Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Courtens, Ien
Leiden : KITLV Press , 2008
615.195 1 COU r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chinta Novianti Mufara
Abstrak :
Provinsi Papua Barat menempati urutan ketiga kasus tertinggi malaria di Indonesia. Jumlah kasus malaria positif malaria tahun 2020 berjumlah 254.050 kasus, yang meningkat pada tahun 2021 dengan 304.607 kasus. Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya malaria seperti sosio demografi, factor lingkungan, maupun perilaku individu dalam pencegahan penularan penyakit malaria. Penelitian ini bertujuan untuk menilai determinan kejadian malaria di Provinsi Papua Barat, menggunakan sumber data Riskesdas Provinsi Papua Barat Tahun 2018 dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini menggunakan uji statistik cox regresi terhadap 2.602 sampel di provinsi Papua Barat, dengan signifikansi statistik berdasarkan interval kepercayaan 95%. Hasil penelitian didapatkan prevalensi malaria di Provinsi Papua Barat sebesar 37,2%. Proporsi kejadian malaria paling banyak pada laki-laki 42,5%, usia ³ 5 tahun 37,4%, pendidikan terakhir £SMP/SLTP 37,5%, pekerjaan tidak berisiko 37,8%, tidak tidur menggunakan kelambu berinsektisida 41,2%, tidak menggunakan repelen, tidak menggunakan obat nyamuk 38,0%, menggunakan kasa pada ventilasi rumah 42,7%, memusnahkan barang-barang bekas berwadah 39,5%, tinggal di daerah perkotaan 46,5%, jenis sarana air utama yang digunakan untuk keperluan masak, kebersihan pribadi dan mencuci yang tidak berisiko 38,3% dan jenis sarana air utama yang digunakan untuk keperluan minum yang tidak berisiko 38,7%. Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin (PR 1,295; 95% CI 1,141-1,469) dan tipe daerah (PR 0,746; 95% CI 0,650-0,855). Serta faktor yang dianggap berhubungan dengan kejadian malaria yaitu tidur menggunakan kelambu berinsektisida PR 1,102;95% CI 0,965-1,258). Faktor jenis kelamin menjadi faktor yang paling mempengaruhi kejadian malaria yang memberikan resiko sebesar 1,295 terjadinya malaria pada laki-laki dibandingkan pada perempuan setelah dikontrol oleh faktor tipe daerah dan tidur menggunakan kelambu berinsektisida. Perlunya promosi, edukasi dan monitoring evaluasi penggunaan kelambu berinsektisida terutama pada masyarakat perkotaan dan kelompok berisiko (laki-laki) ......West Papua Province ranks third in the highest cases of malaria in Indonesia. The number of positive malaria cases in 2020 totaled 254,050 cases, which increased in 2021 with 304,607 cases. There are several risk factors for the occurrence of malaria such as socio-demographic, environmental factors, and individual behavior in preventing the transmission of malaria. This study aims to assess the determinants of malaria incidence in West Papua Province, using the 2018 West Papua Province Riskesdas data source with a cross-sectional study design. This study used the cox regression statistical test on 2,602 samples in the province of West Papua, with statistical significance based on 95% confidence intervals. The results showed that the prevalence of malaria in West Papua Province was 37.2%. the highest proportion of malaria incidence was in males 42.5%, age ³ 5 tahun 37.4%, last education £ SMP/SLTP 37.5%, work not at risk 37.8%, did not sleep using insecticide treated nets 41.2 %, not using repellents, not using mosquito coils 38.0%, using gauze on house ventilation 42.7%, destroying used containerized 39.5%, living in urban areas 46.5%, the type of main water facility used used for cooking, personal hygiene and washing purposes which were not at risk 38.3% and the type of main water facility used for drinking purposes which was not at risk 38.7%. The results showed that there was a significant relationship between gender (PR 1.295; 95% CI 1.141-1.469) and area type (PR 0.746; 95% CI 0.650-0.855). As well as factors that are considered related to the incidence of malaria, namely sleeping using insecticide-treated nets PR 1.102; 95% CI 0.965-1.258). The gender factor is the factor that most influences the incidence of malaria which gives a risk of 1.295 for the occurrence of malaria in men compared to women after controlling for the type of area and sleeping using insecticide-treated mosquito nets. It is necessary to promotion, education, monitoring and evalution of the use of insecticide-treated nets, especially in urban communities and at risk group (men).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ester Yambeyapdi
