Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dilla Shavera
"Latar belakang: Kolitis ulseratif dalam jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal pada manusia. Derajat dan durasi paparan penyakit merupakan parameter utama yang mempengaruhi resiko terjadinya kanker kolorektal pada pasien kolitis ulseratif, dimana terdapat kaitan antara derajat inflamasi dengan perkembangan neoplasia kolon. Ekstrak perikarp mahkota dewa telah diketahui mengandung flavonoid yang ssecara invitro dapat menekan inflamasi, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak perikarp mahkota dewa Phaleria macrocarpa dalam menghambat inflamasi pada kolon mencit yang diinduksi dextran sodium sulfat DSS ditinjau dari penurunan ekspresi COX-2, iNOS dan ?-katenin pada sel epitel kripta kolon mencit.
Metodologi: Empat puluh dua Swiss webster dibagi dalam 7 kelompok, yaitu kelompok normal, kontrol negatif yang diberi DSS, kelompok positif KP, kelompok ekstrak pericarp mahkota dewa PMD dosis 625 mg/kgBB, 1250 mg/kgBB, 2500 mg/kgBB dan 5000 mg/kgBB. Semua kelompok kecuali kelompok normal diberikan DSS 2 selama 3 siklus setiap siklus diberikan DSS selama 7 hari diikuti dengan pemberian air biasa . Pada akhir percobaan kolon mencit difiksasi dalam larutan buffer formalin 10 kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi protein inflamasi.
Hasil: Ekstrak perikarp mahkota dewa dosis 625 mg/kgBB, 1250 mg/kgBB, 2500 mg/kgBB dan 5000 mg/kgBB mampu menurunkan inflamasi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok DSS p=0,008. Ekstrak perikarp mahkota dewa dapat menurunkan ekspresi iNOS, COX-2, dan ?-katenin secara signifikan dibandingkan dengan kelompok DSS p=0,000.
Kesimpulan: Eksrak perikarp mahkota dewa dapat menghambat inflamasi pada kolon mencit terdiinduksi DSS yang ditunjukkan oleh penekanan ekspresi iNOS, COX-2 dan ?-katenin.Kata kunci : perikarp mahkota dewa, iNOS, COX-2, ?-katenin

Background: Prolonged ulcerative colitis can increase the risk of colorectal cancer in humans. The degree and duration of disease exposure is a major parameter affecting the risk of colorectal cancer in patients with ulcerative colitis, There is a link between inflammatory degrees and the development of colonic neoplasia. The role of mahkota dewa fruit pericarp extract in reducing inflammation in in vitro has already known. This study aims to investigate the anti inflammatory effect of mahkota dewa fruit pericarp extract Phaleria macrocarpa on colon inflammation which suppress the expression of iNOS, COX 2 and catenin in DSS induced colitis mice model.
Methodology: Forty two Swiss Webster were divided into 7 groups normal group, negative control DSS , positive group, mahkota dewa pericarp PMD extract group dose 625 mg kgBB, 1250 mg kgBB, 2500 mg kgBW and 5000 mg kgBW. All groups except the normal group were given 2 DSS for 3 cycles each cycle was given DSS for 7 days followed by regular water. At the end of the experiment the mice colon was fixed in 10 formalin buffer solution for histological analyses.
Results: Extract of mahkota dewa pericarp dose 625 mg kgBB, 1250 mg kgBB, 2500 mg kgBB and 5000 mg kgBB compare to DSS group can significantly reduce inflammation p 0,008 expression of iNOS, COX 2 and catenin decreased significantly p 0,000 compared to DSS group.
