Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kanya Eka Santi
"ABSTRAK
Kesadaran bahwa anak dan masa kanak-kanak merupakan realitas sosiologis
bukan hal baru. George Herbert Mead telah mengangkat hal ini sekitar satu abad lalu.
Namun, beberapa tahun belakangan ini terlihat adanya kegairahan di kalangan ilmuwan
sosial untuk lebih memperhatikan dinamika anak dan masa kanak-kanak. Mereka
menganggap anak - seperti halnya gender atau gejala sosial lainnya - sebagai gejala
sosial yang sedemikian kompleksnya sehingga sulit bila dipaharni hanya dari sudut
pandang psikologi.
Ketertarikan pada anak secara sosiologis ini antara lain ditunjukkan oleh
William A. Corsaro. Melajui teori reproduksi interpretif, Corsaro mencoba melihat
anak sebagai warga masyarakat yang kreatif dan ikut Serta dalam rnernbentuk
masyarakatnya. Tentunya, keikutsertaan anak selayaknya tidak dipandang dari sudut
orang dewasa. Secara lebih detail, Corsaro berargumen bahwa perkembangan anak
bersifat reproduktif dalam arti, merupakan proses peningkatan densitas dan reorganisasi
pengetahuan yang berubah sejalan dengan perkembangan kognitif dan kemampuan
bahasa anak Serta perubahan dalam dunia sosialnya. Berdasarkan input yang diperoleh
dari orang dewasa, anak secara kratif dan inovatif mengembangkan budaya sendiri
dengan sebayanya dan tidak semata-mata mengimitasi dunia orang dewasa. Pada
gilirannya hal ini akan membelikan kontribusi pada produksi dan perubahan budaya.
Namun demikian partisipasi anak dibatasi pula struktur sosial dan reproduksi
masyarakat. Argumen itu, seperti yang diakui sendiri oleh Corsaro, dilandaskan pada
dialog ontologis dan epistemologis dengan pikiran-pikjran George Herbert Mead
tentang self, play dan games, Anthony Giddens tentang strukturasi serta Erving
Goffman soal framing dan keying.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya mencoba meneliti anak yang terekspos
pada situasi konflik dengan mempertanyakan: bagaimana pertalian antar berbagai
konsepsi tentang anak dan masa kanak-kanak di wilayah konflik serta bagaimana
dinamika struktural anak dalam budaya kelompok sebaya, keluarga, masyarakat dan
negara. Adapun pengumpulan data saya lakukan di Poso, satu masyarakat yang sarat
konflik khususnya sejak berakhirnya pernerintahan Orde Baru. Konflik tersebut
bersumbu -pada ketegangan diantara penganut agama Islam dan penganut agama
Kristen, dan masih terus berlangsung sampai saat Penganut agama Islam
direpresentasikan dengan daerah Poso Kota, penganut agama Kristen direpresentasikan
oleh daerah Tentena. Sedangl-can penduduk campuran Islam, Kristen dan Hindu
direpresentasikan oleh Poso Pesisir.
Teori Corsaro sendiri saya tempatkan dalam penelitian ini mengikuti alur pattern
theorising. Berbagai gagasan dasar Corsaro menjadi acuan teoritik untuk membimbing
saya dalam merekonstruksi dinamika anak Poso secara sosiologis. Karenanya, disertasi
ini terlalu jauh untuk disebut sebagai arena menguji akurasi teori Corsaro.
Secara metodologis, penelitian tentang anak Poso pasca Orde Baru dilakukan
sejak tahun 2002 meskipun tidak secara intensif. Pengumpulan data secara terfokus pada
dinamika anak dan kekerasan di Poso say laksanakan dari bulan Januari sampai dengan
bulan Juni tahun 2005. Selepas fieldwork, data diperoleh terutama memanfaatkan
teknologi komunjkasi jarak jauh.
Secara sistematis, spesifikasi metodologis penelitian ini adalah sebagai berikut:
menggunakan metode etnografi atau field research dengan menempatkan anak sebagai
subyek penelitian yang dapat menyuarakan kondisinya dan mengartikulasi kapasitasnya.
Pengumpulan data menggunakan berbagai teknik yaitu wawancara mendalam,
wawancara kelompok/diskusi kelompok terfokus, pengamatan, testimoni, life histories,
gambar, dan studi dokumentasi. Selain anak, data lainnya diperoleh dari orangtua, guru
dan instansi pemerintah serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Temuan saya menunjukkan konstruksi media dan berbagai kalangan tentang
kekerasan di Pose mengandung kebenaran. Kekerasan terjadi pada lingkup yang meluas
dan mendalam. Selain itu, saya mendapat kesan kuat bahwa orang Pose termasuk anak-
anak mulai terbiasa hidup dalam kekerasan. Kekerasan seakan-akan dianggap sebagai
bagian kehidupan normal. Namun, dibalik konstruksi tentang kekerasan tersebut, saya
menemukan bahwa anak-anak Poso memiliki identitas hibrid lewat paduan budaya lokal
dengan budaya global. Proses ?in? dan ?out? dilakukan sebagai bentuk adaptasi
terhadap desakan budaya global sambil tidak meninggalkan budaya sendiri. Pengaruh
global dalam rutinitas keseharian anak tampak dalam aspek simbolik maupun material
dari budaya anak-anak. Identitas tersebut tampaknya memungkinkan berkembangnya
resiliensi dan mencaimya batas-batas simbolik maupun sosial termasuk di kalangan
anak-anak eks kombatan. Anak kemudian sangat potensial menjadi aktor perdamaian.
