Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elis Mudjiwati
"ABSTRAK
Konflik sosial terjadi hampir diseluruh Indonesia dan mengakibatkan kerugian baik kerusakan rumah, korban luka- luka bahkan kematian. Remaja sering terlibat koflik sosial dengan menunjukkan perilaku agresif. Koping merupakan kemampuan yang dimiliki remaja agar dapat menurunkan perilaku agresif dalam konflik sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan koping dengan perilaku agresif remaja pada kejadian konflik sosial. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif cross-sectional dengan metode total sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 62 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan koping mengatasi masalah dengan perencanaan dengan agresif fisik, mencari dukungan sosial dengan agresif fisik, dan menghindar dengan agresif verbal. Sedangkan tidak ditemukan hubungan koping konfrontasi, mencari tahu masalah lebih dalam, mengontrol diri, menerima tanggung jawab dan penilaian positif dengan semua jenis perilaku agresif. Rekomendasi penelitian adalah remaja dapat meningkatkan koping dalam menghadapi masalah dengan cara bertanya kepada sahabat, membaca buku yang dapat meningkatkan kemampuan dalam mengatur emosi, serta mengikuti ceramah keagaman. Keluarga juga diharapkan dapat memberikan perhatian dan kasih sayang kepada remaja untuk meningkatkan perilaku adaptif.

ABSTRACT
Social conflicts occur almost all over Indonesia and result in harm to both house damage, injuries and even death. Teenagers often engage in social conflict by showing aggressive behavior. Koping is a capability teenagers have in order to decrease aggressive behavior in social conflicts. The purpose of this research is to know the koping relationship with aggressive behavior of adolescent on the occurrence of social conflict. The research design used was cross sectional quantitative research with total sampling method. Respondents in this study amounted to 62 people. The instrument used in this study is a questionnaire. Data analysis using Chi Square statistical test. The results showed that there is a relationship Planful problem solving with physical aggression, Seeking social support with physical aggression, and Escape Avoidance with verbal aggression. Whilethere is no relationship Confrontive coping, Distancing, Self controlling, Accepting responsibility, and Positive reappraisal with all kinds of aggressive behavior. The research recommendation is that adolescents can improve coping in the face of problems by asking friends, reading books that can improve the ability to manage emotions, and follow the lectures of diversity. Families are also expected to give attention and affection to adolescents to improve adaptive behavior. "
2017
T49132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarot Tri Adiono
"ABSTRAK
Kehidupan berdemokrasi yang semakin berkembang menjadikan rakyat
lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan aspirasi mereka. Bentuk
penyampaian pendapat di muka umum semakin mendapat tempat dan semakin
sering terjadi. Ketika berlangsungnya aksi demonstrasi tidak jarang terjadi
tindakan pemaksaan, pemukulan, dan bahkan sampai pada pengrusakan fasilitas
umum. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbenturan kepentingan antara
demonstran yang menyuarakan aspirasinya dengan polisi yang mengamankan aksi
itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan ingin melihat apakah ada perbedaan persepsi
antara Polisi dan Mahasiswa terhadap perilaku agresif yang dilakukan oleh polisi
dan mahasiswa; yang dilakukan oleh polisi; yang dilakukan oleh mahasiswa
dalam aksi demonstrasi. Serta persepsi Polisi dan Mahasiswa mengenai terjadinya
perilaku agresif tersebut. Sampel diambil menggunakanmetode purposive
sampling dari 60 anggota Satuan Perintis Sabhara Polda Metro Jaya serta 60
mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Gunadharma, Universitas Pancasila
dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Untuk melihat perbedaan tersebut
dilakukan perhitungan t-tesi for independent sample pada skor rata-rata persepsi
masing-masing kelompok. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara persepsi polisi dan mahasiswa terhadap perilaku
agresif yang teijadi dalam aksi demonstrasi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara persepsi Polisi dan Mahasiswa terhadap perilaku
agresif dalam aksi demonstrasi. Baik perilaku agresif yang dilakukan oleh polisi
dan mahasiswa; yang dilakukan oleh polisi; dan yang dilakukan oleh mahasiswa.