Conclusion: Pericarp extract of mahkota dewa fruit can inhibit inflammation induced by DSS in mice colon shown by suppressed expression of iNOS, COX 2 and catenin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denddy Sinatria
"Latar belakang: Kanker payudara adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita di seluruh dunia. Pengobatan kanker payudara saat ini sangat ditentukan reseptor hormon atau variabel klinikopatologis. Marker terkait invasi dan metastasis masih sangat dibutuhkan untuk mengembangkan biomarker baru dan strategi terapi untuk menangani kanker payudara. Diperlukan pembuktian zat bioaktif baru seperti lunasin untuk strategi yang menguntungkan terapi dan prognosis pasien kanker payudara. β-catenin adalah perantara jalur pensinyalan penting yang dapat menjadi penanda dari kanker payudara. Belum terdapat penelitian terhadap pengaruh pemberian lunasin pada ekspresi β-cateninpada kanker payudara. Metode: Penelitian ini berupa eksperimental in vivo yang dilakukan pada tikus Sprague-Dawley (SD). Terdapat 5 kelompok berbeda, semua tikus diberikan DMBA (20mg/kgBB) untuk menginduksi kanker payudara kecuali kelompok normal. (1) Kelompok (DMBA) hanya diberikan DMBA; (2) Kelompok (TAM) diberikan tamoksifen (10 mg/kgBB); (3) kelompok (ET Lun), diberikan ekstrak lunasin (500 mg/kgBB); dan (4) adjuvan, diberikan tamoksifen (10 mg/kgBB) dan ekstrak lunasin (500 mg/kgBB); (5) kelompok (NOR) tanpa DMBA dan perlakuan. Setelah terminasi, preparat histopatologi jaringan payudara sampel diberikan pewarnaan HE dan IHK. Histoscore digunakan untuk menilai tingkat ekspresi β-catenin. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis data. Hasil: Hasil ekspresi β-catenin kelompok normal (NOR) = 138.52±8,78 ; (DMBA) = 187,30±9,70 ; Tamoxifen (TAM) = 166,14±5,60 ; Ekstrak Lunasin (ET-Lun) = 174,42±4,01 ; dan adjuvan (ADJ) = 150,65±6,44. Analisis data menunjukkan perbedaan bermakna antar kelompok kecuali antara kelompok (TAM) dengan kelo(ET Lun). Kesimpulan: Pemberian ekstrak lunasin dari kedelai dapat menurunkan ekspresi β-catenin pada jaringan kanker payudara tikus SD yang diinduksi DMBA.

Introduction: Breast cancer is the leading cause of cancer death in women worldwide. Current breast cancer treatment is largely determined by hormonal receptors or by clinicopathological variables. Markers related to invasion and metastasis are still urgently needed to develop new biomarkers and therapeutic strategies to treat breast cancer. Verification of new biomarkers such as lunasin is needed to create strategies that will benefit therapy and prognosis of breast cancer patients. β-catenin is an important intermediate in several important signalling pathways which can be a marker for breast cancer. To date, there is no studies about the effect of lunasin on β-catenin expression in rats with breast cancer. Method: This study is an in vivo experiment conducted on Sprague-Dawley (SD) rats. There are 5 different groups where all were given DMBA (20mg/kgBW) for breast cancer induction except for the normal group. Group (1) DMBA was given only DMBA; (2) Tamoxifen (TAM) were given DMBA and tamoxifen (10 mg/kgBW); (3) Extract Lunasin (ET-Lun), administration of lunasin extract (500 mg/kgBW); and (4) Adjuvant, were given tamoxifen (10 mg/kgBW) and lunasin extract (500 mg/kgBW). Group (5) the normal group who was not given DMBA and treatment. After termination, histopathological preparations of breast tissue were then stained with HE and IHK. The histoscore was used to assess the expression level of β-catenin. Data analysis was continued afterwards. Result: The expression of normal group -catenin (NOR) = 138.52±8.78 ; (DMBA) = 187.30±9.70 ; Tamoxifen (TAM) = 166.14±5.60 ; Ekstrak Lunasin (ET-Lun) = 174.42±4.01 ; and adjuvants (ADJ) = 150.65±6.44. Data analysis showed significant differences in all between groups except between the positive control group and the curative group. Conclusion Administration of a targeted extract of lunasin from soybeans can reduce the expression of β-catenin in breast cancer tissue of SD rats induced by DMBA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"

Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.


Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Rini Handjari
"Loss of adenomatous polyposis coli (APC) function is typically an early event in sporadic colorectal cancer (CRC) pathogenesis. The key tumor suppressor function of the APC protein lies in its ability to destabilize free cytoplasmic beta catenin. This lead to the accumulation of nuclear beta catenin, and together with the DNA binding protein Tcf-4, function as a transcriptional activator. Accumulation of stabilized free â-catenin is considered as an early event and perhaps initiating the process in intestinal tumorigenesis. Neoplastic transformation in the CRC associated chronic colitis is considered similar to the adenoma-carcinoma sequence in sporadic CRC. The distinguish feature from the CRC-related colitis is the difference in time and frequency changes. Loss of APC function, regarded as the beginning of a very common event in sporadic CRC, but the CRC associated chronic colitis generally occurs at the end of the dysplasia-carcinoma sequence. This research was conducted to determine the subcellular location of beta catenin expression in chronic colitis, colorectal adenomas and carcinomas that were evaluated by immunohistochemical staining. It can be concluded that beta-catenin is a component that plays a role in the development of the CRC and the subcellular location of beta-catenin can describe its oncogenic activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Aida Novitarani
"ABSTRACT
Pendahuluan. Kanker kolorektal colorectal cancer (CRC) menduduki peringkat ketiga sebagai kanker yang umum didiagnosis, dan peringkat keempat sebagai penyebab kematian akibat kanker di seluruh dunia. Tingkat insidensi CRC di Indonesia per-100.000 populasi adalah 19,1 bagi pria, dan 15,6 bagi wanita. Sebanyak 30% pasien CRC di Indonesia berusia 40 tahun atau lebih muda. Dalam studi pada jaringan pasien dengan CRC, diketahui bahwa adanya peningkatan ekspresi (overexpression) protein B-catenin serta adenomatous polyposis coli (APC) pada sel-sel CRC. Dalam perjalanan penyakit kanker, dapat ditemukan adanya protein caspase-3 sebagai faktor pro-apoptosis sel. Di Indonesia, tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) merupakan tumbuhan yang seringkali digunakan sebagai obat dan diduga dapat membantu dalam pengobatan kanker. Aktivitas biologis yang diketahui dari berbagai bagian dari tanaman Mahkota Dewa yang mendukung dalam pengobatan kanker diantaranya adalah antikanker, antiinflamasi, dan antioksidan. Metode. Batang Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) dimaserasi dengan pelarut etanol. Efek ekstrak etanol batang Mahkota Dewa terhadap ekspresi protein B-catenin dan caspase-3 pada lini sel kanker kolorektal HCT116 dilakukan dengan pewarnaan imunositokimia serta penghitungan nilai H-score. Dosis ekstrak yang digunakan adalah 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan kontrol negatif, yaitu tanpa pemberian ekstrak. Analisis data dilakukan dengan Uji One-way Anova program IBM SPSS Statistics Version 20. Hasil. Pada ekspresi protein B-catenin lini sel kanker kolorektal HCT116, perbedaan bermakna diobservasi pada nilai H-score pemberian ekstrak dosis 200 ppm dibandingkan dengan nilai H-score pemberian ekstrak dosis lainnya dan kontrol negatif. Pada ekspresi protein caspase-3, tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna dari nilai H-score antar dosis. Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aktivitas penghambatan dari batang mahkota dewa terhadap kanker kolorektal, yaitu dengan menghambat ekspresi protein B-catenin.

ABSTRACT
Introduction. Colorectal cancer (CRC) is the third highest incidence for cancer and fourth leading cause of death by cancer in the world. The incidence rate of CRC per-100.000 population in Indonesia is 19.1 for men and 15.6 for women. Almost a third of CRC patients in Indonesia were aged around 40 years old or younger. In a study using CRC patients tissue, it was observed that there is an overexpression of B-catenin protein and adenomatous polyposis coli (APC) in CRC cells. In the progress of cancer, caspase-3 protein can be observed as a pro-apoptotic factor of cells. Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) has been widely used as a traditional medicine and was tought to have anticancer properties. Biological activities that are known from Phaleria macrocarpa are anticancer, antiinflammatory, and antioxidant properties. Method. Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) stem bark was macerated in ethanol solvent. The effect of the ethanol extract of Mahkota Dewa stem bark on the expression of B-catenin and caspase-3 proteins in colorectal cancer cell line (HCT116) was assessed using H-score taken from immunocytochemistry stained specimens. Doses of extract given were 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm, and no extract (negative control). H-score values were analyzed using one-way Anova test in IBM SPSS Statistics program Version 20. Results. Significant changes can be observed only in B-catenin cell group with 200 ppm dose of extract. In the caspase-3 group, no significant changes can be observed. Conclusion. This finding shows that Phaleria macrocarpa bark extract shows potential of inhibiting growth of colorectal cancer by suppressing the expression of B-catenin protein."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Kristiani
"Pendahuluan
MicroRNA (miR)-544a telah diidentifikasi sebagai pengatur potensial dalam jalur WNT/β-Catenin, namun perannya yang spesifik pada kanker paru-paru non-sel kecil (KPKBSK) dan hubungannya dengan resistensi kemoterapi berbasis platinum masih belum jelas. Oleh karena itu, kami bertujuan untuk menentukan hubungan antara ekspresi miR-544a dan GSK-3β, β-catenin, dan CD44 dengan resistensi kemoterapi berbasis platinum pada pasien KPKBSK stadium lanjut.
