Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siagian, Carmen M.
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Peneltian: Malnutrisi merupakan gejala yang sering dijumpai pada pasien kanker kolorektal. Pada penderita sering terjadi anoreksia, mual, muntah yang dapat menyebabkan asupan makanan berkurang, disamping adanya peningkatan kebutuhan energi dan gangguan metabolisme. Adanya hubungan berbagai faktor dapat menyebabkan malnutrisi. Transferin merupakan salah satu parameter sensitif untuk menilai adanya perubahan status nutrisi pada pemberian tunjangan nutrisi. Yoghurt merupakan susu yang telah mengalami fermentasi menjadi komponen-komponen yang lebih mudah dicerna, mudah diabsorpsi, mempunyai nilai gizi tinggi dan tidak menimbulkan laktosa intolerans. Telah dilakukan penelitian experimental pada pasien kanker dengan pemberian yoghurt 3 x 160g/hari + gula 3 x 20g/hari dibandingkan dengan tunjangan nutrisi susu 3 x 200 ml/hari + gula 3 x 20 g/hari selama 7 hari. Pada awal dan akhir pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan antropometrik dan kadar transferin serum.

Hasil menunjukkan bahwa : Prevalensi malnutrisi pada penderita kanker cukup tinggi (76.74%). Dengan pemberian tunjangan nutrisi yoghurt didapatkan kenaikan transferin dan berat badan bermakna (p<0.05). Sedangkan pada kelompok susu kenaikan'transferin dan berat badan tidak bermakna (p > 0.05). Respon penderita kanker terhadap pemberian tunjangan nutrisi tidak selalu lama, tergantung dari_ penyebab malnutrisi. Akan tetapi dapat disimpulkan dengan pemberian nutrisi adekuat pada penderita kanker masih dapat ditingkatkan dan dipertahankan status nutrisi penderita, sehingga status nutrisinya tidak bertambah buruk.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aru Wisaksono Sudoyo
Abstrak :
Kanker usus besar atau kolorektal (KKR) termasuk dalam penyakit keganasan urutan 10 tersering di dunia, termasuk di Indonesia. Dihubungkan dengan lingkungan dan gaya hidup (lifestyle), KKR lebih banyak didapatkan di negara-negara maju. Di negara-negara tersebut, KKR mempunyai angka kejadian yang meningkat tajam setelah usia 50 tahun - untuk usia muda di bawah 40 tahun hanya sebesar 3%, dan sebagian besar memenuhi kriteria Amsterdam/modifikasi Bethesda untuk HNPCC atau hereditary nonpolyposis colon cancer dengan karakteristik khas yaitu 1) lokasi di sebelah kanan;2) stadium patologik Iebih rendah; 3) tidak cenderung bermetastasis; dan 4) mempunyai prognosis yang Iebih baik. Selain itu, menurut jalur kejadian terjadinya kanker (karsinogenesis) - kanker kolorektal adalah jenis kanker yang paling banyak dipelajari dan digunakan sebagai model karsinogenesis dengan sekuens adenoma-karsinomanya - KKR usia muda mengikuti jalur instabilitas miktrosateiit, dan KKR sporadik terutama mengikuti jalur instabilitas kromosom. Di Indonesia didapatkan angka yang berbeda. Untuk usia di bawah 40 tahun di Bagian Patologi Anatomik FKUI dari tahun 1996 hingga 1999 didapatkan angka 35.265% dan laporan Departemen Kesehatan dari empat kota Jakarta, Bandung, Makassar dan Padang mendapatkan angka untuk usia di bawah 45 tahun sebagai berikut: Jakarta 47,85% (1494i3122), Makassar 54,5% (390/715), Padang 44,3% (375l846), dan Bandung 48,2% (706/1464). Pembedahan merupakan modalitas pengobatan utama pada KKR, namun banyak pasien-pasien sudah datang dalam tahapan penyakit yang memerlukan kemoterapi dan radioterapi (untuk kanker rektum). Selain angka mudausia yang lebih tinggi dari laporan di negara maju, pasien-pasien KKR usia muda di Indonesia juga datang dengan penyakit yang lebih cepat berkembang dan seringkali tidak responsif terhadap kemoterapi. Hai ini akan berdampak besar terhadap produktivitas dan keuangan keluarga, mengingat usia mereka yang masih muda. Karena itu dianggap perlu untuk meneliti lebih jauh perangai dari KKR usia muda ini. Kanker kolorektal merupakan model karsinogenesis yang paling Iengkap, dengan pengetahuan yang sudah dicapai mengenai akumulasi berbagai kelainan genetik sehingga terjadi kanker dan dikenal dua jalur utama pembentukan KKR. Pentama, jalur instabilitas kromosom (CIN - chromosome! instability) dengan kelainan-kelainan berupa aneuploidi dan mencakup mutasi pada antara gen-gen APC, Ki-ras, DCC, Smad dan p53 jalur ini ditemukan pada 90% KKR sporadik (laporan negara maju). Jalur kedua adalah jalur instabilitas mikrosatelit (MIN - microsatellite instability) dengan komponen utamanya mutasi pada gen perbaikan ketidakcocokan atau mismatch repair genes yang diwakili oleh MSH2, MLH1, MSH3, MSH3, PMS1 dan PMS2. Di negara maju, jalur ini ditemukan pada sebagian besar KKR berusia muda, dan biasanya mempunyai prognosis baik. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah : Pertama, apakah pasien-pasien KKR Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan pasien-pasien di negara-negara maju pada kelompok usia yang sama?. Kedua, apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan angka yang dilaporkan di negara-negara maju? Dan ketiga, Apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan pasien-pasien yang berusia 60 tahun atau Iebih? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian eksploratif dan analitik terhadap pasien-pasien bangsa Indonesia - dalam hal ini peneliti memilih kelompok etnik Jawa, Sunda, Makassar dan Minang atas dasar penelusuran studi-studi antropologik mengenai pola migrasi manusia modern ke kawasan kepulauan Indonesia serta data genetik dari penelitian mengenai Thalassemia di Indonesia. Peneliti menganggap penetapan kelompok penelitian ini penting untuk di masa depan, di mana pendekatan kanker tidak hanya pada opulasi melainkan akan berpindah pada profil genetik individual sebagai dasar penentuan strategi pencegahan, deteksi dini dan terapi kanker kolorektal. Penelitian dimulai dengan penelusuran data rekam medik pasien-pasien KKR berusia 40 tahun dan kurang serta mereka yang berumur 60 tahun atau Iebih termasuk alamat rumah mereka. Data dengan menelusuri arsip spesimen KKR di Bagian-bagian Patologi Anatomik fakultas-fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Hasanuddin. Setelah itu pasien-pasien atau keluarganya (bila pasien sudah meninggai) diwawancara mengenai kelompok etniknya dan apakah mereka termasuk KKR herediter yang memenuhi kriteria Amsterdam/Bethesda. Spesimen tumor pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan histopatologik ulang dengan menetapkan jenis histopatologi dan grade tumornya. Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap ekspresi protein MLH1 dan MSH2 sebagai gen mismatch repair yang paling dominan, serta terhadap ekspresi protein SMAD4 untuk rekonfirmasi membedakan antara jalur MIN dan CIN. MSH2 positif; jika ditemukan ekspresi protein MSH2 Iebih dari 20%. NILH1 positif: jika ditemukan ekspresi protein MLH1 Iebih dari 20%. Kriteria interpretasi di atas juga berlaku untuk interpretasi hasit puiasan Smad4. Tujuannya terutama adalah untuk membuktikan apakah jaringan tumor dari KKR usia muda mengikuti jalur MIN seperti pada KKR usia muda di kepustakaan negara maju. Telah berhasil berhasil dikumpulkan 121 kasus secara konsekutif dari lima rumah sakit (RS) di Indonesia, yaitu 20 kasus dari RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 18 kasus dari RS Kanker Dharmais (Jakarta), 3 kasus dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta), 56 kasus dari RSUD Hasan Sadikin (Bandung), dan 24 kasus dari RSUD Dr. Wahidin (Makassar). Kelompok etnik penderita terdiri dari 64 (52,9%) orang suku Sunda, 28 (23,1%) orang suku Jawa, 25 (20,7%) orang suku Bugis/ Makassar, serta 4 (3,3%) orang suku Minang. Dari 118 data histopatologi yang tersedia, adenokarsinoma merupakan tipe histopatologi terbanyak dan sebagian besar memiliki grade 1 Selanjutnya jika penderita dikelompokkan menurut usia, tampak bahwa karsinoma sel cincin dan adenokarsinoma musinosum secara bermakna (p=0,000) lebih banyak pada kelompok penderita usia muda dibandingkan usia tua. Terdapat perbedaan grade yang bermakna (p=0,001) di antara penderita usia muda dan usia tua; kanker Grade 3 Iebih banyak ditemui pada penderita usia muda dibandingkan dengan usia tua. Dari 121 data penderita yang berhasil dikumpulkan, pulasan imunohistokimia untuk protein MSH2 berhasil dilakukan pada 92 spesimen, sedangkan untuk protein MLH1 berhasil dilakukan pada 97 spesimen. Lebih dari 50% kasus memperlihatkan ekspresi protein MSH2 (positif), namun ekspresi MLH negatif pada 83,5% spesimen_ Terdapat 88 spesimen yang berhasil dilakukan pulasan anti-MSH2 dan anti-MLH1 secara serempak. Pola ekspresi MLH1 tampak tidak paralel dengan pola ekspresi MSH2. Sebanyak 55% (41 dari 74) kasus dengan ekspresi MLH1 negatif memiiiki ekspresi MSH2 yang normal. Ekspresi MSH2 dan MLH1 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara Iokasi tumor di kolon kanan dan kolon kiri. Namun ada kecenderungan bahwa proporsi spesimen yang menghasilkan ekspresi MSH2 negatif lebih banyak pada kolon kanan. Ekspresi MLH1 di kolon kanan bahkan tidak muncul sama sekali. Tidak adanya perbedaan ekspresi MSH2 dan MLH1 pada lokasi kolon juga tidak tampak bila penderita dikelompokkan berdasarkan usia, walaupun ada kecenderungan Iebih banyak penderita usia muda yang tidak mengekspresikan MSH2 dan MLH1. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi MSH2 dan MLH1 dengan pentahapan (grading) tumor. Ini berarti pada penderita yang diteliti tidak terdapat hubungan antara instabilitas mikrosatelit dengan grade tumor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Penderita kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak memperlihatkan perbedaan pola ekspresi protein MSH2 dan MLH1 dibandingkan dengan penderita kanker kolorektal usia tua. 2) Kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak ada yang dapat dikelompokkan dalam kanker kolorektal herediter berdasarkan hasil wawancara yang menggunakan perangkat kriteria Amsterdam sehingga dapat dimasukkan dalam kategori kanker kolorektal sporadik. 3) Ekspresi MLH1 dan MSH2 secara imunohislokimia saja tidak bisa digunakan untuk mendeteksi instabilitas mikrosatelit pada KKR usia muda pada etnik Jawa, Sunda, Makassar, Minang; dan 4) Kriteria Amsterdam dan modifikasi Bethesda masih merupakan Cara paling efektif untuk menentukan sporadisitas KKR. Pola hasil yang didapat menunjukkan bahwa amat mungkin KKR usia muda pada populasi ini merupakan jenis yang lain dari KKR di negara maju bahkan diluar jalur MIN dan CIN. Apakah ?manusia Indonesia" menua lebih cepat sehingga ditemukan KKR pada usia yang lebih muda? Penelusuran kepustakaan terhadap terjadinya penuaan biologik menunjukkan bahwa pada proses penuaan (aging) secara almiah tidak terdapat perbedaan - namun didapat beberapa pengaruh Iinternal dan eksternal dalam lingkungan yang berpengaruh terhadap karsinogenesis KKR. Secara internal pada karsinogenesis KKR berperan interaksi antara stres oksidatif, yang mempengaruhi mitokondria. Pada proses menua terjadi disfungsi mitokondria yang menghasilkan stres oksidatif dan mempengaruhi berbagai penentu karsinogenesis seperti penghambatan apoptosis, aktivasi onkogen, peningkatan fenotip mutator dan inaktivasi gen supresor tumor. Kejadian tersebut dipercepat oleh faktor eksternal yang penting - yaitu status