Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Efi Laila Kholis
Depok: Solusi, 2010
345.023 EFI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Untsa Humaira Awliya Asyadda
"Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dapat merusak moral bangsa dan menurunkan kualitas hidup masyarakat serta negara. Diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, salah satunya melalui penjatuhan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Pidana tambahan ditujukan tidak hanya untuk menghukum pelaku korupsi, tetapi juga mencegah pelaku mengulangi perbuatan korupsi di kemudian hari. Salah satunya, dengan cara merampas seluruh hasil korupsi melalui pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Seringkali terjadi kecurangan oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti ini, salah satunya terkait dengan penyitaan seluruh harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk melakukan tinjauan hukum terhadap pengaturan terkait penyitaan dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti untuk ketepatan pengaturan terkait penyitaan sebagai bagian dari eksekusi pembayaran uang pengganti. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal, yakni penelitian dilakukan melalui kegiatan menganalisis aturan hukum, doktrin hukum, dan prinsip hukum yang berlaku dan hasil penelitian akan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyitaan harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti tidak beralasan hukum yang jelas dan pasti, karena pengaturannya berbenturan dengan pengaturan terkait penyitaan di dalam KUHAP. Selain itu, penyitaan tersebut tidak memiliki urgensi dalam pelaksanaannya dan justru dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang menyebabkan ketidakadilan bagi Terpidana. Dengan demikian, pada akhir penelitian penulis memberikan saran agar sebaiknya pengaturan terkait penyitaan harta benda milik Terpidana dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti dihapuskan.

Corruption is an extraordinary crime that can damage the moral fabric of a nation and lower the quality of life for its people and country. Efforts to prevent and eradicate corruption are necessary, one of which is through the imposition of additional penalties on perpetrators of corruption. Additional penalties are intended not only to punish corrupt offenders but also to prevent them from repeating acts of corruption in the future. One of these measures is the confiscation of all proceeds of corruption through the additional penalty of replacement money payments. However, irregularities often occur among law enforcement officials in the execution of replacement money payments, particularly regarding the confiscation of all assets owned by convicted individuals as collateral for repayment. Therefore, the author considers it necessary to conduct a legal review of the regulations governing asset confiscation within the mechanism of executing replacement money payments, to ensure accurate regulations on this matter. This study employs a doctrinal method, analyzing legal rules, legal doctrines, and applicable legal principles, with the findings presented descriptively. The results of the research indicate that the confiscation of assets owned by convicted individuals as collateral for replacement money payments lacks clear and definitive legal justification, as its regulations overlap with those governing confiscation under the Indonesian Criminal Procedure Code (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana - KUHAP). Moreover, such confiscation lack urgency in their implementation and raise concerns about potential abuse of authority by law enforcement, leading to injustice for the convicted individuals. Therefore, this study concludes with a recommendation to abolish regulations concerning the confiscation of assets owned by convicted individuals in the mechanism for executing replacement money payments. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridovi Kemal
"Pidana tambahan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi pada Bank BUMN Persero selama ini belum berjalan secara maksimal, karena dalam hal terpidana tidak dapat membayar pidana uang pengganti, terpidana dimungkinkan memilih opsi berupa pidana penjara tambahan sebagai alternatif dari uang pengganti tersebut. Penelitian ini menganalisa kerugian Negara atau kerugian BUMN Persero menurut hukum keuangan publik dan memberikan solusi agar pengembalian kerugian melalui pidana uang pengganti tersebut dapat efektif. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif doktrinal, dengan pendekatan kasus untuk menghasilkan output berupa pemecahan masalah secara preskriptif evaluatif.
Berdasarkan metode yang digunakan, didapati bahwa terdapat dualisme dalam mengidentifikasi kerugian negara atau kerugian BUMN Persero pasca putusan pengadilan perkara pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu apakah berdasarkan dari sisa kewajiban yang belum dibayar atau total seluruh kerugian, Selain itu agar kerugian tersebut tidak selalu diklasifikasikan sebagai kerugian Negara yang berujung pada perkara tindak pidana korupsi, penerapan prinsip prudential banking, dan Business Judgement Rule oleh pihak BUMN Persero mutlak harus diterapkan. Uang pengganti dapat diefektifkan melalui mekanisme Tuntutan Ganti Rugi kerugian negara dan Gugatan Perdata kerugian Bank BUMN Persero, pengembalian kerugian dimaksud dapat mengadopsi konsep pemulihan kerugian pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2016 tentang Tuntutan Ganti Kerugian Negara secara mutatis mutandis.