Metode
Penelitian ini dirancang sebagai studi kasus kontrol di mana individu yang didiagnosis dengan KPKBSK stadium lanjut (III-IV) dari Januari 2018 hingga Juli 2023 dari 6 rumah sakit berbeda di Indonesia. Analisis tingkat miR-544a dilakukan menggunakan Kit PCR QuantiTect SYBR Green secara real-time. Ekspresi GSK, β-catenin, dan CD44 menggunakan pewarnaan imunohistokimia (IHK) dilakukan dari formalin-fixed paraffin embedded (FFPE). Evaluasi intensitas IHK dibagi menjadi empat kategori ekspresi: negatif atau tidak berwarna, positif lemah, positif sedang, dan positif kuat. Dari 500 sel, kami menggunakan rumus semi-kuantitatif H-score.
Hasil
Studi ini melibatkan 62 pasien KPKBSK stadium lanjut yang menjalani kemoterapi berbasis platinum dan menemukan miR-544a lebih tinggi pada responden yang buruk, dengan nilai p yang signifikan sebesar 0,009. Model prediktif untuk miR-544a menunjukkan nilai Roctab sebesar 0,6957. Nilai batas miR-544a sebesar 2,08 menghasilkan sensitivitas 64% dan spesifisitas 67,57%. Tingkat miR-544a di atas 2,08 secara signifikan terkait dengan respons pengobatan yang lebih buruk (OR 2,159, 95% CI 1,132 - 4,117, p = 0,016).
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa tingkat miR-544a merupakan biomarker yang signifikan untuk memprediksi respons kemoterapi pada pasien dengan KPKBSK stadium lanjut.

Introduction
MicroRNAs (miR)-544a has been identified as a potential regulator in the Wnt/β-Catenin pathway, but its specific role in non-small cell lung cancer (NSCLC) and its relationship with platinum-based chemotherapy resistance, remains unclear. Thus, we aim to determine the relationship between the expression of miR-544a and GSK-3β, β-catenin, and CD44 with platinum-based chemotherapy resistance in advanced stage NSCLC patients.
Methods
The research is designed as a case control study in which individuals diagnosed with advanced stage (III-IV) NSCLC from January 2018 and July 2023 from 6 different hospitals in Indonesia.
The analysis of miR-544a levels was done using the real-time QuantiTect SYBR Green PCR Master Kit. The expression of GSK, β-catenin, and CD44 expression using immunohistochemistry (IHC) staining was performed from the formalin-fixed paraffin embedded (FFPE). The evaluation of IHC intensity was divided into four expression categories: negative or unstained, weakly positive, moderately positive, and strongly positive. From 500 cells, we used the semi-quantitative H-score formula.
Results
This study of 62 advance NSCLC patients undergoing platinum-based chemotherapy and found miR-544a were higher in poor responders, with a significant p-value of 0.009. The predictive model for MiR-544a demonstrated a Roctab value of 0.6957. A miR-544a cutoff value of 2.08 yielded sensitivity of 64% and specificity of 67.57%. MiR-544a levels above 2.08 were significantly associated with poorer treatment response (OR 2.159, 95% CI 1.132 - 4.117, p = 0.016).
