Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eddy Rifai
Abstrak :
Korupsi sebagai white-collar crime merupakan kejahatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian masyarakat secara Iuas (extraordinary crime). Pendekatan integral kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi mengunakan upaya penal (hukum pidana) dan non-penal (di luar hukum pidana), Serta keterlibatan elemerl-elemen lain di luar aparat penegak hukum pidana, yaitu masyarakat dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam upaya penal, Kejaksaan sebagai the key administration office in processing of case dalm criminal justice system mempunyai tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dan dalam upaya non-penal melakukan gugatan keperdataan dan alternative dispute resolution (ADR), seharusnya berperan secara ideal sesuai dengan ketentuan normatif yang ada, tetapi karena kendala dari segi substansi, struktur dan kultur hanya mewujudkan peran faktual.

Hasil penelitian rnenunjuklcan kelemahan-kelemahan ketentuan normatif dalam upaya penal peran Kejaksaan adalah masalah penyidikan, mekanisme kontrol, ketentuan khusus UUTPK dan UU pidana yang terkait dengan korupsi serta UU Kejaksaan, sedangkarl kelemahan dalam upaya non-penal adalah tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang bersifat ?fakultatif". Pelaksanaan peran Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu mengadakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan Pengadilan Serta melaksanakan fungsi dan tugas sebagai JPN dalam perkara perdata dan ADR. Untuk melaksanakan peran tersebut diperlukan adanya faktor-faktor pendul-Lung lainnya seperti peraturan pelaksanaan, manajemen penyelesaian perkara, sumber daya manusia yang profesional, biaya dan fasilitas yang mencukupi. Peran aktual Kejaksaan melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kenyataan adanya, yaitu Kejaksaan hanya dapat memproses sebagian penyelidikan ke tahap penyidikan, sebagian penyidikan ke tahap penuntutan, dan hanya sebagian saja yang berhasil dijatuhi sanksi pidna oleh Pengadilan. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas dan fungsi JPN kurang berjalan sebagaimana mestinya karena adanya ketidaktahuan dan ?keengganan" instansi pemerintah menyerahkan penanganan masalah-masalah hukumnya kepada Kejaksaan. Profesionalisme jaksa terkait dengan keahlian dan keterampilan (expertise), kesejawatan (partnership), budaya kerja dan tujuan. Peran serta masyarakat untuk membantu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup baik, hal itu tampak dari adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Perspektif eksistensi KPTPK mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum dan lembaga dinas instansi Serta melakukan penyelidilcan, penyidilcan dan penuntutan perkara tindak pidana kompsi. Tugas dan fungsi KPTPK bersama-sama dengan Kejaksaan yang cukup penting adalah dalam bidang ?pencegahan? tindak pidana korupsi, yaitu melalui upaya mewujudkan good governance dan good corporate governance, budaya ?anti korupsi? di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat.
Abstract
Corruption as a white-collar crime is a crime which inflicts not only on state financial loss, but also largely public economic interest (extra-ordinary crime). The integral approach of criminal policy for tighting corruption criminal act has applied penal and non-penal legal action and the participation of other non-penal upholder elements besides legal enforcers and Commission for Fighting Corruption Criminal Act. In the penal action, office ofthe attomey as the key administration office in processing criminal cases in criminal justice systems has duty and function for doing investigation and prosecution against corruption cases. In the non-penal action, public prosecutor doing a civil suit and altemative dispute resolution should have an ideal role according to the normative mle of law in force, nevertheless factual role is created because of substantial, structural, and cultural problems.

