Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hastrina Mailani
"Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang tersering, sebagian dapat bersifat agresif dengan kemungkinan rekurensi yang lebih tinggi. Diperlukan parameter klinikopatologik yang dapat memprediksi terjadinya rekurensi dan progression meningioma sehingga dapat dilakukan strategi tatalaksana yang lebih agresif dan follow-up ketat. Penilaian ekspresi Ki-67 pada meningioma diharapkan dapat menjadi salah satu prediktor rekurensi dan progression tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression dengan yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai meningioma dengan pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dari tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression serta yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67.Didapatkan 34 kasus meningioma yang terdiri atas 17 kasus dengan rekurensi dan progression serta 17 kasus tanpa rekurensi dan progression. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi dan progression (2,1%)  lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami rekurensi dan progression (0,5%). Ekspresi Ki-67 berkaitan dengan kejadian rekurensi dan progession meningioma dengan adjusted odds ratio sebesar 4,2. Nilai titik potong yang direkomendasikan adalah sebesar 0,95%. Ekspresi Ki-67 merupakan faktor prediksi kejadian rekurensi dan progression pada meningioma.

Meningioma represents the most frequent primary intracranial tumor, and some subtypes may demonstrate aggressive characteristics with a correspondingly elevated risk of recurrence andprogression. To predict the likelihood of recurrence and progression, clinical and pathological parameters are essential. More aggressive treatment strategies and strict follow-up can be implemented using these parameters. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence and progression. This study aims to evaluate Ki-67 expression in meningioma with recurrence and progression and those without recurrence and progression. This was an analytic case control study including specimens diagnosed as meningioma recorded in archives of Anatomical Pathology Departemen, FMUI/CMH from January 1st. 2019 to December 31th, 2021. Consecutive sampling method was used. Ki-67 immunostaining was conducted using anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Thirty-four cases were selected, consisted of 17 cases with recurrence and progression and 17 cases without recurrence and progression. Median expression of Ki-67 in meningioma with recurrence and progression (2,1%) was higher than median expression of Ki-67 in meningioma without recurrence and progression (0,5%). Ki-67 expression was associated with recurrence and progression in meningioma (aOR=4,2) Recommended cut off value to predict recurrence and progession in this study was  0,95%. Ki-67 expresssion was independent factor for recurrence and progession of meningioma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loho, Ditha Adriana
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan kanker yang menduduki peringkat kedelapan untuk angka kejadian dan peringkat ketujuh untuk mortalitas pada perempuan di seluruh dunia. Mayoritas pasien akan mengalami rekurensi, terutama pada tiga tahun pertama setelah terapi. Terdapat beragam faktor prognostik klinikopatologis yang mempengaruhi luaran dan rekurensi kanker ovarium, namun hasil penelitian yang telah ada menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh faktor-faktor tersebut.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kejadian rekurensi 3 tahun pasien kanker ovarium epitelial di RSCM dan faktor klinikopatologis yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif pada 102 pasien yang menjalani terapi untuk kanker ovarium epitelial di RSCM. Dilakukan pemantauan hingga 3 tahun pasca terapi atau hingga terjadi rekurensi yang didapatkan secara klinis atau radiologis. Dilakukan analisis kesintasan terhadap faktor klinikopatologis yaitu usia, stadium, keberhasilan sitoreduksi, sitologi asites, histopatologi, derajat diferensiasi dan keterlibatan KGB. Faktor yang didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian rekurensi kemudian dianalisis dengan metode regresi Cox.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa rekurensi kanker ovarium epitelial di RSCM pada 1 tahun adalah 17,7%, pada 2 tahun adalah 30,6%, dan pada 3 tahun adalah 36,3%. Median waktu hingga rekurensi adalah 94 minggu. Analisis kesintasan menunjukkan bahwa usia, histopatologi dan derajat diferensiasi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian rekurensi 3 tahun. Di sisi lain, didapatkan bahwa stadium berdasarkan FIGO, keberhasilan operasi sitoreduksi, sitologi asites dan keterlibatan KGB memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian rekurensi 3 tahun. Setelah dilakukan analisis multivariat, keterlibatan KGB ditemukan sebagai faktor prognostik terhadap kejadian rekurensi 3 tahun pada kanker ovarium epitelial dengan hazard ratio 3,066 (IK 95% 1,186-7,923).
