Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susy Sensusi
"ABSTRAK
Udang galah Macrobrachium rosenbergii (de man) merupakan jenis udang air tawar yang mempunyai ukuran besar dan bernilai ekonomi tinggi. Di Indonesia, peranan udang galah sebagai produk perikanan semakin bertambah, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh rasio seks udang galah terhadap fekunditas dan untuk mengetahui perilaku perkawinannya. Fekunditas udang galah dihitung secara volumetrik dengan menggunakan metode Tabung-U. Sedangkan perilaku perkawinan diamati secara visual. Dari hasil penelitian didapat bahwa fekunditas rata-rata yang dihasilkan udang galah dengan rasio seks 1:1 adalah 29.871 butir, udang galah dengan rasio seks 1:2 adalah 20.746 butir, dan udang galah dengan rasio seks 1:3 adalah 19.238 butir. Berdasarkan hasil analisis statistik, ternyata ada perbedaan yang nyata antara fekunditas rata-rata udang galah dengan rasio seks 1:1 dan 1:3 serta udang galah dengan rasio seks 1:2 dan 1:3. Udang galah dengan rasio seks 1:1, 1:2 dan 1:3, diakhir penelitian menghasilkan jumlah telur rata-rata per m2 berturut-turut 93.347 butir, 97.250 butir dan 120.234 butir. Pengamatan perilaku perkawinan udang galah meliputi proses ganti kulit, proses kopulasi dan proses pengeluaran telur. Proses ganti kulit dimulai dengan robeknya membran di antara kepala-dada dan perut. Kemudian bagian kepala-dada keluar dari kulit lama diikuti bagian perut. Proses kopulasi dimulai dengan mendekatnya induk jantan pada induk betina , selanjutnya induk jantan membalikkan tubuh induk betina hingga bagian ventral kepala-dada keduanya saling berhadapan. Selama kopulasi, keadaan ini tetap dipertahankan. Sewaktu proses pengeluaran telur berlangsung, induk bertina berdiri di atas kaki jalannya, kaki renang bergerak dengan gerakan mendayung, ekor menekuk ke arah dalam dan luar serta tubuhnya bergerak miring ke kiri dan kanan. Telur mengalir dari lubang genitalia ke ruang pengeraman."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiarti Sukotjo
"ABSTRAK
Di perairan tawar Indonesia terdapat 38 jenis udang air tawar, tetapi yang mendapat perhatian besar hingga kini baru udang galah, Macrobrachium rosenbergii (de Man). Udang galah ini tidak hanya untuk konsumsi dalam negeri saja, melainkan juga untuk diekspor. Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda, yaitu Artemia salina dan Brachionus plicatilis, dan gabungan A. salina dan B. plicatilis terhadap produksi benih udang galah. Produksi benih dilihat dengan menghitung banyaknya larva yang dapat bertahan hidup sampai menjadi benih. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pakan alami yang murah, mudah didapat, dan dapat menggantikan A. salina. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa produksi benih rata-rata yang dihasilkan dari larva yang diberi pakan A. salina yaitu 1203 ekor/tangki, sedangkan larva yang diberi pakan B. plicatilis ialah 13 ekor/tangki dan larva yang diberi pakan gabungan A. salina dan B. plicatilis berkisar antara 71-762 ekor/tangki. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pakan alami yang diberikan baik B. plicatilis maupun gabungan A. salina dan B. plicatilis tidak dapat menggantikan A. salina."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canberra: Australian Government Publishing Service, 1979
639 ECO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwani Soeharso Soejoko
"ABSTRAK
Sampel kutikula dibuat dari udang galah yang dipelihara dalam akuarium, dengan umur bervariasi dari saat setelah molting sampai dengan molting berikutnya.
Spektra infra merah kutikula yang dipanaskan dengan suhu 600°C dan 900°C selama 6 jam, dan diukur dengan jangkauan frekuensi 4000 - 400 em-x, memberikan informasi bahwa pertumbuhan kristal apatit berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula kristal apatit tumbuh cepat, dalam waktu pendek, kemudian diikuti oleh pertumbuhan yang lebih lambat dalam waktu yang lebih lama, sampai akhirnya berhenti.
Hasil difraksi sinar X memperkuat hasil spektrometer infra merah. Diperoleh pula informasi bahwa kandungan kalsium fosfat dalam kutikula didominasi oleh ACP, termasuk dalam kutikula moltinng.
Spektrometer RSE (Resonansi Spin Elektron) digunakan khusus untuk mengamati apatit karbonat. Pertumbuhan apatit karbonat dalam kutikula sejalan dengan pertumbuhan kristal apatit. Meskipun kutikula mengandung banyak ACP, apatit karbonat, khususnya tipe A ikut dicerna dan dikeluarkan dari kutikula pada saat persiapan molting.

ABSTRACT
The samples of giant prawns cuticle were made with the prawn age variations during one molting cycle.
Infrared spectra of the cuticle after heating with temperature 600°C and 900°C for 6 hours, and measured with the frequency range of 4000 - 400 cm-l, showed that the growth of crystals proceeded into two steps. In the first period, the crystals were produced with high rate, within a few days C4-5 days], then followed by lower rate production for longer period, and finally it stopped.
The X-ray diffraction investigation supported the results of infrared spectroscopy. The X-ray diffraction patterns also informed that the calcium phosphate in the cuticle was dominated by ACP, including in the molting cuticle.
