Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Perluasan yurisdiksi pidana berdasar kan asas teritorial meliputi yurisdiksi ekstra teritorial di darat, yurisdiksi ekstra teritorial di laut dan yurisdiksi ekstra teritorial di udara Perluasan yurisdiksi pidana di wilayah darat muncul dengan adanya ?Extra Territoriality theory ? yang menimbulkan dua yurisdiksi yaitu yurisdiksi negara penerima dan yurisdiksr] dalarn Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik.
Hukum dan Pembangunan Vol. 30 No. 1 Januari-Maret 2000 : 7-19, 2000
HUPE-30-1-(Jan-Mar)2000-7
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Reggyna
Abstrak :
Timbul permasalahan ketika terdapat putusan pengadilan asing atas pailitnya perusahaan yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara lain dan didirikan berdasarkan hukum setempat, dan perusahaan yang pailit tersebut memiliki aset yang lebih di negara lain. Secara kongkrit, keterkaitan masalah kepailitan dengan hukum perdata internasional dalam hal ini terletak bagaimana keberlakuan putusan pailit pengadilan asing di suatu negara. Mengingat juga banyak negara yang masih berpandangan sangat konservatif terhadap pelaksanaan putusan pengadilan asing utamanya kepailitan, berakibat pada terhambatnya transaksi bisnis internasional. Para pelaku usaha merasa ada kebuntuan (deadlock) dalam memperoleh haknya. Untuk mengatasi kebuntuan ini United Nations Commisions on International Trade Law (UNCITRAL) melakukan terobosan yang memungkinkan sebuah negara mengakui dan melaksanakan putusan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan asing, yakni berupa UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enacment and Interpretation. Lalu, bagaimanakah pengakuan putusan pailtit yurisdiksi asing di Indonesia sendiri, dan beberapa negara seperti Jepang, Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Singapura? ......Arise issue when there is insolvency foreign judgement of company, which have subsidiary company, located in other country and established by local law, and that bankrupt companies have assets in other states. Concretely in this case, link of insolvency and private international law issue is how the enforceability of insolvency foreign judgment in a state. In view of many states sighted conservatively to the enforcement of foreign judgment especially in isolvency, so that have impact to inhibition of international business transaction. Business feel there?s impasse (deadlock) to acquire their rights. To solve that issue, United Nations Commisions on International Trade Law (UNCITRAL) do breakthrough so that state can recognize and enforce the insolvency foreign judgment, namely UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enacment and Interpretation. Then, how the recognition of insolvency foreign judgment in Indonesia itself, and some country like Japan, New Zealand, Australia, Malaysia dna Singapore.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joana Maleriluah
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi negara dalam menangani tindak pidana hacking internasional bedasarkan Convention on Cybercrime. Metode penentuan yurisdiksi tindak pidana hacking dalam Convention on Cybercrime memakai prinsip teritorialitas, nasionalitas, dan prinsip lainnya yang diakui oleh peraturan domestik negara anggotanya. Bedasarkan analisis yang telah dilakukan, praktik negara-negara anggota Convention on Cybercrime pada utamanya memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas dalam menentukan yurisdiksi atas tindak pidana hacking. Dalam praktik di Indonesia, penentuan yurisdiksi terhadap tindak pidana hacking memakai prinsip teritorialitas dan nasionalitas yang dikaitkan dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana hacking tersebut. ......The focus of this study is about determining a state jurisdiction in international hacking offences according to Convention on Cybercrime. In determining the jurisdiction, Convention on Cybercrime recognizes territoriality principle, nationality principle and other principles recognized by the member states? domestic laws. From the analysis, it is seen that most member states? practices use the territoriality and nationality principle in determining the jurisdiction for hacking offences related to the damage caused to one state. The regulations and practices of jurisdiction to international hacking offences in Indonesia shows that Indonesia recognizes the same principles as the Convention on Cybercrime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Mustafa Djuang
Bandung: Alumni, 1983
341.44 HAR y
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Martosedono
Semarang: Dahara Prize, 1994
345.072 AMI p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Giovanny Yosua Sallata
Abstrak :
Yurisdiksi Universal merupakan konsep yurisdiksi hukum pidana yang mengatur bahwa suatu negara dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya kepada pelaku tindak pidana, dimanapun pelaku tersebut berada tanpa memperdulikan kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana maupun korbannya. Yurisdiksi universal telah dikenal dalam berbagai perjanjian internasional, jiga dalam hukum pidana nasional Indonesia. Oleh KUHP yurisdiksi universal dapat diberlakukan kepada kejahatan atas mata uang, pembajakan atau perompakan kapal serta kejahatan terhadap penerbangan sipil. Yurisdiksi universal kemudian diatur juga dalam KUHP baru yakni UU No. 1 Tahun 2023, oleh UU No. 1 Tahun 2023 yurisdiksi universal diatur secara lebih terbuka dan tidak dirumuskan secara terbatas terhadap tindak pidana terhadap mata uang, pembajakan dan perompakan kapal serta kejahatan terhadap penerbangan saja. Selain Indonesia beberapa negara sepeti Prancis dan Belanda juga mengatur mengenai yurisdiksi universal dalam hukum pidana nasionalnya. Terdapat beberapa perbedaan dan kesamaan antara Indonesia, Prancis dan Belanda dalam mengatur yurisdiksi universal, pada intinya pengaturan mengenai yurisdiksi universal pada hukum pidana nasional negara termasuk pada ketiga negara tersebut berkembang seiring waktu dan dipengaruhi oleh perkembangan hukum internasional. ......Universal Jurisdiction is a concept of criminal jurisdiction which stipulates that a country can apply its national criminal law to perpetrators of crimes, wherever the perpetrators are located regardless of the nationality of the perpetrators of crimes or their victims. Universal jurisdiction has been recognized in various international treaties, as well as in Indonesian national criminal law. By Indonesian Criminal Code universal jurisdiction can be applied to crimes against currency, piracy and crimes against civil aviation. Universal jurisdiction is then also regulated in the new Criminal Code, namely Law no. 1 of 2023. By Law no. 1 of 2023 universal jurisdiction is regulated in an openly manner and is not formulated in a limited way against crimes against currency, piracy and crimes against aviation only. Apart from Indonesia, several countries such as France and the Netherlands also regulate universal jurisdiction in their national criminal law. There are several differences and similarities between Indonesia, France and the Netherlands in regulating universal jurisdiction, in essence the arrangement regarding universal jurisdiction in the national criminal law of countries including those three countries has developed over time and is influenced by the development of international law.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rufino Putra
Abstrak :
Sengketa data pribadi yang terjadi di dalam cyberspace telah menyebabkan konflik kedaulatan dikarenakan mengingat sifat cyberspace yang dapat mengkoneksi berbagai jaringan komunikasi dapat menyebabkan bebeberapa negara berwenang untuk menerapkan yurisdiksinya. Dilihat dari hukum Indonesia sendiri, di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, keberlakuan dari peraturannya diterapkan dengan prinsip Extraterritorial Jurisdiction yang berlaku terhadap setiap orang dan badan hukum apabila merugikan kepentingan nasional Indonesia. Sudah jelas apabila dilihat dari keberlakuan dari peraturan ini tentu sudah dapat diperkirakan akan terjadi konflik yurisdiksi dengan negara lain. Oleh karena itu melalui penulisan ini akan dibahas bagaimana penerapan Yurisdiksi Indonesia dalam sengketa data pribadi yang terjadi di dalam cyberspace melalui upaya-upaya yang memungkinkan.
Personal data disputes that occur in cyberspace have caused conflicts of jurisdiction due to the nature of cyberspace it self can connect various of communication networks that can cause several countries capable to apply their jurisdiction. Judging from Indonesian law itself, based on Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions, the territorial scope of its regulations is relied on the principle of Extraterritorial Jurisdiction in which applies to every person or legal entity if it is detrimental to Indonesia’s national interest. It is clear that when seen from the enactment of this regulation, jurisdictional conflicts with other countries could be happen. Therefore, through this writing, we will discuss how to apply the Indonesian Jurisdiction in regards to personal data dispute that occur in cyberspace through possible efforts.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Kusasi
Abstrak :

