Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pujisriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi intravena (IV) sangat penting bagi pasien yang tidak mampu atau dibatasi penggunaan saluran cernanya untuk dapat memasukkan cairan, nutrisi dan obat-obatan. Meskipun terapi IV rutin dilakukan, risiko tindakan tetap ada, misalnya terjadi hematoma, infeksi, plebitis, dan ekstravasasi. Tujuan studi ini adalah mengetahui efek dari cairan saline terhadap kasus ektravasasi natrium bikarbonat.
Metoda: Studi ini mencari hubungan korelasi antara pengunaan cairan saline terhadap kasus ekstravasasi natrium bikarbonat pada tikus. Dengan memakai 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing kelompok berjumlah 7 tikus.
Hasil : Hubungan antara cairan saline dan kematian kulit adalah bermakna (sig. 0.021). Semakin banyak cairan saline yang digunakan akan mengurangi luas kematian kulit pada kasus ekstravasasi. Kesimpulan: Dengan memakai cairan saline sebagai cairan yang dapat mendilusi efek basa pada ekstravasasi natrium bikarbonat dapat menjadi pilihan tatalaksana kasus ekstravasasi. Studi ini masih dalam tahap hewan coba sehingga diperlukan studi lanjutan untuk menganalisis peran cairan saline pada ekstravasasi yang terjadi di pasien.

ABSTRACT
Background: Intravascular (IV) therapy is essential for the administration of nutrition and medications to patients because they are unable to maintain fluid and electrolyte balance. Although routine and common, peripheral IV therapy carries risks including hematoma formation, infection, phlebitis, infiltration, and extravasation. The aim of this studi is providing information of the effect of normal saline as dilution agents using the flush-out technique in extravasation cases.
Methods: In order to analyze the correlation between the usage of normal saline to sodium bicarbonate extravasation in rats, this study was using the two groups, the control group and the treatment group, each group has 7 rats. Results: The correlation between normal saline and necrotic skin was significant (sig. 0021). The more saline that is used will reduce the area of the necrotic skin of extravasation.
Conclusion: By using saline as the fluid that can dilute alkaline effect on the extravasation of sodium bicarbonate, this might be an option for managing cases of extravasation. This study is still in the stage of experimental animals that needed further study to analyze the role of normal saline in the extravasation occurred in patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrul Hendra
"Latar belakang : resusitasi setelah luka bakar , khususnya 24 jam pertama setelah luka bakar masih menjadi masalah bagi seluruh tenaga kesehatan yang bergerak dibidang luka bakar. Pemberian cairan yang adekuat sangat penting untuk mencegah kejadian shok luka bakar dan komplikasi lainnya pada cedera luka bakar. Formula parkland merupakan suatu formula yang diterima sebagai acuan untuk melakukan resusitasi pada pasien luka bakar. Untuk mempertahankan resusitasi yang efektif, Baxter (Formula Parkland) memonitor urin output (UOP). Dalam penelitian ini, dilakukan evaluasi terhadap hubungan antara urin output dan gagal paru - ginjal.
Metode: suatu penelitian retrospective cross sectional yang mengevaluasi hubungan antara urin output dan fungsi paru ? ginjal pada cedera luka bakar. Gagal paru dan ginjal diklasifikasikan menurut SOFA score pada hari ke - 2 dan ke ? 3 setelah dilakukan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Hubungan antara urin output dan gagal paru ? ginjal dianalisa menggunakan Somers?d Test.
Hasil : Hubungan anatara urin output sebagai variabel bebas dan SOFA Score sebagai variabel terikat didapatkan koefisien korelasi (r) -0.640. hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang kuat. korelasi bernilai negatif (menurut hasil uji Somers'd) menunjukkan terdapat hubungan yang bertolak belakang, artinya semakin besar nilai klasifikasi urine output maka semakin kecil nilai SOFA Score fungsi ginjal.
Kesimpulan : Parameter yang baik diperlukan untuk mencegah terjadinya gagal ginjal akut. Urin output sebagai parameter fisiologis penting untuk memonitor efikasi resusitasi. Urin output perjam digunakan sebagai pedoman terbaik untuk memonitor resusitasi dan perfusi organ. Namun urin output yang digunakan untuk menilai perfusi yang adekuat masih memiliki sejumlah kekurangan, sehingga memerlukan metode lain yang lebih baik untuk sebagai monitor.

