Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 259 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutabarat, Evangelina
"ABSTRAK
Tesis ini mengenai terwujudnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di
Indonesia untuk mencegah pembalakan liar dan merupakan implikasi dari
Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan oleh Uni Eropa berupa regulasi kayu Uni Eropa (European Union
Timber Regulation) 995/2010 yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kemitraan
Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor
Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang sudah
diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014. Inti dari Perjanjian
Kemitraan tersebut adalah kesepakatan terhadap kerangka hukum verifikasi
legalitas kayu (Timber Assurance Legal System) dari Negara mitra, Indonesia
yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bersifat wajib untuk
semua pemegang ijin industri primer pengolahan hasil hutan kayu dan industri
lanjutan pengolahan kayu, dan untuk eksportir kayu, diwajibkan untuk memenuhi
SVLK ini sampai mendapatkan Dokumen V-Legal dan khusus untuk ekspor ke
Uni Eropa harus mendapatkan lisensi FLEGT. Kesulitan yang dialami dalam
pemenuhan SVLK ini sangat dirasakan oleh industri lanjutan yang sebagian besar
adalah industri kecil dan menengah, khususnya dalam hal biaya. Biaya untuk
SVLK berkisar antara 60 juta sampai dengan 180 juta. Peraturan terkait Sistem
Verifikasi Legalitas kayu seharusnya diterapkan secara adil terhadap industri
primer dan industri lanjutan sehingga dapat mengakomodir daya saing eksportir
kayu Indonesia tanpa melanggar komitmen terhadap Perjanjian yang telah
disepakati. Mengutip pernyataan John Rawls, hukum dan lembaga tidak peduli
seberapa efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika
mereka tidak adil.

ABSTRACT
This theses elaborates the establishment of regulation of Timber Legal Assurance
System in Indonesia to prevent illegal logging as the implication of Voluntary
Partnership Agreement (VPA) of Forest Law Enforcement, Governance and Trade
between Indonesia and European Union (FLEGT), which has been ratified by
Presidential Decree No. 21 Year 2014. The substance of this VPA is an agreement
on the legal framework for Timber Legal Assurance System (TLAS) for Indonesia
called Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). This system is mandatory for all
license holders of primary timber industry, advanced timber industry, and timber
exporters who should meet this TLAS to get a V-Legal documents and get
FLEGT License to export timber products to EU. The difficulties raised in the
fulfillment of this TLAS is mostly happened to small and medium industries,
particularly in terms of cost. Costs for TLAS ranged from 60 million to 180
million rupiahs. TLAS should be applied fairly to the all timber exporters and
timber industry in Indonesia as to accommodate the competitiveness of
Indonesian timber exporters without violate a commitment to the VPA. As John
Rawls said, laws and institutions no matter how efficient and well-governed,
should be reformed or abolished if they are unjust.
"
Universitas Indonesia, 2016
T46277
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiwerti Sarahayu Lestari
"Indonesia dan Singapura telah menyepakati dua buah perjanjian penetapan garis batas laut teritorial di Selat Singapura, masing-masing disepakati pada tahun 1973 dan 2009. Proses delimitasi dalam kedua perjanjian tersebut dilakukan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 15 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 dan menggunakan metode delimitasi garis median termodifikasi. Kedua perjanjian tersebut memberikan kepastian mengenai wilayah laut territorial Indonesia dan Singapura di mana kedua negara memiliki kedaulatan. Adanya kepastian hukum mengenai laut teritorial Indonesia di Selat Singapura berujung pada munculnya implikasi-implikasi dalam aspek keamanan dan keselamatan Indonesia sebagai negara pantai, keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Singapura, dan lingkungan laut.