The results of research showed that the weaknesses of normative rules in penal action for the public executor?s role were in cases investigation, control mechanism, specific rules of corruption, mles of criminal code related to corruption cases, and public prosecution law. While the weaknesses of non-penal action where the duty and fimction of public prosecutor acted as a ?facultative? state legal adviser. The application of the role of public prosecution in fighting corruption criminal cases was in line with criminal rule of legislations: doing investigation, examination, criminal indictment, and execution of criminal court verdict and implementing the duty and limction of public prosecutor in civil case and alternative dispute resolution. To implement the roles, it was needed some supporting factors, like the the rule of implementation of the law, the management of solving cases, professional human resources development, enough fiind and complete facilities. The actual role of public prosecutor was to enforce the law in fighting corruption criminal cases, but only a sum of investigations where proceeded into examination phase, a few of them where into criminal indictment phase, and only some cases where success into criminal sentence phase. In implementing the duty and function, public prosecutor was less in success because of ignorance and unwillingness of the government institutions to deliver the cormption cases for handling. The public prosecutors professionalism was matched with skill and expertise, partnership, work culture and goal-oriented. The participation of non-govemment organization in society for help fighting corruption criminal cases was done well. It was proved by the report and claim of community member. The perspective existence of Commission for Fighting Corruption Criminal Action (KPTPK) had duty, iimction, and the authority in coordination with and supervision to the law enforcers, institutions, departements officials, to do investigation, examination, and criminal indictment for corruption criminal cases. The duty and fimctions of KPTPK which worked together with public prosecution where prevention against corruption criminal cases by creating a good govemance and good corporate governance, and ?anti-corruption? culture in government officials and community.
2002
D1101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mustofa
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
364.131 MUH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhdori
Abstrak :
Penelitian tentang pelaksanaan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara dalam suatu unit kerja birokrasi pemerintah masih terdapat penyimpangan, sehingga menimbulkan kerugian negara. Terjadinya penyimpangan tersebut sulit dihindari, karena faktor sistem penatausahaan yang kurang baik dan penggunaan barang inventaris milik negara banyak disalahgunakan. Metodologi Penelitian dalam penulisan ini dilakukan secara deskriptif. Hal ini mengingat obyek yang diteliti telah terdapat informasi mengenai suatu penyimpangan dalam hal pengelolaan barang inventaris milik negara berdasarkan dokumen hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai data sekunder. Oleh karena itu penelitian ini selanjutnya disebut penelitian dokumen Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Mengacu kepada dimensi teori dari Clinard dan Quinney tentang Tipologi Sistem Perilaku Kriminal dan Teori Asosiasi yang berbeda ( Differencial Association) oleh Edwin H. Sutherland and Donall R. Cressey , praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara dalam suatu unit kerja birokrasi pemerintahan dapat dikategorikan sebagai bentuk White Collar Crime. Dalam hal penyimpangan yang terjadi di Departemen X pada tahun anggaran 2001 untuk alokasi anggaran pengadaan barang baik yang di biayai dari anggaran rutin maupun proyek pembangunan dinyatakan bahwa di Departemen X telah terbukti adanya penyimpangan dalam pengelolaan barang inventaris milik negara. Untuk mencegah agar praktik penyimpangan yang terjadi dapat dikurangi, atau bahkan di hindari pemerintah perlu membuat kebijakan dalam hal sistim penyusunan anggaran keuangan negara, memberikan sanksi hukum yang tegas kepada perilaku penyimpangan, meningkatkan penghasilan pegawai negeri. Hal ini diperlukan mengingat apabila praktik penyimpangan yang terjadi di unit kerja birokrasi pemerintah tidak ada tindakan berupa sanksi hukum dapat dimungkinkan terjadi reaksi sosial di masyarakat. Bentuk reaksi sosial tersebut dapat berupa demonstrasi, pemberitaan di surat kabar maupun sanksi moral kepada si pelaku penyimpangan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T4483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magnuson, Roger J.
