Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arie Fernando
Abstrak :
ABSTRAK
Permasalahan sampah di Indonesia tidak hanya berakibat buruk pada lingkungan tapi sudah merenggut korban jiwa. Tahun 2006 di TPA Bantargebang tiga orang meninggal terkubur sampah. Pada tahun 2003 masa pengoperasian TPA Bantar Gebang telah berakhir. Saat itu Pemprop DKI Jakarta melakukan pembuangan sampah ke TPA Cilincing, Jakarta Utara. Pembuangan sampah dilakukan dengan Cara open dumping sehingga menyebabkan petambak menanggung kerugian hingga puluhan juta rupiah. Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kabupaten Serang sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta mempunyai masalah yang sama dalam pengelolaan sampah. Penelitian dilakukan untuk menentukan teknologi pengolahan sampan di TPA regional, mengidentifikasi potensi pembiayaan pengolahan sampah, dan mengidentifikasi bentuk kelembagaan pengolahan sampah untuk Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kabupaten Serang dengan konsep TPA regional. Metode untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan analisis SWOT, metode analisis manfaat biaya dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa teknologi pengolahan sampah dengan analisis SWOT untuk TPA regional daerah Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kabupaten Serang adalah pengkomposan dan sanitary landfill. Pembiayaan TPA regional membutuhkan dana sekitar Rp 207 milyar. Lembaga pengelola TPA regional berbentuk Badan Layanan Umum (BLU). Untuk mendukung terlaksananya TPA regional daerah Kota Jakarta Barat, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kabupaten Serang perlu diambil langkah melakukan studi daya dukung sosial pada bakal talon lokasi TPA regional untuk mengetahui potensi penerimaan masyarakat terhadap rencana TPA regional dan memulai proses kerjasama antar daerah di bidang persampahan.
2007
T 20788
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutriyadi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui unsur-unsur yang menentukan lokasi pembuangan sampah padat di kota Surabaya, 2. Menentukan kriteria-kriteria yang cocok untuk lokasi pembuangan akhir sampah padat yang mendukung ketahanan kota. Metode penelitian, adalah metode deskriptif kuantitatif, yang dilaksanakan dengan menggunakan model Analytical Hierarchi Process atau AHP. Penelitian dengan model AHP adalah penelitian dengan cara menghitung antar elemen yang berpengaruh dari elemen yang diperbandingkan pada tiap hirarki. Parameter dari tiap elemen, ditentukan lebih dahulu dengan menyusun skala prioritas sebagai patokan. Untuk memudahkan perhitungan, maka antar elemen yang diperbandingkan, disusun dalam matriks berpasangan. Dari perhitungan matriks berpasangan itu akan diketemukan eigen vektor lokal dari tiap hirarki. Hasil eigen vektor lokal disusun secara sintesa untuk mendapatkan eigen vektor menyeluruh. Dan eigen vektor menyeluruh akan didapat angka-angka dan tiap elemen yang menjadi pilihan. Pilihan yang dimaksud yaitu lokasi A, di daerah Keputih, lokasi B, di daerah Benowo, lokasi C, lokasi lain 1 luar Surabaya dan lokasi D, lokasi dengan teknologi. Angka yang mendekati 1 (satu), adalah angka yang ideal untuk dipilih. Penelitian menggunakan model AHP ini perhitungannya dibantu dengan program komputer HI - Pre generasi ke tiga. Hasil penelitian menunjukkan, angka tertinggi untuk pemilihan lokasi tertuju pada pilihan lokasi B, yaitu lokasi di daerah Benowo yang memperoleh skor 0,498 atau 49,8 %. Dalam penentuan lokasi pembuangan akhir sampah padat, unsur-unsur yang berperan adalah Pemerintah Kota Surabaya, masyarakat sekitar lokasi TPA dan masyarakat dalam kota. Pilihan tertinggi tertuju pada lokasi di daerah Benowo, karena lokasi ini dinilai paling bisa menampung volume sampah padat dengan jumlah banyak dalam waktu yang lama, paling kecil rawan konflik, paling rendah dalam menimbulkan dampak lingkungan dan lalu-lintas operasional pembuangan dari sumber sampah ke lokasi pembuangan akhir, paling rendah dalam mengganggu aktifitas kerja penduduk lain.
