Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Sulaiman
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia , 1995
616.362 3 ALI v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soewignjo Soemohardjo
Jakarta : EGC, 1999
616.362 3 SOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
Abstrak :
ABSTRAK Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi. Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional. 1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe. 2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr. 3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia. 4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan.
2005
D617
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rosmawaty
Abstrak :
ABSTRAK Resistensi terhadap lamivudin merupakan masalah yang sering dihadapi pada pengobatan penderita hepatitis B. Resistensi lamivudin biasanya dihubungkan dengan faktor virus yaitu mutasi gen P terutama di daerah YMDD, sedangkan penelitian pada faktor pejamu (host) belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan : 1) Untuk mengetahui peranan gen dCK pejamu (host) yang mengkode enzim deoksisitidin kinase pada resistensi lamivudin 2) Untuk mengetahui peranan gen P virus hepatitis B yang mengkode polimerase/reverse transcriptase pada resistensi lamivudin. Penelitian ini menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan direct sequencing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen dCK (ekson 2) relatif conserved. Mutasi yang tidak signifikan (G33W) ditemukan hanya pada satu pasien yang sensitif terhadap lamivudin, sedangkan pada kelompok pasien yang resisten terhadap lamivudin dan kelompok populasi nonnal tidak ditemukan mutasi. Penelitian pada gen P (domain RT) virus hepatitis B menemukan 1 (6,25 %) mutasi pada domain B yaitu L526M (rt LISOM) dan 6 (37,5%) mutasi pada domain C yaitu mutan YMDD yang terdiri atas 5 (3l,25%) mutan M5501 (rt M2040 dan 1 (6,25%) mutan M550V (rt M20-4V). Satu mutan MSSOV juga mengalami mutasi L526M. Pada penelitian ini juga ditemukan mutasi baru pada domain A yang belum pemah dipublikasikan yaitu Y487F (rt YI4IF), D480N (rt Dl34N) dan N485S (rt Nl39S). Mutan Y487F ditemukan pada 5 pasien (3l,25%) yang sama persis dengan mutasi MSSOI. Domain A dan C mempunyai peranan pada binding nukleosida trifosfal, sehingga diperkirakan mutasi baru yang ditemukan pada domain A juga mempunyai kontribusi terhadap terjadinya resistensi lamivudin. Virus yang mengalami mutasi L526M + MSSZV tidak menunjukkan mutasi pada Y487F, tetapi mengalami mutasi pada D48ON dan N485S. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1) Pada level genetik tidak terjadi perubahan atau mutasi gen dCK (ekson 2) yang berhubungan dengan resistensi lamivudin. 2) Pada gen P (domain RT) virus hepatitis B terdapat mutasi pada domain A, B dan C yang berhubungan dengan resistensi terhadap lamivudin.
Abstract The resistance against lamivudine treatment in hepatitis B patients is a problem frequently encountered by physicians. Lamivudine resistance is usually associated with viral mutations especially in the YMDD region of P gene, the involvement of host factors however, was not studied yet so far. This investigation is designed to determine either host or viral factors responsible responsible for lamivudine resistance. The aim of this study are : 1) To understand the involvement of host dCK gene which code for deoxycytidine kinase in lamivudine resistance. 2) To understand the involvement of viral P gene which code for polymerase/reverse transcriptase in lamivudine resistance. The investigation was performed by means of Polymerase Chain Reaction (PCR) and direct sequencing methods. The results indicate that dCK gene (exon 2) is relatively conserved. Unsignificant mutation (G33W) was found in only one patient who was sensitive to lamivudine treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D751
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rosmawaty