Conclusions
The study demonstrates that miR-544a levels are a significant biomarker for predicting chemotherapy response in patients with advance NSCLC.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Mutmainna Yakub
"Pendahuluan: Kanker kolorektal adalah penyakit ganas tersering pada saluran pencernaan. Di Indonesia kanker kolorektal menempati urutan ketiga terbanyak dengan insidensi kasus sekitar 18 per 100.000 penduduk. Ekspresi berlebih β-catenin dan penyimpangan jalur persinyalan β-catenin berkorelasi dengan prognosis yang buruk pada penderita kanker kolorektal. Terapi kanker kolorektal yang dikembangkan saat ini adalah terapi target spesifik yaitu EGFR dan VEGF. Namun, pemberian terapi target spesifik menimbulkan berbagai efek samping seperti ruam, gatal, kulit kering, hidung berdarah, hipertensi, perforasi usus dan gangguan ginjal. Delima (punica granatum) adalah tanamann herbal yang diketahui memiliki sifat antioksidan dan anti-inflamasi. Efek delima sebagai antikanker telah diuji, namun penelitian mengenai biji delima terhadap kanker masih minim.
Metode: Ekstrak etanol biji delima (Punica granatum) dibuat dari serbuk kering biji buah delima melalui metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Efek ekstrak etanol biji delima (Punica granatum) terhadap ekspresi β-catenin pada sel kanker kolorektal HCT116 dinilai melalui nilai H-score pada pewarnaan imunositokimia. Studi ini juga menilai potensi aktivtas dan efektivitas senyawa bioaktif Punica granatum untuk menghambat kanker kolorektal melalui jalur persinyalan β-catenin menggunakan metode penambatan molekular.
Hasil: Penurunan ekspresi β-catenin pada sel kanker kolorektal HCT116 dibuktikan dengan nilai rerata H-score sebesar 154,90 pada pemberian ekstrak etanol dengan dosis 200 ppm. Senyawa bioaktif coniferyl 9-O-[β-D-apiofuranosyl(1→6)]-O-β-D-glucopyranoside, dan sinapyl 9-O-[β-D-apiofuranosyl(1→6)]-O-β-D-glucopyranoside dapat menghambat kanker kolorektal melalui jalur persinyalan β-catenin.
Kesimpulan: Biji delima (Punica granatum) terbukti menghambat pertumbuhan dan menurunkan ekspresi β-catenin pada sel kanker kolorektal HCT116.

Introduction. Colorectal cancer is the most frequent malignancy in the gastrointestinal tract. In Indonesia, colorectal cancer placed third highest with an incidence of 18 per 100,000 population. Excessive expression of β-catenin and deviation of β-catenin signaling path correlate with poor prognosis of colorectal cancer patients. The currently developed colorectal cancer therapy is specific target therapy, i.e. EGFR and VEGF. However, it produces various side effects such as rash, pruritus, dry skin, nosebleed, hypertension, intestinal perforation and kidney disorder. Pomegranate (Punica granatum) is a herbal plant known to have anti-oxidant and anti-inflammatory properties. The effect of pomegranate as anti-cancer has been proven, however there are only a few studies regarding the effect of pomegranate seed on cancer.
Methods: Pomegranate (Punica granatum) seed ethanol extract was created from pomegranate seed dry powder made through maceration using 96% ethanol solvent. The effect of pomegranate (Punica granatum) seed ethanol extract on β-catenin expression on HCT116 colorectal cancer cells was assessed using H-score on immunohistochemistry staining. This study also assessed the activity and effectivity potential of Punica granatum bioactive substance in inhibiting colorectal cancer through β-catenin signaling path using molecular docking method.
Results: Decrease of β-catenin expression on HCT116 colorectal cancer cells was proven by the average H-score of 154.90 on administration of 200 ppm ethanol extract. Coniferyl 9-O-[ β-D-apiofuranosyl(1→6)-O- β-D-glucopyranoside and sinapyl 9-O-[β-D-apiofuranosyl(1→6)]-O-β-D-glucopyranoside bioactive substances can inhibit colorectal cancer through β-catenin signaling path. Conclusion: Pomegranate (Punica granatum) seed was proven to inhibit the growth and decrease the expression of β-catenin on HCT116 colorectal cancer cells.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welly Hartono Ruslim
"ABSTRAK
β-catenin merupakan protein yang memiliki peran penting dalam
adhesi antar sel dan transduksi sinyal. Pada keadaan tanpa stimulasi β-catenin hanya
tampak pada membran sel, namun bila terdapat stimulasi maka β-catenin akan
tampak pada sitoplasma dan inti. Perubahan ekspresi β-catenin diketahui
berhubungan dengan progresivitas dan metastasis pada berbagai penyakit keganasan
manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi ekspresi β-catenin di daerah
peritumor pada karsinoma sel skuamosa oral (KSSO) derajat rendah dan tinggi
berdasarkan sistem grading Bryne.