Indonesia and Singapore have agreed on two bilateral treaties regarding the delimitation of the territorial seas in the Strait of Singapore, each was agreed in the year 0f 1973 and 2009. The delimitation process in the two treaties were done in accordance with Article 15 of United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 and used the modified median line as the delimitation method. The two treaties gave legal certainty regarding the area of territorial seas of Indonesia and Singapore, in which both States have the ability to exercise sovereignty. The legal certainty on Indonesia's territorial sea in the Strait of Singapore leads to the implications in the aspects of security and safety of Indonesia as a coastal State, security and safety of navigation in the Strait of Malacca, and marine environment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S233
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Ade Christian
"Tulisan ini membahas keabsahan Agresi Militer Belanda I dan II (Periode 1947-1949) ke Indonesia dilihat dari sudut pandang Hukum Internasional. Aksi Militer Belanda I dan II terhadap Indonesia selalu disamarkan dengan penggunaan istilah Aksi Polisionil oleh Belanda. Pengertian Aksi Polisionil dalam hokum internasional ternyata berbeda dari Aksi Militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia. Melihat fakta-fakta dilapangan, Aksi Militer Belanda ternyata lebih tepat dikategorikan sebagai sebuah Agresi Militer ketimbang sebagai Aksi Polisionil. Sebagai sebuah Agresi Militer maka Aksi Militer Belanda tunduk pada rezim Hukum Humaniter Internasional. Ternyata pada beberapa peristiwa, ketentuan yang tercantum dalam Hukum Humaniter Internasional ini dilanggar oleh Belanda. Pelanggaran tersebut dapat membawa dampak pada dinyatakannya beberapa perbuatan Belanda semasa melakukan Agresi Militer sebagai sebuah kejahatan perang.

This paper discusses the legacy of the Dutch Military Agression I and II (Period 1947 to 1949) to Indonesia from the point of view of International Law. The Dutch Military Aggression against Indonesia had always been camouflaged by using the terminology of Police Action. The definition of Police Action in international law is, in fact, different than that of the Military Action which was undertaken by the Dutch against Indonesia. Given the facts in the field, the Dutch Military Action could be categorized as Military Aggression rather than Police Action. As a Military Aggression, the Dutch Military Action must obey the International Humanitarian Regime. On contrary, in some cases, the Dutch broke the principles contained in International Humanitarian Law. This law disorder has resulted in the declaration that what the Dutch had undertaken during their Military Aggression was a war crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S237
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Hadidjah
"Skripsi ini membahas mengenai aktivitas militer kapal dan pesawat terbang asing di zona ekonomi eksklusif berdasarkan hukum laut internasional. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan penekanan pada tinjauan hukum internasional dengan mempertimbangkan penerapan konkrit melalui praktik-praktik negara (state practices).
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivitas militer di zona ekonomi eksklusif tidak diatur secara jelas dalam Konvensi Hukum Laut dan memberikan ruang untuk interpretasi masing-masing negara. Lebih lanjutnya penelitian ini memberikan pemahaman atas praktik-praktik negara dan upaya-upaya internasional yang telah dibentuk dalam kerangka pencegahan dan penyelesaian sengketa.

The focus of this study is about military activities by government vessel and aircraft in the exclusive economic zone from an international law perspective. This study is a descriptive method with an emphasis on international law study by considering real application through state practices.
This study concludes that military activities in the exclusive economic zone is not explicitly regulated by the Law of the Sea Convention and hence provides room for states' own discretion. Furthermore this study gives comprehension on state practices and international efforts established in the spirit of conflict prevention and dispute resolution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S247
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agantaranansa Juanda
"ABSTRAK
Dalam rangka memastikan tindakan cepat dan efektif oleh PBB, negara anggota memberikan kepada Dewan Keamanan tanggung jawab utama dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional serta sepakat bahwa dalam menjalankan tugasnya terhadap tanggung jawab ini Dewan Keamanan bertindak atas nama negara anggota. Tujuan dari penelitian ini adalah membahas mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB sebagai organ utama PBB dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, termasuk pula kewenangan Dewan Keamanan dalam pemberian sanksi militer berupa sanksi zona larangan terbang. Penelitian ini kemudian akan membahas mengenai penerapan sanksi zona larangan terbang yang pernah dijatuhkan oleh Dewan Keamanan terhadap Irak dan Bosnia-Herzegovina, untuk kemudian membahas mengenai kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam pemberian sanksi zona larangan terbang terhadap Libya. Dalam penelitian ini, penerapan zona larangan terbang akan dikaitkan dengan ketentuan Piagam PBB, hukum humaniter internasional dan ketentuan Resolusi Dewan Keamanan yang terkait. Penerapan zona larangan terbang di Libya ini didasarkan pada Pasal 42 Piagam PBB dan pada pelaksanaannya diberikan otorisasi oleh Resolusi Dewan Keamanan 1973. Selain itu, penerapan zona larangan terbang menggunakan diambilnya tindakan militer oleh negara terhadap Libya, oleh karena itu hukum humaniter internasional mengatur pelaksanaan tindakan didalamnya.

