Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Masyithah Umar
Abstrak :
Naskah ini merupakan "tesis" yang mengkaji masalah wanita dalam perspektif hukum acara peradilan agama melalui serangkaian penelitian "studi naskah" terhadap peraturan perundang-undangan (UU No. 1/1974, PP No. 9/1975, UU-PA No. 7/1989) serta dokumen-dokumen (kumpulan catatan sidang-sidang di DPR, berita dan komentar di majalah-majalah dan putusan putusan pengadilan), dan studi lapangan terhadap jalannya beracara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan (15 Nopeinber 1992 hingga 27 Pebruari 1993). Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran seeara jelas tentang perlindungan hukum bagi wanita: (1) sejauh yang diatur dalam peraturan hukum acara peradilan agama, (2) sejauh penerapan peraturan hukum itu dalain jalannya (proses) beracara di Pengadilan Againa, dan (3) faktor- faktor yang turut mempengaruhi tingkat perlindungan hukum bagi wanita. Untuk kepentingan menghimpun informasi di lapangan dilakukan observasi dan wawancara di lapangan. Analisis dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan tipikal studi hukum. Wawasan konsep-konsep analisisnya diperkaya dengan berbagai teori yang bersifat interdisipliner dan mencakup dimensi kesejarahan, sosial, budaya, pikiran atau paham keagamaan dan dimensi ilmu hukum itu sendiri. Acuan utaina yang dijadikan dasar analisis adalah bahwa setiap fakta hukum tidaklah mungkin terjadi secara tiba-tiba. Fakta selalu terkait dengan konteks historisnya, konteks social budaya lingkungan masyarakatnya, konteks perangkat sistem hukumnya, konteks situasional pada saat fakta hukum itu terjadi, dan lain lain. Inilah yang kemudian para ahli menyebutnya dengan "sosiologi hukuin". Penelitian menghasilkan teinuan-temuan: (1) sejauh muatan perundang-undangan yang mengatur hukum acara di lingkungan peradjlan agama,kaum wanita telah diupayakan memiliki landasan juridis untuk memperoleh perlindungan hukum yang sama dengan pria. Persamaaan perlindungan hukum itu nyata hasilnya dari satu peraturan ke peraturan yang lain dengan melaluj perjalanan sejarah yang panjang, seperti termuat dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, UU No. 1 tahun 1974, UU No. 7 tahun 1984 dan hingga munculnya UU-PA No. 7 tahun 1989. Ada hal yang secara khusus diaturbprosedurnya dalain beracara bila masing-masing pihak (isteri dan suami) melalaikan kewajiban atau karena sesuatu kepentingan, bukanlah dimaksudkan untuk memberikan perlakuan diskriminatif. Sebab inasing-masing mendapat peluang yang seimbang untuk mengadukan persoalannya serta untuk mempertahankan hak-hak serta pemenuhan kewajibannya di depan peradilan seadil-adilnya. (2) Sejauh wewenang hukum (absolut dan elatif) yang dimiliki oleh badan peradilan agama, Pengadilan Agama membuka secara lebar untuk menerima serta menyelesaikan semua jenis perkara sesuai dengan prinsip umum peradilan, balk perkara itu datangnya dari isteri (wanita) maupun suami (pria), termasuk perkara-perkara "cerai talak", "gugat cerai, dispensasi kawin', "izin kawin', "iin poligaini", fasakh', dan "pengesahan (isbat) nikah". Para hakim di Pengadilan Agama dalam pengambilan keputusannya, di samping terikat oleh dasar-dasar pertimbangan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, juga mempertimbangkan dasar-dasar faktual mengenai duduk perkaranya. Tetapi bahkan dengan adanya dasar pertimbangan faktual itulah ada peluang timbulnya subyektivitas hakim, yang pada kenyataannya. Para Hakim Pengadilan Agama kurang optimal dalam memberikan (upaya) perlindungan hukum bagi kaum wanita. (3) Tjnggj rendah atau optimal kurangnya perlindungan hukum kepada kaum wanita terkait dengan faktor-faktor (a) Peraturan perundang-undangan, (b) lingkungan peradilan agama, dan (c) subyek hukum itu sendiri. Artinya, meskipun secara tekstual, peraturan perundang-undangan telah mengandung kebulatari ide untuk meinberjkan landasan juridis bagi perlindungan hukum wanita, tetapi masih ada peluang beberapa pasal untuk sesuatu dalih perlakuan yang diskriminatif. Demikian pula halnya lingkungan peradilan agama, oleh karena faktor-faktor lain seperti paham agama yang dianut oleh hakim, persepsi kultural di kalangan umumnya kaum pria, banyaknya perkara yang harus diselesaikan oleh hakim, kondisi situasional (tingkat kesulitan) kasus-kasus yang dihadapi