Background : Resuscitation after burn, specifically in the first 24 h after injury, has been and remains a taxing assignment for all burn care providers. Adequate fluid administration is critical to the prevention of burn shock and other complications of thermal injury. Parkland formulas are accepted as guidelines for the resuscitation of burned patients. To maintain effective resuscitation, Baxter (Parkland Formula) monitored the urine output (UOP). In the context of this study, we set out to evaluate association of urine output from Parkland Formula resuscitation on pulmonary - renal failure.
Methods: A retrospective cross sectional study evaluating the association between urine output and pulmonary - renal function following thermal injury. Pulmonary and renal failure will be classified acording to SOFA score at day-2 and day-3 after fluid resuscitation in the first 24 hour. association between urine output and pulmonary - renal failure will be analyzed by Somers?d Test.
Result : Correlation between urine output as independent variables and SOFA Score as the dependent variable have correlation coefficient ( r ) -0.640 which indicates that the correlation is strong . Negative correlation (according to Somers?d test) indicates that there is a contradiction. The greater the urine output the lower the value of SOFA Score of renal function.
Conclusion : good parameter is needed to avoid acute renal failure. Urine output as physiologic parameters is important for monitoring the efficacy of resuscitation. Urine output per hour continues to be used as the best guide to monitor adequate resuscitation and end organ perfusion, regardless of the amount of fluid given. In addition, there are numerous failure of urine output to assess adequate global perfusion. The limitations of these traditional guides to resuscitation have led to interest in more advanced methods of endpoint monitoring."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitha Christine
"Background: As the second most common congenital structural anomaly, CL/P may functionally disable children with regard to eating, drinking, speaking, breathing, and hearing. Psychosocial health issue is important in school-age children because by the
age of 7 years, children start to make judgments about physical attractiveness in their peers. This study aims to evaluate psychosocial problems in Indonesian cleft center school-age patients identified using CBCL/6-18 despite any surgical interventions. Methods: We conducted a cross-sectional study on patients’ parents from Bandung,
Indonesia from 2011 to 2016, have undergone CL/P associated surgeries in Bandung Cleft Center using the Bahasa Indonesia version of CBCL/6-18 questionnaire (administered orally by phone). The data was entered to the official ASEBA-Web
online calculator. We depicted the findings using descriptive statistics. Results: There were 104 patents who can be contacted from the Bandung Cleft Center surgery database from 2011 to 2016. The median age was 8 years old, 56.7% of them were male, and 73.0% of them has cleft of lip, gum, and palate. We found that the speech and appearance problem were not perceived on 36 patients (34.6%) after undergoing surgery. We found that 78,8% of the patients had below normal score in Activities scale, while 93.3% of the patient had normal score in the Social scale and 92.3% of the patient had normal score School scale. Seven patients (6.7%) scored Borderline or Clinical Range in the Problem Items section. Sixteen patients (15.4%) were noted for some of the Critical Items put in among the Problem Items checklist as a
red flag indicator. Conclusion: In this study, we found 6.7% of the school-age children population with
CL/P had psychosocial problems. As the Indonesian population is very diverse, a wider sample from all regions of Indonesia are necessary to give more complete understanding. The result of this study hopefully can shed some light in the long-term
psychosocial conditions of the CL/P children post-operatively and be a baseline for further studies and care in Indonesian cleft center

