Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hadhimulya Asmara
"Jumlah pengidap virus HIV di Indonesia terus meningkat dari jenis penularannya, lebih banyak melalui cairan genital daripada plasma darah. Deteksi HIV diperlukan untuk pencegahan dan pengobatan. Teknik yang lazim digunakan adalah amplifikasi DNA dengan metode PCR. Penelitian ini bertujuan menerapkan teknik amplifikasi DNA metode LAMP yang baru-baru ini dikembangkan sebagai ganti PCR karena lebih spesifik, sensitif dan efisien. LAMP menggunakan pasangan primer yang unik, sepasang primer forward dan sepasang backward yang masing-maing terdiri dari primer panjang untuk polimerisasi DNA dem sepasang primer pendek untuk melepas rantai baru DNA sehingga reaksi bisa dilakukan pada suhu tetap. Reaksi LAMP menggunakan enzim Bst DNA polymerase pada suhu 65°C dilakukan
terhadap isolat genom RNA HW sudah dikonfirmasi keberadaannya dengan metode PCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"fakta membuktikan pada saat ini kita tidak dapat lagi menutup mata bahwa tidaklah sedikit anggota masyarakat yang terpapar HIV/AIDs, lebih lanjut banyak diantara mereka tidak mempunyai latar belakang perilaku yang beresiko, seperti : seks bebas, penasun, dll. pemerintah memperkirakan hingga 2010, 110.000 orang akan meninggal akibat AIDS dan terjadi penambahan satu juta orang dengan HIV positif, dimana beberapa diantaranya merupakan anak-anak. sungguh merupakan keprihatinan yang mendalam melihat generasi bangsa. menurut informasi saat ini sudah 160 anak indonesia berusia dibawah 15 tahun yang terinfeksi virus HIV. kebanyakan dari mereka tertular karena kelahiran dari ibu yang positif mengidap HIV."
361 MAJEMUK 41:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Gama Ramadhan
2010
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Kurniawan
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi antiretroviral (ARV) terbukti secara efektif dapat menekan replikasi HIV. Pengukuran viral load (VL) merupakan prediktor yang lebih baik dibanding kriteria klinis atau imunologis untuk menilai kegagalan atau keberhasilan terapi ARV. Karena keterbatasan sumber daya, maka pemeriksaan VL tidak selalu mudah untuk diakses oleh pasien HIV yang mendapat terapi ARV sehingga perlu untuk diketahui faktor-faktor pada pasien yang dapat memprediksi terjadinya kegagalan virologis.
Tujuan: Mengetahui faktor prediktor kegagalan virologis pada pasien HIV yang mendapat terapi ARV lini pertama sesuai paduan ARV terbaru di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV rawat jalan dewasa di RSCM yang mulai terapi ARV lini pertama selama periode Januari 2011-Juni 2014. Pasien HIV yang mempunyai data VL 6-9 bulan setelah mulai terapi ARV dengan kepatuhan berobat baik dimasukkan sebagai subjek penelitian. Kegagalan virologis dinyatakan sebagai nilai VL ≥ 400 kopi/mL setelah minimal 6 bulan terapi ARV dengan kepatuhan berobat baik. Paduan ARV yang digunakan terdiri dari dua NNRTI (salah satu dari TDF/AZT/d4T ditambah 3TC) dengan satu NNRTI (NVP atau EFV). Usia, faktor risiko penularan HIV, stadium klinis HIV menurut WHO, ko-infeksi TB, indeks massa tubuh, kadar hemoglobin, dan jumlah CD4 awal terapi serta basis paduan terapi ARV merupakan variabel yang diteliti pada penelitian ini.
Hasil: Terdapat 197 pasien sebagai subjek penelitian ini. Kegagalan virologis didapatkan pada 21 pasien (10,7%). Semua variabel yang diteliti belum terbukti dapat memprediksi kegagalan virologis pada pasien HIV yang mendapat terapi ARV lini pertama dengan adherens baik. Terdapat peningkatan risiko kegagalan virologis pada pasien dengan usia yang lebih muda, faktor risiko penasun, stadium klinis lanjut, adanya ko-infeksi TB, dan paduan ARV TDF+3TC+NVP tetapi tidak bermakna secara statistik.!!
Simpulan: Dari variabel yang diteliti, tidak didapatkan variabel yang terbukti sebagai prediktor awal kegagalan virologis pada pasien HIV yang mendapat terapi ARV lini pertama dengan adherens baik.

