Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kurniawan Arif Wicaksono
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan masalah distinction principle dalam hukum humaniter internasional, berikut perkembangan dan kedudukannya serta penerapannya dalam dua bentuk konflik bersenjata yang terjadi, yakni konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan studi kasus atas perkara Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) dan perkara Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). Dalam dua kasus tersebut, masing-masing pihak tergugat dituntut telah melakukan pelanggaran terhadap distinction principle, yaitu tindakan kekerasan dengan tujuan menyebarkan teror kepada penduduk sipil. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menganalisis pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil saat konflik bersenjata terjadi dan bahwa segala bentuk serangan atau ancaman yang dilakukan terhadap penduduk sipil merupakan pelanggaran terhadap distinction principle karena tidak dilakukan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil.

This thesis studies the provisions of distinction principle in international humanitarian law, including its development, influence, and application in the two forms of armed conflict, namely international and non-international armed conflict. The analysis will be conducted with regard to the case of Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) and Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). On the two mentioned cases the accused are charged with a violation of distinction principle by acts of violence which is purposed in spreading terror to civilian populations. Qualitative approach is used to gather resources in writing this thesis. In conclusion, this thesis attempts to underline the importance of protection of civilians in armed conflict and any form of violence that harm civilians is considered a violation of distinction principle since it shows no distinction made between combatant and civilians.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S53011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yudha Apriliasari
"Memorandum of Understanding Helsinki merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM sebagai bentuk penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh secara damai, menyeluruh, dan berkelanjutan. Implementasi atas butir-butir MoU menjadi instrumen bagi pemeliharaan perdamaian positif jangka panjang di Aceh. Pemerintah dan Eks kombatan GAM menjadi aktor penting dalam implementasinya, karena beberapa butir MoU menargetkan langsung pada kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan Eks Kombatan GAM. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, skripsi ini akan menjelaskan bagaimana implementasi MoU Helsinki memperbaiki kesejahteraan eks kombatan GAM pascakonflik. Skripsi ini menggunakan pendekatan welfare criminology dan didukung dengan pemikiran peacemaking criminology dari Richard Quinney dalam menganalisis seberapa jauh implementasi MoU Helsinki berperan sebagai pemelihara perdamaian di Aceh, dan sebagai tolok ukur untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam pemenuhan kesejahteraan sosial bagi eks kombatan GAM, serta menjelaskan permasalahan dalam pengimplementasiannya hingga saat ini.

Helsinki MoU is an agreement between the Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement GAM as the solution of long term conflict in Aceh in peaceful, whole, and sustainable. Implementation of the points of MoU becomes instrument for keeping the long term positive peace in Aceh. The government and the Ex GAM Combatant become important actors in the implementation, because some the MoU points directly target the welfare of Ex GAM Combatants. Using qualitative approach, this undergraduate thesis will explain how implementation of Helsinki MoU repairs the welfare of Ex GAM Combatants post conflict. This undergraduate thesis uses a welfare criminology approach that is supported by Richard Quinney's peacemaking criminology to analyze how far the implementation of Helsinki MoU takes role as the keeper of peace in Aceh, and as an indicator to measure the Government's seriousness in fulfilling social welfare for Ex GAM combatants, and to explain the problems in implementating the MoU until now."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nurmalasari
"Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Diantara berbagai macam hak asasi manusia terdapat hak paling fundamental dalam hukum yakni persamaan kedudukan di muka hukum dan praduga tidak bersalah. Namun demikian dalam beberapa situasi dan kondisi, pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia mungkin saja dilakukan. Polri selaku alat negara diberi kewenangan untuk melakukan pembatasan tersebut, contohnya dalam menangani tindak pidana terorisme. Akan tetapi persoalan terorisme selaku kejahatan transnasional bukan sekedar mengancam keamanan melainkan juga pertahanan suatu negara, untuk itu TNI juga diberi kewenangan dalam menghadapi aksi terorisme. Namun pada prakteknya, Polri merupakan lembaga yang dianggap lebih berkompeten dalam menangani permasalahan terorisme. Bahkan merujuk pada kejahatannya yang luar biasa terdapat suatu persepsi bahwa Polri dapat menembak mati tersangka tindak pidana terorisme. Hal ini tentunya bertentangan dengan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam undang-undang. Polri selaku bagian dalam komponen sistem peradilan pidana, memiliki keterkaitan dengan sejumlah komponen lain berdasarkan asas diferensiasi fungsional. Dalam konteks penyidikan seharusnya Polri mengupayakan agar tersangka tetap hidup, sebab jaksa memiliki kepentingan untuk melakukan penuntutan. Akan tetapi berdasarkan tindakannya Polri menganggap institusinya berwenang untuk menembak mati tersangka, padahal Polri bukan alat tempur. Sementara itu Komnas HAM menilai bahwa perbuatan Polri yang menembak mati para tersangka tanpa didahului dengan upaya pencegahan termasuk dalam Extra Judicial Killing.

One characteristic of the state of law is the recognition of human rights. Among the wide range of human rights are the most fundamental rights in law is equality before the law and the presumption of innocence. However, in some circumstances, restrictions on human rights might be done. Police as an instrument of state is authorized to conduct such restrictions, for example in dealing with terrorism. However, the issue of terrorism as a transnational crime is not just a security threat but also the defense of a country, for the TNI also given authority in the face of terrorism. However, in practice, the police are the institutions that are considered more competent in dealing with the problem of terrorism. Even referring to the extraordinary crime there is a perception that the police can shoot down an act of terrorism suspects. This is certainly contrary to police duties as provided by law. Police as part of the components of the criminal justice system, has been linked with a number of other components based on the principle of functional differentiation. In the context of police investigations should strive for suspects remain alive, because prosecutors have an interest to prosecute. However, based on his actions the institution is authorized to assume police shot and killed the suspect, but the police is not a combat tool. While the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) considers that the actions of the police shooting dead suspects without prior prevention efforts as a Extra Judicial Killing.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library