Latar Belakang: Sebagai kelainan kongenital struktural kedua paling umum, CL/P dapat menyebabkan gangguan fungsional dalam hal makan, minum, berbicara, bernapas, dan mendengar. Masalah psikososial menjadi penting pada anak usia sekolah
karena pada usia 7 tahun, anak mulai dapat melakukan penilaian daya tarik fisik pada teman sebayanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi masalah psikososial pada pasien usia sekolah di pusat sumbing Indonesia menggunakan CBCL / 6-18 setelah dilakukan intervensi bedah. Metode: Kami melakukan studi potong lintang pada orang tua pasien dari Bandung,
Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016, telah menjalani operasi terkait CL/P di Bandung Cleft Center menggunakan kuesioner CBCL / 6-18 versi Bahasa Indonesia (diberikan secara lisan melalui telepon). Data dimasukkan ke kalkulator online resmi ASEBA-Web. Kami menguraikan temuan menggunakan statistik deskriptif. Hasil: Terdapat 104 pasien yang dapat dihubungi dari database operasi Bandung Cleft
Center dari tahun 2011 sampai 2016. Median umur adalah 8 tahun, 56,7% berjenis
kelamin laki-laki, dan 73,0% diantaranya mengalami celah bibir, gusi, dan lelangit.
Kami menemukan bahwa masalah bicara dan penampilan tidak dikeluhkan pada 36
pasien (34,6%) setelah menjalani operasi. Kami menemukan bahwa 78,8% pasien memiliki skor di bawah normal pada skala Aktivitas, sedangkan 93,3% pasien memiliki skor normal pada skala Sosial dan 92,3% pasien memiliki skor normal Skala Sekolah.
Tujuh pasien (6,7%) mendapat skor borderline atau clinical range di bagian Problem Items. Enam belas pasien (15,4%) dicatat untuk beberapa Critical ITems yang dimasukkan dalam daftar periksa Problem Items sebagai indikator bendera merah. Kesimpulan: Dalam penelitian ini ditemukan 6,7% dari populasi anak usia sekolah dengan CL/P memiliki masalah psikososial. Mengingat jumlah penduduk Indonesia
yang sangat beragam maka diperlukan sampel yang lebih luas dari seluruh wilayah
Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjelaskan kondisi psikososial jangka panjang pada anak CL / P
pasca operasi dan menjadi dasar untuk studi dan perawatan lebih lanjut di pusat
sumbing di Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasih Rahardjo Djarot
"Pasien dengan sumbing bibir dan/atau lelangit mungkin menghadapi tantangan berupa
perubahan secara fisik dan perkembangan pascaoperasi yang akan mempengaruhi
kualitas hidup mereka. Evaluasi pascaoperasi perlu dilakukan untuk menilai keluaran
fisik, bicara, dan fungsi psikososial. Praktisi klinis perlu memahami perspektif pasien
dengan menggunakan instrumen patient-reported yang didesain secara khusus dan teliti
untuk meningkatkan pelayanan dan perawatan di masa depan. CLEFT- Q© didesain
secara spesifik untuk pasien sumbing bibir dan/atau lelangit untuk mendapatkan umpan
balik dari pasien terkait kesehatan fisik dan psikologis, namun belum tersedia dalam
bahasa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk menerjemahkan CLEFT- Q© ke dalam
bahasa Indonesia guna mengembangkan instrumen yang terstandarisasi untuk
mengevaluasi perubahan kualitas hidup pasien sumbing dengan cara yang mudah
dimengerti dan dikerjakan, serta meningkatkan pelayanan di masa depan. Proses
penerjemahan dilakukan sesuai protokol penerjemahan CLEFT- Q© dan panduan
validasi dari ISPOR. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok usia berdasarkan perkembangan
psikososialnya agar dapat menilai sejauh mana pemahaman pasien terhadap instruksi,
pertanyaan, dan respon pada kuesioner. Setelah diterjemahkan, dilakukan cognitive
debriefing pada peserta dari berbagai kelompok usia. Hasil debriefing digunakan untuk
membuat modifikasi serta adaptasi budaya pada kuesioner agar dapat dibuat terjemahan
yang mudah dimengerti target pasien. Dari uji kelayakan CLEFT- Q©, didapatkan nilai
Cronbach's α tertinggi 0. 959, dan terendah 0.266; dari 13 skala, hanya 4 yang masih
dipertanyakan reliabilitasnya sehingga versi terjemahan CLEFT- Q© dapat digunakan
sehari-hari di institusi pusat sumbing. Versi akhir terjemahan kemudian didistribusikan
pada 30 peserta usia 8-29 tahun dengan jenis sumbing yang berbeda-beda. Hasil skor
terendah pada kelompok usia yang lebih tua (>10 tahun) menunjukkan ketidakpuasan
terhadap tampilan fisik (khususnya wajah, lubang hidung, dan bekas luka bibir
sumbing) dibandingkan usia muda (<10 tahun). Fungsi psikologis, sosial, dan bicara
kurang dipermasalahkan. Data yang ada menunjukkan bahwa CLEFT- Q© versi
Indonesia pantas digunakan sebagai instrumen untuk membantu evaluasi kualitas hidup
pasien sumbing bibir dan/atau lelangit, dan memfasilitasi pusat sumbing di Indonesia
mengevaluasi dan menyesuaikan rencana tatalaksana pada pasien, serta diharapkan
dapat digunakan secara luas oleh pusat sumbing di seluruh Indonesia