Abstrak :
Belanda mulai menaruh perhatian di wilayah Papua Barat selama dan setelah Perang Dunia II, atas desakan Amerika Serikat, karena letaknya yang strategis dan untuk menjamin kepentingan AS dan sekutunya di Pasifik Selatan. Dengan kondisi seperti ini, maka tesis ini bermaksud mengungkapkan "causal factor" Belanda dan Sekutunya setuju Papua Barat di integrasikan ke dalam wilayah RI pada tahun 1962. Tulisan ini merupakan kajian sejarah diplomasi, dimana peran aktor sangat penting. Selain itu, unsur penawaran dan pengambilan keputusan dalam situasi konflik sangat menentukan. Karena itu, dalam pengungkapan maksud tesis ini digunakan Teori Permainan (Game Theory) dengan model Permainan jumlah Nilai Nol (Zero-sum Games), yaitu ketika dua pihak berusaha ke arah tujuan yang sama dan yang satu berhasil dan yang lain kalah. Teori ini terbukti benar, karena dalam proses negosiasi dengan Belanda, Indonesia berhasil memperoleh Papua Barat. Masalah Papua Barat telah menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda sejak tahun 1950. Ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani-yang mengakhiri konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Belanda, status politik Papua tetap di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Seperti keputusan KMB, bahwa masalah Papua akan dibicarakan lagi setahun kemudian, ternyata dalam perkembangannya, ±13 tahun, Papua merupakan sumber konflik diplomatik antara Indonesia - Belanda. Konflik ini menjadi rumit dan berlarut-larut, karena baik Belanda maupun Indonesia mempunyai agenda penyelesaian yang berbeda. Menurut Belanda, penduduk Papua Barat berbeda secara sosial budaya dengan penduduk Indonesia lainnya. Selain itu, pemerintah Indonesia dinilai belum mampu untuk memerintah Papua. Kebalikannya, bagi Indonesia, Papua merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda yang notabene adalah Indonesia. Ketika masalah Papua diajukan RI ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara tahun 1954 -- 1957, dan tahun 1961, Belanda tetap bersikeras mempertahankan Papua. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat selalu bersikap abstain selama pemungutan suara. AS bersikap demikian, ini berkaitan dengan strategi "Cold War". Di lain sisi, sikap politik AS ini sangat menguntungkan pihak Belanda. Namun dalam perkembangannya, AS mengubah kebijakan politik luar negerinya dari netralitas pasif ke netralitas aktif. Nampaknya AS (Presiden Kennedy) tidak ingin melihat pecahnya perang antara Indonesia dengan Belanda yang akibatnya hanya membuka bagian Asia itu bagi masuknya pengaruh Uni Soviet dan komunis. Dengan demikian, sebelum konflik tersebut berdampak luas, Amerika Serikat berhasil menekan pemerintah Belanda maupun Indonesia agar mau berunding. Baik Belanda maupun Indonesia akhirnya tanggal 15 Agustus 1962 di Dewan Keamanan PBB menandatangani persetujuan penyelesaian masalah Papua Barat. Persetujuan ini lebih dikenal dengan New York Agreement. Sebagai realisasi dari Perjanjian New York, oleh PBB dibentuk United Nation Trearty Executive Administration/UNTEA, untuk menerima dan menjalankan pemerintahan interim di Papua Barat, dari pemerintah Belanda. Pada 1 Mei 1963, akhirnya kekuasaan administrasi pemerintahan Papua diserahkan kepada RI.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T10431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mauritius Donie Sukma Wibowo