Kesimpulan: Angka kejadian rekurensi 3 tahun untuk kanker ovarium epitelial adalah 36,3%. Faktor klinikopatologis yang mempengaruhi rekurensi adalah stadium, keberhasilan operasi sitoreduksi, sitologi asites, dan keterlibatan KGB.

Background: Ovarian cancer is a cancer that ranks eighth for the incidence and ranks seventh for mortality in women around the world. The majority of patients will experience recurrence, especially in the first three years after therapy. There are a variety of clinopathologic prognostic factors that influence the outcome and recurrence of ovarian cancer, but the results of existing studies show inconsistent results regarding the influence of these factors.
Objective: The purpose of this study was to study the 3-year recurrence rate of epithelial ovarian cancer patients in Cipto Mangunkusumo Hospital and the influencing clinicopathologic factors.
Methods: This study was a retrospective cohort study of 102 patients undergoing treatment for epithelial ovarian cancer in the RSCM. Monitoring is carried out up to 3 years after therapy or until recurrences are obtained clinically or radiologically. Survival analysis of the clinicopathologic factors including age, stage, success of cytoreduction, ascites cytology, histopathology, degree of differentiation and involvement of lymph node was performed. The factors which were found to have a significant relationship with the recurrence event were then analyzed using the Cox regression method.
Results: In this study it was found that the recurrence of epithelial ovarian cancer in the RSCM at 1 year was 17.7%, at 2 years was 30.6%, and at 3 years was 36.3%. The median time to recurrence is 94 weeks. Survival analysis showed that age, histopathology and degree of differentiation did not have a significant relationship with the incidence of recurrence at 3 years. Conversely, it was found that stage based on FIGO, successful cytoreductive surgery, ascites cytology and lymph node involvement had a significant relationship with the incidence of recurrence at 3 years. After multivariate analysis, lymph node involvement was found as a prognostic factor for the incidence of 3-year recurrence in epithelial ovarian cancer with a hazard ratio of 3.066 (95% CI 1.186-7.923).
Conclusion: The 3-year recurrence rate for epithelial ovarian cancer is 36.3%. Clinicopathologic factors that influence recurrence are stage, success of cytoreductive surgery, ascites cytology, and lymph node involvement.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Sari
"Adenoma hipofisis merupakan salah satu tumor primer intrakranial tersering yang sebagian dapat bersifat agresif dengan risiko rekurensi/regrowth yang lebih tinggi sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup pasien. Identifikasi awal adenoma hipofisis yang agresif dapat membantu menentukan strategi tatalaksana dan follow-up untuk mencegah terjadinya rekurensi/regrowth. Penilaian aktivitas proliferasi dengan ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis diharapkan dapat memprediksi terjadinya rekurensi/regrowth. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada adenoma hipofisis yang mengalami rekurensi/regrowth dan yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan desain potong lintang. Sampel berupa kasus adenoma hipofisis di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2016-2020. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia Ki-67 dan penilaian persentase sel tumor yang terpulas positif. Analisis statistik dilakukan dengan uji komparatif numerik di antara dua kelompok tersebut. Nilai titik potong untuk prediksi rekurensi/regrowth ditentukan dengan analisis kurva receiving operator characteristic. Didapatkan 46 kasus adenoma hipofisis yang terdiri atas 23 kasus dengan rekurensi/regrowth dan 23 kasus tanpa rekurensi/regrowth. Rerata ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi/regrowth lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami rekurensi/regrowth. (1,58% vs 0,88%, p=0,003). Nilai titik potong untuk yang direkomendasikan untuk prediksi rekurensi/regrowth sebesar 1,37%. Ekspresi Ki-67 yang lebih tinggi berhubungan dengan rekurensi/regrowth pada adenoma hipofisis.