An additional penalty of compensation in State Owned Enterprises corruption case has not been maximally executed, it happened because if the convict can not pay the additional penalty of compensation, they might choose additional imprisonment as another alternative. This study analyzes the State`s or State Owned Bank Enterprise`s losses according to the public financial law and then provides solution so that the reversion of the State`s or State Owned Bank Enterprise`s losses could get an effective execution. The method used in this study is normative juridical doctrinal , with case approach to bring a problem solving which is evaluative prescriptively as an output.
Based on the method used, it is found that there was a dualismin defining state`s loss or State Owned Bank Enterprise`s losses after a court verdict, which its judgement define by the outstanding of its losses or by total state`s loss. Besides, in order that the losses are not always considered as a state`s losses which will lead to the corruption case, the implementation of prudential banking and Business Judgment Rule principles must be implemented. The additional penalty of compensation can be effective through the mechanism of Recovery Law Suit state`s losses or Civil Law Suit State Owned Bank Enterprise`s losses , then the recovery procedure can adopt the concept in Government Regulation No. 38 of 2016 regarding State Recovery Law Suit as mutatis mutandis basis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murpraptono Adhi Sulantoro
"Tindak pidana korupsi saat ini telah bertransformasi dari delik formil menjadi delik materiil setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan nomor 25/PUU-XIV/2016. Beberapa ahli menilai putusan ini lebih memberikan kepastian hukum karena kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan, pelaksanaan, dan permasalahan dalam penentuan adanya kerugian negara dan pelaksanaan penyelesaian kerugian keuangan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Penelitian yang telah dilakukan menjelaskan, terdapat persinggungan dalam proses penghitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi antara hukum administratif dan hukum acara pidana. hal tersebut memunculkan perbedaan pendapat perihal institusi yang berwenang untuk menentukan kerugian negara. Tata cara penghitungan kerugian negara dilakukan dengan pendekatan audit investigatif. Namun demikian, apakah standar dan teori yang mendasari penghitungan kerugian negara telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Selain untuk memenuhi unsur dari delik materiil, penghitungan kerugian negara juga memiliki arti penting untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, baik itu pidana penjara maupun pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagai upaya pemulihan keuangan negara.

At present, corruption has been transformed from a formal criminal to a material criminal after the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued sentence Number 25/PUU-XIV/2016. Some experts consider this decision to provide more legal certainty because state losses as a result of corruption must be proven. This research generally aims to provide an overview of the regulation, implementation, and problems in determining the existence of state losses and implementing the settlement of state financial losses. The method used in this research is a form of normative research with a Statue Approach and a Conceptual Approach. The research that has been carried out explains that there are intersections in the process of calculating state losses in corruption cases between administrative law and criminal procedural law. This raises differences of opinion regarding the institution authorized to determine state losses. The procedure for calculating state losses is carried out using an investigative audit approach. However, whether the standards and theories underlying the calculation of state losses are following the applicable procedural law. In addition to fulfilling the elements of material offenses, the calculation of state losses also has an important meaning to guide judges in imposing sentences on defendants, both imprisonment and an additional payment of compensation as an effort to recover state finances."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lazuardi Adnan
"Sejak Indonesia mengenal dan memberlakukan konsep perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, akan tetapi perbuatan yang melanggar asas kepatutan, asas ketelitian dan asas kehati-hatian juga termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Itu karena, konsep onrechtmatige daad lebih luas dari pada konsep onwetmatige daad. Sekitar tahun 2010, ditemukan bahwa perbuatan tidak memenuhi isi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi dijadikan dasar gugatan perbuatan melawan hukum, padahal putusan bukan sumber hukum utama bagi negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia. oleh karena itu dalam penulisan ini akan coba dibahas lebih lanjut mengenai pengaturan pengajuan gugatan berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, khususnya dalam hal tidak melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terkait pemenuhan pembayaran uang pengganti.

Since Indonesia has known and enforced the concept of tort, an act regarded as tort is not only actions contrary to the law, but an act that violates the principles of propriety, the principles of thoroughness and cautionary principle also included in tort. This is due to the fact that the onrechtmatige daad concept is wider than onwetmatige daad concept. Around 2010, it was found that the act of not fulfilling the decision of court which has binding power associated for compensatory money in cases of corruption becomes the basis of a tort lawsuit, where the problem is that court verdict is not a main legal source for countries which adopt civil law such as Indonesia. Therefore, this paper will try to discuss more on regulation regarding lawsuit filing pursuant to Article 1365 Civil Code, particularly in terms of not implementing court decisions with binding power related to the fulfillment of payment of compensation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Gafur Sangadji
"Skripsi ini membahas pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung pasca uji materiil Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di Mahkamah Agung dan uji materiil Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi yang diajukan narapidana korupsi.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk menganalisis pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung pasca uji materiil di Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pengetatan remisi narapidana korupsi yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012 oleh narapidana korupsi dinilai bertentangan dengan hak-hak narapidana yang diatur dalam UU Pemasyarakatan. Setelah langkah uji materiil dilakukan narapidana korupsi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditolak, maka pelaksanaan pengetatan remisi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung dilakukan
berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dari 366 narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin, hanya 36 orang narapidana yang mendapatkan remisi. Sebanyak 30 orang mendapatkan remisi sebelum keluarnya PP 99 Tahun
2012 sehingga mereka tidak dikenai pengetatan syarat remisi. Sedangkan hanya 6 orang yang mendapatkan remisi pasca pengetatan yang diatur dalam PP. 99 Tahun 2012 yaitu memenuhi syarat menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti

This thesis discuss the implementation of the tightening of remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison after material review in the Supreme Court against Government Regulation Number 99 Year 2012 on the Second
Amendment of Government Regulation Number 32 Year 1999 on Conditions and Mechanisms for the Implementation of the Rights of Prisoners (PP 99 Year 2012) and another material review submitted by corruption prisoners in the
Constitutional Court against Law Number 12 Year 19995 on Correction (Correction Law). The nature of the research is normative juridical with qualitative approve to analyze the implementation of tightening remission for
remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison after those material reviews in the Supreme Court and the Constitutional Court. The result of this research shows that in the view of corruption prisoners the policy to tighten remission for corruption prisoners regulated in PP 99 Year 2012 contradicts with the rights of the prisoners regulated in the Correction Law. After both material reviews in the Supreme Court and in the Constitutional Court has failed, the policy of the tightening remission for corruption prisoners at Sukamiskin Prison in Bandung is implemented according to the applied rules and regulations. Out of 366 corruption prisoners at Sukamiskin Prison, there are only 36 prisoners who have received remission. However, 30 prisoners received the remission before PP 99 Year 2012 being issued so that the tightening remission policy was not applied for them. Meanwhile, only 6 prisoners were able to receive remission after the tightening policy in PP 99 Year 2012 was implemented, because they were
qualified as justice collaborators and has paid fine penalties as well as fine replacements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Anindya
"Tesis ini membahas tentang tanggung jawab pribadi Direksi dalam tindak pidana korupsi, serta implikasi hukum atas terbitnya putusan pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan kepada Direksi terpidana korupsi suatu Perseroan terhadap piutang Perseroan kepada Negara yang timbul dari kerjasama Perseroan dengan Pemerintah. Pidana tambahan uang pengganti merupakan sanksi pidana tambahan yang dikenakan kepada terpidana korupsi dengan tujuan untuk mengembalikan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sekaligus sebagai upaya pemulihan kerugian negara. Adanya indikasi terjadinya pencatatan ganda (double counting) pada akun piutang Pemerintah, yaitu yang berasal dari piutang uang pengganti pada laporan keuangan Kejaksaan dengan piutang negara pada Perseroan yang dicatatkan oleh Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) menimbulkan suatu pertanyaan apakah pembebanan uang pengganti yang merupakan bentuk tanggung jawab pribadi Direksi atas kerugian negara dapat sekaligus menjadi bentuk tanggung jawab perseroan kepada negara yang timbul dari hubungan perdata antara Perseroan dengan Pemerintah. Disisi lain, pencatatan ganda akan menimbulkan ketidakadilan, karna Pemerintah menerima pembayaran dua kali atas suatu transaksi yang sama. Penulisan tesis ini menggunakan metode yuridis normative dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur, kemudian diolah dan dianalisa dengan metode kualitatif dan analitis deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti sebagai pertanggungjawaban pribadi seorang Direksi terpidana korupsi memang tidak dapat serta merta terkonversi menjadi tanggung jawab perseroan kepada Negara, namun demikian peranan pidana tambahan uang pengganti sebagai salah satu bentuk dari asset recovery dalam pertanggungjawaban pidana, membuat negara sebagai korban dari tindak pidana korupsi pada transaksi perdata dengan PT TPPI terpulihkan kerugiannya melalui penjatuhan pidana tambahan uang pengganti.

This thesis examines the personal liability of directors in corruption offenses and the legal implications of the additional penalty of compensation imposed on convicted corporate directors for the company's debt to the state arising from a coperation agreement between the company and the government. The additional penalty of compensation is an additional criminal sanction imposed on convicted corruptors. It aims to return assets obtained from the crime and recover state losses. The indication of double-counting in the government's receivables account, namely from the compensation receivable in the Prosecutor's Office's financial statements and the state debt to the company recorded by the Ministry of Finance as the General Treasurer of the State (BUN), raises the question of whether the imposition of the additional penalty of compensation, which is a form of personal liability of the director for state losses, can also be a form of corporate liability to the state arising from the civil relationship between the company and the government. On the other hand, double counting will create injustice, as the government receives payment twice for the same transaction. This thesis uses a normative juridical method with an approach to statutory regulations. Data was collected through a literature review, processed and analyzed using qualitative and descriptive-analytical methods. The research concludes that the imposition of the additional penalty of compensation as personal responsibility for a convicted corporate director cannot be automatically converted into corporate liability to the state. However, the role of the additional penalty of compensation as a form of asset recovery in criminal liability allows the state, as a victim of corruption in civil transactions with PT TPPI, to recover its losses through the imposition of the additional penalty of compensation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library