Kerajaan Indragiri di Pulau Sumatra dikenal sebagai kerajaan yang berperan penting dalam sejarah kerajaan di Nusantara. Di bagian timur, Kerajaan Indragiri berbatas langsung dengan Selat Malaka, sebuah kawasan yang dikenal sebagai pusat perdagangan sejak abad ke-14. Selain itu, Sungai Indragiri dapat dilayari dari pesisir timur hingga pedalaman Sumatra bagian tengah. Faktor geografis yang strategis membuat kerajaan tersebut berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain. Mereka juga membina hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut terekam dalam sejumlah naskah yang saat ini disimpan di ANRI sebagai mana yang dicatat dalam Katalog 86 ANRI berjudul “Daftar Arsip Kontrak antara Pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera”. Berdasarkan topiknya, ada enam naskah yang berisi tentang kontrak yang dibuat oleh Kerajaan Indragiri dengan Pemerintah Kolonial, yaitu Katalog 86 ANRI sub-bab Sumatra, bernomor 166, 167, 168, 170, 173 dan 174.  Keenam naskah berasal dari abad ke-19 dan ditulis dalam aksara jawi berbahasa Melayu. Keenam teks dialihaksarakan dengan cara kerja filologi. Hasil alih aksara digunakan untuk menganalisis isi kontrak tersebut. Tulisan ini membahas teks enam kontrak dari segi hukum antarbangsa yang dikemukakan Brierly (1996). Menurut Brierly, hukum antarbangsa adalah kaidah dan asas tindakan yang mengikat bagi negara beradab dalam hubungan mereka antara satu negara dengan lainnya.  Dalam kasus Kerajaan Indragiri dengan Pemerintah Hindia Belanda, hubungan tersebut diikat dalam bentuk kontrak. Berdasarkan analisis pada pasal-pasal yang terdapat dalam keenam kontrak, terlihat bahwa Kerajaan Indragiri telah berstatus sebagai negara protektorat/vasal dari Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1838 sehingga yurisdiksi negara pemberi perlindungan lebih dominan dibanding negara yang dilindungi.