Patients with cleft lip and/or palate may experience physical and developmental
changes, pre and postoperatively − which will affect their quality of life. Postoperative
evaluation must be done to assess physical outcomes, speech outcomes, and
psychosocial function. Clinicians can understand the patients' perspectives by using
carefully-designed patient-reported instruments to provide better clinical practice and
future treatments. CLEFT- Q© is tailored specifically for cleft lip and/or palate patients
to obtain feedbacks from patients, concerning their physical health and psychological
well-being. When we get to identify and understand the problems found in CLEFT-Q©
filled by the patients, we will be able to sort out which problem is the priority in
different age groups, and create customized program needed by cleft lip and/or palate
patients. CLEFT-Q© is not yet available in Indonesian language. By translating
CLEFT-Q© into Indonesian language, we aim not only to develop an effective and
standardized tool to evaluate improvement in our patients' quality of life in a simplest
and easiest way to be understood by the patients; but also to improve our service in cleft
care in the future. Translation protocol set by the CLEFT-Q© team and validation
guideline set by International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research
were followed. Based on reliability test, the scales the lowest Cronbach's α value was
0.266, and the highest was 0.959; only 4 out of 13 scales were questionable for its
reliability. Therefore, the translated CLEFT-Q© is valid and applicable for use in daily
clinical setting. The approved final translated version was distributed to 30 participants
aged 8−29 years old with various cleft types. The lowest scores in older participants (>
10 years old) showed that they are bothered by their physical appearance (particularly
face, nostrils, and cleft lip scar), compared to the younger ones. Psychological, social,
and speech function were not as much of a concern. In conclusion, the scales in
Indonesian CLEFT-Q© is helpful to determine cleft lip and/or palate patients' quality of
life and may facilitate the cleft center to design suitable treatment plans based on the
patients' feedback, and provide better cleft care service in the future
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufida Muzakkie
"Latar Belakang: Luka bakar memerlukan penutupan luka segera setelah eksisi. Terbatasnya donor tandur kulit STSG merupakan permasalahannya. Meshed merupakan metode ekspansi yang sering dipakai. Namun di Indonesia, tidak semua rumah sakit mempunyai mesin Mesher. Metode ekpansi lainnya yaitu Postage-stamp. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan perambatan kulit baru marginal epithelial creeping antara kedua metode tersebut untuk memprediksi lamanya waktu penyembuhan.
Metode: Subjek adalah pasien di Unit Luka Bakar RS. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap kelompok menerima 2 metode STSG; Meshed grup kontrol dan Postage-stamp grup perlakuan pada bagian tubuh yang berbeda, 32 sampel setiap grup. Perambatan kulit baru dinilai pada hari ke-5, 10 dan 14.
Hasil: Juli ndash;Oktober 2016, dilakukan operasi pada 10 pasien 20 sampel sebagai data preliminary. Dari analisa statistik didapatkan tidak ada perbedaan bermakna perambatan kulit baru pada kedua kelompok pada hari ke-5, 10 dan 14. Walaupun didapatkan rerata perambatan kulit pada hari ke-5 dan 10 Meshed lebih tinggi daripada Postage-stamp, dan pada hari ke-14 Postage-stamp lebih tinggi daripada Meshed.
Kesimpulan: Kedua metode tersebut memberikan hasil perambatan kulit baru yang serupa. Walaupun pada hari ke-14 didapakan nilai rerata pada Meshed 61,9 cm2 SD 2.9 dan Postage-stamp 62.11 cm2 SD 3.9 dari total luas luka 64 cm2.