sosioekonomi - yang dapat menyebabkan terjadinya instabilitas genetik, antara lain 1) infeksi dan infiamasi ; dan 2) diet serta nutrisi. Saran yang muncul dari penelitian ini adalah, dalam paradigma pendekatan terhadap kanker yang saat ini sudah muiai bergeser ke motekuler/individu dan bukan umum / empirik lagi, diterapkan penelitian-penelitian epidemiologi molekuler terhadap populasi pasien kanker di Indonesia. Pengobatan kanker di masa yang akan datang akan mengacu pada profil genetik seseorang atau sekelompok populasi - dan pengetahuan yang didapat pada penelitian ini diharapkan menjadi landasan berpijak. ......Colorectal cancer (CRC) ranks among the 10 omost common cancers in the world, including indonesia. Related to environment and lifestyle, CRC has been to more common the developed countries. In developed countries, the incidence of CRC increases sharply after the age of 50 years - whereas only 3% are found among those below 40 years, most complying with the Amsterdam / Bethesda modification criteria for HNPCC (hereditary nonpolyposis colon cancer) characterized by : 1) right-sided location; 2) a lower pathologic stage; 3) less tendency to metastasis; and 4) a good prognosos. Colorectal cancer is the most studied of cancers, and the adenome- carcinoma sequence of its carcinogenesis is used as a model for othercancers. There are two main pathways of carcinogenesis in CRC, i,e., the chromosomal instability (CIN) pathway - mainly found in sporadic CRC, and the microsatellite instability (MIN) -found in the majority of hereditary CRC. In Indonesia a different pattern emerged from hospitals. Data at the Department of Anatomic Pahtology from 1996 to 1999 revealed that there were 35.2% CRC cases under 40 years old. From the Ministry of Health it was found that, in 4 major cities of Indonesia, i.e., Jakarta, Bandung, makassar and Padang, CRC cases under 45 years old were, 47.85%, 54.5%, 44.3 and 48.2%, respectively. Surgery is the main treatment modality for CRC, but many patients present themselves in an advanced state such that chemotherapy and radiotherapy (for rectal cancer) have to be used. Aside form the higher incidence compared to developed countries, the tumors of young CRC patients in Indonesia are more progressive and do not repond well to cancer anticytostatics, impacting on health facilities and economics as they are in a productive age. lt is thus deemed necessary to investigate further the charactelstics of the tumors. Previously, colorectal cancer is regarded as the model for carcinogenesis. The cancer is known to be the result of an accumulation of gene mutations and it is now known to follw 2 main pathways. The first, the chromosomal instability (CIN) pathway, is based on aneuploidy and consists of mutations of severla genes, among others SAPC, Ki-ras, DCC, Smad and p53 - it is found in more than 90% of sporadic CRC. The second pathay involves microsatellite instability (MIN) and involves mutations of the mismatch repair genes, i.e., MLH1, MLH2, MSH2, MSH3, MSH6, PM1 and PMS2. In devolped countries, MIN is found in the majority of young CRC patients, usually having a better prognosis. The question is thus, Firstly, whether young (40 years and younger) Indonesian CRC patients have a different molecular patter than their counterparts in developed countries? Secondly, is MIN in young Indonesian CRC patients less in incidence than in developed countries. Thirdly, is MIN among young Inodnesian CRC paitents found less than among the elderly (60 years and older)? In order to be able to answer the abovementioned questions, we conducted an explorative and analytic study on native lndonesians - represented by the four ethnic groups i.e., Javanese, Sundanese, Makarasses and Minang. The choice of the ethnic groups was based on anthropological (the pattern of migration of modern humans into Southeast Asia) and genetic (based on studies on Thalassemia in Indonesia). We regard the initial categorization of ethnic choice to be important, as in the future the approach to cancer will be based on the shifting paradigm in which the individual genetic profile is the base for strategy planning in cancer prevention, early detection, and treatment. The study was started with the perusal of medical records form designated hospitals for data of young (40 years and younger) and old (60 years and older) CRC patients including their home addresses. Data was obtained from the archives of the Anatomic Pathology departments of the University of Indonesia, Padjadjaran University, and Hasanuddin University. The patients or their relatives were subsquently interviewed for ethnicity and compliance with the Amsterdam / Bethesda criteria for hereditary CRC. Tumor specimens underwent evaluation for histopathology and grading. immunohistochemistry (IHC) was done for expression of MLH1 and MSH2 proteins to detect MIN and for the SMAD4 protein to reconfirrn that the specimens were not of MIN origin. The IHC test was regarded as positive if expression was found to be 20% or more - aforementioned criteria to be used for all IHC tests. The aim was mainly to prove whether the tumor specimens of young CRC patients foiled the MIN pathway as reported for cases in devolped countries. One hundred and twenty cases were consecutively compiled from 5 hospitals in Indonesia, i.e., the Cipto mangnkusumo hospital (20 cases), Dharmais Cancer Hospital (18 cases), Gatot Subroto Army Hospital (3 cases), all in Jakarta, the Hasan Sadikin Hospital in Bandung (56 cases) and Dr Wahidin hospital in Makassar (24 cases)- They comprise the ethnic groups : 64 Sundanese (52.9%), 