Abstrak :
ABSTRAK Resistensi terhadap lamivudin merupakan masalah yang sering dihadapi pada pengobatan penderita hepatitis B. Resistensi lamivudin biasanya dihubungkan dengan faktor virus yaitu mutasi gen P terutama di daerah YMDD, sedangkan penelitian pada faktor pejamu (host) belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan : 1) Untuk mengetahui peranan gen dCK pejamu (host) yang mengkode enzim deoksisitidin kinase pada resistensi lamivudin 2) Untuk mengetahui peranan gen P virus hepatitis B yang mengkode polimerase/reverse transcriptase pada resistensi lamivudin. Penelitian ini menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan direct sequencing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen dCK (ekson 2) relatif conserved. Mutasi yang tidak signifikan (G33W) ditemukan hanya pada satu pasien yang sensitif terhadap lamivudin, sedangkan pada kelompok pasien yang resisten terhadap lamivudin dan kelompok populasi nonnal tidak ditemukan mutasi. Penelitian pada gen P (domain RT) virus hepatitis B menemukan 1 (6,25 %) mutasi pada domain B yaitu L526M (rt LISOM) dan 6 (37,5%) mutasi pada domain C yaitu mutan YMDD yang terdiri atas 5 (3l,25%) mutan M5501 (rt M2040 dan 1 (6,25%) mutan M550V (rt M20-4V). Satu mutan MSSOV juga mengalami mutasi L526M. Pada penelitian ini juga ditemukan mutasi baru pada domain A yang belum pemah dipublikasikan yaitu Y487F (rt YI4IF), D480N (rt Dl34N) dan N485S (rt Nl39S). Mutan Y487F ditemukan pada 5 pasien (3l,25%) yang sama persis dengan mutasi MSSOI. Domain A dan C mempunyai peranan pada binding nukleosida trifosfal, sehingga diperkirakan mutasi baru yang ditemukan pada domain A juga mempunyai kontribusi terhadap terjadinya resistensi lamivudin. Virus yang mengalami mutasi L526M + MSSZV tidak menunjukkan mutasi pada Y487F, tetapi mengalami mutasi pada D48ON dan N485S. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1) Pada level genetik tidak terjadi perubahan atau mutasi gen dCK (ekson 2) yang berhubungan dengan resistensi lamivudin. 2) Pada gen P (domain RT) virus hepatitis B terdapat mutasi pada domain A, B dan C yang berhubungan dengan resistensi terhadap lamivudin.
Abstract The resistance against lamivudine treatment in hepatitis B patients is a problem frequently encountered by physicians. Lamivudine resistance is usually associated with viral mutations especially in the YMDD region of P gene, the involvement of host factors however, was not studied yet so far. This investigation is designed to determine either host or viral factors responsible responsible for lamivudine resistance. The aim of this study are : 1) To understand the involvement of host dCK gene which code for deoxycytidine kinase in lamivudine resistance. 2) To understand the involvement of viral P gene which code for polymerase/reverse transcriptase in lamivudine resistance. The investigation was performed by means of Polymerase Chain Reaction (PCR) and direct sequencing methods. The results indicate that dCK gene (exon 2) is relatively conserved. Unsignificant mutation (G33W) was found in only one patient who was sensitive to lamivudine treatment; while no mutations were fotmd in either patients resistance agains lamivudine treatment or normal population. A study on P gene (RT domain) of hepatitis B virus have found l (6,25 %) mutation on B domain as L526M (rt LISOM) and 6 (37.5 %) mutations on C domain as YMDD mutants composing of 5 (31.25 %) mutant M5501 (rt M204l) and 1 (6.25 %) mutant MSSOV (rt M204V). A mutant of MSSOV is also mutate on L526M. This study also discovered new mutations in A domain which have unpublished yet; thhey are Y487F (rt Y141F), D430N (rt D131N) and N485S (rt Nl39S). Y-487F mutants were found in 5 patients (31.25 %) who definitely similar to mutation of M550I. The A and C domain are responsible for nucleside triphosphate binding, therefore the mutation found in A domain is also considered to contribute to lamivudine resistance manifestation. Virus with mutation of L526 + M55 OV did not indicate mutation in Y487F, but mutated in D480N and N485S otherwise. The conclusion of this study are : 1) There are no changes or mutations of dCK gene (exon 2) associate to lamivudine resistance. 2) There are mutations on hepatitis B virus P gene (RT domain) present on A, B and C domain which are associated with resistance to lamivudine treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D709