ABSTRACT
Background: Antiretroviral therapy (ART) effectively suppress HIV replication. Viral load (VL) measurement is better predictor than clinical or immunological criteria to evaluate failure or success of ART. However, in the country with limited resources, VL measurement is not easily accessible by HIV patients receiving ARV therapy therefore it is necessary to know which factors in the patients that can predict virological failure.
Objectives: To know early predictive factor of virological failure in HIV patients receiving recent first line ARV therapy regimen in Indonesia
Methods: This study was a retrospective cohort study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital that started ARV therapy during periode January 2011-June 2014. HIV patients with good adherence that have VL data 6-9 months after initiation of ARV therapy were included in this study. Virological failure was defined as VL ≥ 400 copies/mL after minimum of 6 months therapy with good adherence. ARV regimen used in this study consist of two NRTI (one of TDF/AZT/d4T plus 3TC) combined with one NNRTI (NVP or EFV). Age, risk factor for HIV infection, HIV clinical stage, HIV- TB co-infection, baseline CD4 value, hemoglobin level, body mass index, and ARV therapy regimen at the time of initiation were among the variables that analyzed in this study.
Results: There are 197 patients as subjects in this study. Virological failure was found in 21 patients (10,7%). All the variables included in this study can not predict virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence. There is increase risk of virological failure in patients with younger age, IDU as risk factor for HIV infection, late clinical stage, TB co-infection, and ARV regimen TDF+3TC+NVP but not reaching statistically significant.
Conclusion: There is no variable in this study proved to be early predictive factor for virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence.;Background: Antiretroviral therapy (ART) effectively suppress HIV replication. Viral load (VL) measurement is better predictor than clinical or immunological criteria to evaluate failure or success of ART. However, in the country with limited resources, VL measurement is not easily accessible by HIV patients receiving ARV therapy therefore it is necessary to know which factors in the patients that can predict virological failure.
Objectives: To know early predictive factor of virological failure in HIV patients receiving recent first line ARV therapy regimen in Indonesia
Methods: This study was a retrospective cohort study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital that started ARV therapy during periode January 2011-June 2014. HIV patients with good adherence that have VL data 6-9 months after initiation of ARV therapy were included in this study. Virological failure was defined as VL ≥ 400 copies/mL after minimum of 6 months therapy with good adherence. ARV regimen used in this study consist of two NRTI (one of TDF/AZT/d4T plus 3TC) combined with one NNRTI (NVP or EFV). Age, risk factor for HIV infection, HIV clinical stage, HIV- TB co-infection, baseline CD4 value, hemoglobin level, body mass index, and ARV therapy regimen at the time of initiation were among the variables that analyzed in this study.
Results: There are 197 patients as subjects in this study. Virological failure was found in 21 patients (10,7%). All the variables included in this study can not predict virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence. There is increase risk of virological failure in patients with younger age, IDU as risk factor for HIV infection, late clinical stage, TB co-infection, and ARV regimen TDF+3TC+NVP but not reaching statistically significant.
Conclusion: There is no variable in this study proved to be early predictive factor for virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence., Background: Antiretroviral therapy (ART) effectively suppress HIV replication. Viral load (VL) measurement is better predictor than clinical or immunological criteria to evaluate failure or success of ART. However, in the country with limited resources, VL measurement is not easily accessible by HIV patients receiving ARV therapy therefore it is necessary to know which factors in the patients that can predict virological failure.
Objectives: To know early predictive factor of virological failure in HIV patients receiving recent first line ARV therapy regimen in Indonesia
Methods: This study was a retrospective cohort study among adult HIV patients in Out-patient Clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital that started ARV therapy during periode January 2011-June 2014. HIV patients with good adherence that have VL data 6-9 months after initiation of ARV therapy were included in this study. Virological failure was defined as VL ≥ 400 copies/mL after minimum of 6 months therapy with good adherence. ARV regimen used in this study consist of two NRTI (one of TDF/AZT/d4T plus 3TC) combined with one NNRTI (NVP or EFV). Age, risk factor for HIV infection, HIV clinical stage, HIV- TB co-infection, baseline CD4 value, hemoglobin level, body mass index, and ARV therapy regimen at the time of initiation were among the variables that analyzed in this study.