28 Javanese (23.1%), 25 Buginese / Makassarese (20.7%) and 4 Minang (3.3%). From 118 available specimens, adenocarcinoma was the most dominant histopathology, and most were grade 1. categorized based on age, signet tring cell and mucinous adenocarcinoma were statistically significant (p=0.000) found more among the young CRC group. There was a statistically significantly difference in grade between the young and old patients, in which grade 3 is found more among the young patients. From 121 specimens, IHC for the MSH2 protein was done on 92 specimens, whereas MHL1 in 97. more than 50% of cases showed expressions for MSH2, but MLH1 was negative in 83-5 specimens. Done simultaneously in 88 specimens, it was shown that there was no parallel between MLH1 and MSH2. Efty tive percent (41 out of 74) with negative MLH1 expression were positive for MSH2. there was no statistically significant difference in expressions between the right and left colon. There was, however, a tendency for the proportions of specimens which had negative MSH2 expression to be located in the right colon. The MLH1 was negative for all right-sided specimens. There lack of difference in expressions of MLH1 and MSH2 was also found when the specimens were compared based on patient age, althoughthere were more of the young patients whi had negative expressions for both MLH1 and MSH2. there was no significant difference between the expressions of MLH1 and NMSH2 regarding tumor grading -this is interpreted as no correlation between MLH1 expression and tumor grade. The results of the study revealed that 1 1) CRC in young patients of Javanese, Sundanese, Makassarese and lvlinang ethnic groups did not show any difference with regard to expressions of MLH1 and MSH2 compred to old patients; 2) young CRC patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups cannot be categorized as hereditary CRC based on interviews using the Amsterdam fBethesda criteria and are henceforth regarded as sporadic. 3) the expression of MLH1 and MSH2 by IHC cannot be used to detect microsatellite instability among patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups; and 4) use of the Amsterdam I Bethesda criteria for HNPCC is still the most reliable method to determine sporadicity of CRC patients among patients of Javanese, Sundanese, Malcassarese and Minang ethnic groups. The pattern of results also brings to light the possibilty that CRC among young patiens do not follow either MIN nor CIN pathways. Does an Indonesian age faster, therefore CRC found at a younger age? Study of the literature on the aging process revealed that natural aging per se is no different from other populations - but other factors from the environment is thought to enter and influence the biological aging of cells and speed up carcinogenesis. Internally, carcinogenesis of CRC is influenced by the interaction between oxidative stress involving the mitochondria, in which mitochondrial dysfunction resulted in the production of oxidative stress affecxting various components of carcinogenesis i.e., inhibition of apoptosis, activation of oncogenes, increase in mutator phenotype and inactivation of tumor suppression genes. The events are accelerated by important external factors - namely soscioeconomic status - causing the cell to be genetically unstable, a prerequisite for cancer formation, among these involving 1) infection and inflammation; and 2) diet and nutrition. It is recommended that from this study that, in the shifting paradigm of cancer, moving from empirical tpo molecular oncology - further research be implemented with molecular epidemiology techiques on cancer populations in Indonesia. The approach of cancer in Indonesia in the future will also have to be based on the genetic profile of the individual or specific population group - and the knowledge obtained thus utilized.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D708
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aaron Datui
Abstrak :
Latar belakang: Kanker kolorektal menduduki peringkat tiga sebagai kanker terbanyak di dunia, dan peringkat kedua sebagai kanker dengan angka mortalitas tertinggi, yaitu 862,000 kematian pada tahun 2018. Dalam alur penatalaksanaan kanker kolorektal, pemeriksaan histopatologi memiliki peranan penting dalam menentukan progresivitas kanker yang secara tidak langsung menentukan jenis terapi pada pasien. Subjektivitas dalam pemeriksaan patologi berpotensi untuk menjadi suatu masalah karena dapat menyebabkan diagnosis yang tidak tepat. Hal ini diakibatkan sifat pemeriksaan patologis yang operator dependent yang perlu diminimalkan agar pemeriksaan lebih objektif. Spektroskopi telah digunakan sebagai metode untuk membantu mengkuantifikasikan diagnosis kanker mulai dari quantitative mass sepctrometry, atau quantitative spectroscopic imaging. Namun penggunaan spektroskopi berbasis cahaya tampak belum banyak ditemukan. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya reflektansi dari spektrofotometer reflektans sederhana untuk membedakan jaringan kolon normal, prekanker, dan kanker, serta akurasinya dalam membedakan jaringan. Metode: Studi ini mengukur reflektansi pada jaringan kanker kolon dari mencit (Mus musculus) pada 126 panjang gelombang mulai dari 435-712.6 nm. Data reflektansi dianalisis menggunakan Uji Saphiro Wilk, Uji Kruskal Wallis, dan Uji One Way ANOVA. Kemudian Principle Component Analysis (PCA) dilakukan pada data, lalu dilanjutkan dengan 5-fold cross validation menggunakan algoritma machine learning. Pengukuran parameter akurasi kemudian dilakukan pada model yang dibuat menggunakan machine learning yang mencakup CA (Classification Accuracy), precision, recall, sensitivitas, dan spesifisitas. Hasil: Dalam membedakan 3 kelompok jaringan (normal, prekanker, dan kanker), ditemukan 41 panjang gelombang dengan setidaknya 2 kelompok berbeda bermakna, dan spektrofotometer memiliki akurasi yang rendah (CA 0.429-0.464, precision 0.446-0.481, recall 0.429-0.464). Untuk membedakan jaringan normal dan jaringan abnormal (prekanker dan kanker), ditemukan 57 panjang gelombang dengan perbedaan bermakna, dan spektrofotometer memiliki akurasi dengan skor CA 0.821-0.857, precision 0.819-0.60, recall 0.821-0.857, sensitivitas 88.8-100%, dan spesifisitas 50-70%. Simpulan: Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan reflektansi antara 3 kelompok jaringan. Spektrofotometer reflektans sederhana dapat membedakan jaringan normal dan jaringan abnormal (prekanker dan kanker) dengan cukup baik, namun tidak dapat untuk membedakan 3 kelompok jaringan.
Bakcground: Colorectal cancer is the third most prevalent cancer worldwide and is the second place for cancers with the highest mortality (862,000 deaths in 2018. In the guidelines for colorectal cancer therapy, histopathological evaluations plays a major role in determining the progression of the cancer thus indirectly determining the therapy for each patient. Subjectivity in pathological evaluation might lead to problems which would resulted in misdiagnosis. This is due to the operator-dependent characteristic of pathological evalutaion that should be minimalized to increase its objectivity. Spectroscopy have been researched and used as a method to help to quantify cancer diagnosis such as quantitative mass spectroscopy and quantitative spectroscopic imaging. The usage of visible light spectroscopy is limited for now. Objectives: This study aims to evaluate the reflectance measured using simple reflectance spectrophotomoeter in order to differentiate normal colon, precancer lesion, and colon cancer tissue, and its accuracy in differentiating tissues. Methods: This study measures the reflectance of the Mus musculus rodents' colon tissue in 127 wavelength from 435-712.6 nm. The reflectance then analyzed using Saphiro Wilk test, One Way ANOVA, and Kruskal Wallis. PCA is conducted, then a 5-fold cross validation is done using machine learning algorithms. A accuracy testing including CA (Classification Accuracy), precision, recall, sensitivity, and specificity is done to the models made by machine learning algorithm. Results: In differentiating 3 tissue category (normal, precancer, and cancer) 41 wavelengths are identified with a p-value of <0.05. To differentiate 3 tissue category, simple spectrophotometer have low accuracy (CA 0.429-0.464, precision 0.446-0.481, recall 0.429-0.464. In differentiating abnormal tissue (precancer and cancer) from normal tissue, 57 wavelengths are identified with a p-value of <0.05. To differentiate these 2 categories, simple reflectance spectrophotometer have an accuracy with CA score equals 0.821-0.857, precision equals 0.819-0.60, recall equals 0.821-0.857, sensitivity equals 88.8-100%, and spesificity equals 50-70%. Conclusion: This study concludes that there is a significant difference in reflectance from 3 tissue samples. Simple reflectance spectrophotometer could differentiate normal and abnormal (precancer and cancer) tissue well but it is unable to differentiate normal, precancer, and cancer tissue to 3 different categories.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Satria Kusnadi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Kemoterapi ajuvan merupakan pilihan utama pada kanker kolorektal stadium lokal lanjut untuk mencegah terjadinya rekurensi. Protokol FOLFOX dan XELOX saat ini banyak digunakan karena terbukti meningkatkan overall survival rate dan disease free survival pada penelitian-penelitian di negara maju. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas protokol FOLFOX dengan XELOX pada pasien-pasien di pusat kesehatan kami, yang memiliki karakter yang berbeda, yakni dengan tingkat kepatuhan yang rendah dalam berobat dan datang dalam stadium lanjut, serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas kemoterapi. Metode: Dilakukan studi retrospektif pada 133 subjek karsinoma kolorektal stadium III dan II risiko tinggi yang mendapat kemoterapi ajuvan di RSCM dan RSUP Fatmawati. Sampel diambil secara konsekutif, selanjutnya dilakukan analisis statistik membandingkan respon kedua protokol dengan mengamati kadar CEA dan 1-year mortality rate. Dicari hubungan kepatuhan pasien dan faktor-faktor lain dengan efektivitas. Kami menggunakan uji Chi square atau Fisher, serta uji multivariat menggunakan regresi logistik. Signifikansi bila nilai p <0,05 dengan confidence interval 95%. Hasil: Tidak didapatkan hubungan bermakna secara statistik antara protokol kemoterapi dengan efektivitas (p = 0,61). Dikaitkan dengan kepatuhan pasien, didapatkan hubungan signifikan antara protokol kemoterapi dan efektivitas (p = 0,001 dan 0,000), dengan tingkat kepatuhan yang jauh lebih tinggi pada protokol FOLFOX (86% berbanding 45%). Faktor-faktor lain yang secara statistik signifikan berhubungan dengan efektivitas adalah Karnofsky score >90 (p = 0,004), IMT normal atau lebih (p = 0,006), dan grade histopatologi dengan diferensiasi baik sedang (p = 0,003) Kesimpulan: Protokol FOLFOX dan XELOX memberikan efektivitas yang sama. Dikaitkan dengan kepatuhan yang memiliki hubungan signifikan dengan efektivitas, protokol FOLFOX jauh lebih patuh dari XELOX. Pemberian kemoterapi ajuvan perlu memperhatikan Karnofsky score dan IMT pasien.