 

Located in the Island of Sumatra, the Kingdom of Indragiri was famous of its role on the history of the kingdom in Indonesia. The Straits of Malacca, known as a commercial center since the 14th century, bordered the Kingdom of Indragiri in the east. The Indragiri River can be navigated from the east coast to the inner part of Central Sumatra. Its strategic location strengthens the Kingdom of Indragiri’s association with other kingdoms. Furthermore, the Kingdom also maintains its relationship with the Dutch colonial government, which is evidenced from the manuscripts stored in ANRI and recorded in Catalog 86 ANRI entitled "List of Archives of Contracts between Indonesian Society in Kalimantan, Bali, Surakarta and Sumatera". Based on the topic, there are six manuscripts encompassing contracts made by the Kingdom of Indragiri with the Colonial Government, namely manuscripts 166, 167, 168, 170, 173 and 174. The six manuscripts were written in the 19th century in Malay language. For the analysis, the six manuscripts are transliterated philologically. This paper discusses the text of six contracts in terms of international law proposed by Brierly (1996).

The law among nations examined in this study refer to Brierly (1996) who maintains that the law among nations is the principle and the act of binding action for the civilized state in their relationship between one country and another. In the case of the Kingdom of Indragiri with the Government of the Netherlands East Indies, the relationship was bound in the form of a contract. The analysis of the issue reveals that the Kingdom of Indragiri has been a protectorate/vassal state of the Dutch Indies Government since the year of 1838. Consequently, the jurisdiction of the protectionist country is more dominant than the protected state.

2018
T51988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahmi
Abstrak :
Pada peristiwa di mana terdapat lebih dari satu forum tersedia untuk menyelesaikan sengketa, pengadilan perlu menentukan forum yang paling layak untuk mengadili sengketa. Layak atau tidaknya suatu forum merupakan persoalan lebih lanjut daripada kompetensi suatu pengadilan. Persoalan kelayakan forum diselesaikan dengan cara menerapkan prinsip forum non conveniens. Prinsip ini dibenarkan oleh peradilan Indonesia. Penerapan prinsip forum non conveniens dalam sengketa hukum perdata internasional di Indonesia berkaitan erat dengan hukum acara perdata Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, maka penerapan prinsip forum non conveniens di Indonesia akan dikaji dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3253/K/PDT/1990 dan dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 578/PDT/2009/PT. DKI.
In cases where there is more than one available forum for a dispute settlement, the court must determine the most appropriate forum out of all the available forums. The issue on the appropriateness of a forum goes beyond the question of jurisdiction. The issue is solved by applying the forum non conveniens principle. Such principle is justified by Indonesian courts. The application of the forum non conveniens principle in private international law disputes in Indonesia has a great link with Indonesian civil procedure. In this thesis, the application of the forum non conveniens principle will be observed through the analysis of the decision by Mahkamah Agung No. 3253/K/PDT/1990 and the decision of Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 578/PDT/2009/PT. DKI.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65183
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>