sementara itu tidak setiap kasus di damping oleh penasihat hukum, turut mempengaruhi tingkat optimalisi itu. Latar belakang pemahaman agama serta sosiokultura juga mewarnai gambaran mengenai subyek hukumnya. Dan kenyataan inenunjukkan bahwa makin tinggi tingkat kemandiriari kaum wanita makin tinggi pula tingkat aspirasinya untuk memperoleh perlindungan hukum yang optimal di depan hukuin dan peradilan. Karena itu untuk mencapai tingkat per lindungan hukum yang optimal bagi kaum wanita dalam beracara di Pengadilan Agama, segi-seginya masih amat, kompleks. Diperlukan berbagai upaya lagi untuk menuju ke arah optimalisasi tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T9491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Suliasih Purwaningrum
Abstrak :
Penelitian ini merupakan penelitian kepada kelompok perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang kawin dengan laki-laki Warga negara Asing (WNA) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengungkapkan bahwa perempuan WNI yang mengawini laki-laki WNA dalam prakteknya mengalami banyak hambatan dalam mengakses haknya sebagai warga negara, seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi, dan hak sosial. Pembatasan tersebut berpangkal dari pembedaan kedudukan perempuan WNI yang didefinisikan dalam UU Kewarganegaraan yang mengikuti status hukum suarninya yang berwarga negara asing. UU Kewarganegaraan yang disusun dengan semangat nasionalisme sempit dan menyangsikan loyalitas perempuan sebagai warga negara telah berdampak kepada peraturan lain, seperti keimigrasian, kebijakan agraria, serta peraturan lain yang bersifat strategis. Peraturan-peraturan tersebut saat ini sudah tidak relevan lagi karena masalah kewarganegaraan tidak lagi sebatas masalah nasionalisme, akan tetapi merupakan perlindungan terhadap setiap warga. yang dijamin dalam banyak peraturan, termasuk diantaranya dalam CEDAW.
This research is focusing on a group of Indonesian women who arc married to foreign men. The Qualitative approach is used in this research. The research found that Indonesian women married to foreign husbands have limited access to their rights as citizens simply due to marrying foreign husbands. The existing citizenship laws state that one family is to adopt one nationality which is the husbands nationality. The implication for these women is limited access to resources such as property, certain types of work, and limited access to political involvement since the women's legal status is identified with the foreign national husband. Therefore, she is considered part foreigner instead of Indonesian. The citizenship laws were made just after Indonesia declared freedom from western colonization which caused the concept of citizenship to be based on "narrow-minded" nationalism. This is no longer relevant since citizenship now is guaranteed by many laws and international conventions such as CEDAW which consider citizenship a right that protects every person.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Abstrak :
Penelitian dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang (1) isu perempuan yang muncul dalam kunin waktu 1928 - 1965 dan sikap perempuan pejuang menghadapinya; serta (2) masalah-masalah subjektif yang dihadapi perempuan pejuang dalam kegiatan yang ditekuninya. Masuk dalam batasan di atas, semua masalah dan/atau isu yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan perempuan karena nilai, posisi, peran, stereotip dan tuntutan-tuntutan yang dilekatkan kepadanya sebagai manusia berjender perempuan. Metode yang digunakan adalah analisis wacana, yakni analisis terhadap narasi personal seperti biografi dan cuplikan kisah, maupun analisis terhadap buku-buku sejarah yang relevan. Sebagian besar gerakan perempuan di Indonesia yang dibentuk sebelum kemerdekaan sampai tahun-tahun awal kemerdekaan memusatkan perhatian pada upaya membebaskan bangsa dari penindasan bangsa lain. Ciri-ciri ini sama dengan yang tampak pada gerakan perempuan di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan asing. Meski perjuangan memperbaiki kondisi hidup perempuan menjadi bagian penting perjuangan, hal tersebut tampaknya kalah penting dalam pembandingannya dengan upaya memperkuat barisan nasional menghadapi penjajah, dan mengisi tahun-tahun awal kemerdekaan. Untuk menggalang partisipasi aktif perempuan