ABSTRACT
Background: : Adjuvant chemotherapy has become treatment of choice in advance colorectal cancer to prevent recurrence. FOLFOX and XELOX protocol was proved to increase overall survival rate and disease free survival. This study wants to compare chemotherapy response between XELOX and FOLFOX protocol in our health center, which usually having patients with low compliance and come in advanced stadium and also to identify other factors that affecting chemotherapy response. Method: Retrospective study of 133 colorectal carcinoma stage III and high-risk stage II subjects who received adjuvant chemotherapy were collected consecutively from medical record in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital. Statistic analyze was performed to compare chemotherapy response from XELOX protocol and FOLFOX protocol, which were analyzed using Carcinoembryonic Antigen (CEA) and 1-year mortality rate. The relationships between few other factors and effectivity of chemotherapy response was analyzed using Chi square or Fisher. Multifactorial analysis was using logistic regression test. Statistical significance was stated when p value <0,05 with 95% confidence interval. Results: No statistically significant correlation between chemotherapy protocol and chemotherapy response (p=0,61). However, when we combined compliance factor, we found out strong correlation between chemotherapy protocol and chemotherapy response (p = 0,001 and 0,000). FOLFOX protocol shown much higher compliance (86% vs 45%). Others Factors that correlate significant to chemotherapy response in multivariate analysis are Karnofsky score >90 (OR = 5,8; p = 0,004), Normal and overweight BMI (OR = 4,7; p = 0,006), and well-moderate tumor differentiation (OR=6,3; p=0,003). Conclusions: FOLFOX and XELOX protocol showed same efficacy in chemotherapy response. When combine with compliance factor, which showed strong correlation to efficacy chemotherapy response,, FOLFOX protocol showed more compliance. We should care about patients? Karnofsky score and BMI to increase response of adjuvant chemotherapy.
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Arlyando Hezron
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: COX-2 adalah mediator sintesis prostaglandin yang kadarnya meningkat pada tumor kolorektal. Gen messenger RNA COX-2 diekspresikan berlebihan pada sebagian besar tumor kolorektal. MessengerRNA COX-2 tinja merupakan modalitas non invasif untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal. Tujuan: Mengetahui akurasi ekspresi mRNA COX-2 tinja dalam mendiagnosis lesi neoplastik kolorektal. Metode: Studi potong lintang pada pasien yang dicurigai kanker kolorektal. Ekspresi mRNA COX-2 tinja diperiksa dengan nested PCR dan hasilnya dianalisis untuk mendapatkan akurasi uji diagnostik. Hasil: Terdapat total 96 sampel yang ikut serta dalam penelitian dengan rerata usia 56,22 tahun. Sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 51 orang dan perempuan sebanyak 45 orang. Sebanyak 14 sampel merupakan pasien dengan lesi neoplastik kolorektal dan 82 pasien bukan dengan lesi neoplastik kolorektal. Akurasi diagnostik mRNA COX-2 tinja adalah sebagai berikut, sensitivitas 35,71 % (95% IK 0,04 ? 0,29), spesifisitas 95,12 % (95% IK 0,85 ? 0,97), nilai prediksi positif 55,55 % (95% IK 0,16 ? 0,75), nilai prediksi negatif 89,65 % (95% IK 0,61 ? 0,80), ratio kemungkinan positif 7,439 (95% IK 0,2 ? 16,34), ratio kemungkinan negatif 0,6758 (95% IK 0,72 ? 1,24). Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA COX-2 tinja memiliki sensitivitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal. Kata kunci: Akurasi diagnostik; kanker kolorektal; mRNA COX-2 tinja.