Background: Extensive burn injuries are challenging due to limitation of split thickness skin graft STSG. Meshed has been an accepted method for expansion. But in Indonesia, not every hospital has Mesher machine. Another method is Postage stamp. The purpose of this study is to analyze marginal epithelial creeping MEC between both methods, so we can predict the wound healing time.
Materials and Methods: Subjects are patients in Burn Unit, Cipto Mangunkusumo Hospital who fulfills inclusion criteria. Each patient received two methods Meshed control group and Postage stamp treatment group on different body region. MEC was measured on Day 5, Day 10 and Day 14.
Results: From July October 2016, 10 patients 20 samples performed surgery as preliminary data, showed that there is no statistically difference of MEC between both groups on Day 5, Day 10 and Day 14. Although, we found that both on Day 5 and Day 10 mean of Meshed STSG higher than Postage stamp STSG, and on Day 14 mean of Postage stamp STSG higher than Meshed STSG.
Conclusion: Meshed and Postage stamp STSG giving similar result of MEC as the aim to predict wound healing time. On day 14, Meshed giving 61.9 cm2 SD 2.9 of epithelialization and Postage stamp STSG giving 62.11 cm2 SD 3.9 from total of raw surface 64 cm2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Adla Runisa
"

atar Belakang: Silikonoma penis merupakan suatu proses inflamasi yang menyebabkan deformitas pada penis, yang disebabkan oleh penyuntikan substansi non-biologis pada penis, dan menyebabkan kerusakan yang hebat. Tata laksana berupa eksisi radikal kadang menjadi satu-satunya pilihan, dengan penutupan defek menggunakan tandur kulit. Namun, tandur kulit menyebabkan kontraktur sekunder dan terputusnya ujung saraf dari kulit, sehingga berpotensi menyebabkan disfungsi seksual. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi pasien tersebut dengan menggunakan IIEF-5.

Metode: Studi ini merupakan studi cross sectional retrograde yang melibatkan pasien silikonoma penis yang di rekonstruksi menggunakan tandur kulit di Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Cipto Mangunkusumo dari januari 2015 ke juli 2019. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian ini akan dievaluasi fungsi seksualnya menggunakan kuesioner IIEF-5.

Hasil: Terdapat total 36 pasien silikonoma penis yang direkonstruksi dengan tandur kulit, dan 19 pasien bersedia untuk ikut serta pada penelitian ini. Dari total pasien, 16 (84,2%) pasien memiliki fungsi seksual yang normal, 2 (10,5%) mengalami disfungsi ereksi ringan dan 1 (5,3) mengalami disfungsi ereksi ringan-sedang.

Kesimpulan: Pasien dengan silikonoma penis yang mendapatkan rekonstruksi dengan penutupan defek menggunakan tandur kulit memiliki fungsi seksual jangka panjang yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai opsi penutupan defek.


Background: The necessity for penile augmentation has been present throughout history, using non-biological high viscosity substances resulting in detrimental damages, leading to siliconoma. Surgical management with radical excision with choices of split thickness skin graft as defect closure option for resurfacing. Nevertheless, the presence of secondary contracture and sensation diminution of the graft might interfere with sexual function. The aim of this study is to evaluate sexual function in penile siliconoma patient post skin graft reconstruction, using Simplified International Index of Erectile Function (IIEF-5).