Bahan dan Metode: Penelitian dilakukan pada 20 kasus KSSO derajat rendah dan
20 kasus derajat tinggi. Pewarnaan imunohistokimia β-catenin digunakan untuk
menilai perbedaan yang tampak pada membran, sitoplasma, dan inti sel tumor pada
area peritumor.
Hasil: Ekspresi β-catenin pada membran, sitoplasma, maupun inti sel tumor
memiliki perbedaan yang bermakna antara KSSO derajat rendah dan derajat tinggi
(p=0,000; p=0,005; dan p=0,035). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
ekspresi β-catenin dengan variabel umur, jenis kelamin, maupun lokasi tumor.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi β-catenin di daerah peritumor antara
KSSO derajat rendah dan derajat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi β-
catenin yang salah menyebabkan perubahan morfologi sel-sel KSSO ke arah yang
lebih ganas dan prognosis yang lebih buruk.

ABSTRACT
β-catenin is an important protein in cellular adhesion and signal
transduction. In unstimulated condition, β-catenin only appears on the cellular
membrane. Altered expression of β-catenin has been associated with progressiveness
and metastatic process of malignancy in human. The aim of this study was to
evaluate the expression of β-catenin on oral squamous cell carcinoma (OSCC) and
also to assess its different expression in low grade and high grade lesions based on
Bryne grading system.
Materials and methods: This study was conducted on 2 groups of OSCC which
included 20 cases of low grade and 20 cases of high grade. Immunohistochemistry
staining of β-catenin was used to identify the difference of its expression in cell
membrane, cytoplasm, and nuclei on invasive tumor front.
Results: The expression of β-catenin on cell membrane, cytoplasm, and nuclei
showed significant difference between low and high grade OSCC (p=0.000;
p=0.005; and p=0.035, respectively). There has not been any significant association
between β-catenin expression with age, sex, and tumor location.
Conclusion: Oral squamous cell carcinoma, both low and high grade, showed
significant differences in β-catenin expression in cell membrane, cytoplasm, and
nuclei. Thus, it showed that the altered expression of β-catenin could change the
OSCC to become more aggresive and have a poorer prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Ariane
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pada artritis reumatoid diketahui terjadi kehilangan masa tulang, baik secara lokal maupun sistemik (osteoporosis). Inflamasi sistemik pada AR menyebabkan kehilangan massa tulang melalui gangguan homeostasis dimana terjadi resorpsi tulang yang lebih besar dibanding formasi tulang. Peran IL-17 sebagai sitokin proinflamasi diketahui dapat menstimulasi terjadinya osteoklastogenesis dan menghambat osteoblastogenesis melalui pembentukan antagonis jalur Wingless (Wnt) Catenin signalling yaitu DKK-1, SFRP dan sklerostin pada hewan coba dan secara lokal pada sinovium. Namun saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan sitokin proinflamsi IL-17 dengan formasi dan resorpsi tulang secara sistemik pada pasien artritis reumatoid.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan IL-17 terhadap osteoblastogenesis dengan hambatan jalur Wnt melalui DKK-1, SFRP-1 dan sklerostin dan hubungan IL-17 dengan CTX sebagai penanda resorpsi oleh osteoklas dan P1NP sebagai penanda formasi oleh osteoblas.