Pituitary adenoma is one of the most common primary intracranial tumor that some can behave aggresively with higher reccurrence/regrowth risk and have bad impact to patient’s quality of life. Early identification of aggressive pituitary adenoma can help for deciding aggressive treatment strategies and strict follow-up to prevent recurrence/regrowth. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence/regrowth. This study aims to evaluate Ki-67 expression in pituitary adenoma with recurrence/regrowth and without recurrence/regrowth. This is an analytic retrospective study with cross sectional study design including specimens diagnosed as pituitary adenoma recorded in archives of Anatomical Pathology Departement FMUI/CMH from 2016-2020. Ki-67 immunostaining was conducted and Ki-67 expression in percentage was evaluated. Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Cut-off point to predict recurrence/regrowth was determined using receiving operator charasteristic curve analysis. Forty-six cases were selected, consisted of 23 cases with recurrence/regrowth and 23 cases without recurrence/regrowth. There was higher expression of Ki-67 in adenoma with recurrence/regrowth than adenoma without recurrence/regrowth (1,58% vs 0,88%, p=0,03). Recommended cut off value to predict recurrence/regrowth in this study was 1,37%. Higher Ki-67 expression was associated with recurrence/regrowth in pituitary adenoma."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkholisa Putri Wulandari
"Latar belakang: Solid/multicystic ameloblastoma merupakan tipe yang paling sering terjadi dari semua tipe ameloblastoma, lalu diikuti oleh tipe unicystic ameloblastoma. Sampai saat ini manajemen yang tepat dari tumor ini masih kontroversial. Diperlukan analisis lebih lanjut serta data terbaru mengenai perbandingan tingkat keberhasilan berbagai terapi bedah dari solid/multicystic dan unicystic ameloblastoma yang dapat dilihat dari tingkat rekurensi tumor pasca terapi serta follow-up jangka panjang pasca terapi.
Tujuan: Mengevaluasi perbandingan tingkat keberhasilan berbagai tindakan terapi bedah pada solid/multicystic dan unicystic ameloblastoma.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode systematic review dengan pedoman penyusunan PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Pencarian studi dilakukan menggunakan dua electronic database, yakni Scopus dan PubMed dengan menggunakan kombinasi kata kunci yang sudah ditentukan. Pencarian studi dilakukan untuk menemukan studi-studi yang membahas mengenai terapi bedah pada unicystic ameloblastoma dan solid/multicystic ameloblastoma dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.
Hasil penelitian: Pencarian studi dengan kedua electronic database memperoleh 643 studi, kemudian dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Diperoleh 11 studi untuk dilakukan analisis. Terdapat terapi yang berbeda-beda dalam penanganan solid/multicystic ameloblastoma dan unicystic ameloblastoma pada seluruh studi yang dapat dibedakan menjadi terapi radikal dan konservatif. Terapi untuk solid/multicystic ameloblastoma secara radikal dalam studi yang ditemukan, dilakukan pada 185 kasus dengan 16 kasus mengalami rekurensi setelah diberikan terapi dengan tingkat rekurensi sebesar 8.6%. Terapi secara konservatif pada solid/multicystic ameloblastoma ditemukan pada 141 kasus dan 54 kasus mengalami rekurensi dengan tingkat rekurensi sebesar 38.3%. Terapi pada unicystic ameloblastoma secara radikal yang terdapat pada studi, ditemukan pada 40 kasus dan tidak ditemukan adanya rekurensi setelah terapi dengan tingkat rekurensi sebesar 0.0%. Terapi pada unicystic ameloblastoma secara konservatif ditemukan pada 71 kasus dan 17 kasus diantaranya mengalami rekurensi dengan tingkat rekurensi sebesar 23.9%.
Kesimpulan: Tingkat keberhasilan terapi pada solid/multicystic ameloblastoma dilihat berdasarkan tingkat rekurensinya, terapi secara radikal lebih baik dan dapat meminimalisir terjadinya rekurensi dibandingkan terapi secara konservatif. Tingkat keberhasilan terapi pada unicystic ameloblastoma dilihat berdasarkan tingkat rekurensinya, terapi secara radikal lebih baik dan dapat meminimalisir terjadinya rekurensi dibandingkan terapi secara konservatif.

Background: Solid/multicystic ameloblastoma is the most common type of ameloblastoma, followed by unicystic ameloblastoma. Until recently the proper management of this tumor is still controversial. Further analysis is needed as well as the latest data regarding the comparison of the success level of various surgical therapies from solid/multicystic and unicystic ameloblastoma which can be seen from the rate of tumor recurrence and long-term postoperative follow-up.
Objective: To evaluate the comparison of succes level of various surgical therapies in solid/multicystic and unicystic ameloblastoma.