Perbedaan ini disebabkan karena banyak faktor yang berpengaruh dalam proses
persepsi, baik itu subyek yang melakukan persepsi, obyek yang dipersepsi
maupun situasi saat persepsi dilakukan. Polisi dan Mahasiswa mempersepsi faktor
frustasi; faktor provokasi; faktor efek senjata; faktor lingkungan fisik serta faktor
kekuasaan dan kepatuhan sebagai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perilaku agresif dalam aksi demonstrasi.
Disarankan untuk diadakan penelitian kembali dengan menggunakan
sampel yang netral (bukan dari polisi dan mahasiswa). Dan karakteristik sampel
yang lebih merata dengan memperhatikan variasi penyebaran pangkat, masa dinas
pada sampel polisi dan penyebaran pengalaman mahasiswa berdasarkan
keikutsertaan mereka dalam aksi demonstrasi."
2003
S3215
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Badrun Susantyo
Jakarta: Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2017
362 SOINF 3:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Magdalena
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Parent-Child Interaction Therapy PCIT dalam mengurangi perilaku agresif anak usia sekolah. PCIT digunakan untuk meningkatkan keterampilan interaksi ibu dengan anak dan keterampilan dalam mendisiplinkan anak. Perilaku agresif diukur dengan menggunakan Eyberg Child Behavior Inventory ECBI . Keterampilan orangtua diukur menggunakan Dyadic Parent-Child Interaction Coding System III DPICS-III . Hasil penelitian menunjukkan bahwa PCIT efektif dalam mengurangi perilaku agresif pada anak usia 9 tahun.

This research was conducted to evaluate the effectiveness of Parent Child Interaction Therapy PCIT to decrease a nine year old child aggressive behavior.The PCIT interaction was used to increase mother rsquo s interaction skills and her ability to discipline her child. The Eyberg Childhood Behavior Inventory ECBI was used to measure aggressive behavior and the Dyadic Parent Child Interaction Coding System III DPICS III is for mother child interaction. The result indicate that PCIT effective to decrease a nine years old child aggressive behavior."
2017
T49616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Rahmah Utami
"Anak middle childhood yang memiliki kondisi Alopecia, atau kondisi medis yang membuat seseorang tidak dapat memiliki rambut di kepala dan/atau di bagian tubuh lainnya, akan sulit menerima kekurangan dirinya. Terlebih, ketika anak sering terpapar dengan reaksi lingkungan yang negatif terhadap penyakitnya, membuat anak rentan mengalami kemarahan. Ketika rasa marah belum dapat diregulasi dengan baik, maka muncul perilaku agresif sebagai bentuk dari ungkapan rasa marah tersebut. Partisipan pada penelitian merupakan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang memiliki kondisi alopecia, memiliki masalah pada rasa marah dan melakukan perilaku agresif, serta memiliki irrational belief mengenai orang yang berada di sekitarnya. Ia beranggapan bahwa setiap orang yang bertanya mengenai topi yang ia kenakan pasti ingin mengejek kepalanya yang botak. Oleh karena itu, partisipan perlu mendapatkan suatu intervensi dengan menggunakan pendekatan kognitif untuk mengajarkan anger management dengan menggunakan prinsip Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) untuk mengelola rasa marah dan mengurangi perilaku agresifnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan Anger Management berdasarkan prinsip REBT untuk menurunkan perilaku agresif pada anak alopecia menggunakan metode penelitian kuasi eksperiman single subject design. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah terbukti efektif.