Results: There are 197 patients as subjects in this study. Virological failure was found in 21 patients (10,7%). All the variables included in this study can not predict virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence. There is increase risk of virological failure in patients with younger age, IDU as risk factor for HIV infection, late clinical stage, TB co-infection, and ARV regimen TDF+3TC+NVP but not reaching statistically significant.
Conclusion: There is no variable in this study proved to be early predictive factor for virological failure in HIV patients receiving first line ART with good adherence.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erawita Endy Moegni
"Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar, balk di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Di beberapa negara berkembang IMS pada usia dewasa muda bahkan menempati kelompok lima besar kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Dalam konteks kesehatan reproduksi, IMS berkaitan dengan infeksi saluran reproduksi (ISR). Kesehatan reproduksi adalah keadaan proses reproduksi dalam kondisi sehat mental, fisik, maupun sosial terpenuhi dan tidak hanya babas dari penyakit atau kelainan pada proses reproduksi tersebut. Secara gender, wanita memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalnan, jugs terhadap penyakit kronik dan infeksi. Berbagai jenis IMS pada wanita dapat menyebabkan ISR yang dapat menimbulkan bukan hanya keluhan fisik, ,gangguan psikologis, maupun gangguan keharmonisan perkawinan, namun dapat dapat disertai komplikasi yang lebih lanjut. Hal tersebut terjadi terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat, terutama untuk jenis IMS dan ISR pada wanita yang tidak menimbulkan gejala khas. Komplikasi IMS atau ISR pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP), kehamilan di luar kandungan, kanker serviks, infertilitas, serta kelainan pada bayi dalam kandungan, misalnya beret badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, infeksi kongenital danlatau perinatal serta bayi lahir mati. Separuh dari wanita dengan IMS di Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita IMS karena ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya, sehingga sebagian besar dari mereka tidak berobat. Infeksi menular seksual dan ISR merupakan masalah kesehatan masyarakat serius namun tersembunyi, sehingga sering disebut sebagai the hidden epidemic.
Prevalensi IMS yang paling banyak diteliti pada wanita adalah pada kelompok populasi risiko tinggi, misalnya pada wanita penjaja seks (WPS). Sedangkan pada kelompok populasi risiko rendah, prevalensi IMS pada wanita yang juga pernah diteliti, misalnya ibu hamil atau pengunjung klinik keluarga berencana (KB).
Tiga di antara IMS yang sering tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis adalah sifilis, infeksi virus herpes simpleks (VHS), dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sejauh ini pemeriksaan serologik ke-3 penyakit tersebut hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan klinis maupun riwayat perilaku yang berisiko tinggi pada pasien. Setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap pemeriksaan ke-3 penyakit di atas pada wanita hamil, termasuk di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.
Pola distribusi IMS bergantung pada berbagai penyebab, antara lain faktor lingkungan, budaya, biologis, dan perilaku seksual yang salah atau berisiko tinggi. Faktor lingkungan dan budaya, dalam hal ini perubahan nilai, misalnya kebebasan individu dalam masyarakat dan mundurnya usia pernikahan berperan besar dalam peningkatan insidens IMS secara umum. Faktor biologis, misalnya perbaikan gizi secara umum akan menyebabkan makin mudanya usia menarche pada remaja putri.' Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kematangan biologis dengan usia menikah, sehingga sering terjadi kehamilan remaja. Sedangkan perilaku seksual berisiko, misalnya berganti-ganti pasangan seksual dan hubungan seks pranikah.1 Faktor risiko yang dihubungkan dengan sifilis, infeksi VHS tipe-2 dan infeksi HIV antara lain: status sosio-ekonomi rendah, lamanya melakukan aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual multipel, promiskuitas, penggunaan narkotika, serta riwayat IMS lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Safriady
"Perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV pada narapidana pria terdiri dari perilaku seksual dan perilaku penggunaan jarum tidak steril bergantian. Untuk memperoleh model yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, yaitu perilaku seksual, perilaku penggunaan NAZA-IV dan perilaku pembuatan tattoo maka dilakukan penelitian dengan rancangan Cross Sectional dengan metode kuantitatif dan kualitatif pada narapidana dan petugas selama bulan November dan Desember 2002 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang.