The objectives of this research are: 1. To find the elements which determine the location of the disposal of compact waste in Surabaya; 2. To determine the criteria of the location which is suitable for final disposal of the compact waste, which support the city's resilience. The research methodology is the descriptive quantitative method utilizing the Analytical Hierarchy Process or AHP. Researches utilizing the AHP model are researches using the way of calculating intra influential elements, which are compared at each hierarchy. The parameters of each element are first determined by arranging the priority scales as guidance's. To facilitate the calculations, the intra-compared elements are arranged in pair wise matrixes. Form the calculations of the pair wise matrixes will be found the local eigen vector of each hierarchy. The local eigen vector results are arranged by synthesis to find the over-all eigen vector. From the overall eigen vector numbers of each chosen element will be found, namely the A location at Keputih, location B at Benowo, location C other location at outside Surabaya, and location D which is using technology. The number approaching 1; is the ideal number to be chosen. This research is computed by using the computer program of Hi-Pre 3-rd generation. The result of this results show, the highest number for the location alternative falls on location B, meaning the location in Benowo, which achieves the score of 0.498 or 49.8 %. In determining the location of the final waste disposal the elements, which play a role, are the Surabaya City Government, the community in the environment of the location of the final disposal and the community in the city. The most preferred location is in Benowo, since this location is able to contain the largest volume the compact waste in large amounts an for a long duration, has the smallest possibility in causing conflicts, the lowest environmental impact, the nearest distance of operational waste disposal traffic from the source of the waste to the location of the final waste disposal, and the lowest effect in influencing the work activities of the other inhabitants.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasichatun Asca
Abstrak :
Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah. Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai. Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan. Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Seri Rezeki Kusumastuti
Abstrak :
Sampah dan pengelolaannya merupakan prioritas utama penanganan masalah yang harus diselesaikan di DKI Jakarta. Sistem yang diandalkan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta adalah sistem sanitary landfill yang mengandalkan lahan Bantar Gebang sebagai TPA. Saat ini sistem sanitary landfill tidak dapat diandalkan lagi karena tidak sanggup menyelesaikan permasalahan persampahan dengan tuntas dan sudah mengalami tingkat kejenuhan, dan menimbulkan banyak masalah pencemaran. Selain itu, kontrak akan berakhir pada Bulan Desember tahun 2003. Strategi pengolahan sampah skala kawasan, misalnya kawasan permukiman, merupakan salah satu strategi yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah persampahan di Jakarta. Manfaat kegiatan ini adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya serta memberikan dampak yang baik bagi lingkungan, dan dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat atau bekerja sama dengan sektor informal. Selain manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat, terdapat juga biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan untuk mengetahui manfaatnya dari aspek ekonomi, dan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini dapat mengurangi jumlah timbulan sampah, menghitung manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan dan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat sebagai jasa pengolahan sampah. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi Pemda DKI Jakarta maupun swasta untuk dapat mengadakan pengolahan sampah terpadu dalam skala kawasan, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi ketergantungan pada TPA. Penelian ini mengkaji manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan dengan mengambil kasus di TPS Rawa Kerbau, Kotamadya Jakarta Pusat. Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder adalah metode eksperimental untuk mengetahui komposisi dan jumlah timbunan sampah, kemudian untuk memperoleh data proyeksi manfaat dan biaya pengolahan sampah terpadu skala kawasan digunakan metode survei dengan teknik wawancara langsung kepada pengelola TPS Rawa Kerbau, pakar sampah dari BPPT, Dinas Kebersihan Kotamadya Jakarta Pusat, Kelurahan Cempaka Putih Timur, Instansi terkait lainnya, masyarakat sekitar, dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode analisis biaya manfaat yang diperluas dengan memasukkan manfaat dan biaya lingkungan (extended benefit cost (analysis), serta analisis ekonomi. TPS Rawa Kerbau memiliki luas 1.500 m2 dan melayani wilayah permukiman penduduk, yaitu RW 01 dan RW 02 dengan jumlah RT sebanyak 9 (sembilan) yang terdiri atas 406 KK. Jumlah timbulan rata-rata perhari di TPS Rawa Kerbau dari hasil pengujian adalah 13,14 m2 dan berat 3.096,75 kg. Komposisi sampah yang diperoleh terdiri atas 11 komponen, yaitu sampah organik (mudah membusuk), plastik, kertas, tekstil, kaca/gelas, kaleng, baterai, styrofoam, kayu, logam, dan campuran. Komponen sampah dalam % berat yang paling banyak adalah sampah organik 69,87%, sedangkan jenis sampah yang paling sedikit adalah styrofoam 0,04%. Proses yang dirancang dalam usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini berupa pemilahan dan pembuatan kompos. Sampah lainnya yang bernilai komersil langsung dijual ke bandar. Peralatan dan mesin yang digunakan dalam kegiatan berupa belt conveyor untuk membantu mempermudah pemilahan sampah dan alat pendukung lainnya, seperti sapu lidi, cangkul, sekop, sarung tangan, dan sepatu boot. Proses yang sederhana dan penggunaan mesin yang seminimal mungkin akan lebih memudahkan pemeliharaannya dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Hal ini dapat mendorong timbulnya keinginan masyarakat maupun sektor informal lainnya untuk melakukan usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan. Dengan semakin banyaknya pusat pengolahan sampah terpadu skala kawasan, maka semakin mengurangi beban di TPA. Manfaat langsung pengolahan sampah terpadu skala kawasan terdiri atas penghasilan dari penjualan kompos dan pemanfaatan daur ulang sampah komersil sebesar Rp. 203.228.400,00 / tahun. Manfaat tak langsung (lingkungan) adalah nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dengan adanya usaha tersebut sebesar Rp. 53.160.000,00 / tahun. Biaya yang diperlukan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan perawatan sebesar Rp. 223.581.000,00 / tahun dan biaya perlindungan lingkungan sebesar Rp. 2.500.000,00 / tahun. Usaha kegiatan yang akan dilakukan bersifat padat karya sehingga perkiraan penggunaan alat dan biaya semaksimal mungkin mendekati harga yang dapat dijangkau oleh komunitas lokal. Pengolahan sampah terpadu skala kawasan dengan sistem komposting dan pemanfaatan daur ulang sampah dapat mengurangi beban di TPA sebesar 2.716,39 kg/hari atau 87,71%/hari. Besarnya jasa yang dibebankan pada masyarakat untuk kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini adalah Rp. 8.800 per bulan per K.K. Ditinjau dari segi ekonomi dengan menganalisis kelayakan usaha, nilai NPV analisis ekonomi dan extended analysis = Rp. 71.443.000,00 dan Rp. 212.747.000,00; NBCR analisis ekonomi dan extended analysis = 2,01 dan 3,82; IRR analisis ekonomi dan extended analysis = 58% dan 126%; payback period analisis ekonomi dan extended analysis = 1 tahun 6 bulan dan 10 bulan, maka usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan ini layak dilaksanakan. Dari segi lingkungan, usaha kegiatan pengolahan sampah terpadu skala kawasan dapat meningkatkan sanitasi dan estetika lingkungan karena sampah tidak sempat menumpuk dan mengurangi pencemaran lingkungan serta meminimisasi sumber penyakit.
