Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soeparman
"ABSTRAK
Pembaharuan undang-undang perpajakan yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara yang tercantum di dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah terujud dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ten-tang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Tujuan utama pembaharuan perpajakan menurut Menteri Keuangan dalam penjelasannya mengenai ketiga Rencana Undang-Undang itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat adalah untuk lebih menegakkan kemandirian bangsa Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan segenap potensi dan kemampuan diri dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak dan gas alam.
"
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandi Tri Susilaningsih
"Fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam Tata Peradilan Pidana, bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, tetapi melalui sejarah perkembangan panjang mengikuti sejarah kebangsaan, perkembangan hukum dan budaya bangsa Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan berasal dari suatu embrio yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan Lembaga Kepenjaraan, sebagai konsekuensi dari adanya jenis pidana penjara, pada pasal 10 KUHP, sehingga selalu ada keterkaitan antara tujuan pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan khususnya pidana penjara, walaupun tolok ukur diantara keduanya berbeda namun saling melengkapi, saling mempengaruhi, dan selalu terkait dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, pelaksanaa putusan bahkan sampai terpidana bebas, apalagi Lembaga Pemasyarakatan berfungsi juga sebagai Rumah Tahanan Negara, sehingga menghendaki keterpaduan, dan diperlukan koordinasi antar instansi penegak hukum.
Fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk melaksanakan pidana penjara, terkait fungsi kekuasaan kehakiman yaitu membantu hakim mewujudkan putusan pidananya, sehingga diperlukan pengawasan Hakim Wasmat, di sisi lain, sebagai aparat.pemerintah maka dituntut untuk melakukan pembinaan narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, untuk itu Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang untuk meringankan masa hukuman berupa remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas dan pelepasan bersyarat, dan ini menentukan tolok ukur keberhasilan Lembaga Pemasyarakatan.
Pelaksanaannya menemui berbagai hambatan seperti persepsi tentang sistem pemasyarakatan diartikan dengan kelonggaran-kelonggaran, sumber daya manusia yang tidak sebanding dengan kualitas dan kuantitas kejahatan, sarana dan prasarana yang terbatas, rendahnya budaya hukum petugas pemasyarakatan, pengawasan/penegakan hukum yang lemah, lebih-lebih terjadi peredaran uang di Lembaga Pemasyarakatan menjadi pemicu utama terjadinya transformasi penderitaan dari sistem kepenjaraan berupa penderitaan fisik menjadi penderitaan ekonomis, untuk itu diperlukan terobosan pengawasan yang bisa diakses langsung oleh Pengawas yang sifatnya transparan sehingga mampu menyentuh akar permasalahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusep Antonius
"ABSTRAK
Secara umum tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan dalam penanganan klien pemasyarakatan dari mulai pra ajudikasi sampai post ajudikasi dan apa saja kendala-kendala yang dihadapinya. Peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan (Bapas) tidak terlepas dari tujuan sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan salah satu kebijakan negara (public policy) dalam rangka menanggulangi kejahatan yang telah mengganggu ketertiban umum melalui proses penegakan hukum. Adapun kebijakan lainnya adalah penanggulangan kejahatan yang bersifat non-penal antara lain melalui upaya membangun kesejahteraan rakyat
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan peran dan fungsi Bapas adalah meliputi : keterbatasan anggaran, keterbatasan instrumen dan metode litmas, kurang kondusifnya lingkungan kerja Bapas (faktor internal dan eksternal), keterbatasan perangkat hukum dan implementasinya, masih rendahnya kualitas PK, dan keterbatasan dalam proses pembimbingan.