Dari 100 responden narapidana didapatkan 100 % berperilaku seksual resiko tinggi, 55 % berperilaku membuat tattoo dengan jarum tidak steril bergantian, 3 % menggunakan NAZA-IV bergantian. 55 % narapidana berada pada kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, usia 30 tahun atau kurang 71 %, pendidikan SLP atau ke bawah 53 %, belum menikah 61 %, jenis pelanggaran hukum NAZA dan pemerkosaan 67 %, lama menghuni lapas di atas setahun 44 %, usia hubungan seks pertama di bawah atau 20 tahun 71 %, pernah mengalami PMS setahun terakhir 52 %, pengetahuan buruk 64 %.
Hasil analisa bivariat, terdapat delapan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku resiko sangat tinggi terinfeksi HIV yaitu usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, jenis pelanggaran hukum, lama di dalam lapas, usia hubungan seks pertama, pernah alami PMS setahun terakhir dan pengetahuan responden.
Analisis multivariat diantara delapan variabel yang menjadi model, ternyata terdapat lima variabel yang berhubungan secara bermakna, yaitu umur, lama di dalam lapas, jenis pelanggaran hukum, usia hubungan seks pertama, pengetahuan narapidana, tanpa adanya interaksi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku seks yang dilakukan narapidana di lapas adalah homoseks baik secara sukarela ataupun dipaksa, tanpa menggunakan kondom. Seluruh responden merasa tidak senang hidup terpisah dari wanita. Berdasarkan penelitian ternyata NAZA dapat melewati sistem Lapas Cipinang, dan narapidana dapat melanjutkan perilaku IDU di dalam lapas. Perilaku pembuatan tattoo banyak dilakukan oleh narapidana dengan menggunakan jarum dan tinta tidak steril bergantian. Jumlah penghuni overkapasitas. Studi ini memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana dalam kelompok resiko sangat tinggi terinfeksi HIV, hampir seluruh responden menyadari mereka dapat terinfeksi HIV selama tinggal di lapas. Pengkajian terhadap sumber daya (dana, tenaga, dan sarana) belum maksimal, masih menunggu atau tidak pro aktif. Pengetahuan kepala dan petugas lapas masih kurang tentang infeksi HIV.
Sebagai saran untuk mengantisipasi dan mencegah penularan infeksi HIV , jangka pendek : meningkatkan penyuluhan tentang cara penularan dan pencegahan infeksi HIV, pelatihan kepada kepala dan petugas lapas, diusahakan penyediaan kondom di lapas, disediakan ruangan khusus di lapas untuk melakukan hubungan seks narapidana yang memiliki istri yang syah dan berkumpul dengan anaknya, disediakan disinfekstan untuk mensterilkan jarum, perlu dibuat lapas khusus NAZA, dipersiapkan program harm reduction, perlu dianggarkan dana operasional RS lapas, perlu dibuat RS khusus untuk narapidana HIV + di lapas besar seperti di Cipinang, serta UU Republik Indonesia No. 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan perlu direvisi. Jangka panjang ditingkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dalam penanganan narapidana sebagai salah satu sumber daya manusia Indonesia.

The Very High Risk Behavior Infected of Human Immunodeficiency Virus (HIV) on The Male Prisoners at the Cipinang Prison Class 1 In 2002The high risk behavior of HIV infected for man prisoner are consist of sex behavior and user of unsterile hypodermic needle by turns. For getting model to explain factors of high risk behavior of HIV infected, that sex behavior, intravenous drug user behavior and tattoo making behavior, so we do the research by cross sectional structure with quantitative and qualitative method to prisoner and the official in charge for November and December 2002 in the class I prison in Cipinang.
From 100 respondents of prisoners get 100 % high risk sex behavior, 55 % tattoo making by unsterile needle by turns, 3 % IDU by turns. Prisoner with very high risk infected HIV 55%, 30 years or less 71%, secondary school or under 53%, single 61%, drug offenses and rapes 67%, having punishment above one year 44%, sex relations under or 20 years 71%, having STD experience one last year 52%, bad experience 64%.
Based on the analyze of bi-variances has been founded eight variables of meaningful relationship between very high risk behavior namely with ages, education level, marital status, the kind of offenses, the staying duration in prison, the first sex relations, experiencing STD, the knowledge.
The analysis multi-variance among eight variances becoming a model was founded five variables meaningfully related, namely; age, duration of staying in the prison, kind of offense, age of first sexual relations, prisoner's knowledge without having interactions.