Cost and Benefit Analysis of Integrated Solid Waste Handling (Case Study: TPS Rawa Kerbau, Central Jakarta District)Solid wastes and its management are major priority to the success of problems solving in DKI Jakarta. Sanitary landfill as the disposal of wastes that is implemented by Cleansing Department (Dinas Kebersihan) DKI Jakarta is very depending on Bantar Gebang area as TPA (final disposal site). Nowadays this system is not appropriate enough to be implemented because it cannot overcome solid waste problems successfully, caused many pollution problems, and contract of Bantar Gebang will be ended on December 2003. Small-scale integrated solid waste handling (SISWH), ex. residential area, is one of strategies to solve waste problems in Jakarta. Benefits of the proposed practice are a cost effective and efficient, environmentally acceptable, and cold be conduct by host community or cooperate with informal sector. Besides, costs are needed to carry out this project. Hence, it is important to analyze cost and benefit of SISWH to investigate economic and environmental benefits. The objectiveness of this research are to investigate the capability of small-scale integrated solid wastes handling in diminishing of wastes volume, to analyze cost and benefit, and tariff of wastes handling that is to be paid by host community as a service cost, and also to analyze the feasibility of this project. The result of this research is to provide the decision makers appropriate recommendation on the technical and economic merits of the planned small-scale integrated waste handling, as one of solutions to overcome the dependency on final disposal site. This investigation analyzed the cost and benefit of small-scale solid wastes handling (SSWH), case of Rawa Kerbau TPS (temporary collection site), Central Jakarta District. The experimental method is used to compute the waste volume and composition. The survey method using direct interview technique to Rawa Kerbau collection site manager, expert, Cleansing Department Central Jakarta District, Cempaka Putih Timur village office, other department, local community, and study references is used to investigate cost and benefit estimation of the SSWH Data analysis was conducted using extended benefit cost and economic analysis method. Rawa Kerbau collection site has 1.500 m2 wide and residential dwellings, i.e. 01 and 02 district society (9 RT, 406 Household). The average of solid waste quantity in volume is 13.14 m3 or 3096.75 kg daily. The wastes composition contain of 11 components, which are organic wastes (degradable wastes), plastics of all types, papers, textiles, glass, cans, battery, Styrofoam, wood, metals and mixed wastes. Based on the weight percentage, the largest waste component is organic waste (69.87 %), and the smallest waste is Styrofoam (0,04 %). The design process of this small-scale integrated waste handling are recycling materials and composting. The economic of materials recycled are sold to collection center. Conveyor belt is used to make manual separation of wastes easier. Other supporting equipments are broom, hoe, gloves, and boots. Simplifying method of process into labor intensive ones will make maintaining this machine easier and has possibility to be developed. It may support both host community and informal sector interest to the SISWH. The more center of SISWH, the least wastes to be transported to final disposal site. Direct benefits of SSIWH are compost and recycled materials sale estimation equal to Rp. 203.228.400,00 / year. Indirect benefit (environmental benefit) is environmental quality estimation of the proposed practice equal to Rp. 53.160.000,00 / year. Costs of the project are capital, operational and maintenance estimation cost equal to Rp. 223.581.000,00 / year and cost of environmental protection equal to Rp. 2.500.00,00 / year. The proposed practice planned is a simplifying method of process into labor intensive ones, thus it would be administratively feasible and sensible to host community. SISWH with recycling materials and composting could reduce wastes 2,716.39 kg daily or 87.71%. To this proposed practice, people have to pay about Rp. 8.800 monthly per Household. Charges of this SISWH were calculated based on capital, operational and maintenance costs divided to numbers of capita. Based on economic analysis of feasibility study of this project is feasible because the value of NPV economic analysis = Rp. 71.443.000,00; and extended analysis = Rp. 212.747.000,00; NBCR economic analysis = 2,01 and extended analysis = 3,82; IRR economic analysis = 58% and extended analysis = 126% ; payback period economic analysis - 1 year 6 months and extended analysis 10 months. From terms of technology, SISWH could improve sanitation and aesthetic because wastes handled directly, minimize pollution and disease factors.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunik Sri Wahjuni