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa potensi ancaman hybrid warfare di Indonesia melalui studi kasus Papua di Media Sosial. Penulis menggunakan teori hybrid warfare,teori hate speech, teori propaganda, teori media sosial dan teori disinformasi. Penulis menggunakan metode kualitatif dan studi kasus sebagai membantu menjelaskan fenomena propaganda dan disinformasi pada kasus gerakan pembebasan Papua. Penulis berusaha menganalisa potensi ancaman hybrid warfare yang dilakukan oleh oknum pembebasan Papua melalui media sosial. Perkembangan media sosial di Indonesia dan dunia internasional sangat pesat dengan dipengaruhi oleh internet. Media sosial pada saat ini dapat mempengaruhi penyebaran dan model propaganda serta disinformasi yang digunakan sebagai instrumen hybrid warfare. Propaganda dan disinformasi yang digunakan sebagai upaya Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui media sosial. Perubahan interaksi dan penggunaan disinformasi dan hate speech pada media sosial menunjukkan bahwa OPM melakukan penggalangan untuk merubah persepsi masyarakat Indonesia maupun internasional. Propaganda dan disinformasi mengenai kasus Papua semakin meningkat dan menggunakan alogaritma dari media sosial untuk mencapai tujuan mereka. Penulis menemukan beberapa bukti bahwa media massa dan media sosial organisasi tersebut medapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Dukungan tersebut dapat menigkatkan potensi ancaman terhadap keamanan nasional Indonesia ......This study aims to analyze the potential threat of hybrid warfare in Indonesia through a Papua case study on social media. The author uses hybrid warfare theory, hate speech theory, propaganda theory, social media theory and disinformation theory. The author uses qualitative methods and case studies to help explain the phenomenon of propaganda and disinformation in the case of the Papuan liberation movement. The author tries to analyze the potential threat of hybrid warfare carried out by elements of Papuan liberation through social media. The development of social media in Indonesia and internationally is very fast, influenced by the internet. Social media at this time can influenced the spread and model of propaganda and disinformation used as a hybrid warfare instrument. Propaganda and disinformation used as an effort by the Free Papua Movement (OPM) through social media. Changes in interaction and the use of disinformation and hate speech on social media showed that OPM is mobilizing to change perceptions of the Indonesian and international community. Propaganda and disinformation regarding the Papua case is increasing and using algorithms from social media to achieve their goals. The author found some evidence that the mass media and social media of these organizations received support from various circles. This support can increase the potential threat to Indonesia's national security
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Dias Rizaldy
Abstrak :
ABSTRAK
Status United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai pengamat di Melanesian Spearhead Group (MSG) melambangkan pengakuan internasional dari negara-negara Melanesia. Berdasarkan tinjauan pustaka, tidak banyak penelitian yang mencoba mengeksplorasi respons Indonesia tentang internasionalisasi konflik Papua Barat, lebih khusus dari perspektif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pemisahan diri dan pencegahan pengakuan entitas Papua Barat di ranah internasional oleh Indonesia. Untuk menganalisis fenomena ini, penulis menggunakan konsep kontra-pemisahan & pengakuan yang pendekatannya berasal dari perspektif liberalisme. Penelitian ini menemukan bahwa kegigihan dalam melindungi integritas nasionalnya dan banyaknya diplomasi yang dilakukan adalah kunci dari kurangnya dukungan internasional yang diberikan kepada entitas Papua Barat. Selain itu, tidak adanya dukungan dari negara-negara kekuatan utama meningkatkan peluang keberhasilan bagi Indonesia dalam mencegah pengakuan internasional terhadap entitas de facto.