didengungkan konsepsi "perempuan sebagai Ibu Bangsa", dengan ide bahwa kemajuan bangsa sebagian besar tergantung pada kaum perempuan Indonesia. Konsepsi "meninggikan derajat perempuan sebagai Ibu Bangsa", meskipun mungkin diperlukan di masa lalu, dalam perkembangan sejarah selanjutnya tampaknya justru merugikan posisi perempuan, karena perempuan kemudian dilihat dan dikungkung hanya dalam kaitan perannya sebagai Istri dan Ibu, bukan sebagai warganegara yang sepenuhnya memiliki hak yang sama di segala bidang. Di balik perjuangan bangsa, ada isu-isu perempuan yang berbeda untuk periode yang berbeda. Periode 1928 - 1942 kelompok perempuan menjadi satu kelompok penting yang mendukung perjuangan bangsa mengakhiri penjajahan. Di balik perjuangan bersama tersebut, ada masalah besar yang dihadapi kaum perempuan, yakni rendahnya kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan dan keluarga. Banyak terjadi perkawinan muda, perkawinan paksa, pergundikan, poligami, perceraian sewenangwenang dan masalah-masalah lain yang memunculkan banyak penderitaan bagi perempuan. Kondisi ini diperburuk dengan feodalisme yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sendiri, khususnya masyarakat Jawa. Periode 1942 - 1945 (1950) yang menjadi ciri utama masa ini adalah dimobilisasinya kekuatan masyarakat dengan berbagai cara yang sangat eksploitatif dan merendahkan kemanusiaan, untuk membantu Jepang mencapai cita-citanya menguasai Asia. Terjadi banyak penipuan dan kejahatan seksual pada perempuan, dengan dimasukkannya perempuan-perempuan muda dalam kamp-kamp tentara, dipaksa menjadi pemuas nafsu seksual serdadu Jepang. Yang menonjol pada zaman Jepang adalah kelihaian pejuang mengembangkan berbagai strategi dalam menghadapi pemerintah Jepang, dengan salah seorang perempuan pejuang yang lihai dalam hal tersebut, yakni S.K. Trimurti. Dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan, perempuan ikut turun dalam perjuangan fisik dengan berbagai peran pentingnya. Periode 1945 (1950) - 1965: Selain masalah-masalah rendahnya kedudukan perempuan dan eksploitasi terhadap seksualitasnya seperti yang juga mewarnai periode sebelumnya, isu yang menonjol adalah masalah-masalah organisasional yang pertentangan kepentingan di antara organisasi-organisasi yang ada, Kepentingan politik memecah-belah dan melemahkan organisasi perempuan. Perlu disebutkan mobilisasi massa yang sangat berhasil dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang berafiliasi dengan PKI, dan yang berbeda kepentingan dengan kelompok-kelompok lain, baik kelompok agama maupun kelompok nasionalis seperti Perwari. Kudeta berdarah 30 September 1965 dan situasi politik setelahnya yang membawa banyak korban menandai masa baru yang disebut Orde Baru. Beberapa pengalaman subjektif pejuang perempuan adalah (1) adanya model peran yang memberi contoh dan memotivasi perjuangan; (2) pembedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki, dan rendahnya kedudukan perempuan yang memotivasi perjuangan keadilan bagi perempuan; (3) kesadaran bahwa feodalisine berkait dengan bertahannya diskriminasi terhadap perempuan; dan (4) adanya dilema antara mendahulukan kepentingan perempuan dengan kepentingan nasional. Para pejuang menunjukkan komitmen tinggi pada nilai-nilai yang diyakini, sehingga rela menomorduakan kepentingan pribadi, hidup susah, dimusuhi keluarga dan dikucilkan, ditahan dan dipenjara. Ada pula pejuang yang demikian besar komitmen perjuangannya sehingga "mengalahkan kodrat biologis"nya sebagai perempuan yang baru melahirkan dan harus menyusui anak, tampil sebagai super woman, termasuk dalam menjalankan peran (beban) ganda dengan menjadi penanggungjawab utama dalam keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan pejuang, baik sebagai individu maupun anggota organisasi berperan penting dalam perjuangan bangsa. Meski demikian, perjuangan memajukan kepentingan-kepentingan perempuan sendiri tidak banyak mendapat dukungan masyarakat Indonesia pada umumnya, ataupun pejuang nasional (pria) dan pemerintahan yang terbentuk setelah Indonesia merdeka. Yang lebih memprihatinkan, gerakan perempuan harus mengalami pertentangan dan perpecahan sebagai dampak kondisi perpolitikan negara dalam konteks yang lebih luas, seperti tampil setelah proklamasi kemerdekaan dan memuncak dengan meletusnya dengan kudeta 30 September 1965.