ABSTRACT
Background : COX-2 is the mediator of prostaglandin synthesis that increased in colorectal cancer. COX-2 has overexpressed in most of colorectal cancer. Fecal mRNA COX-2 is the non-invasive modality to detect neoplastic lesion of colorectal. Objective:Analyzing the accuracy of fecal mRNA COX-2 in diagnosing neoplastic lesion of colorectal. Methods : This is a cross sectional study in patient who is suspected colorectal cancer. Expression of fecal mRNA COX-2 examined with nested PCR and analyzed to get the diagnostic test accuration. Results: There were 96 total samples included in this research, with the mean age of 56,22 years old. There were 51 male subjects and 45 female subjects, 14 subjects with neoplastic lesion of colorectal and 82 subjects without neoplastic lesion of colorectal. Fecal mRNA diagnostic accuration is sensitivity 35,71 % (95% IK 0,04 ? 0,29), spesificity 95,12 % (95% IK 0,85 ? 0,97), positive predictive value 55,55 % (95% IK 0,16 ? 0,75), negative predictive value 89,65 % (95% IK 0,61 ? 0,80), positive likelihood ratio 7,439 (95% IK 0,2 ? 16,34), negative likelihood ratio 0,6758 (95% IK 0,72 ? 1,24). Conclusion : Fecal mRNA COX-2 assay has low sensitivity and high specificity to detect neoplastic lesion of colorectal. Keyword: Colorectal cancer; diagnostic accuration; fecal mRNA COX-2.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Novianingtyas
Abstrak :
Kanker kolorektal adalah salah satu kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Kanker kolorektal terkait dengan reaksi inflamasi lokal akut dan dapat tergambarkan melalui neutrofil. Kalprotektin merupakan petanda spesifik yang stabil, dapat diperiksa pada sampel feses, mudah dan memiliki presisi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong kadar kalprotektin fekal pada pasien terduga kanker kolorektal dan mengetahui peran diagnostik kalprotektin fekal dibandingkan dengan gambaran histopatologik sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif analitik. Penelitian melibatkan 84 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi dan kadar kalprotektin fekal diperiksa menggunakan kit CalprestĀ® Eurospital metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar kalprotektin fekal berdasarkan analisis kurva ROC pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,617 (95%CI: 0,483-0,75). Titik potong kadar kalprotektin fekal didapatkan 125 mg/kg dengan sensitivitas 60,71%, spesivisitas 60,71%, NPP 43,58% dan NPN 75,55%. Berdasarkan hasil uji diagnostik, kadar kalprotektin fekal dapat dipertimbangkan dalam penegakkan diagnosis pasien terduga kanker kolorektal sehingga pemeriksaannya dalam panel pemeriksaan pasien dengan terduga kanker kolorektal perlu dilakukan.
Cancer colorectal has high prevalence worldwide. Colorectal cancer is associated with local acute inflammatory reaction so that in some cases it can be visualized by white cell neutrophil scanning. Calportectine is a stable neutrophil specific marker which can be easily evaluated in stool with a high precision. This study aims to find out fecal calprotectine cut off on suspected colorectal cancer and to establish its diagnostic role with histopathologic findings as a gold standart. The study design was cross sectional with descriptive analytic data presentation. The study involved 84 adult patients who performed colonoscopy and fecal calprotectine consentration was examined with ELISA kit CalprestĀ® Eurospital. Diagnostic accuracy of fecal calprotectine based on ROC curve analysis in this study was 0,617 (95% CI: 0,483-0,75). Cut off fecal calprotectine was 125 mg/kg with sensitivity 60,71%, spesivicity 60,71%, PPV 43,58% and NPV 75,55%. Based on diagnostic accuracy, fecal calprotectine was considered in diagnosting suspected colorectal cancer and that should be tested on the panel of suspected colorectal cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Nikson
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit kanker kolorektal (KKR) merupakan salah satu jenis penyakit kanker dengan insiden. prevalen serta mortalitas yang terns meningkat dewasa ini. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh. stadium klinik kanker terhadap katahanan hidup lima tahun penderita kanker kolorektal. Desain: Desaio penelitian adalah kohort retrospektif. Sarnpel sebanyak 1!6 orang penderita kanker kolorektal yang mendapat pengobatan pertama kali di RSKD dari tahun 1994 - 2004. Analisis bivariat dengan uji Lng rank test dan kurva probabilitas untuk ketahanan hldup menggunakan metode Kaplan Meier. Analisis seeara multivariat menggunakan Cox Proportional Hazard Regression Hasil : Ditemukan penderita kanker kolorektal yang meninggal selarna lima tahun follow up adalah 46 orang (39, 7%). Probahilitas ketahanan hidup 5 tahtm penderita seeara keseluruhan adalah sebesar 42,23% dengan Median sehesar 36 bulan, Probabilitas ketahanan hldup 5 tahun menurut stadium adalah Dukes B sehesar 74,38%, Dukes C sebesar 37,28% dan Dukes D sehesar 22,28%. Menurut stadium awol sebesar 74,38% dan stadium !anjut sebesar 31,58%. Pada analisis Cox regresi stadium lanjut memiliki risiko kematian sehesar 4,83 kali (95%CI:1,72-13,60) dibandingkan stadium awal sebelum memperhitungkan variahel lain dan setelah memperhitungkan variabci derajat diferensiasi sel, umur, status perkawinan, jumlah sel darah putih sebelum operasi dan status pengobatan, risiko kematian stadium lanjut menjadi 9,37 kali(95%CI:2,88-30,48) dibandingkan stadium awaL Kesimpulan dan Saran : Stadium terbukti merupakan faktor prognostik yang kuat dan signifikan terhadap ketahanan hidup lima tahun penderita kanker kolorektaL Diharapkan kepada masyarakat terutama umur 40 tahun ke atas untuk segera memeriksakan diri hila ada keluhan pada saluran pencernaan sehingga kalaupun temyata kanker kolorektal maka akan ditemukan pada stadium lebih awal.