ABSTRACT
The status of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) as an observer in the Melanesian Spearhead Group (MSG) symbolizes international recognition from Melanesian countries. Based on a literature review, not much research has tried to explore Indonesia's response to the internationalization of the West Papua conflict, more specifically from an Indonesian perspective. This study aims to analyze the process of secession and prevention of recognition of West Papuan entities in the international sphere by Indonesia. To analyze this phenomenon, the author uses the concept of counter-separation & recognition whose approach is derived from the perspective of liberalism. This research found that persistence in protecting its national integrity and the amount of diplomacy undertaken is the key to the lack of international support given to West Papuan entities. In addition, the lack of support from major power countries increases the chances of success for Indonesia in preventing international recognition of de facto entities.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nur Atikah Putri
Abstrak :
Tatanan tektonik kompleks di wilayah Papua Barat menyebabkan tingginya tingkat seismisitas sehingga berpotensi mengalami kerusakan yang besar saat mendapatkan getaran yang kuat ataupun gempa bumi. Peranan kajian karakteristik lapisan bawah permukaan seperti metode mikrotremor berdasarkan sifat gerakan tanah sangat penting sebagai langkah mitigasi bencana ataupun dalam perencanaan pembangunan infrastruktur. Pada penelitian ini, dua parameter penting pada data mikrotremor yaitu frekuensi dominan dan amplifikasi tanah yang berguna dalam mengestimasi karakteristik tanah, digunakan untuk menganalisis dan memetakan distribusi zona indeks kerentanan seismik, percepatan tanah maksimum (PGA), 𝑉𝑠30 dan Ground Shear Strain pada lapisan sedimen di wilayah area penelitian “SA”, Papua Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa area penelitian didominasi oleh lapisan sedimen aluvial yang tebal dengan karakteristik tanah lunak hingga tanah sedang. Nilai indeks kerentanan seismik relatif rendah pada area ini bernilai antara 0,8 – 14,1 dimana tergolong dalam area yang tidak terlalu rentan terhadap aktivitas seismik atau potensi kerusakan kecil. Selain itu, nilai percepatan tanah maksimum area penelitian bernilai 149 – 771 gal yang tergolong dalam kategori intensitas gempa bumi III sampai V, yaitu kerusakan ringan hingga berat dengan sifat dinamis tanah elasto-plastis yang dapat mengakibatkan fenomena crack atau retakan pada lapisan tanah.


The complex tectonic in the West Papua region causes high levels of seismicity so that it has potential to sustained major damage during strong vibrations or earthquakes. The role of the study of the characteristics of the subsurface layer such as the microtremor method based on the nature of the ground motion is very important as a disaster mitigation step or in infrastructure development planning. In this study, two important parameters in the microtremor data, namely the dominant frequency and soil amplification which are useful in estimating soil characteristics, are used to analyze and mapping the distribution of seismic susceptibility index zones (𝐾𝑔), maximum soil acceleration (PGA), 𝑉𝑠30 and Ground Shear Strain in sediments layer in the “SA” study area, West Papua. The results showed that the research area was dominated by a thick layer of alluvial sediment with soft to medium soil characteristics. The value of the seismic vulnerability index is relatively low in this area, which is between 0.8 - 14.1 which is classified as an area that is not too vulnerable to seismic activity or small damage potential. In addition, the maximum ground acceleration value of the study area is 149 – 771 gal which belongs to the category of earthquake intensity III to V, i.e. mild to severe damage with elasto-plastic soil dynamic properties which can cause crack in the soil layer.

Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citaningrum Wiyogowati
Abstrak :
Hingga saat ini stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana prevalensi tertinggi terjadi di Negara-negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri prevalensi stunting beragam dengan prevalensi tertinggi berada di kawasan Indonesia Timur, salah satunya adalah Provinsi Papua Barat dimana berdasarkan hasil Riskesdas 2010 prevalensi stunting di Provinsi Papua Barat 49,2 %. Telah dilakukan penelitian cross sectional terhadap kejadian stunting pada anak berumur dibawah lima tahun dengan hasil didapat faktor yang berhubungan dengan kejadian stunring di Provinsi Papua Barat adalah fasilitas pelayanan kesehatan, imunisasi dasar, pendapatan rumah tangga, dan umur responden. Until now, stunting remains a public health problem, where the highest prevalence occurred in poor and developing countries including Indonesia. In Indonesia, prevalence of syunting varied with the highest prevalence in The eastern part of Indonesia, one of which is the province of West Papua, which is based on 2010 result of primary health research prevalence of stunting in 49,2 % of West Papua. Cross sectional was conducted on the incidence of stunting in children under five years old with the results obtained factors related to the event stunting in West Papua Province is healthcare facilities, basic immunizations, household income, and age of respondent.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nursulthan. A`raf
Abstrak :
TRWP (Tentara Revolusi West Papua) adalah bagian terpenting dari Kelompok Separatis Teroris (KST) yang merupakan kelompok bersenjata dengan tujuan utama memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompok ini juga terus bertahan dan berjuang menyebarkan paham Radikalismenya berdiri untuk memisahkan diri dari Kedaulatan Negara Republik Indonesia dengan misi utama untuk memerdekakan Papua Barat dari Pemerintah Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif , dengan data yang di analisa berdasarkan teori ancaman, teori separatis dan teori penggalangan intelijen. Sehingga, untuk dapat mengantisipasi ancaman KST TRWP, perlu dilakukan telaahan akademis berdasarkan penelitian salah satu orang yang terlibat. Penulis bukan orang yang terkenal, namun keterlibatannya dalam keberhasilan menggalang Direktur Kesehatan KST TRWP dan Timnya, yang merupakan tangan kanan Panglima Tertinggi TRWP kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan suatu telaahan akademis sebagai contoh studi kasus. Dihadapkan dengan studi kasus tersebut, maka strategi penggalangan intelijen melibatan TNI-AD dalam menghadapi ancaman KST TRWP merupakan salah satu solusi efektif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontibusi nyata dalam upaya penggalangan KST di wilayah Papua Indonesia. ......TRWP (West Papua Revolutionary Army) is the most important part of the Separatist Terrorist Group (KST) which is an armed group with the main objective of separating themselves from the Unitary State of the Republic of Indonesia. This group also continues to survive and struggle to spread its Radicalism ideology and stands to separate itself from the Sovereignty of the Republic of Indonesia with the main mission of liberating West Papua from the Indonesian Government. This study uses a qualitative method, with data analyzed based on threat theory, separatist theory and intelligence-gathering theory. So, to be able to anticipate the threat of KST TRWP, it is necessary to conduct an academic study based on the research of one of the people involved. The author is not a well-known person, but his involvement in the success of bringing the TRWP KST Health Director and his team, who is the right hand of the TRWP Supreme Commander back to the Motherland of the Unitary State of the Republic of Indonesia, can be used as an academic study as an example of a case study. Faced with this case study, the intelligence-raising strategy involving the TNI-AD in dealing with the threat of KST TRWP is one effective solution. The results of this study are expected to provide a real contribution to efforts to raise KST in the Papua region of Indonesia.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riris Katharina
Abstrak :