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Nurainy
Abstrak :
ABSTRAK Virus Hepatitis B (VHB) adalah virus DNA yang berukuran 42 nm, yang termasuk ke dalam kelompok virus Hepadna (Hepadnaviridae). VHB menyebabkan infeksi hepatitis akut, kronis dan fulminan, serta sirosis sampai dengan kanker hati. VHB terbagi dalam empat serotipe (subtipe) hepatitis B surface antigen (HBsAg) utama, yaitu adw, adn ayw, ayn dan seiring dengan berkembangnya ilmu biologi molekul, delapan genotipe, A,B,C,D,E,F,G dan H. Sekitar 350 juta orang di 'dunia Saat ini terinfeksi hepatitis B dan hampir 75% diantaranya terdapat di Asia. Berdasarkan prevalensi HBsAg, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam daerah endemik sedang sampai tinggi. Pengetahuan tentang genotipe VHB sangat penting. Dari segi klinik, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara genotipe VHB dengan manifestasi klinik penyakit hati dan respon terhaclap terapi antivirus. Berdasarkan epidemiologi, diketahui bahwa penyebaran virus hepatitis B di dunia berbeda secara geograiis. Sebagai negara kepuiauan, Indonesia memiliki populasi sangat beragam Iebih dari 475 kelompok etnik. Keragaman populasi ini sangat terkait dengan Iatar belakang genetik manusia dan pola migrasi purba, dan diduga mempengaruhi epidemiologi molekul VHB yang tergambarkan dalam distribusi genotipe dan subtipe VHB di Indonesia. Sampai saat ini Iaporan tentang genotipe VHB di Indonesia masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencan bukti bahwa polimorfisme Sekuens Pre-S2 dapat digunakan untuk penentuan genotipe VHB dan subgenotipenya, mempelajari hubungan antara genotipe dan serotipe VHB, menentukan pola distribusi genotipe VHB di Indonesia dan kaitan genotipe VHB derlgan migrasi populasi manusia, Serta mengembangkan prinsip metode praktis penentuan genotipe berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Peneiitian ini dilakukan pada 11 populasi Indonesia, terdiri dari 8 populasi sehat yaitu populasi Batak-Karo, Dayak Benuaq (mewakili Indonesia bagian barat); populasi Makassar, Mandar, Toraja dan Kajang (mewakili populasi Indonesia Timur - Sulawesi); populasi Alor dan Sumba (mewakili populasi Nusa Tenggara Timur), dan 3 kelompok pasien hepatitis B dari Sumatera, Jawa dan Cina Indonesia. Pendekatan metodologi yang digunakan bersifat eksploratif-cross sectional. 1. Bukti bahwa daerah Pre-S2 dapat digunakan dalam penentuan genotipe VHB: identifikasi subgenotipe yang terkait dengan populasi manusia. DNA VHB diisolasi dari serum HBsAg positif, dan fragmen DNA daerah Pre-S2 serta daerah pembanding Iainnya diamplifikasi dengan metoda PCR. Penentuan genotipe dilakukan dengan membandingkan hasil perunutan sekuens daerah Pre-S2 dengan sekuens daerah S, total genom, gen P, X, core dan Pre-S1. Penentuan genotipe VHB dengan menggunakan sekuens Pre-S2 sama baiknya dengan berdasarkan daerah S; semua sampel terdistribusi sama pada genotipe B dan C. Genotipe B adalah genotipe utama yang ditemukan (43/56 sampel; 76.B%), diikuti genotipe C dengan 13/56 sampel (23,2%). Variasi sekuens yang tinggi di daerah Pre-S2 memungkinkan pengenalan tiga subgenotipe VHB/B: Bc pada populasi Cina Indonesia, Bwi pada populasi Indonesia bagian barat dan Bei pada populasi Nusa Tenggara Timur. Variasi sekuens ini juga membagi VHB/C menjadi dua kelompok yaitu subgenotipe C1 dan C2. Dibuktikan bahwa subgenotipe Bc identik dengan subgenotipe B Asia non Japan (Ba) yang ditemukan pada populasi Cina di daratan Asia, menunjukkan