Methods: This is a retrograde cross-sectional study involving penile siliconoma patients receiving reconstruction using split thickness skin graft at Hasan Sadikin and Cipto Mangunkusumo General Hospital from January 2015 to July 2019. All patients willing to enroll in this study were given the IIEF-5 questionnaire for sexual function evaluation.

Result: A total patient of 36 people was detected through medical record in both centers, and 19 were willing to be enrolled in this study. Among the patients, 16 (84.2%) had normal sexual function and 2(10.5%) Mild and 1(5.3%) had mild to moderate erectile disfunction.

Conclusion: Penile siliconoma patients receiving radical excision and resurfacing using skin graft has a good sexual function, and could be used as a resurfacing option in the treatment of penile siliconoma.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melinda Sari
"

Latar Belakang : Terdapat perdebatan jangka panjang di antara dokter bedah plastik mengenai bahan benang yang ideal untuk penjahitan luka. Banyak dokter bedah berpendapat bahwa material monofilamen lebih baik dibandingkan dengan monofilamen karena lebih mudah dalam melakukan simpul, tidak mudah terbuka, dan menimbulkan reaksi radang yang minimal. Pendapat lain tidak keberatan dengan benang multifilamen dan menganggap hasil yang diberikan tidak lebih buruk dibandingkan dengan monofilamen Pasien dan Metode : Defek sekunder donor tandur kulit full-thickness di area inferior abdomen dijahit menggunakan Vicryl 4.0 untuk lapisan dalam, dan pada lapisan luar dibagi menjadi grup Vicryl 4.0 dan grup Nylon 4.0. Seluruh pasien dilakukan follow-up hingga enam bulan setelah tindakan operasi dan diukur nilai VAS masing-masing pasien terhadap bekas luka jahitan. Hasil : Terdapat total 20 pasien disertakan dalam penelitian ini. Setelah 6 bulan pasca operasi, skor VAS pada grup pasien multifilamen memiliki nilai rerata 6.8, sedangkan pada grup monofilamen nilai rerata 7. Komplikasi berupa infeksi, dehisens, dan peradangan ditemukan pada satu pasien dari setiap grup. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara bekas luka yang dihasilkan dan komplikasi yang terjadi pada luka yang dijahit menggunakan benang multifilamen dengan monofilamen.


Background : There is long-standing disagreement among plastic surgeons as to the ideal suture material for closing skin wounds. Many surgeons believe hat monofilament suture material is preferable, as it is easier to tie, is unlikely to break prematurely, and elicits a minimal inflammatory response. Others feel that these issues are of minor importance and prefer absorbable multifilament sutures because they do not have to be removed, thus saving the surgeon time and decreasing patient anxiety and discomfort. Patients and Methods: Full thickness skin graft were taken from inferior abdominal. All deep tissues were closed with 4.0 Vicryl, while on the subcuticular level one group was sutured using 4.0 Vicryl and the other with 4.0 Nylon. All patients were followed for up to 6 months after surgery and VAS score of the scar were recorded from each patient. Result : Twenty patients were included in this study and divided into two groups. After 6 months evaluation, the mean VAS score for the aesthetic perception of the scar from the multifilament suture group was 6.8 and from the monofilament group was 7. Infection, dehiscence, and inflammation were found on one patient from the multifilament group and hypertrophic scar on one patient from each group. Conclusion : There are no significant difference on scar formation and complication between FTSG donor defects that were sutured using multifilament and monofilament suture.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Marcellina Sadikin
"

Latar Belakang: Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mengeksplorasi efek asam traneksamat dan kombinasinya dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intra- dan pascaoperasi pada model luka bakar babi.