Peran dan fungsi Bapas belum sesuai antara teori yang ada dengan praktek dilapangan, baik pada tahap pra ajudikasi maupun pada tahap post ajudikasi. Oleh karena itu disarankan adanya perombakan perangkat hukum, meningkatkan kinerja PK dengan memberikan pelatihan-pelatihan, perlunya perhitungan kembali besar anggaran bagi Bapas, adanya metode-metode khusus dalam memberikan pembimbingan kepada klien Bapas, adanya pembaharuan pasca institusi-institusi lain yang berkaitan termasuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Mengingat Bapas bukan satu-satunya institusi yang terlibat dalam peradilan pidana anak

ABSTRACT
In general this research target is give the imagine of about role and function of Balai Pemasyarakatan in handling of client pemasyarakatan from starting pre adjudication until post adjudication and any kind of constraints faced. Role and function of Balai Pemasyarakatan (Bapas) is not quit of judicature crime system target. Crime Judicature system is one of state policy (public policy) in order to overcoming the badness which have bothered the public orderliness through the straightening of law process. As for other policy is crime overcoming having the character of non-penal for example through build the people prosperity.
The factors becoming constraint in execution of Bapas role and function is consist of : budget limitation, limitation of instrument and social research (litmas) method, less conducive of work environmental the Bapas (internal and external factor), limitation of law peripheral and its implementation, still lower the quality of social counsellor (PK), and limitation in client tuition process.
Role And function of Bapas have not same yet between theory and the practice, as good at pre adjudication phase or at phase of post adjudication. Therefore, suggested by the changing of law peripheral, improving performance of PK by giving the training, the importance to review Bapas budget, existence of special methods in giving tuition to Bapas client, existence of renewal to other related institution including police, public attorney and justice. Considering Bapas is not only one institution which concerned in child criminal justice.
"
2007
T20500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozali Abdullah
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
342.06 ROZ h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Hadisuprapto, 1949-
"ABSTRAK
Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan pernyataan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut sekaligus terkandung di dalamnya pernyataan untuk merdeka dan bebas dari ikatan belenggu penjajahan hukum kolonial. Ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai de ngan membentuk pemerintah negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Dengan demikian cita-cita atau keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan tersebut, bukan sekedar cita-cita untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas tetapi "berkehidupan yang bebas dalam keteraturan" atau "berkehidupan yang bebas dalam suasana tertib hukum". Ini berarti proklamasi kemerdekaan seperti terungkap dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan juga usaha pembaharuan hukum di Indonesia.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya Undang-undang Dasar 1945 tentunya tidak boleh dilepaskan dari landasan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila". Inilah garis kebijaksanaan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan pembaharuan hukum di Indonesia."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Lefi Haliano Putra
"ABSTRAK
Kedudukan hukum tanah ulayat sebagai hak konstitusional masyarakat adat masih banyakbelum disadari oleh masyarakat adat itu sendiri berikut pihak-pihak lain yang terkait. Takjarang terjadi banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat mulai dari sebab yanglegal seperti akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka, hinggatindakan-tindakan ilegal yang dilakukan oleh pihak lain seperti penyerobotan lahan. Haltersebut pada akhirnya menimbulkan urgensi pembentukan sistem peradilan yang baru yanglebih sesuai dan solutif untuk persoalan tanah ulayat, suatu sistem peradilan yang cepat,murah, sederhana, dan tentu saja berpihak pada hak konstitusional masyarakat adat. Metodepenelitian yang digunakan dalam hal ini berupa tipe penelitian Normatif, tipologi penelitianPreskriptif, menggunakan jenis data Sekunder, melalui pendekatan perundang-undangan,pendekatan konsep, pendekatan sejarah, pendekatan kasus. Dalam hal ini gagasan konsepsistem peradilan lokal agraria merupakan suatu gagasan yang akan menjawab persoalanpersoalanyang menghampiri tanah ulayat masyarakat adat, dengan keistimewaan titik beratkeputusan diserahkan secara merdeka kepada masyarakat adat, dengan keberpihakanpemerintah kepada masyarakat adat, dan tentu saja didesain sedemikian rupa sehingga sesuaidengan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia.Kata Kunci : Tanah Ulayat, Masyarakat Adat, Sistem Peradilan, Agraria

ABSTRACT