bahwa genetik VHB dipertahankan pada populasi Cina Indonesia sampai Iebih dari tiga generasi Subgenotipe VHB/B yang ada di Indonesia membawa segmen kecil dari genotipe C di daerah precore dan core hasil proses rekombinasi, seperti halnya dengan genotipe Ba. Perbedaannya terletak pada tambahan titik rekombinasi dan Single Nucleotide Polimorphism (SNP) di daerah precore dan core tersebut. Adanya subgenotipe di atas diverifikasi dengan sekuens total genom VHB. Berbagai SNP di daerah Pre-S2 memberikan pola yang khas untuk masing-masing subgenotipe VHB sehingga dapat dijadikan situs diagnostik untuk penentuan genotipe dan subgenotipe. 2. Hubungan antara serotipe dan genotipe VHB: studi pada genotipe VHB di Asia Tenggara. Pada total 110 sampel VHB yang berasal dari beberapa kelompok populasi: Sumatra (n=12), Cina Indonesia (n=29), Jawa (n=23), Sulawesi (n=19), Alor (n=13) and Sumba (n=14), ditemukan serotipe adw, adr, ayw dan ayr. Pola distribusi serotipe yang ditemukan adalah adw dominan di Indonesia bagian barat seperti daerah Sumatra dan Jawa, ayw serotipe dominan di Nusa Tenggara Timur, dan serotipe campuran (adw, ayw dan add ditemukan di daerah Sulawesi Serotipe ayr merupakan serotipe yang paling jarang ditemukan. Uji statistik Chi-square, menunjukkan seoara bermakna hubungan antara serotipe HBsAg dan genotipelsubgenotipe VHB. Serotipe adw berkaitan dengan subgenotipe Bwi dan Bc, serotipe ayw1 dengan genotipe Bei, serotipe adr dan ayr dengan genotipe C, sedangkan serotipe ayw2 berkaitan dengan genotipe D. Terdapat anomali hubungan antara serotipe dan genotype pada beberapa sampel, yaitu serotipe adr dengan genotipe B (adr-B) dan serotipe adw dengan genotipe C (adw-C). Mekanisme molekul yang mendasarinya telah diselidiki, dan ternyata adalah: (a) isolat adr-B, adanya mixed infection VHB/B (adw) dan VHB/C (adr). Hasil kioning menunjukkan VHBIB (adw) Iebih banyak dari VHB/C (adr), akan tetapi ternyata secara serologi adr Iebih dominan dari adw, sesuai dengan sifat antigenesitas r yang tinggi dibanding w atau adanya mutasi di daerah determinan a pada posisi Iain yang mempengaruhi ekspresi vm (b) isoiat adw-C, adanya recunent mutation pada posisi asam amino ke 160 yang merubah determinan r menjadi w, dan adanya mutasi baru P127T dan C139W. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan bahwa data serotipe di Indonesia yang telah dipublikasi olen peneliti-peneliti sebelumnya dapat dikonversi menjadi data genotipe VHB dengan tingkat kesalahan ?I,8% untuk genotipe C yang berserotipe adw, dan 5,4% untuk genotipe B dengan serotipe adr. 3. Epidemiologi molekul VHB di Indonesia: genotipe sebagai marka migrasi populasi. Frekuensi HBsAg di Indonesia ben/ariasi diantara delapan kelompok etnik yang dipelajari, yaitu pada populasi Batak Karo (6,7%), Dayak Benuaq (13.2 %), Makassar (4,2 %), Mandar (5,5%), Toraja (4,2%), Kajang (72%), Alor (10,7%), dan Sumba (7,4%). Dari 138 sampel didapatkan bahwa genotipe B merupakan genotipe utama di Indonesia (73,9%), diikuti genotipe C (24.6%) dan kemudian genotipe D (1,5%). Penemuan ini sesuai dengan hasil konversi serotipe-genotipe yang dilakukan terhadap data serotipe Indonesia yang telan dipublikasikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Data genotipe VHB 11 populasi Indonesia hasil penelitian ini dan genotipe VHB pada 27 kota hasil konversi serotipe-genotipe telah disusun menjadi petal distribusi genotipe VHB di Indonesia. Distribusi genotipe VHB menunjukkan adanya hubungan dengan pola migrasi purba populasi manusia ke kepulauan Nusantara. G-enotipe C tampaknya datang bersama migrasi manusia modern (Homo sapiens) pertama dari daratan Asia sekitar 40.000 - 60.000 tahun sebelum sekarang (years before presence;YBP). Kemudian gelombang migrasi besar manusia ke dua ke kepulauan Nusantara, tediri dari populasi berbahasa Austronesia (4,000 - 6.000 YBP), diusulkan membawa genotipe B. Sesuai dengan pola migrasi ini, genotipe B dominan di hampir semua wilayah Indonesia dengan populasi penutur bahasa-bahasa Austronesia, dan hanya menyisakan dominasi genotipe C di daerah Papua dan daerah berpopulasi Austromelanosid lain di sekitarnya. Disimpulkan bahwa genotipe B merupakan marka populasi Austronesia. 