Children in middle childhood stage who has an Alopecia condition, or a medical condition of someone can never have hair on the head and/or on other parts of body, it will be difficult to accept their shortcomings. Moreover, when children are often exposed to negative environmental reactions to their illness, making children vulnerable to anger. When anger cannot be regulated properly, aggressive behavior emerges as a form of expressing anger. Participant in this study was a nine-year-old boy who had alopecia, had a problem with anger and carried out aggressive behavior, and had an irrational belief about those around him. He assumed that everyone who asked about his hat that he was wearing certainly want to taunt his bald. Therefore, participant need to get an intervention using a cognitive approach to teach anger management. The principles of Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) used in this research to manage anger and reduce aggressive behavior. The aim of this study was to determine the effectiveness of the implementation of Anger Management based on the REBT principle to reduce aggressive behavior in alopecia children using the quasi-experimental method of single subject design. The results obtained from this study are proven effective."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T51867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Marswendy
"Dalam pertandingan sepakbola, perilaku agresif merupakan hal yang biasa dilakukan oleh pemain sepakbola. Perilaku agresif yang biasa ditampilkan adalah perilaku yang diperbolehkan dalam aturan permainan sepakbola, seperti mengganjal, atau membentur pemain lawan. Gejala yang terjadi saat ini tidak hanya perilaku agresif yang diperbolehkan saja yang dilakukan, tetapi perilaku agresif yang dilarang oleh aturan permainan sudah mulai sering dilakukan. Salah satunya terhadap wasit. Menurut Duggan & Rainey (1998), hal tersebut terjadi karena wasit bertindak tidak adil dan pemain meyakini wasit tersebut pantas untuk dihukum.
Dengan latar belakang tersebut disusun penelitian untuk melihat faktor0faktor yang mempengaruhi intensi perilaku agresif pemain sepakbola terhadap wasit sepakbola. Penelitian ini mengambil sampel pemain sepakbola amatir yang berjumlah 37 orang dengan rentang usia 13-25 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah sebuah kuesioner berisi 44 item yang mengukur 7 variabel, yaitu penilaian hasil, kekuatan belief, motivation to comply, belief normatif, belief kontrol yang menghalangi, belief kontrol yang mempermudah, dan intensi.
Metode analisa masalah berupa korelasi Pearson Product Moment, multiple corre/ations dan persamaan multiple regression. Dari hasil perhitungan multiple correlations didapat hubungan yang signifikan antara sikap pemain sepakbola terhadap perilaku agresif kepada wasit, norma subyektif pemain sepakbola terhadap perilaku agresif kepada wasit, dan perceived behavior control terhadap perilaku agresif kepada wasit dengan intensi pemain sepakbola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit (R=0,0,856, p<0,01).
Ini berarti bahwa intensi pemain sepak bola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku agresif kepada wasit yang positif, orang-orang atau kelompok yang dianggap penting oleh pemain sepakbola yang mendukung, dan tersedianya kesempatan dan sumber daya untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit.
Sementara hubungan yang signifikan juga didapat antara sikap pemain sepakbola terhadap perilaku dengan intensi pemain sepakbola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit (r=0,476; p<0,01), norma subyektif pemain sepakbola terhadap perilaku agresif kepada wasit dengan intensi pemain sepakbola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit (r=0,95; p<0,01), dan perceived behavior control terhadap perilaku agresif kepada wasit dengan intensi pemain sepakbola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit (r=0,383; p<0,05).
Sementara persamaan multiple regression yang didapat untuk meramalkan skor intensi pemain sepakbola untuk melakukan perilaku agresif kepada wasit sepakbola adalah : Intensi = 0,301+0,243(STP)+0,022(NS)+0,447(PBC). Untuk menambah gambaran tentang perilaku agresif kepada wasit sepakbola ada baiknya subyek penelitian berasal dari pemain sepakbola profesional yang berada di Liga Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shabrina Nur Amalina
"[ABSTRAKbr
