Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nita Trismaya
"Disertasi ini mendiskusikan gejala sosial kembalinya kebaya sebagai busana nasional setelah mengalami masa ‘kehilangan’ seusai reformasi tahun 1998 akibat terjadinya perubahan struktur sosial politik bersamaan dengan keruntuhan Orde Baru. Struktur sosial politik berperan penting dalam perjalanan eksistensi kebaya sehingga ketika negara tidak hadir dalam pemosisian kebaya, maka para aktor yang berasal dari masyarakat mengambil alih peran ini. Salah satu aktor-aktor ini adalah perancang mode yang merancang kebaya berdasarkan selera pasar dan cenderung tidak mematuhi pakem. Di tengah kondisi ini, muncul para perempuan yang mendirikan komunitas kebaya dengan visi mengembalikan kebaya sebagai busana nasional dan mengenalkannya kembali ke masyarakat.  Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan sekitarnya. Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan kajian pustaka. Penelitian ini menunjukkan bahwa kembalinya kebaya dalam masyarakat modern saat ini dilatarbelakangi perubahan sosial politik pasca reformasi di Indonesia dan peran para aktor yang mengubah bentuk dan fungsi kebaya. Aksi para perempuan dalam proses retradisionalisasi kebaya mengatasnamakan nasionalisme namun tidak semua memiliki visi yang sama karena kebaya juga menjadi media mengekspresikan diri para perempuan dari komunitas kebaya.  

This dissertation is discussing about social symptoms of the reappearance of kebaya as national dress, temporarily ‘disappeared’ after reformation era in 1998, due to social and politic structural changes, along with the collapse of the New Order era. The social and political structures play an important role in the journey of kebaya existence, when there is non-existence of government’s presence in positioning of kebaya, all artists that came from society, take over this role. These artists are fashion designers, they design kebaya based on market taste and they tend not to comply with the standard. In this condition, a group of women established a kebaya community with the vision to restore kebaya as a national dress and re-introduce it to the society.  This research is conducted in Jakarta and surrounding sites. The data is collected based on participated observation method, and literature review. This research shows that the re-appearance of kebaya in modern society this time is motivated by social and political changes post reformation in Indonesia, and the roles of the artists that transform the shape and function of kebaya. The action of women in the process of kebaya retraditionalization on behalf of nationalism, but not all of them have a same vision, because kebaya is also becomes a media to self expression to those women from kebaya community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangeran Anugrah
"ABSTRAK
Pria Metroseksual merupakan pria yang tinggal di ibu kota dan cenderung memperhatikan penampilannya khususnya pada area wajah mereka dengan bantuan kosmetik. Pria metroseksual telah memberikan penggeseran terhadap nilai-nilai maskulin yang selama ini lekat pada istilah pria sejati. Kini, pria metroseksual yang memakai make-up mulai mengekspresikan diri mereka melalui media sosial Instagram agar orang disekitar mereka menyadari dan mengerti bahwa pria metroseksual mempunyai pesan dibalik unggahan foto dirinya menggunakan make-up. Media sosial Instagram dipilih sebagai salah satu jalan untuk berekspresi diri oleh pria metroseksual karena Instagram adalah media sosial yang dapat menjangkau banyak orang di sekitar pria metroseksual tersebut dan Instagram dapat menyuarakan isi hati atau ekspresi diri pria metroseksual sesuai keinginan pria metroseksual dengan cara mereka masing-masing. Menggunakan studi literatur, penulisan ini ingin mendeskripsikan pemanfaatan media sosial untuk berekspresi diri serta memberikan gambaran cara pria metroseksual berkespresi diri dengan memakai kosmetik atau make-up melalui media sosial Instagram.