Metode: Studi potong lintang ini melibatkan 38 perempuan AR premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pemeriksaan IL-17, DKK-1, SFRP-1, sklerostin, CTX dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar serum IL-17 yaitu 10,61 ± 0,68 pg/ml, rerata kadar DKK-1 4027,29 ± 1516,80 pg/ml, rerata kadar SFRP-1 9,28 ± 3,17 ng/ml, median kadar sklerostin 101,72 (38,36-255,18) pg/ml. Penanda resopsi serum CTX meningkat dengan rerata 2,74 ± 1,37 ng/ml dan penanda formasi serum P1NP menurun dengan median 34,04 (3,46-220,61). Korelasi IL-17 dengan DKK-1 (r=0,142; p=0,396), IL-17 dengan SFRP-1 (r=0,169; p=0,309), IL-17 dengan sklerostin (r=0,061; p=0,718), IL-17 dengan CTX (r=-0,252; p=0,128) dan IL-17 dengan P1NP (r=0,116; p=0,487).
Kesimpulan: Meskipun terdapat penurunan formasi tulang dan peningkatan resropsi tulang, pada penelitian ini tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar serum IL-17 dengan penghambat jalur Wnt (DKK-1, SFRP-1 dan sklerostin) dan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar serum IL-17 dengan penanda turnover tulang (CTX dan P1NP) pada pasien perempuan premenopause dengan artritis reumatoid

ABSTRACT
Background: Rheumatoid arthritis is known to have a loss of bone mass, both locally and systemically (osteoporosis). Systemic inflammation in AR causes bone mass loss through interference of homeostasis where bone resorption is greater than bone formation. The role of IL-17 as a proinflammatory cytokine is known to stimulate osteoclastogenesis and inhibit osteoblastogenesis through Wingless (Wnt) pathway antagonists Catenin signalling are DKK-1, SFRP and sclerostin in experimental animals and locally in the synovium. However, there are currently no studies that assess the association of proinflammatory cytokines IL-17 with systemic bone formation and resorption in rheumatoid arthritis patients
Objective: This study aims to assess the relationship of IL-17 to osteoblastogenesis with inhibitor Wnt signalling through DKK-1, SFRP-1 and sclerostin and the association of IL-17 with CTX as a marker of resorption by osteoclasts and P1NP as a marker of formation by osteoblasts
Methods: This cross-sectional study involves 38 premenopausal women with AR. Sampling is done consecutively. IL-17, DKK-1, SFRP-1, sclerostin, CTX and P1NP measurement was done using ELISA
Results: In this study the mean serum IL-17 level was 10.61 ± 0.68 pg/ml, mean serum levels of DKK-1 4027.29 ± 1516.80 pg / ml, mean serum levels of SFRP-1 9.28 ± 3,17 ng / ml, median sclerostin serum level 101.72 (38.36-255.18) pg / ml. Markers of CTX resorption increased with a mean of 2.74 ± 1.37 ng / ml and markers of serum P1NP formation decreased with a median of 34.04 (3.46-220.61) pg/ml. IL-17 correlation with DKK-1 (r = 0.142; p = 0.396), IL-17 with SFRP-1 (r = 0.169; p = 0.309), IL-17 with sclerostin (r = 0.061; p = 0.718), IL-17 with CTX (r = -0.252; p = 0.128) and IL-17 with P1NP (r = 0.116; p = 0.487).
Conclusions: Although there was a decrease in bone formation and increased bone resorption, there was no significant correlation between serum IL-17 levels with Wnt signalling (DKK-1, SFRP-1 and sclerostin) inhibitors and there was no significant correlation between serum IL- 17 with a bone turnover marker (CTX and P1NP) in premenopause AR woman."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Pauline Tamba
"Latar Belakang. Kelahiran bayi prematur di Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia. Sebanyak 50% bayi prematur memiliki risiko kematian yang lebih tinggi akibat infeksi, dimana 90% diantaranya disebabkan oleh infeksi saluran cerna. Hal ini dikaitkan dengan imaturitas saluran cerna. Spermin, senyawa poliamin, diketahui berperan penting dalam proliferasi, pertumbuhan, serta diferensiasi sel. Pada saluran cerna, spermin diketahui berinteraksi dengan protein penyusun barier usus dan berperan penting dalam penyembuhan luka serta sistem imun. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek spermin selama masa gestasi, sehingga efek spermin terhadap maturasi usus in utero menjadi penting untuk diketahui.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh suplementasi spermin dalam diet terhadap maturasi protein tight junction selama masa gestasi yang berbeda pada kelinci.