Metode: Dua subjek hewan digunakan dalam penelitian eksperimental ini. Empat luka bakar dibuat pada punggung masing-masing hewan. Setiap luka bakar diberi salah satu dari perlakuan berikut: (1) larutan tumesen satu per satu juta; (2) asam traneksamat; (3) larutan tumesen satu per satu juta yang dikombinasikan dengan asam traneksamat; atau (4) kelompok kontrol. Setelah injeksi, jaringan nekrotik dieksisi oleh satu orang operator yang tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan pada masing-masing jaringan nekrotik. Jumlah perdarahan intraoperasi dan 24 jam pascaoperasi diukur menggunakan pengukuran gravimetri dan analisis subjektif dengan visual analogue guide oleh dua penilai independen.

Hasil: Larutan tumesen satu per satu juta saja tampaknya menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan perdarahan intraoperasi; perdarahan rebound tidak terjadi. Efektivitas injeksi asam traneksamat saja atau dalam kombinasi dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intraoperasi tidak dapat disimpulkan dalam studi pendahuluan ini. Tidak ada perbedaan signifikan dalam perdarahan 24 jam pascaoperasi di antara semua kelompok.

Simpulan: Penelitian menyeluruh harus dilakukan untuk memberikan bukti yang lebih konklusif mengenai efektivitas infiltrasi asam traneksamat dan perbandingannya dengan larutan tumesen satu per satu juta dan kombinasinya.

 

 


Background: This pilot study aimed to explore the effect of tranexamic acid (TA) and its combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative blood loss and postoperative bleeding in porcine burn wound model.

Methods: Two animal subjects were used in this experimental study. Four burn wounds were created in each animal’s torso. Each burn wound was treated with one of these injection solutions or intervention: (1) one-per-mil tumescent solution; (2) TA; (3) one-per-mil tumescent solution combined with TA; or (4) control group. After the injection, the burn necrotic tissue was tangentially excised by a single blinded surgeon. The amount of intraoperative bleeding and 24-hour postoperative bleeding was measured using gravimetric measurement and subjective analysis with the aid of a visual guide analogue by two independent assessors.

Results: One-per-mil tumescent alone seems to show a good result in controlling intraoperative bleeding; no rebound bleeding was observed. However, the effectiveness of TA alone or in combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative bleeding cannot be concluded yet through this pilot study. There was no significant difference in 24-hour postoperative bleeding among all groups.

Conclusion: The full research should be conducted to provide more conclusive evidence regarding the efficacy of TA infiltration and its comparison with one-per-mil tumescent solution and combination of both agents.

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gina Yunita Joice
"
Latar Belakang: Madu telah digunakan sebagai makanan dan obat-obatan di banyak negara sejak dahulu kala. Untuk tujuan pengobatan, madu juga digunakan dalam perawatan luka kronis dan kompleks. Telah banyak studi yang menyatakan fungsi madu dan efek yang menguntungkan selama perawatan. Luka kronis adalah luka yang gagal untuk melalui fase penyembuhan normal secara tepat. Studi ini merupakan studi dengan hewan percobaan yang membandingkan dua madu lokal dan madu Manuka untuk menemukan madu lokal yang memiliki efek yang lebih baik dalam perawatan luka kronis
Metode: menggunakan 36 hewan percobaan tikus dengan strain Sprague Dawley yang dibuat perlukaan pada bagian kulit punggung dan diberi bakteri Pseudomonas Sp. hingga luka memiliki gambaran sebagai luka kronis dan luka dirawat dengan Manuka Honey, Madu Murni Nusantara dan Java Honey. Evaluasi makroskopis dilakukan pada hari 0, 3, 5, 7, 10 dan 13 pasca perawatan dan pada hari 5 dan 13 pasca perawatan, hewan dinekropsi. Parameter yang diamati, luas luka, presentasi jaringan nekrotik, slough dan granulasi dievaluasi dengan aplikasi Image J dan dibandingkan diantara tiga kelompok perawatan madu.
Hasil: secara statistik, didapatkan perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perawatan madu pada parameter luas luka pada hari 3 – hari 0 (p=0.021) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.009) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.03) dan presentasi slough pada hari 3 – hari 0 (p=0.025) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.059) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.008). Hari perawatan selanjutnya tidak didapatkan perbedaan signifikan pada semua parameter evaluasi makroskopis.