4. Pengembangan prinsip metoda praktis penentuan genotipe VHB berdasarkan polimorlisme di daerah Pre-S2. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penentuan genotipe VHB berdasarkan daerah Pre-S2 dapat dilakukan dan paling sedikit sama baiknya dengan cara berdasarkan daerah S yang sekarang umum dipakai. Metoda penentuan genotipe berdasar daerah Pre-S2 dengan direct sequencing ideal untuk penelitian, tetapi pada saat ini tidak praktis untuk pemeriksaan Iaboratorium kIinik. Pengembangan metoda PCR-RFLP berdasarkan polimorfisme di daerah Pre-S2 akan memungkinkan penentuan genotipe dan subgenotipe secara Iebih praktis. Untuk itu, telah dilakukan analisis 110 sekuens Pre-S2 VHB hasil penelitian ini dan 84 sekuens dari GenBank, untuk menentukan situs pemotongan enzim restriksi endonuldease yang tepat rancang PCR-RFLP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe C dan D dapat dibedakan dari genotipe B dengan menggunakan enzim Aval, genotipe C dan D dibedakan dengan enzim Bmrl, dan genotipe B dan C-adw dengan enzim Banll. Subgenotipe Bc dibedakan dari Bwi dan Bei dengan enzim Apal. Pembedaan subgenotipe Bwi dan Bei dilakukan dengan menggunakan primer dengan modifikasi satu nukleotida untuk membuat situs enzim restriksi Btsl. Metoda praktis PCR-RFLP untuk membedakan genotipe dan subgenotipe khas Indonesia dapat dikembangkan.
2005
D755
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Ramadhan Apriyanto
Abstrak :
Latar Belakang: Hepatitic C merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis C (HCV) dan dapat mengakibatkan peradangan hati, biasanya bersifat asimtomatik, bahkan kronik yang ditandai dengan sirosis, kanker hati, kelainan fungsi hati yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan standar dengan PEGinterferon-a dan ribavirin memiliki efek samping yang berat, sehingga diperlukan pengobatan alternatif sebagai anti-HCV. Dimocarpus longan merupakan tanaman yang memiliki khasiat sebagai antijamur, antivirus, antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antikanker. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek dan mekanisme kerja ekstrak metanol daun D. longan terhadap virus Hepatitis C. Metode: Cell line derivate Human hepatocarcinoma (Huh 7it-1) diinfeksikan dengan HCV strain JFH1 dari genotipe 2a yang diinduksikan ekstrak metanol daun D. longan selama dua hari, kemudian diukur virus yang terbentuk ekstraseluler dan intraseluler. Pemeriksaan virus ekstraseluler dengan cara focus forming assay sedangkan intraseluler dengan qRT-PCR, western blot dan relative fluorescence assay. Pengujian sitotoksisitas terhadap Huh 7it-1 dengan metode MTT assay. Ekstrak metanol daun D. longan diuji adanya kandungan saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida. Hasil: Konsentrasi hambatan 50% (IC50) ekstrak terhadap HCVsebesar 13,2 ± 0,52 μg/ml dan toksik 50% (CC50) terhadap sel Huh 7it-1 sebesar 681,9 ± 13,2 μg/ml dengan nilai indek selektivitas (SI) sebesar 51,2. Efek virusidal ekstrak metanol daun D. longan secara langsung terhadap HCV berupa pengurangan titer virus sebesar 99%. Analisis RNA dan protein NS3 HCV intraseluler memperlihatkan adanya hambatan sebesar 20%. Kandungan fitokimia yang terdapat pada ekstrak metanol daun D. longan di antaranya saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, alkaloid, tanin, dan glikosida. Kesimpulan: Mekanisme anti-HCV dari ekstrak metanol daun D. longan diduga melalui adanya hambatan pada entry dan post-entry yang bekerja dengan menghambat pada penempelan virus, membunuh virus dengan interaksi langsung, menghambat ekspresi NS3, dan menghambat replikasi. Kandungan fitokimia yang terkandung seperti saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida.