This content analysis focuses on two main questions: the issues faced by Indonesian women during national struggle 1928-1965, and how women reacted and positioned themselves in regard to the issues. To be included and focused, any problems directly and indirectly faced by women as gendered human beings. The content analysis reveals that there are periods of Indonesian women activism, in which each period has its characteristic. In the period 1928-1942, people began to realize that they had to be united nationally to face the colonization. In this period, women activists began to realize many issues faced by women, especially in regards to their very low status in family law and in society in general There were polyginy everywhere, child and forced marriages, as well as women abuse in the family. With the sensitivity of the issue, conflicts between organzations existed, to be escalated more by the Dutch colony for their own benefits. In the period of 1942-1945, Japan occupied Indonesia, and there were so many exploitative and humiliating mobilization of force to help Japan achieve its aim to dominate Asia. Many young women were sexually assaulted, raped, and forced to go to prostitution, as sexual reliefs for Japan soldiers. Also in this era, women involved in physical struggle and strategy in response to Japan's domination. In the period of 1945-1965, beside other issues faced by women, there were also conflicting interests between different organizations. Women's organizations were manipulated by the political elites for their own purposes.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
LP 1998 39
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This paper uses a gender conceptual framework of the determinants of food security. Using three indicators, the paper tries to demonstrate the considerable influence of the status of woman relative to men to households food security in two different economic base groups of households. This research was conducted in the District of Mukomuko in Bengkulu Province. As many as 219 respondents were divided into two groups of households, namely 110 fishery and 109 paddy farmers, and were selected using simple random sampling. Multiple regression model was used to determine significant factors of households food security. Among the two different household groups and using a diet diversity as the household food security indicator, the fishery households group exposed relatively better food security status than that of paddy farmer households. The econometric analysis also showed that status of women relative to men was not significant to food security.Meanwhile, household economic base are important factors in determining households food security.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The development policies in Indonesia are based on the principle of quality and harmonious partnership between men and women. This principle is deeply ingrained in the State Ideology, Pancasila, and Constitution of l94.5. Consequently, this principle of equality is also embodied in all regulations and legislative acts of the Republic of indonesia. including the GBHN adopted everv five years by the People? Consultative Assembly. The GBHN provides direction for the formulation of the Five Year Development Plan. indonesia, in l98-if also ratified the convention on the Elimination of All Farms of Discrimination Against Women, as stipulated in Act No. 7/1984. Neglecting the endeavor of women in economic development in particular and national development in general is an unwise decision. Indonesia? large population is the basic asset for development. The more so if every citizen regardless of their sex, would fully and effectively participate therein. However, data show that the status of women generally in the society and particularly in the bureaucracy system is lower than what men can achieve, Therefore, the efforts to attain the women?s role and status have to be explored in the implementation phase. Besides the level of education, social value of most Indonesian people which perceives female as housekeeper rather than the head of household brings a difficulty for female to reach high position t`n government office. For example there is a conflicting interest between husband and it-Ui: when a wife gets a promotion to other place. In many cases husband does not agree to accompany his wife. Consequently, women refuse the promotion. On the contrary, when husband gets a promotion to other place. in many cases his wifi: has to accompany him even though it will sacrifice her current jolt position.
Journal of Population Vol. 3 No. 3 1997 : 237-268, 1997
JOPO-3-3-1997-237
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Abstrak :
The objectives of this studv are to answer the following (i) does access to credit for women change their status within the household with effects for their work choices (on-farm work vs. off-warm self-employment). (ii) does the impact of access to credit on work choices differ by the headship status of the household, and (iii) does this effect differ by source of credit (formal credit vs informal credit)? Access to credit is defined as o variable that positively affects women is statues and decision making powers within the household by increasing their level of economic activity and giving them independent access to resources. This study differentiates between access to credit and participation in a credit program, A non- participating household that has access can still benefit as it can take on activities that are risky but yield a high return. The on-farm and off-farm participation decisions of married men and women and female heads are estimated through discrete models using data from rural Malawi. The estimation procedure accounts for endogeny of access to credit to tire participation decisions.
Journal of Population, 9 (1) 2003 : 1-50, 2003
JOPO-9-1-2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
the research incorporates a generational study with an emphasis on the opinions, attitudes and beliefs of the female respondents themselves, which are compared and contrasted with those of their mothers. In essence the research explores the impacts of industrialization on the culturally grounded status of women in West Java and around Bonjoran in 1996/97. Status of women is analyzed in terms of decision making power in the household, control of income, control of young women's human resource (factory labour) and within the reaim of gender relation in Banjarun, both in the household and the village. The 'social' and economic' impacts and outcomes of industrial development upon cultural values, attitudes and traditional employment of women are important to the demographic impacts apparent in the findings of this paper.
Journal of Population, Vol. 3 No. 2 1997 : 139-158, 1997
JOPO-3-2-1997-139
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library