Fenomena remaja melakukan perilaku agresif semakin banyak ditayangkan di media massa. Salah satu faktor penyebab remaja melakukan perilaku agresif yaitu kurangnya stabilitas emosi, yang terbentuk dari keterlibatan ayah dalam kehidupan sang anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku agresif remaja madya. Pengukuran keterlibatan ayah dilakukan menggunakan alat ukur Father Involvement Reported Scale yang disusun oleh Finley dan Schwartz (2004), sedangkan perilaku agresif remaja diukur menggunakan Aggression Questionnaire yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Partisipan penelitian ini berjumlah 436 orang siswa-siswi SMA yang berusia 15-18 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dan perilaku agresif remaja madya (r=-0,117; p<0,05; two-tailed). Ditemukan pula adanya beberapa korelasi signifikan antara keterlibatan ayah dan dimensi-dimensi perilaku agresif. Terdapat hubungan signifikan negatif antara keterlibatan ayah dengan agresi fisik (r=-0,134; p<0,01; two-tailed) dan sikap permusuhan (r=-0,181; p<0,01; two-tailed); serta hasil signifikan positif antara keterlibatan ayah dengan agresi verbal (r=0,130; p<0,01; two-tailed).;Many adolescent aggressive behaviors appeared in media. One of the factors influencing those aggressive behavior is lack of emotional stability, which formed from father involvement in adolescent’s life. The purpose of this research is to examine the correlation between father involvement and middle adolescent aggressive behavior. Father involvement was measured by Father Involvement Reported Scale (Finley & Schwartz, 2004), whereas adolescent aggressive behavior was measured by Aggression Questionnaire (Buss & Perry, 1992). Research participants were 436 high school students aged 15-18 years old. The result of this study indicate that there is significant correlation between father involvement and middle adolescent aggressive behavior (r=-0,117; p<0,05; two-tailed). There are another findings that father involvement has significant correlation with aggressive behavior dimensions, namely physical aggression, hostility, and verbal aggression. There is negative significant correlation between father involvement and both physical aggression (r=-0,134; p<0,01; two-tailed) and hostility (r=-0,181; p<0,01; two-tailed); positive significant correlation between father involvement and verbal aggression (r=0,130; p<0,01; two-tailed)., Many adolescent aggressive behaviors appeared in media. One of the factors influencing those aggressive behavior is lack of emotional stability, which formed from father involvement in adolescent’s life. The purpose of this research is to examine the correlation between father involvement and middle adolescent aggressive behavior. Father involvement was measured by Father Involvement Reported Scale (Finley & Schwartz, 2004), whereas adolescent aggressive behavior was measured by Aggression Questionnaire (Buss & Perry, 1992). Research participants were 436 high school students aged 15-18 years old. The result of this study indicate that there is significant correlation between father involvement and middle adolescent aggressive behavior (r=-0,117; p<0,05; two-tailed). There are another findings that father involvement has significant correlation with aggressive behavior dimensions, namely physical aggression, hostility, and verbal aggression. There is negative significant correlation between father involvement and both physical aggression (r=-0,134; p<0,01; two-tailed) and hostility (r=-0,181; p<0,01; two-tailed); positive significant correlation between father involvement and verbal aggression (r=0,130; p<0,01; two-tailed).]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S58985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ukuh Tri Anjarsari
"Latar Belakang: Remaja usia 10-19 tahun merupakan 16% dari populasi dunia dan secara umum berkontribusi sebanyak 35% terhadap beban kesehatan dunia. Di Indonesia, persentase kelompok usia 15-19 tahun sebagian besar berada di tingkat Sekolah Menengah Atas, dengan proporsi disabilitas pada tahun 2018 sebesar 3,3% berupa agresivitas. Perilaku agresif pada remaja dikatakan dapat memprediksi adanya gangguan psikiatri dan sebaliknya karena usia remaja akhir merupakan masa periode peralihan dari anak-anak menuju dewasa sehingga menjadi waktu yang kritis dalam perkembangan individu dan perilakunya cenderung akan menetap di dewasa muda. Penting untuk mengetahui faktor yang terkait dengan prediksi adanya agresivitas pada remaja, karena masih memungkinkan untuk dilakukan intervensi dini mencegah risiko kriminalitas pada usia dewasa dan juga pendekatan pada kelompok usia yang lebih muda. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran masalah emosi dan perilaku serta faktor-faktor terkait perilaku agresif pada pelajar SMA di Indonesia. Metode: Penelitian dilaksanakan secara potong lintang dengan metode komparatif analitik. Sampel sebanyak 227 pelajar dari seluruh SMA di Indonesia. Pengambilan data dilakukan melalui media daring menggunakan kuesioner demografis, kuesioner Buss-Perry Agression Questionnare (BPAQ)-Versi Indonesia, dan kuesioner Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ)-Versi Indonesia. Data dianalisis dengan bivariat Chi Square dan multivariat regresi logistik. Hasil: Jenis kelamin perempuan, masalah emosional, masalah perilaku, dan hiperaktivitas memiliki hubungan yang bermakna dengan indikasi perilaku agresif tinggi (p<0,05). Berdasarkan uji multivariat, faktor-faktor yang terkait indikasi perilaku agresif tinggi adalah jenis kelamin perempuan (p=0,029), masalah emosional (p=0,004), masalah perilaku (p=0,014), dan hiperaktivitas (p=0,077), dengan R2 sebesar 0,232. Simpulan: Empat faktor yang paling memprediksi terjadinya perilaku agresif pada pelajar SMA, yaitu jenis kelamin perempuan, masalah emosional, masalah perilaku, dan hiperaktivitas.