Methods: This study uses a systematic review method with PRISMA guideline (Preferred Reporting Item for Systematic Reviews and Meta-Analysis). The study search was conducted using two electronic databases, Scopus and PubMed with predetermined keyword combination. Study search was conducted to find studies that discussed surgical therapy in unicystic and solid/multicystic ameloblastoma in the last 10 years.
Results: This search resulted in 643 studies, then a selection was made based on the inclusion and exclusion criteria of the study. There were 11 final studies for further analysis. There are different therapies of solid/ multicystic and unicystic ameloblastoma in all studies which can be divided into radical treatment and conservative treatment. Radical treatment of solid/multicystic ameloblastoma was found in 185 cases with 16 cases recurrence and the recurrence rate were 8.6%. Conservative treatment of solid/multicystic ameloblastoma was found in 141 cases with 54 cases recurrence and the recurrence rate were 38.3%. Radical treatment of unicystic ameloblastoma was found in 40 cases with no cases recurrence after therapy and the recurrence rate were 0.0% . Conservative treatment of unicystic ameloblastoma was found in 71 cases with 17 cases recurrences and the recurrence rate were 23.9%.
Conclusion: The success level of therapy in solid/multicystic ameloblastoma based on the recurrence rate showed that radical treatment could minimize the occurrence of recurrences compared to conservative treatment. The success level of therapy in unicystic ameloblastoma based on the recurrence rate showed that radical treatment could minimize the occurrence of recurrences compared to conservative treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Marhami Iskandar
"ABSTRAK
Latar belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering ditemukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang diketahui memiliki luaran baik apabila derajat keganasannya rendah dan dapat dilakukan reseksi total. Namun demikian, tingkat rekurensi masih cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko rekurensi.Metode penelitian: Desain penelitian adalah potong lintang, dengan populasi mencakup semua pasien di atas usia 18 tahun yang didiagnosis dengan meningioma intrakranial sejak Januari 2010 sampai Juni 2015. Faktor inklusi yaitu yang mampu dilakukan follow-up dan memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian. Rekurensi pada dua tahun pascaoperasi dinilai secara klinis dan radiologis. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia, yaitu ekspresi progesterone receptor PR , vascular endothelial growth factor VEGF , dan Ki67. Faktor-faktor lain yang dinilai yaitu derajat WHO, derajat Simpson, dan lokasi tumor. Pengolahan data dilakukan dengan analisis bivariat dan multivariat.Hasil : Tingkat rekurensi adalah sebesar 16,1 . Derajat Simpson yang lebih tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya rekurensi p=0.041, OR 20,34 95 CI 1.13-367.62 . Beberapa faktor dianalisis bersama, dan didapatkan bahwa ekspresi VEGF yang sedang-kuat apabila disertai dengan ekspresi PR yang negatif juga meningkatkan risiko rekurensi p=0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439-481.307 .Kesimpulan : Tingkat rekurensi meningioma intrakranial pada dua tahun pascaoperasi adalah sebesar 16,1 . Berdasarkan faktor-faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, didapatkan bahwa risiko rekurensi meningkat secara signifikan pada derajat Simpson yang lebih rendah, dan juga dengan ekspresi VEGF yang lebih kuat jika disertai dengan ekspresi PR yang negatif.