Metode Penelitian. Desain penelitian merupakan studi analitik eksperimental menggunakan hewan coba kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus), yang dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Histologi FKUI, Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI, dan Laboratorium Terpadu FKUI mulai dari bulan Oktober 2018 - September 2019. Setelah dilakukan anestesis umum, sampel jaringan usus halus janin kelinci diambil dan dibagi dalam 6 kelompok yang terdiri dari kelompok perlakuan (dengan suplementasi spermin 20 mg/kgBB) dan kelompok tanpa perlakuan (tanpa suplementasi spermin), masing-masing kelompok berasal dari induk kelinci dengan usia gestasi 24 hari, 26 hari, dan 28 hari. Jumlah masing-masing kelompok adalah 4 induk gestasi dengan berat badan berkisar antara 3-3,5 kg dengan janin berkisar 5-9 ekor per induk gestasi. Jaringan usus halus dari setiap kelompok diambil untuk pemeriksaan biokimia menggunakan teknik ELISA untuk β-actin, β-catenin, dan occludin, serta pemeriksaan histomorfologi dengan pewarnaan hematoxyllin-eosin. Analisis statistik menggunakan uji Mann-Whitney U, uji Chi Square dengan uji Fisher untuk data proporsi, dan uji korelasi Spearman untuk data numerik.
Hasil. Tidak ditemukan perbedaan konsentrasi β-actin, β-catenin, dan occludin antar kelompok perlakuan dan non perlakuan. Pada kelompok perlakuan dan tidak pada kelompok non-perlakuan, ditemukan adanya korelasi positif bermakna antara konsentrasi β-actin dan β-catenin, β-actin dan occludin, serta β-catenin dan occludin. Hasil skoring maturasi barier pada kelompok dengan suplementasi spermin pada usia gestasi 24 dan 26 hari mendekati kelinci aterm.
Simpulan. Suplementasi spermin dalam diet selama masa gestasi memperbaiki interaksi antar molekul tight junction pada janin kelinci prematur.

Background. Indonesia is ranked 5th as a country with premature births. Half of the premature infants carry higher risks of death, in which 90% are due to gastrointestinal tract infection — these cases associated with the immaturity of the gastrointestinal tract system. Spermine is a polyamine molecule known for its essential role in cell proliferation, growth, and differentiation. Previous studies reported that spermine could interact with junctional proteins in the small intestine and responsible for maintaining the intestinal barrier integrity. However, to date, the efficacy of dietary spermine supplementation during the gestation period in utero remains unclear. Thus, an investigation is required. The purpose of the present study is to investigate the mechanism of spermine in improving intestinal villi barrier in premature rabbit fetus.
Aim. To investigate the effect of spermine supplementation in diet on the maturation of intestinal tight junction proteins during different rabbit gestation period.
Method. This study was an analytical, experimental study on New Zealand White Rabbits (Oryctolagus cuniculus) as animal models, performed at Laboratorium Hewan Coba Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Departments of Histology FKUI, Department of Biochemistry and Molecular Biology FKUI, and Integrated Laboratory FKUI, from October 2018 until September 2019. Following general anesthesia, rabbit fetal intestinal specimens were taken and divided into six groups, consisting of groups given the intervention (spermine 20 mg/kg BW supplementation) and groups without intervention, each group based on the gestation period of 24 days, 26 days, and 28 days. β-actin, β-catenin, and occludin of ileal portion were determined and was stained by hematoxyllin-eosin for histomorphological assessment. Statistical analysis was carried out using the Mann-Whitney U test, Chi-Square test with Fisher test for data proportion, and Spearman’s rank correlation for numeric data.
Results. There was no significant difference for β-actin, β-catenin, dan occludin concentration between groups with- and without spermine supplementation. Significantly positive correlation was obtained in the groups with- but not in the groups without spermine supplementation, between concentration of β-actin and β-catenin, β-actin and occludin, as well as β-catenin and occludin. The barrier scoring of ileal histomorphology in groups with spermine supplementation at gestation period of 24 dan 26 days were similar to a mature fetus.
Conclusion. Spermine supplemented diet given during the gestation period improves the interaction between proteins composing tight junction in premature fetal rabbits.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>