Law Position of community law as a contitutional right for traditional community still notaware by traditional community itself included related parties. It rsquo s often happenend manyproblem faced by traditional community such a legal cause like effect of government wisdomwhich is not take sides for them, also illegal actions which is doing by other parties likeillegal occupancy of land. in the end those problem make an urgency to establishment thenew law system, which is more compatible and giving solution for community land problem,a judicature system which is fast, cheap, simple, and of course takes a side to constitutionalright of traditional community. Research method which used is normative type research,prescriptive research typology, using secondary source, through legislation approachment,concept approachment, history approachment, and case approachment. In this case the ideaof local judicature system establishment is an idea which can to answer community landproblems, which is the privilege decision is given to traditional community, with thegovernment takes side to traditional community, and of course designed to fit for IndonesianRepublic state structure.Keywords Community Land, Traditional Community, Judicature System, Agrarian"
2017
T47261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Herdiawan
"ABSTRAK
BPK memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara. Penyelesaian kerugian negara/daerah yang menjadi
tanggung jawab bendahara diatur tata cara penyelesaiannya oleh Peraturan BPK
Nomor 3 Tahun 2007, dimana dinyatakan dalam Pasal 41 Peraturan BPK Nomor
3 Tahun 2007 Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan
Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian negara terhadap
bendahara. Sebagai bagian dari penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
bertujuan untuk pemulihan keuangan negara/daerah dan tertib administrasi dalam
pengelolaan keuangan negara/daerah, Majelis Tuntutan Perbendaharaan pada
BPK memegang peranan penting khususnya dalam penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah yang penanggungjawabnya adalah bendahara. Dengan
menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan, penulisan ini
bermaksud menjelaskan kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam
menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara
dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia.
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penulisan ini, disimpulkan
bahwa kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharan dalam menilai dan/atau
menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem
Peradilan Administrasi di Indonesia adalah bahwa Majelis Tuntutan
Perbendaharaan tidak termasuk dalam Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia
karena pada proses menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah
terhadap bendahara Majelis Panel dalam Majelis Tuntutan Perbendaharaan
menjalankan fungsi quasi administratif atau berlaku selayaknya pimpinan
instansi/lembaga terhadap pegawai dalam lingkungannya.

ABSTRACT
The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK RI), have the
authority to assess and determine the amount of loss suffered by the state caused
by a treasurer’s illegal action both intended or by negligance. State assessments
and state financial losses or the determination of which party is obliged to pay
compensation determined by the decision of BPK RI. The settlements in which the
treasurer obliged to, is ruled by BPK Regulations Number 3 Year 2007, in which
Article 41 of the regulation stated that BPK RI can formed a Treasury
Prosecution Council to process the state financial loss settlements to the
treasurer. As a part of state financial loss settlements system that pursue the
relieve of the state financial and an administration order in state financial
management, BPK RI’s Treasury Prosecution Council held an important role,
especially in state financial loss settlements obliged to a treasurer. By using
literatures and laws study, this research intented to explain and clearing the
Treasury Prosecution Council’s stand in the Administrative Judicature System of
Indonesia.
Based on the analysis conducted in this research, it is concluded that the
Treasury Prosecution Council in doing assessments and/or determination of a
state financial loss obliged to a trasurer is not a part of the Administrative
Judicature System of Indonesia because it doesn’t do any court function. The
conclusion was higlighting that in the assessing and/or determining process, the
Panel in the Treasury Prosecution Council was doing a quasi administrative
function or in other word it act as if it were the head of the office in giving
assessments and determinations."
Jakarta: Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2014
T39097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erry Ayudhiansyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas permasalahan mengenai eksistensi atau keberadaan kuasa hukum yang mewakili wajib pajak dan atau penanggung pajak sebagai pemohon banding atau gugatan pada pengadilan pajak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kuasa hukum yang dapat beracara mewakili kliennya pada pengadilan pajak dan kemudian menganalisis relevansi keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau disebut juga penelitian kepustakaan yang bersifat analisis terhadap norma hukum. Setelah dilakukan analisis terhadap topik penelitian yang dilakukan, didapatkan suatu kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai eksistensi kuasa hukum yang dapat beracara pada pengadilan pajak yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2012 jo. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak merupakan peraturan yang inkonstitusional dan tidak relevan khususnya dalam mengatur eksistensi kuasa hukum pada pengadilan pajak, oleh karena itu hasil penelitian ini menyarankan agar segera dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan dimaksud.