ABSTRACT Background. Meningioma is the most frequently found intracranial tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, which is known have good outcome if the tumor is benign and total resection is possible. Nevertheless, recurrence is still commonly found, warranting further investigation on other factors that may increase the risk of recurrence. Method. This is a cross sectional study. The population consists of all patients aged 18 years old, diagnosed with intracranial meningioma between January 2010 ndash June 2015, among whom follow up and informed consent are possible. Recurrence at two years post surgery is assessed by clinical and radiological presentation. Immunohistochemistry expressions, along with WHO grade, Simpson grade, and tumor location, are then analyzed with bivariate and multivariate correlation. Results. Recurrence rate at was 16,1 . The factor found to significantly increase risk for recurrence is Simpson grade p 0.041, OR 20,34 95 CI 1.13 367.62 . Some variables are analyzed together, and it is also found that moderate strong VEGF expression when found together with negative PR expression increases also significantly increases recurrence rate p 0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439 481.307 . Conclusion. Recurrence rate of meningioma two years post surgery is 16,1 . Among the factors assessed within this study, recurrence risk is found to be increased with higher Simpson grade, and stronger VEGF expression when found together with negative PR expression."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Auliya
"Latar belakang: Meningioma memiliki kemampuan menyebabkan inflamasi seperti tumor lainnya. Adapun posisi meningioma yang diluar sawar darah otak menyebabkan gambaran inflamasi pada lingkungan mikro tumor lebih tergambarkan pada darah tepi dibandingkan tumor yang berada di intraparenkim. Hal ini dibuktikan dengan tinkat c-reactive protein yang lebih tinggi pada meningioma dibandingkan tumor intraaksial walaupun derajat meningioma lebih rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivasi inflamasi perifer berdasarkan NLR dan MLR dengan gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan penanda inflamasi perifer terhadap gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2016-Desember 2019. Penanda inflamasi perifer diambil dari data hitung jenis, edema peritumoral dihitung langsung dari data radiologi, dan data lainnya diambil dari catatan rekam medis. Analisis data bivariat Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 173 subjek dengan rata-rata usia 46,98±8,26 tahun. Meningioma didominasi derajat I (94,2%) dengan meningothelial merupakan histologi terbanyak. Nyeri kepala merupakan klinis terbanyak (64,7%) diikuti gangguan penglihatan (59%). Nilai titik potong NLR (neutrophil lymphocyte ratio) adalah 2,415 dan MLR (monocyte lymphocyte ratio) 0,295. Klinis yang berhubungan dengan NLR dan MLR yang lebih tinggi adalah nyeri kepala (p<0,001). NLR dan MLR tinggi juga berhubungan dengan gambaran peritumoral edema (p<0,001). Faktor-faktor yang memengaruhi rekurensi adalah edema peritumoral, NLR, MLR, dan derajat simpson. Dari faktor-faktor tersebut, yang berhubungan secara independent adalah MLR dengan aOR 12,647 (IK 95% 2,355-67,919); p: 0,003.
Kesimpulan: NLR dan MLR sebagai faktor penanda inflamasi perifer memiliki median yang lebih tinggi pada pasien meningioma dengan nyeri kepala dan gambaran edema peritumoral. Inflamasi pada meningioma juga berhubungan dengan kejadian rekurensi.

Background: Meningioma, like the other tumors, have the ability to cause inflammation like other tumors. It is located in areas without blood brain barrier and make the inflammation in this tumor microenvironment to be more depicted in peripheral blood than intraparenchymal tumors. This fact provable by the higher levels of c-reactive protein in meningiomas compared to intraaxial tumors even though the low grade of meningiomas. Therefore, this study aimed to determine the relationship between peripheral inflammatory activation based on NLR and MLR with clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence.
Methods: This is retrospective cohort study to determine the relationship between peripheral inflammatory markers and clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence at Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016-December 2019. Peripheral inflammatory markers were taken from type count data, peritumoral edema was calculated directly from radiological data. , and other data taken from medical records. Chi Square and Mann Whitney bivariate are used for data analysis, followed by multivariate logistic regression analysis
Results: 173 subjects were obtained with an average age of 46.98 ± 8.26 years. Subject predominately grade I (94,1%) with meningothelial is the most common histology. Headache was the most clinical manifestation (64,7) followed by visual disturbances (59%). The cut-off point for the NLR is 2.415 and the MLR is 0.295. The clinical association with higher NLR and MLR was headache (p<0.001). High NLR and MLR were also associated with features of peritumoral edema (p<0.001). Factors for tumors recurrence were peritumoral edema, NLR, MLR, and Simpson's grade. Of these factors, which were independently related were MLR with an aOR of 12.647 (95% CI 2.355-67.919); p: 0.003.