Analisis Kebijakan Otonomi Khusus Papua 2001-2016 dalam Perspektif Deliberative Public Policy Penelitian ini menganalisis kebijakan Otonomi Khusus Otsus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, yang hanya melihat kebijakan Otsus Papua pada tahap implementasi, penelitian ini menganalisis kebijakan Otsus sebagai sebuah proses kebijakan, mulai dari tahap formulasi hingga implementasi, dengan menggunakan perspektif deliberative public policy dari teori Dryzek 1990 mengenai deliberative democracy. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan informan beragam, baik yang mendukung maupun yang mengritisi kebijakan Otsus. Para informan adalah para pembuat kebijakan Otsus Papua di DPR RI dan Pemerintah, serta di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kegiatan observasi dilakukan di Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong, dan Kaimana, yang merepresentasikan wilayah kota dan kabupaten, serta wilayah pantai dan pegunungan. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, dan sesuai dengan tujuannya, untuk menganalisis kebijakan Otsus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, penelitian ini menggunakan tipe eksplanatori kualitatif. Triangulasi dilakukan melalui kegiatan focus group discussions, yang melibatkan para pemangku kepentingan. Berbeda dengan penelitian LIPI 2004 , yang mengungkap bahwa kebijakan Otsus Papua sudah dilakukan secara partisipatif, penelitian ini menemukan partisipasi yang dilakukan dalam tahap formulasi bersifat semu pseudo-participation . Penelitian ini selanjutnya mengungkap bahwa dalam tahap implementasi, orang asli Papua sebagai target penerima manfaat cenderung diabaikan partisipasinya. Menurut hasil penelitian ini, formulasi dan implementasi kebijakan Otsus Papua harus memperhatikan prinsip-prinsip deliberatif. Penelitian menemukan bahwa perspektif deliberative public policy telah membuka cara pandang baru dalam menganalisis kebijakan Otsus Papua. Penelitian ini mengemukakan kebaruan novelty bahwa dalam perspektif deliberative public policy, pembatasan waktu dalam proses formulasi kebijakan akan menimbulkan masalah dalam implementasinya. Penekanan pada substansi deliberasi lebih penting dari pada sekadar pemenuhan formalitas, karena ia akan menimbulkan pseudo-deliberative, yang menciptakan situasi konflik akibat distrust yang terus tumbuh dan memperkuat tuntutan separatisme. Kata kunci: deliberative public policy, pseudo-deliberative policy, Dryzek 1990, otonomi khusus, Papua, Papua Barat.
Papua Special Autonomy Policy Analysis 2001 2016 A Deliberative Public Policy Perspective This research analyzed special autonomy policy in the provinces of Papua and West Papua. Different from previous researches which only discussed the special autonomy during its implementation, this research examined it as a process since its formulation until its implementation by employing the 1990 Dryzek rsquo s deliberative democracy perspective. Data collection was conducted with library studies, continued with in depth interviews with various informants. The informants consisted of those who supported the special autonomy policy and those who criticized it inside the national parliament and the government, as well as different parties in the provinces of Papua and West Papua. In addition to this, observation works have been conducted in cities and municipalities, as well as coastal and mountainous areas, e.g. Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong, and Kaimana. Data was analyzed by employing a qualitative method. In accordance with the objective of this research, namely to clearly examine both the formulation and implementation of special autonomy policy in the Papua and the West Papua, an explanatory qualitative type was applied. Triangulation of data was, furthermore, conducted with focus group discussions, involving relevant stakeholders. Unlike the 2004 LIPI rsquo s research, which concluded that the Papua special autonomy policy has been deliberatively discussed and created, this research argued and found that the public participation organized during its formulation was actually pseudo, by which the researcher has identified it as pseudo participation. This research has also revealed that since its implementation, the participation of native Papuan, presumably should have gained the benefits of the policy, have been, in reality, ignored. This research further found that the deliberative public policy has introduced a new perspective for analyzing the Papua special autonomy policy. From such perspective, therefore, its formulation and implementation must consequently rely on deliberative principles. As its novelty, this research has revealed that time limitation during the formulation process will bring about problem in its implementation. The researcher accordingly concluded that emphasizing to have a real deliberative process is much more substantial rather than attempting to make it artificially that led to a pseudodeliberative policy. A pseudo one has, in fact, produced conflict caused by the growing distrust of the Papuan to the government, which strengthened aspiration for separatism. Keywords deliberative public policy, pseudo deliberative policy, Dryzek 1990, special autonomy, Papua, West Papua.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2365
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>