ABSTRACT
Metrosexual men are men who live in the capital city and tend to pay attention to their appearance especially on the area of their faces with the help of cosmetics. Metrosexual men have given a shift to masculine values that have been attached to the term real men. Now, metrosexual men who wear make-up begin to express themselves through Instagram so that people around them realize and understand that the metrosexual man has a message behind the uploaded photos using make-up. Instagram was chosen as one of the paths for self-expression by metrosexual men because Instagram is a social media that can reach many people around the metrosexual man and Instagram can voice metrosexual mens heart or self-expression according to the wishes of metrosexual men in their own way. Using a literature study, this paper wants to describe the use of social media for self-expression and provides an overview of how metrosexual men express themselves by using cosmetics or make-up through Instagram."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Fauziah
"ABSTRAK
Diskriminasi terhadap kelompok gay di Indonesia merupakan latar
belakang dari penelitian ini. Adanya diskriminasi membuat mereka
menyembunyikan identitasnya dan memilih untuk menikah dengan perempuan.
Mereka membutuhkan ruang agar dapat merasa nyaman dan aman untuk
mengekspresikan dan menunjukkan identitasnya. Kemajuan teknologi membantu
mereka dalam menemukan ruang tersebut. Line di dalam penelitian ini dilihat
sebagai sebuah cyberqueer space, yaitu tempat ketika pengalaman-pengalaman
gay dapat terjadi dengan lebih mudah dari pada di offline. Oleh karena itu, melalui
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara
mendalam terhadap ke-enam infoman dan pengamatan baik di online ataupun
offline, saya mencoba melihat identitas dan ekspresi diri yang dilakukan oleh
individu gay di dalam grup mak-mak. Ekspresi yang mereka tunjukkan terlihat
dari pembentukan identitas gay yaitu dari penerimaan hingga perasaan bangga
akan identitasnya. Cara gay mengartikulasi identitasnya di Line berbeda-beda dan
bermacam-macam, ada yang memilih hanya sedikit menambahkan apa yang telah
ada dalam dirinya, ada pula yang mengubah total seluruh identitas aslinya.
Interaksi yang dilakukan dalam grup membentuk hubungan sosial yaitu
pertemanan, romantisme dan pekerjaan.

ABSTRACT
Discrimination against gay group in Indonesia is the background of this
research. Discrimination makes them hide their identity and choose to marry
women. They need space in order to feel comfortable and safe to express and
show their credentials. Advances in technology help them in finding the space.
Line in this study is seen as a cyberqueer space, that place when the experiences
of gay can occur more easily than in the real world. Therefore, through the study
used a qualitative approach with in-depth interviews on all six informant and
observations both in the real world or the virtual world, I try to see the identity
and self-expression by individuals in a group of gay-mak mak. They show visible
expression of gay identity formation, namely from reception to feeling proud of
their identity. How gay identity in Line articulate different and diverse, there are
selected only a few add what we have in him, there is also a change in total
throughout his true identity. Interaction is done in a group that is forming social
relationships of friendship, romance and work."
2016
S65958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Tiffany Candra
"Tulisan ini membahas mengenai utilisasi tari Waacking di Korea Selatan dan Indonesia. Waacking merupakan genre tari modern yang mulai berkembang pada tahun 1970-an. Lahir dari komunitas klub gay di Los Angeles, Waacking menjadi salah satu media ekspresi diri bagi kaum homoseksual pada masa itu. Para penari menggunakan Waacking untuk mengungkapkan perasaannya melalui gerakan-gerakan yang juga berarti sebagai simbol identitas diri mereka. Melalui gerakan ini, penari menyampaikan makna-makna subjektif mereka kepada para penonton. Seiring berjalannya waktu, Waacking mulai dikenal masyarakat di berbagai negara, tidak terkecuali di Korea Selatan dan di Indonesia. Meski teknik yang digunakan masih sama, terdapat perkembangan fungsi Waacking di kedua negara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penggunaan Waacking sebagai media pengenalan budaya nasional oleh waackers Korea Selatan dan Indonesia. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik studi pustaka. Tulisan ini mengacu pada teori tari sebagai sistem simbol dan tari sebagai sarana komunikasi lalu hasil temuan dianalisis dengan sudut pandang artikulasi budaya. Melalui tulisan ini dapat disimpulkan bahwa meski awalnya Waacking digunakan sebagai sarana ekspresi diri dari penindasan, kini Waacking digunakan sebagai sarana pengenalan identitas budaya nasional.