ABSTRACT
In order to ensure prompt and effective action by the United Nations, its Members confer on the Security Council primary responsibility for the maintenance of international peace and security, and agree that in carrying out its duties under this responsibility the Security Council acts on their behalf. The aims of this research are to elaborate about UN Security Council's authority as a primary organ of UN in maintaining international peace and security and to emphasize about UN Security Council's authority in imposing military sanctions through no fly zone. This research will also emphasize about the implementation of no fly zones which were imposed to Iraq and Bosnia Herzegovina, for furthermore emphasizing about the UN Security Council's authority in imposing no fly zone to Libya. In this research, imposition of no fly zone will be analysed based on provisions under the UN Charter, international law of armed conflict and provisions under the related UN Security Council's resolutions. Imposition of no fly zone in Libya is based on article 42 of UN Charter and its enforcement is based on UN Security Council Resolution No. 1973. Moreover, The enforcement of a no-fly zone contemplates the use of military force by one state against Libya, and therefore, the law of armed conflict governs any measures taken to maintain them. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S320
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Maria Doan
"ABSTRAK
Era perdagangan bebas membawa negara-negara saling bekerja sama untuk mengambil manfaat liberalisasi yang sebesarnya. Salah satu caranya adalah dengan pembentukan kawasan perdagangan preferensial. Kawasan perdagangan preferensial adalah suatu kawasan yang terdiri dari dua atau lebih negara, dimana mereka saling bersepakat untuk menurunkan ataupun menghapuskan tarif dan hambatan non-tarif di antaranya. Dalam penulisan ini, akan dibahas mengenai pengaturan kawasan perdagangan preferensial di dalam WTO. Terdapat tiga cara pembentukan kawasan perdagangan preferensial menurut WTO, yaitu Pasal XXIV GATT 1947, Pasal V GATS 1994, dan ketentuan enabling clause. Ketiga ketentuan tersebut mengatur mengenai kesatuan pabean, kawasan perdagangan bebas, serta suatu interim agreement. Selanjutnya, juga akan dibahas mengenai perkembangan pembentukan kawasan perdagangan preferensial, khususnya yang dilakukan oleh negara berkembang, dengan mengambil contoh ASEAN. ASEAN saat ini memiliki enam kawasan perdagangan preferensial, yaitu lima kawasan perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Area, ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan ASEAN-India Free Trade Area) serta sebuah kemitraan ekonomi dengan Jepang (ASEAN-Japan Closer Economic Partnership). Terakhir, penulisan ini membahas mengenai implikasi keberlakuan perjanjian tersebut bagi Indonesia. Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa pembentukan kawasan perdagangan preferensial tidak selalu meningkatkan perdagangan internal para anggotanya. Dalam kaitannya dengan ASEAN, maka Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar, belum dapat memanfaatkan secara penuh keberadaan kawasan perdagangan preferensial tersebut. Bahkan, Indonesia harus meminimalisir dampak dari pelaksanaan kawasan perdagangan preferensial ASEAN yang justru menimbulkan kesulitan bagi industri dalam negeri.