Conclusion: NLR and MLR as markers of peripheral inflammation had a higher median in meningioma patients with headache and peritumoral edema features. Inflammation in meningiomas is also associated with recurrence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrio Wishnu Prabowo
"Latar belakang: Insufisiensi vena kronis IVK derajat berat atau C5-C6 membutuhkan penatalaksanaan yang lebih kompleks dan membawa dampak morbiditas yang lebih berat akibat lamanya waktu pengobatan dan angka rekurensi yang tinggi. Hal ini menyebabkan biaya pengobatan yang tinggi dan menurunkan kualitas hidup penderita. Tata laksana definitif IVK C5-C6 telah mengalami pergeseran dari terapi non operatif terapi kompresi dan medikamentosa menjadi terapi operatif dengan teknik non invasif seperti ablasi endovena. Namun karakteristik pasien IVK di Indonesia berbeda dengan di negara maju, dimana sebagian besar pasien datang pada stadium lanjut atau C5-C6. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap jenis terapi yang diberikan baik terapi definitif maupun terapi perawatan luka, sehingga didapatkan penanganan IVK C5-C6 yang sesuai dengan karakteristik pasien di Indonesia.
Metode penelitian: Studi potong lintang analitik dilakukan dengan mengambil total sampel 54 pasien IVK C5-C6 yang datang ke RSCM pada periode Januari 2014-Desember 2015. Pasien IVK yang disertai dengan insufisiensi arteri, insufisiensi vena dalam, dan kelainan kulit akibat penyakit kulit primer, keganasan, trauma dieksklusi. Analisis statistik diolah dengan SPSS 21 for windows, untuk menilai keluaran dari terapi definitif berupa angka rekurensi dan lama rawat.
Hasil penelitian: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 dengan terapi operatif lebih rendah dibandingkan dengan terapi non operatif yakni 7,1 berbanding 30,8 dalam follow up selama 2 tahun dengan nilai p 0,02 dan OR 0,17 95 IK 0,03-0,91 . Lama perawatan rerata pasien IVK C5-C6 pada kelompok terapi operatif selama 10,6 hari dan kelompok non operatif selama 14,8 hari.
Kesimpulan: Angka kekambuhan pasien IVK C5-C6 yang memperoleh terapi definitif operatif lebih rendah dari yang hanya memperoleh terapi non operatif dalam evaluasi selama 1-2 tahun.

Background: Severe degree C5 C6 of chronic venous insufficiency CVI require complex management and bring severe morbidity due to long duration of treatment and high recurrence rate. This leads to high treatment costs and interfered quality of patients life. Management of CVI C5 C6 in developed countries has changed from non operative therapy to operative therapy with non invasive technique, i.e. endovascular treatment. In Indonesia CVI patient characteristics differ from developed countries, where the majority of patients come at advanced stage or C5 C6. This study aims to evaluate the management of CVI C5 C6, both definitive therapy and also wound care techniques, to afford an appropriate treatment in accordance with the characteristics of the patients in Indonesia.
Method: a cross sectional analytic study carried out by taking the total sample of 54 patients who came with CVI C5 C6 to Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 2014 December 2015. Those accompanied by arterial insufficiency, deep venous insufficiency, and skin disorders due to primary skin disease, malignancy, trauma were excluded. Statistical analysis is processed with SPSS 21 for windows, to assess the outcome of the definitive therapy in the form of recurrence rates and length of stay.
Results: Recurrence rate of CVI C5 C6 patients with operative therapy is lower than non operative therapy which is 7.1 versus 30,8 in 2 year follow up with p value of 0.02 and OR 0.17 95 CI 0, 03 .91 . The mean treatment duration CVI C5 C6 patients in the operative therapy group is 10.6 days and non operative group is 14.8 days.
Conclusions: Recurrence rate of CVI C5 C6 patients who obtain definitive operative therapy was lower than non operative therapy group in the evaluation for 1 2 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tivania Wiradinata
"ABSTRAK
Mucocele adalah lesi jinak yang terdapat pada mukosa mulut dan merupakan gangguan yang sering terjadi pada kelenjar saliva minor. Mucocele termasuk dalam 17 lesi yang sering terjadi pada rongga mulut yang disebabkan oleh trauma dan obstruksi pada kelenjar saliva. Mucocele dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun pada umumnya terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Penelitian mengenai distribusi dan frekuensi mucocele perlu dilakukan untuk mengetahui epidemiologi dari mucocele, sehingga dapat memberikan informasi berupa prognosis dan kesuksesan perawatan berdasarkan kondisi yang dialami oleh pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo periode 2016-2017. Penelitian ini menggunakan studi deskriptif retrospektif dengan menggunakan rekam medik pada pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Analisis 8 kasus mucocele berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, lokasi terjadinya lesi, ukuran lesi, kondisi lesi, etiologi, jenis perawatan, dan kasus rekurensi. Sebagian besar pasien berumur 11-20 tahun (37,5%) dengan pekerjaan sebagai pelajar (50%). Rasio antara pasien laki-laki dan perempuan adalah 1:3. Lesi paling banyak ditemukan pada bibir bawah (50%) dengan ukuran 6-10 mm (50%) dalam keadaan yang tidak pecah. Etiologi berasal dari trauma dan kebiasaan menggigit bibir. Pilihan perawatan yang sering dilakukan adalah eksisi, yaitu sebanyak 4 kasus. Terdapat 4 kasus rekurensi pada mucocele setelah dilakukan perawatan.