The carbonate apatite was studied by using Electron Spin Resonance spectrometer. The growth of the carbonate apatite crystals followed the same way as the crystals growth. Although the cuticle contains high amount of ACP, however, the carbonate apatite especially type A, was also digested and some of them was reabsorbed out of the cuticle during the molting preparation.
"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1994
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Redjeki
"Penelitian tentang pengaruh ablasi mat a uniia^teral dan bila'keral 'telah dilakukan barhadap stadiun juvonil udang Galah (MacrobrachiuMi rosenbergii do Man). Tujuan penoli'tian inx adalah untuk nongotiahui pejrbodaan ponga— ruh ablasi mata unilateral dan bilateral terhadap laju pertumbuhan dan persentase nortalitas stadiun juvenil udang Galah. Metoda penelitian yang dipakai adalah metoda eksperimental, nenggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan ulangan 9 kali. Perlakuan yang diberikan yaitu ablasi mata unilateral (Al) dan bilateral (A2) serta tanpa ablasi mata (TA). Ablasi mata dilakukan dengan memecah bola mata dan memijat keluar seluruh isi bola mata. Parameter yang diukur adalah laju pertumbuh an berdasarkan pertambahan berat rata-rata (gram) dan panjarig rata—rata (cm), serta persentase mortalitas. ^ji Tukey dengan taraf nyata o. ~ 0,05 menunjukkan adanya laju pertumbuhan berat yang berbeda nyata antara ke-3 perlakuan. Sedangkan hasil uji Tukey terhadap laju pertumbuhan panjang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan TA-Al dan TA—A2, serta tidak ada per bedaan nyata antara perlakuan A1-A2. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Ablasi mata pada stadium juvenil udang Galah meningkatkan laju pertumbuhan; (2) Stadium juvenil udang Galah yang diablasi mata bilateral nenunjukkan peningkatan laju pertumbuhan dan persentase nortalitas yang lebih besar dibandingkan dengan udang yang diablasi nata unilateral dan udang yang tanpa ablasi nata."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwani Soeharso Soejoko
"ABSTRAK
Proses fisis klasifikasi kutikula udang galah dan udang windu diselidiki dengan menggunakan spectrometer infra merah., difraksi sinar X, dan resonansi spin elektron. Sampel kutikula dibuat dari udang dengan umur yang bervariasi, selama satu siklus molting.
Spektra infra merah dan profit difraksi sinar X digunakan untuk mengenali kehadiran kalsium karbonat dan kalsium fosfat Dalam kutikula terdapat kalsium karbonat dalam bentuk kalsit, dan kalsium fosfat dalam face ACP (amorphous calcium phosphate ), OCP (octacalcium phosphate ), dan apatit Pemanasan sampel dengan suhu 600"C dan 900°C dilakukan untuk mendeteksi OCP secara tidak langsung.
Ada dua cara klasifikasi. Metoda pertama mengakibatkan kW :Dada grup I mengandung apatit lebih tinggi dibanding dengan kutikula grup II yang klasifikasinya berlangsung dengan metoda kedua. Pada periode segera setelah molting, disamping material amorf, juga dibentuk material kristalin. Umumnya laju pertumbuhan apatit dalam kutikula udang galah lebih lambat dibanding dengan dalam kutikula udang windu.
Dalam kutikula udang galah, kalsit dan ACP tumbuh dominan, dan apatit tumbuh dengan ukuran kecil Kutikula molting selalu berisi apatit lebih rendah dibanding dengan kutikula non molting Berbeda dengan kutikula udang galah, apatit tumbuh lebih dominan dibanding dengan kalsit dalam kutikula udang windu. Kandungan ACP tinggi dalam kutikula non molting, tetapi tidak demikian dalam bra-Lila molting. Kutikula molting selalu berisi apatit lebih banyak dengan ukuran lebih tinggi dibanding dengan kutikula non molting.

ABSTRACT
Physical calcification process of giant and tiger prawn cuticle were investigated by using infrared, X ray diffraction, and electron spin resonance spectroscopy. Samples were prepared from cuticle of the prawns with age variation within one moulting cycle.
Infrared spectra and X my diffraction profiles were used to identify the presence of calcium carbonate and calcium phosphate . The cuticle contains calcium carbonate in the form of calcite, and calcium phosphates in the form of ACP (amorphous calcium phosphate ), 0CP (octacalcium phosphate), and apatites. Undirect identification of OCP was performed by heating the samples at temperature 500°C and 900°C. Electron spin resonance (ESR) spectroscopy was used especially for detecting carbonates in calcites and apatites.
There are two methods of calcification. The first method classify the group I cuticles with higher amount of apatites compare with the second method in the group II cuticles. In the period just after moulting, the crystalline materials are formed besides the amorphous materials in the two groups of cuticles.In general the rate of apatite growth in the giant prawn cuticle is lower than in the tiger prawn cuticle.
In the giant prawn cuticle, calcites and ACP exist dominantly, and apatites form in small size. The moulting cuticle always contains less of apatites than the non moulting cuticle. Differently happened in the tiger prawn cuticle, apatites dominate more than calcites. The amount of ACP is high in the non moulting cuticle, but not in the moulting cuticle. The moulting cuticle always contains much more apatites and in bigger size than in the non moulting cuticle.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library