Background: Hepatitic C is a disease caused by the hepatitis C virus (HCV). HCV infection can lead to inflammation of liver tend to be asymptomatic, and chronic characterized by cirrhosis, liver cancer, abnormal liver function can cause mortality. Standard HCV treatment with PEG-interferon-a and ribavirin have severe side effects, necessitating alternative treatments as anti-HCV. Dimocarpus longan is a plant that previously reported has antifungal, antiviral, anti-inflammatory, antioxidant, antibacterial, and anticancer activity. The purpose of this study is determine the effects and mechanism of action of the methanol extract of leaves of D. longan against hepatitis C virus. Methods: A derivate of Human hepatocarcinoma Cell line (Huh 7it-1) was infected with HCV of genotype 2a JFH1 strain which is inducted with methanol extracts of D. longan for two days and then number of virus produced outside of the cell (extracellular) and inside of the cell (intracellular) were measured by focus forming assay, while intracellular virus was measured by qRT-PCR, western blot and relative fluorescence assay. Cytotoxicity against Huh 7it-1 was tested by MTT assay. Examination of phytochemical content D. longan showed the presence of saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, alkaloids, tannins, and glycosides. Result: D. longan concentration of inhibition 50% (IC50) and Toxic effects of concentration of cytotoxicity 50% (CC50) againts cells Huh 7it-1were obtained 13,2 ± 0.52 ug/ml and 681.9 ± 13.2 ug/ml, respectively and with selectivity index (SI) 51.2. Result of direct virucidal effect was shown inhibition of titer virus 99%. RNA and NS3 protein analysis of HCV were shown inhibition 20%. Phytochemical contains of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides. Conclusion: Anti-HCV mechanisms of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are inhibition at entry and post-entry with action at attachment, direct killing, inhibition of expression NS3, and replication. Phytochemical content in the methanol extract of leaves of D. longan were saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wen, Ye
Abstrak :
Actinomycetes diketahui menghasilkan inhibitor RNA helikase virus Japanese encephalitis (JEV), tetapi belum diketahui menghasilkan inhibitor RNA helikase virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C satu famili dengan JEV yaitu Flaviviridae. Penelitian bertujuan memperoleh isolat Actinomycetes indigenous Indonesia yang menghasilkan inhibitor RNA helikase HCV. Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Molekular, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong selama delapan bulan (Februari> September 2006). Plasmid pET-21b yang telah membawa RNA helikase HCV, ditransformasi ke dalam E. coli BL21(DE3)pLysS. Penapisan inhibitor RNA helikase menggunakan metode kolorimetrik ATPase. Hasil penapisan inhibitor RNA helikase HCV dari Actinomycetes menunjukkan bahwa 784 isolat dari 1.000 isolat Actinomycetes yang digunakan dalam penapisan, menunjukkan hasil inhibisi yang positif, dengan kisaran inhibisi yaitu 0,22-49,22%. Kisaran persentase inhibisi 0,22-19,96% berasal dari 661 isolat, sedangkan kisaran inhibisi 20,00-29,68% diperoleh dari 83 isolat. Sebanyak 29 isolat memperlihatkan kisaran inhibisi 30,04-39,55%, sedangkan 11 isolat menunjukkan kisaran persentase inhibisi 40,30-49,22%. Isolat Actinomycetes yang menunjukkan tidak adanya inhibisi terhadap RNA helikase HCV sebanyak 216 isolat. Persentase inhibisi terbesar (49,22%) diperoleh dari Streptomyces maritimus 4-956, sedangkan persentase inhibisi terkecil (0,22%) diperoleh dari Micromonospora sp. 4-405. Beberapa Actinomycetes mempunyai kemampuan menginhibisi RNA helikase HCV, yaitu dengan cara menghambat hidrolisis ATP menjadi ADP + Pi sehingga RNA helikase tidak mempunyai energi untuk membuka dsRNA.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S31416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