Background: Adolescents aged 10-19 years constitute 16% of the world's population and in general contribute as much as 35% of the world's health burden. In Indonesia, the percentage of the 15-19 year age group is mostly at the high school level, with the proportion of disabilities in 2018 being 3.3% in the form of aggressiveness. Aggressive behavior in adolescents is said to be able to predict the presence of psychiatric disorders and vice versa because late adolescence is a period of transition from children to adults so that it becomes a critical time in individual development and behavior tends to settle in young adults. It is important to know the factors associated with predicting the presence of aggressiveness in adolescents, because it is still possible for early intervention to prevent the risk of crime in adulthood and also approaches in younger age groups. This study aims to describe the emotional and behavioral problems as well as factors related to aggressive behavior in high school students in Indonesia. Methods: The research was carried out in a cross-sectional manner using a comparative analytic method. The sample is 227 students from all high schools in Indonesia. Data were collected through online media using a demographic questionnaire, the Buss-Perry Aggression Questionnare (BPAQ)-Indonesian version, and the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ)-Indonesian version. Data were analyzed by Chi Square bivariate and multivariate logistic regression. Results: Female gender, emotional problems, behavioral problems, and hyperactivity had a significant relationship with high indications of aggressive behavior (p<0.05). Based on the multivariate test, the factors related to the indication of high aggressive behavior were female gender (p=0.029), emotional problems (p=0.004), behavioral problems (p=0.014), and hyperactivity (p=0.077), with R2 of 0.232. Conclusion: The four factors that most predict the occurrence of aggressive behavior in high school students are female gender, emotional problems, behavioral problems, and hyperactivity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulita Patricia Semet
"Perilaku agresif pada anak merupakan faktor resiko terjadinya penolakan dari teman sebaya yang dapat menurunkan motivasi dan prestasi belajar anak di sekolah. Anak dengan perilaku agresif kurang mampu menyelesaikan masalah dengan orang lain secara positif, sehingga hubungan sosialnya pun terganggu. Tesis ini menerapkan social skills training (SST) dengan single-case design untuk meningkatkan keterampilan emosional dan sosial anak. Partisipan penelitian adalah anak perempuan usia 5 tahun 7 bulan dengan perilaku agresif. Terapi diberikan sebanyak delapan sesi yang masing-masing berlangsung kurang lebih 30-40 menit. Sesi terapi dilaksanakan dua hari sekali. Hasilnya adalah SST tidak efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Setelah diberi SST, perilaku agresif anak masih bertahan dan skornya dalam skala aggressive behavior dari alat ukur Child Behavior Checklist (CBCL) tetap berada dalam rentang yang membutuhkan perhatian klinis.

Child aggressive behavior is a risk factor in peer rejection that can lower child's motivation and academic achievement at school. Children with aggressive behavior are less capable in solving problem positively, hence disturbed relationship with others. This thesis applies social skills training (SST) with single-case design to increase child’s emotional and social skills. Subject is 5 years 7 months old girl with aggressive behavior. Eight sessions of therapy were conducted with 30-40 minutes in each session, held once in every two days. The result was SST ineffective to increase subject’s social skill. Subject’s aggressive behavior persists after SST and her score in aggressive behavior scale from Child Behavior Checklist (CBCL) remains in clinical range."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T39326
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>