ABSTRACT
The focus of this study is to examine the legal fondations of Preferential Trade Area. Preferential Trade Area is a group of countries in which they agreed to eliminate or reduce the tariff and non-tariff barriers among them. This study will discuss about the formation of Preferential Trade Areas within the WTO Rules. According to WTO, there are three legal fondations for the formation of Preferential Trade Area. They are Article XXIV of GATT 1947, Article V of GATS 1994, and the Enabling Clause. Those provisions define the Preferential Trade Area by Customs Union, Free Trade Area, and Interim Agrreement leading to the formation of Customs Union or Free Trade Area. Moreover, this study also address the recent development of the formation of Preferential Trade Area in some regions, particularly in South East Asia. Therefore, this study will examine the formation of ASEAN Free Trade Area, a free trade area formed by the Members of ASEAN. Since the economic co-operation of ASEAN also involve another countries, namely China, Republic of Korea, Japan, Australia and New Zealand, and India, this sudy will also examine their formation within the WTO Rules. This study will also discuss the implication of those Preferential Trade Areas in Indonesia. Finally, this study will show that there are a large number on the formation of Preferential Trade Area by developing countries. It also shown in this study that the formation of Preferential Trade Area does not always success to increase the internal trade between the members. In regard to Indonesia, the two Preferential Trade Areas which already in force, AFTA and ACFTA, do not significantly improve the Indonesian trade with ASEAN or China. On the other side, those preferential trade areas tend to cause serious injuries to the domestic industries, and therefore the Government is forced to take certain measures in order to minimal the impacts of those preferential trade areas. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Reny Rawasita
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S26210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subuh Rezki
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam menjatuhkan sanksi terhadap individu berdasarkan Bab VII Piagam PBB dan prinsip pertanggungjawaban individu yang diakui oleh hukum internasional. Kemudian, dalam perkembangannya, penerapan sanksi tersebut telah berdampak pada hak-hak individu yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional mengenai HAM. Sanksi larangan perjalanan dan pembekuan aset yang diterapkan terhadap individu-individu oleh negara-negara anggota PBB berdasarkan mandat Dewan Keamanan PBB dalam Piagam PBB telah menimbulkan kekhawatiran atas ketiadaan jaminan bahwa hak-hak individu yang dimiliki oleh individu yang dijatuhkan sanksi tersebut tidak dilanggar oleh Dewan Keamanan PBB. Contoh kasus adalah sanksi terhadap Qadhafi.

ABSTRACT
"
Universitas Indonesia, 2013
S54530
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Donni Taufiq
"Skripsi ini membahas tentang kemerdekaan Negara Kosovo ditinjau dari segi Hukum Internasional. Permasalahan hukum internasional yang akan dibahas adalah Pertama, mengenai hak penentuan nasib sendiri (right of self-determination), yang dalam skripsi ini akan ditunjukkan bahwa kemerdekaan Kosovo menunjukkan bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan pemegang hak penentuan nasib sendiri ini. Kedua, intervensi militer NATO yang dalam skripsi ini akan dibahas mengenai status hukumnya menurut ketentuan hokum internasional, dan Ketiga, adalah mengenai implikasi dari kemerdekaan Kosovo, yaitu terkait teori pengakuan. Kata Kunci : Hak Penentuan Nasib Sendiri, Intervensi Militer, Pengakuan.

The focus of this study is the Independence of Kosovo from International Law?s Perspective. The problems of international law that will be discussed are; First, Right of self-determination, which will be shown that Kosovo independence indicated that the nation of Kosovo-Albania was the holder of right of self-determination, Second, the military intervention of NATO, which will be discussed the legality of NATO?s military intervention according to the provisions in international law, and Third, the implication of Kosovo independence, which is related to the theory of Recognition in international law. Keywords: Right of Self-Determination, Military Intervention, Recognition."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S26251
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>