Abstrak :
Surakarta is the second biggest city in Central Java. The expansion of the city is directed to the north and south. The expansion to the north side is encouraged by the existing Mojosongo PERUMNAS. The Mojosongo PERUMNAS has been developed to the northeast area approaching the Putri Cempo final waste disposal site. The final waste disposal site is located in the area that consists of volcanic stones, big conglomerates, lava precipitation, tufa, calcareous, and sand stone. The shallow well water in the Nojosongo PERUMNAS tends to be infiltrated by either the leachate or run off from Putri Cempo final waste disposal site, so that the water quality will, of course, be decreasing and potentially will in turn affect the health of community. Clean water is an essential necessity for human being. Only 40% of the urban and semi urban population and 25% of the rural population in Indonesia have access to a reliable supply of clean water. In Surakarta, only a. small part of the population has been supplied with potable water. The purpose of this research is to identify the influence of Putri Cempo final waste disposal site towards the water quality of nearby wells. The quality of well water is compared with water quality criteria from the Health Ministry through its Regulation Number 418/MENKES/PER/IBC/1890. The Location of observed shallow wells was purposely chosen. The sample of well water was collected on two occasions (in the months of July and September). The samples were collected from twelve shallow wells: eight community shallow-wells which are used for daily activities; one unused well; and three other shallow wells purposely made for this re-search. Sampling process was conducted by using standard equipment from Balai Telrnik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta (BTKL Yogyakarta). Samples were analyzed in BTKL Yogyakarta, the examined characteristics were: total suspended solids, iron, manganese, chloride, hardness, sodium, sulphate, BOD, COD, Pb, Cd, Cu and Cr. T Test has been employed to analyze sample collected in the month of July and September. The degree of existing parameters and the distance of the wells have been analytically described. The results indicate that two parameters in lea-chafe (iron and manganese) have exceeded the threshold value of Waste Water Standard as stated in KEP-03/MEIflcLH/I I/ 1991. The wells number 1,2 and 3 which have the distance of 10 in.50 m and 100 m from the final waste disposal respectively have been affected by the lea-chafe; iron and manganese have already exceeded the thres hold value as stated in the regulation number 4l6/MENKES/PER/I/1990 concerning clean water. The content of pollutants has been highest in well number 1 that have the distance of 10 m. T test analysis indicated that season does not affect the quality of well water around the final waste disposal site. Bacteria Escherichia coil was found in high degree in every examined wells. This certify that those 12 examined well water does not fulfill a requirement for potable water. This has got to be seriously paid attention.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasrul
Abstrak :
Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan sistem landfill di Indonesia dimulai sejak tahun 1994. Dasar dari pengelolaan dengan sistem landfill tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Saban Berbahaya dan Beracun. Sebelum adanya PP Nomor 19/1994 tersebut tidak ada Iimbah B3 yang dikelola sesuai dengan standar lingkungan termasuk belum ada landfill limbah B3 di Indonesia. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan industri maka pertumbuhan Iimbah B3 semakin banyak oleh karena itu pemerintah merasa perlu membangun pusat pengelolaan Iimbah B3 termasuk landfill. Terdapat dua alasan mengapa dibangun Pusat Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Pertama, sebagian besar industri di Indonesia merupakan industri skala menengah dan skala kecil. Kedua, jika setiap industri diharuskan untuk mengelola dan menimbun limbahnya sendiri, maka biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar terutama bagi pengahasil skala kecil. Sebagai perbadingan adalah untuk memproses 4000 ton limbah berbahaya biayanya mencapai US$ 539 per ton, sedangkan biaya untuk mengolah 52.000 ton Ilimbah hanya membutuhkan US$ 63 per ton dengan menggunakan "fuel blending process" (Kupchenko, 1993). Namun demikian sudah hampir 12 tahun sejak landfill pertama dibangun di Cileungsi, Bogor, belum ada lagi fasilitas serupa dibangun di tempat lain di Indonesia, padahal ada beberapa investor yang tertarik untuk masuk kedalam bisnis ini. Dilihat dari potensi pasar, maka PT. PPLI yang mengoperasikan landfill limbah B3 di Cileungsi Bogor tersebut baru dapat menyerap sekitar 10% dari potensi pasar limbah B3. Dengan demikian ada sekitar 90% lagi limbah B3 yang dikelola atau dibuang secara illegal. Dari survey yang dilakukan terhadap responden/calon investor diketahui bahwa ada paling tidak empat faktor yang menjadi kendala bagi investor untuk masuk kedalam bisnis landfill yaitu, sulitnya mencari lokasi yang sesuai dengan persyaratan teknis, sulitnya prosedur perizinan, resiko yang relatif besar dan adanya masalah sosial masyarakat. Responden mengharapkan jika keempat kendala tersebut bisa teratasi oleh pemerintah maka akan menarik bagi mereka untuk masuk kedalam bisnis landfill.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T18722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machrunnisa
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas model pengolahan sampah di Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPSI) BSD. Dalam instalasi ini terdapat pengolahan sampah berupa tungku bakar (incinerator), mesin cacah (crusher) dan pengkomposan sistem open windrow. Namun yang saat ini aktif dioperasionalkan adalah mesin cacah dan pengkomposan, akibat kekurangan dana operasional. Untuk mengevaluasi efektivitas model pengolahan sampah di IPST BSD, terlebih dulu dikaji komposisi sampah organik dan anorganik yang akan diolah. Komposisi sampah merupakan salah satu informasi penting dalam menentukan model pengolahan sampah, agar model yang digunakan akan efektif (sesuai sasaran/target). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui perbandingan komposisi sampah organik dan anorganik di IPST BSD adalah 78,8:21,2. Maka, model pengolahan sampah yang saat ini diutamakan pada pengomposan sudah benar. Secara keselunlhan, model pengolahan sampah di IPST BSD sudah efektif dalam mereduksi sampah, namun belum efektif dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan alam. Operasional IPST BSD menimbulkan dampak pada lingkungan berupa bau, dan air lindi. Pengelola belum optimal melakukan pengendalian dampak tersebut khususnya bau, sehingga masyarakat yang ada di sekitar tidak dapat menerima keberadaan IPST BSD. Dari sisi pembiayaan, dana yang berasal dari iuran yang terkumpul dari pengguna jasa IPST BSD dan penjualan kompos belum sesuai biaya operasional yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan dana yang masuk dari pengguna jasa IPST BSD melalui pendekatan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang nomor 12 tahun 2002 lebih kecil dari biaya operasional setiap bulan. Oleh karena itu, pengelola kawasan BSD sebaiknya membuat aturan sendiri tarif iuran pengguna jasa IPST BSD yang disesuaikan kebutuhan biaya operasional setiap bulan. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa secara keseluruhan model pengolahan sampah di IPST BSD belum efektif.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Busri Syahril
Abstrak :
Limbah Padat merupakan barang-barang sisa yang jumlahnya setiap tahun selalu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, perkembangan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Berdasarkan laporan Dinas Kebersihan pada Tahun 1991-1992, volume limbah padat di DKI Jakarta mencapai 23.706 m3/hari. Dewasa ini di DKI Jakarta limbah padat dibuang secaraSanitary Landfill di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) limbah padat Bantar Gebang Kabupaten Bekasi. Sebelumnya limbah padat tersebut dikumpulkan, diangkut dan ditimbun saja pada berbagai areal terbuka atau disebut Open Dumping. Setelah beberapa lama, limbah padat akan terurai dan menjadi