Temuan ini sama sekali tidak meniadakan gambaran bahwa masih ada anak yang juga
trauma atau bahkan mengalami post traumatic symprons disorder (PTSD). Hal ini
memperlihatkan adanya perbedaan temuan saya dengan ternuan Corsaro.
Seperti halnya penelitian-penelitian sejenis tentang anak dan kekerasan di
beberapa daerah di Indonesia, saya menemukan bahwa anak menjadi korban sekaligus
pelaku kekerasan. Pada masyarakat yang berkonflik, kapasitas anak berbenturan dengan
situasi kekerasan. Makna kreatif dan inovatif, kemudian perlu dilihat dalam kaitannya
dengan kepentingan terbaik anak. Sekali lagi terlihat perbedaan antara temuan saya
dengan temuan Corsaro. Lebih tepatnya, hal yang ktuang mendapat perhatian Corsaro
justru merupakan hal penting untuk memahami dinamika anak Poso. Tentunya perlu ada
penelitian-penelitian lanjutan, dengan metode penelitian yang berbeda-beda, untuk
menentukan seberapa benar (atau seberapa salah) temuan saya.
Temuan-temuan tersebut memiliki implikasi teoritik untuk melakukan
indigenisasi pada level meta teori, teori, empirik dan aplikasi teori. Proses ini
menempatkan anak dan masa kanak-kanak sebagai entitas tersendiri yang tidak sama
dengan orang dewasa termasuk pengetahuan yang dihasilkannya untuk memahami
realitas sosial. Hal lainnya adalah soal universalitas dan lokalitas definisi anak dan masa
kanak-kanak, khususnya menyangkut kapasitas anak, identitas hibrid, resiliensi anal(
dan kontnibusi pada perdamaian Pose. Kesemuanya merupakan hal yang selama ini
?diabaikan? dalam sosiologi khususnya untuk konteks Poso. Sebagai kontribusi bagi
pemerintah dan berbagai kalangan yang concern terhadap kesejahteraan anak,
indigenisasi mencakup pemikiran tentang pentingnya memperhatikan kembali strategi
dan pengelolaan perlindungan anak Indonesia. Hal yang ada baiknya diperhatikan
diantaranya adalah: kebijakan tidak mereproduksi pandangan yang hanya menganggap
anak sebagai obyek serta perlunya mengelola lcekuatan strulctur demi kepentingan
terbaik anak."
2006
D793
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umanitya Fitri Hanryana
"Internalisasi misoginisme berdampak serius terhadap diskriminasi perempuan. Bukti nyata dari internalisasi misoginisme dapat dilihat dalam kasus kekerasan seksual saat perang yang digunakan untuk mengintimidasi, meneror, dan menghancurkan perempuan baik secara fisik maupun martabat kemanusiaanya. Hal ini sering berujung pada femisida atau pembunuhan perempuan karena identitasnya. Perempuan dalam situasi perang juga mengalami ketidakadilan yang berlapis baik karena gendernya maupun karena etnis, kebangsaan, maupun agamanya. Contoh kasus kekerasan seksual saat perang dapat kita lihat dalam konflik di Rwanda, Ukraina, Kongo, dan Yugoslavia. Tulisan menyajikan pandangan komprehensif mengenai bagaimana internalisasi misoginisme dapat menjadi bagian dari kekerasan seksual dalam peperangan dan bagaimana membayangkan upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual di zona peperangan. Metode kritis feminis digunakan untuk membongkar adanya ketidakadilan yang dialami perempuan di zona konflik. Penulis juga melakukan pembacaan kritis terhadap wawancara kualitatif. Dari refleksi filosofis permasalahan ini, ditemukan bahwa terdapat normalisasi terhadap kekerasan akibat dari internalisasi misoginisme. Ini dikarenakan hak asasi manusia secara konseptual masih meluputkan soal partikularitas hak asasi perempuan. Untuk itu diperlukan upaya rekognisi terhadap kekerasan yang dialami perempuan dalam situasi perang guna mencapai keadilan bagi perempuan.

The internalization of misogyny has serious implications for the discrimination against women. Concrete evidence of the internalization of misogyny can be seen in cases of sexual violence during wars, which are used to intimidate, terrorize, and degrade women both physically and in their human dignity. This often leads to femicide or the murder of women based on their identity. Women in wartime situations also experience layered injustices based on their gender, ethnicity, nationality, or religion. Examples of sexual violence during war can be observed in conflicts in Rwanda, Ukraine, Congo, and Yugoslavia. This text presents a comprehensive view of how the internalization of misogyny can be part of sexual violence in warfare and how to envision efforts to address cases of sexual violence in war zones. Critical feminist methods are employed to expose the injustices experienced by women in conflict zones. The author also critically analyzes qualitative interviews. Through philosophical reflection on this issue, it is found that there is a normalization of violence resulting from the internalization of misogyny. This is because human rights, conceptually, still overlook the particularities of women's rights. Therefore, recognition efforts are needed to address the violence experienced by women in war situations in order to achieve justice for women."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Khairan
"Kebijakan Daerah Operasi Miiiter (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagal sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang beraklbat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar biasa yang tetjadi di Aceh sepanjang sejarah petjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pernah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga Jarak yang harus ditempuh ke
kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui pendekatan kualitatif yang berperspektif perempuan, bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya sendiri. interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Pebruari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik
informan perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeluarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi dengan 4 informan lainnya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap
kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan
menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalarn mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah lingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan lingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa sosial
masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak
ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar
dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, Jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pemberdayaan, korban memeriukan situasi keamanan
yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas/Puskesmas
Pembantu oleh psikolog (ahli Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara regular dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan rnemanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi personsMcommunity dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan
pangsa pasar untuk pemasaran produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai ketrapilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library