Kesimpulan: madu lokal dapat digunakan sebagai modalitas alternative pada perawatan luka kronis, seperti halnya Manuka Honey, namun dengan biaya rendah dan kemudahan mendapatkannya di pasaran.


Background: Honey has been used for food and medicine in many centuries and countries. For medicinal purposes, honey is used to treat chronic and complex wounds. There have been many reports stating its function and beneficial effect during treatment. A chronic wound is a wound that fails to progress through the normal phases of healing in an orderly and timely manner. This research is an experimental animal study comparing two local honey and Manuka Honey to find which has a better effect in chronic wound treatment

Methods: 36 rats, Sprague Dawley strain were had wounded at muscle based on the dorsum side and were given bacteria Pseudomonas Sp. until the wound has a chronic wound appearance and then treated with Manuka Honey, Madu Murni Nusantara, and Java Honey. A Macroscopic evaluation was observed on day 0, 3, 5, 7, 10, and 13 post wound treatment and on day 5 dan day 13 post wound treatment, the rats were euthanized. The observed parameters, wound area, presentation of necrotic tissue, slough and granulation were evaluated by Image J application and compared between the three honey treatment groups.
Result: Statistically, there was a significant difference between the three honey treatment groups on the wound area parameters on day 3 - day 0 (p = 0.021) with post-hoc analysis found a significant difference between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.009) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.03) and slough presentation on day 3 - day 0 (p = 0.025) with post-hoc analysis found significant differences between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.059) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.008). The next day of treatment there was no significant difference in all macroscopic evaluation parameters.

Conclusion: Local honey can be used as an alternative modality for wound chronic treatment the same as Manuka Honey, but with low cost and easily available in the market.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nandya Titania Putri
"Sumbing bibir dan lelangit adalah kelainan kongenital yang paling umum ditangani oleh bedah plastik. Teknik ortodonti dan orthofasial yang diaplikasikan untuk menangani masalah terkait lebarnya celah sumbing bibir dan lelangit bervariasi. Salah satu Teknik yang diaplikasikan di institusi kami adalah pemasangan nasoalveolar molding (NAM). Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan lebar celah alveolar dan palatum, dan perbedaan panjang celah alveolar pada cast intermaksila pada pasien dengan sumbing bibir dan lelangit satu sisi, sebelum dan sesudah NAM. Studi ini merupaka studi pre- post-, data diambil retrospektif. Seluruh cast intermaksila diambil dari pasien sumbing bibir dan lelangit satu sisi sebelum dan sesudah NAM di CCC Divisi Bedah Plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terdapat 21 pasang cast intermaksila diinklusikan. Terdapat hubungan signifikan pada ukuran lebar interalveolar dan interspina sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Serta terdapat hubungan signifikan pada panjang alveolar sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Hubungan signifikan menunjukkan lebar interalveolar dan interspina berkurang, dan dapat mencapai arah yang diinginkan dengan menggunakan NAM.

Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies treated by plastic surgeons. Pre and postsurgical orthodontic and orthofacial techniques which have been applied to overcome the problems associated with wide unilateral cleft lip and palate (UCLP) are varies. One of technique that we use in our institution is nasoalveolar molding (NAM). The aim of this study is to evaluate and compare the cleft width of alveolar and palate, and the length of alveolar gap on the intermaxillary cast from the patient with unilateral cleft lip and palate, before and after NAM. The study is a prepost- study, the data was collected retrospective. Intraoral maxillary cast taken from all unilateral cleft lip and palate patients before and after NAM at CCC Plastic Surgery Divison Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 21 pairs of intermaxillary casts included. The results showed that the interalveolar and interspina width before and after NAM was significance (p=0.00). And also the correlation between interalveolar length before and after NAM was significance (p=0.00). The significance correlation of the intermaxillary casts showed all the interalveolar and interspina width could be reduced by NAM application and achieved the desired direction using NAM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>