kompos. Kemudian lahan bekas TPA tersebut banyak digunakan untuk budidaya tanaman sayur. Besar kemungkinan kandungan logam berat pada media tanam demikian itu cukup tinggi, diantaranya logam kadmium (Cd). Logam Cd tersebut akan diserap oleh tanaman sayur sehingga menjadi sumber asupan bagi tubuh orang yang memakannya. Logam berat Cd dapat menimbulkan berbagai penyakit karena mengganggu ginjal, perapuhan tulang dan bahkan mungkiri menimbulkan penyakit kanker. Penyakit yang diakibatkan oleh Cd ini pernah terjadi di Jepang yaitu timbulnya penyakit yang disebut itai-itai. Untuk mengetahui sampai berapa jauh dampak pemanfaatan TPA sebagai kebun sayur terhadap kandungan Cd pada sayuran, telah dilakukan penelitian eksperimental dengan menanam lima jenis sayuran pada empat media tanam yang diambil dari lahan TPA Lenteng Agung, Sukapura, Calincing, dan Kapuk Kamal disertai tanah dari Depok yang bukan TPA sebagai pembanding. Lima jenis sayur yang dipilih untuk diteliti ialah kangkung (Ipomoea reptans), bayam (Amaranthus tricolor), caisim (Brassica chinensis), kemangi (Dcimum bacilicum), dan selada (Lactuca sativa). Alasannya ialah jenis sayuran inilah yang biasa di budidayakan di lahan bekas TPA yang ada di wilayah DKI Jakarta. Kadar Cd pada kelima jenis media tanam dan kelima jenis sayuran telah diukur dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA=AAS). Selain itu diukur pula kadar Cd pada air siraman dan juga air rebusan sayur untuk mengetahui pengaruh penyiraman dan penurunan kadar Cd setelah sayur dimasak. Hasil yang diperoleh ialah bahwa kadar Cd pada keempat media tanam dari TPA berkisar antara 4,6074-6,1105 ug/g, sedangkan pada media bukan dari TPA hanya 0,1797 ug/g, jadi perbandingannya berkisar antara 25-34 kali. Kadar Cd pada sayur kangkung, bayam, dan caisim pada media dan TPA berkisar antara 1,5616-1,8621 ug/g, kemangi rata-rata 1,0416 ug/g dan selada 0,5110 ug/g, sedangkan media bukan dari TPA hanya 0,0725-0,0618 ug/g pada semua jenis sayur, jadi perbandingannya berkisar antara 6-25 kali. Kadar Cd pada air siraman hanya 0,015-0,017 ug/g sedangkan pada air rebusan hanya 0,002-0,018 ug/g jadi kandungannya sangat kecil. Hubungan antara kandungan Cd pada media tanam dengan Cd pada sayuran yang diteliti itu memenuhi persamaan regresi linier sederhana dengan kisaran koefisien regresi a=0,0012-0,0721; b=0,1046-0,3257 serta koefisien korelasi r=0,8270-0,9920. Hal ini memberi pengertian bahwa hubungan keduanya sangat erat. Kadar Cd pada kelima jenis media tanam dan kelima jenis sayuran telah diukur dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA=AAS). Selain itu diukur pula kadar Cd pada air siraman dan juga air rebusan sayur untuk mengetahui pengaruh penyiraman dan penurunan kadar Cd setelah sayur dimasak. Hasil yang diperoleh ialah bahwa kadar Cd pada keempat media tanam dari TPA berkisar antara 4,6074-6,1105 ug/g, sedangkan pada media bukan dari TPA hanya 0,1797 ug/g, jadi perbandingannya berkisar antara 25-34 kali. Kadar Cd pada sayur kangkung, bayam, dan caisim pada media dari TPA berkisar antara 1,5616-1,8621 ug/g, kemangi rata-rata 1,0416 ug/g dan selada 0,5110 ug/g, sedangkan media bukan dari TPA hanya 0,0725-0,0818 ug/g pada semua jenis sayur, jadi perbandingannya berkisar antara 6-25 kali. Kadar Cd pada air siraman hanya 0,015-0,017 ug/g sedangkan pada air rebusan hanya 0;002-0,018 ug/g jadi kandungannya sangat kecil. Hubungan antara kandungan Cd pada media tanam dengan Cd pada sayuran yang diteliti itu memenuhi persamaan regresi linier sederhana dengan kisaran koefisien regresi a=0,0012-0,0721; b=0,1046-0,3257 serta koefisien korelasi r=0,8270-0,9920. Hal ini memberi pengertian bahwa hubungan keduanya sangat erat. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kadar Cd pada media tanam dari lahan bekas TPA cukup tinggi sehingga pemanfaatan lahan tersebut sebagai kebun sayur dapat menimbulkan dampak berupa tingginya kandungan Cd terutama pada sayur kangkung, bayam, dan Caisim. Asupan rata-rata Cd perhari berdasarkan hasil penelitian ialah berkisar antara 1,2457-35,9607 ug/hari. Dibandingkan dengan asupan maksimum yang masih dapat diterima berdasarkan Acceptable Daily Intake (ADI) antara 40-50 ug/hari, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sayuran yang berasal dari budidaya pada media bekas TPA limbah padat masih dapat dikonsumsi. Namun perlu kewaspadaan, karena beberapa sampel ada yang sudah melebihi ADI.