ABSTRACT
The focus of this examination is regarding authority of power attorney for represent tax obligator and tax guarantor as one who requests or to request for appeal in the tax court. The purpose of this examination is to analyst the regulation which arrange about tax lawyer that can represent client in the tax court and the relevance of the regulation itself. Method for this examination is juridical normative which focus on the norm of law that exsist in the legislation and in the bibliography to be analyst. In conclusion which must be considered is to known that related to litigate in the tax court we have to look up for Ministry of finance regulation No. 61/PMK.01/2012 jo. Act. 34 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 about tax court, which is found to be not relevant to manage tax lawyer in tax court that is why the regulation must have some revision."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Priojati
"Kemajuan tehnologi berkembang dengan amat pesat dan tidak dapat dihindari oleh siapapun dan negara manapun. Seiring dengan perkembangan tehnologi tersebut menimbulkan permasalahan dengan Hukum Acara yang berlaku disuatu negara terutama negara berkembang seperti: Indonesia. Salah satu produk kemajuan tehnologi yang menimbulkan polemik adalah pemeriksaan saksi melalui media teleconference dengan Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Peradilan Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 10 masih mengacu pada Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia dalam hal ini Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana terutama Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi "keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang saksi nyatakan didepan sidang pengadilan".
Sudah seharusnya Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia tidaklah tepat mengacu pada Hukum Acara Pidana meiigingat pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia merupakan Extra Ordinary Crimes sehingga tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa (Ordinary Crimes) Sehingga menimbulkan perdebatan dalam hal kehadiran saksi apakah mutlak hadir secara fisik di muka persidangan tanpa terkecuali, sedangkan penggunaan teleconference dengan berbagai alasan seperti sakit atau keamanannya tidak terjamin bila memberikan kesaksian dimuka persidangan karena terdakwanya adalah seorang yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk mengancam keselamatan saksi. Meskipun tidak hadir secara langsung kernuka persidangan keterangan saksi melalui media teleconference telah "hadir" dengan dapat dilihat langsung oleh aparat penegak hukum maupun pengunjung sidang melalui Iayar kaca yang ada dan dapat di check secara silang persesuaiannya oleh hakim pada kedua belah pihak yang bersengketa.
Penggunaan keterangan saksi melalui media teleconference adalah sangat penting terutama untuk kasus pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia, terorisme, pencucian uang, obat - obatan terlarang dan sebagainya. Berkaitan dengan permasalahan di bidang hukum tersebut maka tujuan penulisan ini adalah membahas serta memecahkan permasalahan mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi dengan jarak jauh dan saksi tidak hadir secara Iangsung ke muka persidangan.

Progress of technology expand very fast and cannot avoided by anyone and any countries. Along with growth of the technology generate problems of Criminal Code that effected in a country especially developing countries like: Indonesia. One of the product of technology progress which generate polemic is interrogation of witness through teleconference media in Criminal Code and Human Rights Judicature Code which in Section 10 still refer to Criminal Code that effected in Indonesia in this case Criminal Code especially Section 185 sentence (1) KUHAP sounding " eyewitness description as a means of evidence is eyewitness description which is eyewitness state in front of court".
It Have ought to Human Rights Court Code is not precisely refer to Criminal Code remember perpetrator of heavy violation of Human right is Extra Ordinary Crimes so that not earn to be compared to badness of habit ( Ordinary Crimes) Causing debate in the case of attendance of eyewitness do absolute attend by physically in the face of conference without aside from, while usage of teleconference by various reason like the security or pain of not well guaranteed if/when giving witness in the face of conference because the defendant of is a having strength and power to menace safety of eyewitness. Absent though directly conference of eyewitness description through media of teleconference have " attended" earned direct vision by enforcers government officer punish and visitor of conference through existing glass screen and earn in check cross the concord of by judge at both parties which was have dispute.
Usage of eyewitness description through media of teleconference is of vital importance especially for the case of heavy collision to Human right, terrorism, wash of money, forbidden drug etcetera. Problems relating to in the law area hence this writing target is to study and also solve problems concerning teleconference as one of the evidence appliance in checking eyewitness description with long distance and absent eyewitness directly to conference face.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15085
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library