ABSTRACT
Mucocele is a benign lesion found in the oral mucosa and it is a disorder that often occurs in minor salivary glands. Mucoceles are included in 17th common lesions in the oral cavity caused by trauma and obstruction in the salivary glands. Mucocele can occur in various age groups but usually in children, adolescents, and young adults. Research on the distribution and frequency of mucocele needs to be done to determine the epidemiology of mucocele, so it can provide the information of prognosis and success of treatment based on the conditions that experienced by patients at National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo from 2016-2017. The method of this research is retrospective descriptive study from medical records of National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo patients. 8 cases of mucocele was analyzed based on age, gender, occupation, location of the lesion, size of lesion, condition of lesion, etiology, type of treatment, and recurrence cases. Most of the patients were 11-20 years old (37.5%) and most of them were students (50%). The ratio between male and female patients is 1:3. Most of the lesions are found in the lower lip (50%) in sizes 6-10 mm (50%) in a non-ruptured condition. The etiology of mucocele are trauma and lip biting habits. The choice of treatment that is often done in 4 cases of mucocele is excision. There were 4 cases of recurrence in mucocele after treatment."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhanty
"Angka kejadian kanker payudara di Indonesia dan di dunia masih tinggi begitu pula dengan angka kekambuhan kanker payudara pada pasien yang telah menjalani pengobatan, saat ini diperlukan prediktor yang dapat dijadikan dasar untuk memperkirakan apakah kanker payudara dapat kambuh kembali setelah ditata laksana. Oleh karena itu penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan inter-rasio NLR/PWBR terhadap rekurensi kanker payudara apakah dapat dijadikan prediktor rekurensi kanker payudara. Penelitian dilakukan menggunakan metode cohort retrospektif minimal 3 bulan sampai 7 tahun dengan melihat rekam medis pasien kanker payudara yang telah mendapatkan terapi untuk mengambil data hasil pemeriksaan darah tepi. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan program SPSS. Dari 106 sampel yang memenuhi kriteria seleksi, ditemukan 53 pasien dengan NLR/PWBR rendah dengan 23 kejadian rekurensi dan dari 53 pasien dengan NLR/PWBR tinggi dengan 13 kejadian rekurensi (RR=1,77, CI 95% 1,0070 – 3,1083, p=0,065). Dari pasien dengan hormonal positif, ditemukan 21 kejadian rekurensi pada kelompok NLR/PWBR rendah, dan 9 kejadian rekurensi pada kelompok NLR/PWBR tinggi (RR=2,05, CI 95%=1,088 – 3,857, p=0,035).

Incidence rates of breast cancer are still high in Indonesia and in the World. So as the rate of recurrence breast cancer in patients who have undergone treatment. Now needed predictor that can be used as a standard for estimating whether breast cancer can recur after treatment. This research was done to investigate the association between NLR/PWBR inter-ratio to breast cancer recurrence.This research was conducted using a retrospective cohort method by looking at the peripheral blood tests in medical records with minimal 3 months until maximal 7 years observation. The data were analyzed using the Chi Square test with the SPSS software. From 106 patients there were 53 patients with lower NLR/PWBR with 23 breast cancer reccurrence, and from 53 patient with higher NLR/PWBR with 13 breast cancer recurrence (RR=1,77, CI 95%=1,0070 – 3,1083, p=0,065). From patients with hormonal potive, there were 21 breast recurrence from lower NLR/PWBR, and 9 from higher NLR/PWBR (RR=2,05, CI 95%=1,088 – 3,857, p=0,035)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>