The amount of solid waste is always increasing number Of the population, income, industry development and other activities. Based on the report the of Cleanliness Office in 1991-1992, the volume of solid waste in DKI Jakarta was 23.706 m3/day. Currently the solid waste of DKI Jakarta is disposed of in a Sanitary or solid waste (Final Disposal Sites) TPA in Bantar Gebang, District of Bekasi. Previously the solid wastes were collected, transported and just piled up in various Open Dumping areas. After a while, the solid waste will be disintegrated to become compost. Then, after a while, many of the former TPA areas are used to cultivate vegetables. The presence of heavy metals in such areas are quite high, among others the Cadmium (Cd). The Cd will be absorbed by the vegetables which in turn will be intaken to the body of the people that consume the vegetables. The Cd is potential for causing various diseases which disturb the kidney , bone brittleness and even a cancer. In order to recognize the extent of Cd content impact by utilizing Final Disposal Sites as a vegetable garden, an experimental research had been done by planting five different types of vegetables using the media which are taken from the TPA area of Lenteng Agung, Sukapura, Calincing, Kapuk Kamal, and Depok a Non TPA which is used as a control. The Five kinds of vegetables examined are kangkung (Ipo moea reptans), amaranth (Amaranthus tricolor), mustard greens (Brassica chinensis), basil (Dcimum bacilicun), and lecttuce (Lactuca sativa). The Cd content in the five types of media and the five kinds of vegetables were measured by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Besides, the Cd content in the water for spraying the vegetables and the water for boiling the vegetable is also measured to recognize the influence of spraying and decrease of Cd content after vegetables has been cooked. The result obtained is that the Cd content in the four growing media of the TPA range from 4,6074-6,1105 ug/g, while in the case non TPA media was only 0,1797 ug/g, thus the ratio range from 25 to 34 times. The Cd con-tent in the kangkung, amaranth, and mustard greens on the TPA media range from 1,5616-1,8621 ug/g, basil at average was 1,0416 ug/g and lecttuce 0,5110 ug/g. In the non TPA media it ranges only 0,0725-0,0818 ug/g in. all types of vegetables. Thus the ratio range from 6-25 times. The Cd content of the spraying water was only 0,015-0,017 ug/g while in the boiling water the range was only 0,002-0,018 ug/g; the ratio is very small, thus the influence can be ignored. The relationship between the Cd content in the media and in the vegetables examined satisfy the simple linier regression equation with a range of regression coefficient a=0,0012-0,0721; b=0,1046-0,3257 and correlation coefficient of r=0,8270-0,9920. This indicates that they are closely related. It can thus be concluded that the Cd content in the media of the former TPA is quite high. Hence, utilization of the land as a vegetable garden will have a negative impact, that is high Cd content, especially in vegetables such as kangkung, amaranth, and mustard greens. The average daily Cd intake based on this study was between 1,2457-35,9607 ug/day. Compared to the tolerable maximum intake based on the Acceptable Daily Intake (AD1) which is between 40-50 ug/day, the results of this research indicate that vegetables results from the cultivated in the media of former solid waste TPA is still safe for consumption. However, we must be alert, because several samples exceeded the ADI.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library