya.
Background: This pilot study aimed to explore the effect of tranexamic acid (TA) and its combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative blood loss and postoperative bleeding in porcine burn wound model.
Methods: Two animal subjects were used in this experimental study. Four burn wounds were created in each animal’s torso. Each burn wound was treated with one of these injection solutions or intervention: (1) one-per-mil tumescent solution; (2) TA; (3) one-per-mil tumescent solution combined with TA; or (4) control group. After the injection, the burn necrotic tissue was tangentially excised by a single blinded surgeon. The amount of intraoperative bleeding and 24-hour postoperative bleeding was measured using gravimetric measurement and subjective analysis with the aid of a visual guide analogue by two independent assessors.
Results: One-per-mil tumescent alone seems to show a good result in controlling intraoperative bleeding; no rebound bleeding was observed. However, the effectiveness of TA alone or in combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative bleeding cannot be concluded yet through this pilot study. There was no significant difference in 24-hour postoperative bleeding among all groups.
Conclusion: The full research should be conducted to provide more conclusive evidence regarding the efficacy of TA infiltration and its comparison with one-per-mil tumescent solution and combination of both agents.
"
Latar Belakang: Madu telah digunakan sebagai makanan dan obat-obatan di banyak negara sejak dahulu kala. Untuk tujuan pengobatan, madu juga digunakan dalam perawatan luka kronis dan kompleks. Telah banyak studi yang menyatakan fungsi madu dan efek yang menguntungkan selama perawatan. Luka kronis adalah luka yang gagal untuk melalui fase penyembuhan normal secara tepat. Studi ini merupakan studi dengan hewan percobaan yang membandingkan dua madu lokal dan madu Manuka untuk menemukan madu lokal yang memiliki efek yang lebih baik dalam perawatan luka kronis
Metode: menggunakan 36 hewan percobaan tikus dengan strain Sprague Dawley yang dibuat perlukaan pada bagian kulit punggung dan diberi bakteri Pseudomonas Sp. hingga luka memiliki gambaran sebagai luka kronis dan luka dirawat dengan Manuka Honey, Madu Murni Nusantara dan Java Honey. Evaluasi makroskopis dilakukan pada hari 0, 3, 5, 7, 10 dan 13 pasca perawatan dan pada hari 5 dan 13 pasca perawatan, hewan dinekropsi. Parameter yang diamati, luas luka, presentasi jaringan nekrotik, slough dan granulasi dievaluasi dengan aplikasi Image J dan dibandingkan diantara tiga kelompok perawatan madu.
Hasil: secara statistik, didapatkan perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perawatan madu pada parameter luas luka pada hari 3 – hari 0 (p=0.021) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.009) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.03) dan presentasi slough pada hari 3 – hari 0 (p=0.025) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.059) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.008). Hari perawatan selanjutnya tidak didapatkan perbedaan signifikan pada semua parameter evaluasi makroskopis.
Kesimpulan: madu lokal dapat digunakan sebagai modalitas alternative pada perawatan luka kronis, seperti halnya Manuka Honey, namun dengan biaya rendah dan kemudahan mendapatkannya di pasaran.
Background: Honey has been used for food and medicine in many centuries and countries. For medicinal purposes, honey is used to treat chronic and complex wounds. There have been many reports stating its function and beneficial effect during treatment. A chronic wound is a wound that fails to progress through the normal phases of healing in an orderly and timely manner. This research is an experimental animal study comparing two local honey and Manuka Honey to find which has a better effect in chronic wound treatment
Methods: 36 rats, Sprague Dawley strain were had wounded at muscle based on the dorsum side and were given bacteria Pseudomonas Sp. until the wound has a chronic wound appearance and then treated with Manuka Honey, Madu Murni Nusantara, and Java Honey. A Macroscopic evaluation was observed on day 0, 3, 5, 7, 10, and 13 post wound treatment and on day 5 dan day 13 post wound treatment, the rats were euthanized. The observed parameters, wound area, presentation of necrotic tissue, slough and granulation were evaluated by Image J application and compared between the three honey treatment groups.
Result: Statistically, there was a significant difference between the three honey treatment groups on the wound area parameters on day 3 - day 0 (p = 0.021) with post-hoc analysis found a significant difference between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.009) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.03) and slough presentation on day 3 - day 0 (p = 0.025) with post-hoc analysis found significant differences between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.059) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.008). The next day of treatment there was no significant difference in all macroscopic evaluation parameters.
Conclusion: Local honey can be used as an alternative modality for wound chronic treatment the same as Manuka Honey, but with low cost and easily available in the market.
"