Abstract
Background: Colorectal cancer (CRC) disease is a kind of cancer disease with increasing incidence, prevalence, and mortality nowadays, Objective: This research is aimed to know the effect of cancer clinical stadiums on five~ year survival of colorectal cancer patients. Design: The design of this research is retrospective cohor4 using as sample 116 colorectal cancer patients who got their first treatment in RSKD from J 994 to 2004. Bivariate analysis was done with Log Rank Test and the probability curve of survival used Kaplan Meier method. Multivariate analysis was done with Cox Proportional Hazard Regression. Result : It is found that the number of colorectal cancer patients' death during 5 years of follow up is 46 (39.7%). Patients' probability of 5-year survival as overall survival is 42.23% with a median of36 months. The probabilities of 5-year survival by Dukes' slage are Dukes B being 74.38%, Dukes C 37.28%, and Dukes D 22.28%. For early stadium it is 74.38% and advanced stadiwn 31.58%. Cox regression analysis reveals that advanced stadium has a death risk of 4.83 times (95%CI: 1, 72- 13.60) higher than early stadium before controlling otller variables; and after controlling cell differentiation degree, age, marital status, preoperative amount of white blood cell, and treatment status, advanced stadiwn death risk becomes 937 times (95%C!: 2.88-30.48) than early stadium. Conclusion and Suggestion: lt. is proved that stadium is strong and significant prognostic !actor of colorectal cancer patients' 5 year-survival. It is hoped that all people especially those who are 50 years old up to gel themselves cheeked immediately when they have complaints about their digestive system
2009
T32492
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Qothrunnada
Abstrak :
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang terkait kemampuannya untuk melakukan sebuah tindakan. Untuk mengatasi rendahnya tingkat efikasi diri ostomates diperlukan pengetahuan terkait faktor yang berhubungan dengan efikasi diri. Tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan efikasi diri pada ostomates. Penelitian bersifat korelasional dengan desain cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner sosiodemografik dan Stoma Self-Efficacy Scale. Data dianalisis menggunakan uji Krusikal wallis dan Chi Square. Hasil penelitian yaitu rata-rata usia responden 45.53 Tahun. Mayoritas responden laki-laki (67,6%), menikah (94,1%), pendidikan terakhir perguruan tinggi (50,0%), bekerja (67,6%), menderita kanker selama 1-4 tahun (67,6%), dan memiliki tingkat efikasi diri sedang (76,5%). Berdasarkan analisis bivariat variabel, diperoleh hasil faktor yang berhubungan dengan efikasi diri adalah lama menderita kanker, sedangkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, Pendidikan tidak berhubungan dengan efikasi diri. Perawat berperan penting sebagai fasilitator dan educator agar efikasi diri dapat tercapai lebih optimal. ......Self-efficacy is a person's belief regarding his ability to perform an action. To overcome the low self-efficacy level of ostomates, knowledge regarding factors related to self-efficacy is needed. The aim of this research is to analyze the factors related to self-efficacy in ostomates. This research is correlational with cross-sectional design. Sampling was done by total sampling technique. Data collection was carried out using a sociodemographic questionnaire and Stoma Self-Efficacy Scale. Data were analyzed using Crusical Wallis and Chi Square tests. The results of the study are the average age of the respondents 45.53 years. The majority of respondents were male (67.6%), married (94.1%), graduated from university (50.0%), worked (67.6%), had cancer for 1-4 years (67.6 %), and has a moderate level of self-efficacy (76.5%). Based on the bivariate analysis of variables, the results of factors related to self-efficacy are length of time with cancer, while age, gender, marital status, education are not related to self-efficacy. Nurses play an important role as facilitators and educators so that self-efficacy can be achieved more optimally.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayan Permana Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker kolorektal merupakan kondisi keganasan pada kolon dan rektum yang dapat menimbulkan masalah baik secara fisik maupun psikologis. Karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan analisis asuhan keperawatan kolostomi pada pasien dengan kanker kolorektal. Dalam karya ilmiah ini digunakan metode intervensi sesuai Nursing Intervention Classification dengan melibatkan satu pasien dengan kanker kolorektal. Hasil analisis dari studi literatur dan intervensi yang dilakukan menunjukkan bahwa stoma berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien. Peran perawat dalam mempersiapkan discharge planning yang maksimal membantu penerimaan pasien terhadap stoma. Peran perawat sebagai care giver, edukator dan konselor sangat diperlukan dalam mengatasi masalah fisik dan psikologis pasien dengan kanker kolorektal.
ABSTRACT
Colorectal cancer is malignant condition in colon and rectum that could cause problems in both physically and psychologically. This study aimed to describe the analysis of colostomy nursing care in patients with cancer colorectal. This study used intervention methodes based on Nursing Intervention Classification which evaluated one patient. The result of analysis that based on literature review and intervention indicated stoma impact on the quality of life of patient. The role of the nurse in preparing discharge planning maximum help admission to the stoma. The role of the nurse as care giver, educators, counselors are needed to overcome the physical and psychological problems of patients with cancer colorectal.
2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>