New York: McGraw-Hill, 1992
364.168 MAG w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
St. Paul Minn: West, 2012
364.168 OSU f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Juniati
Abstrak :
Permasalahan korban belum menjadi pengetahuan umum dan dasar bagi para pembuat regulasi, masih mencari bentuk terbaik dalam perlindungan korban. Situasi struktural menjadikan konsumen sebagai target yang tepat untuk menjadi korban, karena perlindungan korban masih dikelilingi oleh pemilik kekuasaan. Perlindungan korban yang terjadi selama ini selalu melibatkan intervensi negara dengan menggunakan prinsip-prinsip kekuasaan polisi atau aparat hukum terkait. Dalam kasus konsumen meikarta, kejahatan korporasi bukan satu-satunya masalah, akan tetapi kebanyakan yang terjadi adalah kejahatan korporasi. Bahkan konsumen tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban kejahatan tersebut. Tesis ini membahas tentang upaya perlindungan korban dari kejahatan korporasi yang terjadi pada konsumen Meikarta, dimana sangat diharapkan dapat dilakukan secara efektif tanpa intervensi dari aspek kekuasaan. Penelitian ini merupakan penelitian metode kualitatif dengan menekankan pada data-data hasil lapangan, observasi dan wawancara narasumber mengenai upaya perlindungan korban karena kejahatan korporasi khususnya konsumen Meikarta. Tujuan penelitian yaitu memposisikan korban dalam perlindungan sebagai pusat dalam proses pelayanan korban. ......The problem of victims has not become common knowledge and basic for regulators, still looking for the best form in victim protection. The structural situation makes consumers the and right target and victims because the protection of victims is still surrounded by power owners. The victim's actions that have occurred during this cell involve state intervention using the principles of police or related law enforcement powers. In the case of Meikarta consumers, corporate crime is not the only problem, but most of what happens is a corporate crime. Even consumers don't realize they're victims of such crimes. This thesis discusses efforts to protect victims from corporate crimes that occur in Meikarta consumers, which is expected to be done effectively without intervention from consumers. the aspect of power. This study is qualitative method research with emphasis on field results data, observations, and interviews of sources about efforts to protect victims due to corporate crimes, especially Meikarta consumers. The purpose of the study is to position the victim in protection as a center in the process of victim service.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosafat Rizanto
Abstrak :
Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) lewat penelitiannya tentang ?the white collar crime? membuktikan bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. Sementara itu, setiap perbuatan yang melanggar hukum pidana harus diberikan hukuman. Adapun hukuman yang diberikan tersebut harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui berbagai program pembinaan pada suatu Lembaga Pemasyarakatan dalam kerangka Sistem Pemasyarakatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tugas dan fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah melaksanakan pembinaan secara sama dan merata bagi seluruh narapidana lewat Sistem Pemasyarakatan sebagai metode pembinaannya. Akibatnya, pembinaan yang dimaksud tidak dapat diberikan kepada narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini disebabkan karena mereka merupakan narapidana dengan identifikasi khusus, baik dari tingkat intelektual maupun status sosial ekonomi. Padahal, agar dapat mencapai hasil yang optimal dari pelaksanaan pembinaan, sangat tergantung sekali pada metode dan program pembinaan itu sendiri. Pada akhirnya, Lembaga Pemasyarakatan tidak mampu mewujudkan tujuan pembinaan yang menghendaki agar narapidana tidak melakukan tindak pidana lagi dan mengalami perubahan tingkah laku serta menjadi ?orang baik?. Dengan demikian muncul pertanyaan, metode pembinaan yang bagaimana yang sesuai dengan narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) serta kendala apakah yang muncul bilamana pembinaan tersebut hendak dijalankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum memiliki program pembinaan khusus bagi narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) yang disebabkan oleh beberapa kendala seperti program pembinaan, sumber daya manusia, program kerja, anggaran serta sarana dan prasarana. Untuk mengatasinya, diperlukan upaya untuk mempersiapkan pembinaan dengan metode dan program kerja khusus bagi mereka serta meningkatkan kualitas petugas Lapas, memenuhi anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembinaan itu sendiri.
Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) through his research on ?the white collar crime? proves that crime is not only committed by those from lower class people, but crime is also committed by upper-class people. On the other hand, each and every act violating common law must be punished. But the punishment given must serve certain purposes which should be achieved through various development programs at a Correctional Institution. According to Law No 12 Year 1995, the duties and functions of Correctional Institutions are to carry-out development equally and evently for all the prisoners through Correctional Systems as the development method. As a result, the intended development is not applicable to those convicted for white collar crime because they are prisoners with special identification, both from intelectual level as well as socialeconomic status. Whereas, in order to achieve optimum result from the development, it is very much depended on the method and the development program itself. At the end, Correctional Institutions cannot achieve the development goals which meant to ensure no repeated crime by the prisoners and a change in their behaviour and become a ?good? man. Then comes the question on which development method that is suitable for those prisoners convicted for white collar crime and what are the obstacles arise from the implementation of this development method. The research shows that Correctional Institutions do not have development programs dedicated for those prisoners convicted for white collar crime yet which caused by a few obstacles such as development programs, human resources, work programs, budget and infrastructure. To solve this issue, we need efforts to prepare a development program with special method and work programs dedicated for them and to improve the humn resource quality of Correctional Institutions, sufficient budget and infrastructure required by the development program.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Ali Akbar Al Masri
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini membahahas masalah dalam proses pemberian izin hak pemanfaatan hutan, yang dikaji dengan menggunakan teori White Collar Crime WCC dan Transnational Crime. Pemberian izin pemanfaatan hutan di wilayah Riau tahun 2002-2006 telah menangkap sejumlah kepada daerah dan pimpinan perusahaan. Dalam kasus ini pelaku telah melakukan kejahatan terkait fungsi dan kewajiban dalam pekerjaannya. Sedangkan secara lebih luas, kasus ini dapat dilihat sebagai kegagalan negara dalam melindungi sumber daya alam dari aktifitas bisnis ilegal. Kasus ini juga merupakan bentuk dari Transnational Crime, bila dibahas dari keterlibatan korporasi asing yang menerima keuntungan dari hasil pemberian izin tersebut. Sumber data dalam kajian ini menggunakan data sekunder yang didapatkan melalui buku, jurnal, laporan, penelusuran di internet dan melakukan riset langsung ke sejumlah LSM.
ABSTRACT
This Paper discusses the process of granting forest management rights permits that is studied using White Collar Crime WCC and Transnational Crime theory. The forest exploitation cases in Riau in 2002 2006 have resulted in a number of regional heads ands corporate leader has been captured as criminal offense. In this case the offender has commited a crime related to the obligation function in his work, while and can be seen as a failure of the state in protecting its natural resources from illegal bussiness activities. This case is also part of the Transnational Crime, when we discuss the involvement of foreign corporations who benefit from the illegal activities. The involvement referred to this case is how foreign entrepreneurs used the illegal natural resources as their main raw material for their own profit. The data source in this study uses secondary data obtained through books, journal, reports, searches on the Internet and conduct research directly to a number of NGOs
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Perdana
Abstrak :
Tulisan ini membahas mengenai pola korupsi kepala daerah yang terjadi selama periode tahun 2012 hingga 2018. Tujuan dari tulisan ini yaitu menguraikanpola korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah yang dilihat dari indikator pola tipe, bidang, modus, korban, kerugian, pelaku, dan reaksi hukum. Pola-pola tersebut mengikuti pola-pola yang ada pada penelitian Mustofa pada tahun 2010 tentang pola white collar crime di Indonesia. Tulisan ini menemukan 65 kasus korupsi kepala daerah di Indonesia selama periode tahun 2012 hingga 2018. Berdasarkan data tersebut, penulis akan melakukan analisis dan mencari tahu pola-pola hubungan yang relatif teratur pada pelaku korupsi yang terjadi selama periode tahun 2012 hingga 2018 secara