he fourth edition of this authoritative text covers every aspect of liver disease affecting infants, children, and adolescents. As in the previous editions, it offers an integrative approach to the science and clinical practice of pediatric hepatology and charts the substantial progress in understanding and treating these diseases. All of the chapters are written by international experts and address the unique pathophysiology, manifestations, and management of these disorders. This edition of the landmark text features extended coverage of viral hepatitis, metabolic liver disease, fatty liver disease, and liver transplantation, including a new chapter on post-transplant care and outcomes. All of the chapters have been updated to reflect changing epidemiology and recent advances in molecular medicine and genomics. With the continued evolution of pediatric hepatology as a discipline, this text remains an essential reference for all physicians involved in the care of children with liver disease.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2014
618.92 LIV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Missy Savira
Abstrak :
ABSTRAK
<

Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan karsinoma primer tersering pada sel hati. Sebagian besar KHS disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C (VHC) yang memiliki patogenesis yang berbeda dalam menyebabkan KHS. Alfa-fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor pada KHS dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya status infeksi. Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengaruh jenis virus penyebab KHS dengan kadar AFP namun hasilnya sangat beragam. Berdasarkan hal tersebut dan ditambah dengan belum adanya penelitian serupa yang menggunakan data pasien di Indonesia maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar AFP pada pasien KHS terkait infeksi VHB terhadap VHC. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang menggunakan 199 data AFP pasien KHS yang terdiri dari 129 kasus KHS terkait VHB dan 70 kasus KHS terkait VHC. Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 97% dan 87.3% pasien KHS terkait VHC dan VHB mengalami peningkatan kadar AFP secara berurutan. Nilai median kadar AFP pada pasien KHS terkait VHB adalah 419 IU/mL sedangkan pada pasien KHS terkait VHC sebesar 400 IU/mL. Perbedaan nilai tersebut memiliki nilai p = 0.97 dalam uji Mann-Whitney U sehingga disimpulan tidak ada perbedaan bermakna pada rerata kadar AFP antara pasien KHS terkait VHB dibanding dengan VHC.


ABSTRACT

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the most primary common carcinoma in liver cells. Most HCC are caused by the hepatitis B virus and hepatitis C that have different pathogenesis in causing carcinoma. Alpha-fetoprotein as tumor marker in HCC is influenced by various factors, one of which is infection status. Various studies have been carried out to determine the influence of the types of viruses causing HCC with AFP levels but the results are very diverse. Based on this and coupled with the absence of similar studies using patient data in Indonesia, this study aims to compare AFP levels in HCC patients related to HBV and HCV. Using cross-sectional design, this study included 199 data of AFP in patient with HCC comprises of 129 cases of HCC related to HBV and 70 cases of HCC related to HCV. From this study, it was found that 97% and 87.3% of HCC patients related to HCV and HBV experienced an increase in AFP levels consecutively. The median value of AFP levels in HBV-related HCC patients was 419 IU / mL while in HCV-related HCC patients was 400 IU / mL. The difference in value has a p value = 0.97 in the Mann-Whitney U test thus it is concluded that there is no significant difference in AFP levels between HBV-related HCC patients compared with HCV-related HCC.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>