This paper discusses the utilization of Waacking dance in South Korea and Indonesia. Waacking is a modern dance genre that began to develop in the 1970s. Born from the gay club community in Los Angeles, Waacking became one of the media of selfexpression for homosexuals at that time. Dancers use Waacking to express their feelings through movements that also symbolize their self-identity. Through these movements, dancers conveyed their subjective meanings to the audience. Over time, Waacking began to be recognized by people in various countries, including South Korea and Indonesia. Although the techniques used are still the same, there are developments in the function of Waacking in both countries. The purpose of this study is to analyze the use of Waacking as a medium for introducing national culture by South Korean and Indonesian waackers. The method used is descriptive qualitative method with literature study technique. This paper refers to the theory of dance as a symbol system and dance as a means of communication and then the findings are analyzed from the point of view of cultural articulation. Through this paper, it can be concluded that although initially Waacking was used as a means of self-expression from oppression, now Waacking is used as a means of recognizing national cultural identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisita Izzadina
"Kesadaran masyarakat dan informasi mengenai kesehatan mental telah berkembang pesat. Reaksi yang ditimbulkan setelah merasakan adanya gangguan mental itu sendiri bisa jadi kompleks, salah satunya yaitu menyalurkannya menjadi estetika yang diunggah di internet. Penelitian ini mengulas lebih jauh bagaimana praktik dan dinamika yang terjadi dalam pengekspresian konten estetika gangguan mental di media sosial. Dilakukan analisis mengenai alasan yang melatarbelakangi subjek untuk mengunggah konten estetika gangguan mental di internet, batasan bentuk konten estetika gangguan mental yang diterima oleh warganet, serta dampak dari pengunggahan konten estetika gangguan mental di media sosial sebagai bentuk ekspresi. Penelitian ini menggunakan metode etnografi digital. Observasi dilakukan pada tiga media sosial yaitu Twitter, TikTok, dan Instagram, serta dilakukan wawancara kepada tujuh narasumber yang merupakan penyintas gangguan mental yang pernah melihat konten estetika gangguan mental di media sosial, tiga di antaranya turut mengunggah konten estetika gangguan mental. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa alasan informan mengunggah konten estetika gangguan mental di media sosial yaitu untuk ekspresi diri. Praktik pengunggahan yang dilakukan oleh penyintas ini juga menunjukkan adanya agensi, serta tindakan pengunggahan konten dipengaruhi oleh perkembangan internet. Mengenai batasan, terdapat ambivalensi yang terjadi dalam pandangan terhadap penggunaan estetika dalam pengekspresian gangguan mental di media sosial. Pada praktik ini, terdapat dampak positif maupun negatif bagi warganet maupun pengunggah konten.

Nowadays, public awareness and information about mental health has grown rapidly. The reaction towards mental illness itself can be complex, one of which is channeling it into an aesthetic that is uploaded on the internet. This research attempts to understand the practices and dynamics that occur in the expression of aesthetic content of mental illness on social media. In this regard, an analysis was carried out on the reasons for uploading aesthetic content of mental illness on the internet, the limitations of the forms of aesthetic content of mental disorders that would be accepted by netizens, and the impact of uploading aesthetic content of mental illness on social media as a form of expression. This research uses digital ethnographic methods. Observations were made on three social media, namely Twitter, TikTok, and Instagram, and interviews were also conducted with seven interviewees who are survivors of mental illness who have seen aesthetic content of mental illness on social media, three of whom also uploaded aesthetic content of mental illness. From this study, it was found that the reason for informants uploading aesthetic content with mental disorders on social media was for self-expression. The practice of uploading aesthetic content also shows the existence of agency among the survivors, and the act of uploading content is influenced by the growth of the internet. Regarding boundaries, there is ambivalence that occurs in the use of aesthetics in expressing mental disorders on social media. In uploading this content, there are positive and negative impacts for netizen and the content uploaders."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library