kriminologis. Tugas karya akhir ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melihat pola korupsi di masa yang akan datang dan membantu dalam pembentukan strategi pencegahan kejahatan korupsi. ......This paper discusses about the pattern of district head corruption that occurred during the period of 2012 to 2018. The purpose of this paper is to describe the pattern of corruption carried out by district heads as seen from the indicators of patterns of types, fields, modes, victims, offenders and legal reactions . These patterns follow the patterns in Mustofa's research in 2010 about the pattern of the white collar crime in Indonesia. This paper found 65 corruption cases of district heads in Indonesia during the period 2012 to 2018. Based on these data, the authors will conduct an analysis and find out the relatively regular patterns of relations in the perpetrators of corruption that occurred criminologically during the period of 2012 to 2018. The task of this final work is expected to be a reference to see patterns of corruption in the future and help in the formation of prevention strategies for corruption.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Dikdaya
Abstrak :
Dunia perbankan di Indonesia mulai semarak setelah pemerintah melancarkan serangkaian kebijaksanaan deregulasi diantaranya yang sangat berpengaruh adalah paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (pakto 88). Hal ini sejalan dengan harapan oleh pemerintah yang bertujuan mengerahkan dana masyarakat dengan jalan membuka kesempatan untuk didirikannya bank-bank baru. Nampaknya usaha pemerintah ini berhasil terbukti dengan makin menjamurnya jumlah kantor bank maupun bank-bank baru. Inilah perkembangan yang diharapkan, tetapi perkembangan baru ini juga dinikmati oleh orang-orang yang berniat jahat dengan jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada. Hal ini bisa dilihat pada angka kejahatan di bidang perbankan yang dicatat dan ditangani polisi. Baik secara kuantitas dan kualitas meningkat. Meningkatnya kejahatan di bidang perbankan merupakan tantangan baru baik bagi aparat penegak hukum, lebih-lebih lagi para pengusaha bank. Betapa tidak karena bank sebagai perusahaan jasa yang mengandalkan serta menggantungkan kepercayaan masyarakat (nasabah), maka jaminan terhadap keamanannya sangat penting. Dari seluruh kasus yang pernah terjadi kejahatan yang dilakukan oleh oknum pejabat atau pimpinan pada umumnya menimbulkan kerugian yang tinggi, coritohnya adalah kasus Bank Perkembangan Asia (BPA), Bank Duta dan Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Kasus PT. BAR bermula pada perbuatan yang dilakukan oleh komisaris, Direktur Kredit, Direktur Operasional yang menyebabkan PT. BAR dilikuidasi oleh Menteri keuangan Tanggal 1 Nopember 1997 sehingga esoknya bank inidinyatakan ditutup. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ada berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh- pimpinan PT. BAR dan dibantu teman-temannya. Modus operandi kejahatan yang dilakukan adalah memberikan kredit memberikan batas yang telah ditentukan. Oleh Undang-undang Perbankan yaitu 10% dari modal bank kepada debitur terkait dan 24% dari modal bank untuk debitur tidak terkait. Tindak kejahatan yang dilakukan oleh HENRY LIEM dkk. ini tergolong white collar crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi dalam lingkup jabatannya. White collar crime merupakan kejahatan berdimensi baru dalam arti berbeda dengan kejahatan tradisional. Perbedaan tersebut misalnya dalam hal modus operandi, pelaku, tiadanya penggunaan kekerasan, aspek kerugian dan lainnya yang pada intinya lebih merugikan dan canggih dari pada kejahatan tradisional (perampokan, pencurian, penodongan dan sebaginya). White Collar Crime dalam perbankan seringkali sulit dibuktikan dan kalu terbukti membutuhkan waktu relatif lama, karena dilakukan dalam tugas operasional sehari-hari. Di dalam kasus PT BAR kerugian yang ditimbulkan adalah sebesar Rp 110.660.000.000,- Dilihat dari modus operandinya kasus ini dengan melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang telah melebihi modal disetor pemilik bank tersebut. Penelitian ini bersifat deskriminatif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan yang berusaha merinci suatu fenomena secara mendalam melalui wawancara dengan nara sumber dan meneliti Berita Acara Pemeriksaan. Penelitian ini ditandai oleh suatu usaha menggambarkan kenyataan atau kasus empiric, informasi-informasi yang didapat baik melalui studi kepustakaan, studi lapangan dan wawancara terhadap nara sumber yang kemudian data-data tersebut diolah sehingga dapat menjawab permasalahan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1425
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>