The research showed that the sex behavior conducted by prisoners in the prison is homosexual either being voluntarily or forced without condom. All respondents did not feel comfortable separated from woman, Based on the research was appeared that drug could pass (across) the Cipinang Prison System, and prisoners could follow the IDU behavior in the prison. The prisoners often make tattoo by using the unsterile injection and ink in turn. Overcapacity inmate. This study shows that Sistem Pemasyarakatan to place the prisoners are in very high risk infected HIV, almost all respondents realize that they may be infected HIV during living in the Prison. The study about resources (funds, power, and facilities) is not maximal yet, it is still waiting not proactive. Headmaster's and official free lance's acknowledge are still minim about HIV infection.
In order to anticipate and prevent the HIV infection could be suggested, in the short-term, to provide enough information about the infection and how to prevent HIV infection, it need training for headmaster and official freelances, to prepare condom in the prison, to prepare the special room in the prison for whom have a legal wife and children, to prepare the disinfectant to sterilize the needle, then it is necessary to prepare a special prison for drug, to prepare harm reduction program. Furthermore, it is necessary to plan a budget in operating prison hospital and preparing a special hospital for HIV prisoners + big prison like Cipinang Prison, it is necessary to revise UU Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. In the long-term, it is necessary to create a collaboration inter-program and inter-sectors in handling the prisoners as one of human resources.
Bibliography: 54 (1978-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Febrianti
"Infeksi Chlamydia trachomatis (CT) genital merupakan penyebab infeksi menular seksual (IMS) terbanyak baik di negara industri, maupun di negara berkembang. Prevalensi infeksi ini bervariasi bergantung pada faktor risiko, kelompok populasi yang diteliti, dan metode pemeriksaan yang digunakan. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.5 Prevalensi infeksi CT pada wanita risiko tinggi meningkat 8 kali lipat dibandingkan dengan wanita risiko rendah. Penelitian tahun 2001 di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mufya Jaya mendapatkan angka kejadian infeksi CT adalah 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2® dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®. Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram, menunjukkan bahwa insidens infeksi genital nonspesifik sebesar 11,1%. Morbiditas dan komplikasi infeksi CT mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita akan menimbulkan masalah ekonomi dan psikososial yang serius. Penyakit ini pada wanita dapat menimbulkan gejala uretritis, servisitis, dan penyakit radang panggul (PRP). Selanjutnya dapat terjadi nyeri panggul kronis, kehamilan ektopik, serta infertilitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat Iebih dari 4 juta kasus Baru infeksi CT setiap tahun dan akibatnya 50.000 wanita mengalami infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi CT dapat menderita konjungtivitis dan/atau pneumonia. Selain itu, infeksi CT juga meningkatkan risiko terkena infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan menderita kanker serviks.
Umumnya infeksi CT bersifat asimtomatik pada 75-85% wanita dan pada 50-90% pria, sehingga penderita tidak mencari pengobatan. Individu terinfeksi CT yang asimtomatik merupakan sumber penuiaran di masyarakat, khususnya wanita penjaja seks (WPS) yang berganti-ganti pasangan seksual. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan uji diagnostik infeksi CT terhadap semua wanita seksual aktif usia <20 tahun; wanita baik usia 20-24 tahun, maupun usia >24 tahun dengan salah satu faktor risiko sebagai berikut: tidak selalu menggunakan kondom, atau mempunyai pasangan seks baru, atau memiliki pasangan seks >1 selama 3 bulan terakhir; serta wanita hamil. Skrining CT pada kelompok wanita risiko tinggi efektif menurunkan insidens infeksi CT dan risiko terjadinya sekuele jangka panjang. Dengan demikian, diperLukan uji diagnostik untuk deteksi infeksi CT yang cepat dan sederhana, sehingga dapat diberikan pengobatan yang tepat serta efektif pada kunjungan pertama guna mencegah transmisi dan komplikasi penyakit lebih lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58475
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soraya Amanda Setiawan
"Pendahuluan: Infeksi HIV menyebabkan penurunan imunitas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyakit penyerta, seperti infeksi oportunis. Salah satu organisme penyebab infeksi oportunis yang sering ditemukan adalah Candida sp., yang sering ditemukan pada rongga mulut, disebut juga dengan kandidiasis oral. Dengan banyaknya komplikasi yang dapat menyertai kandidiasis oral, pengobatan oleh antijamur sangat diperlukan. Amphotericin B, fluconazole, itraconazole, nystatin, dan ketoconazole merupakan beberapa obat yang dapat digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan suseptibilitas Candida sp. terhadap antijamur tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan metode deskriptif. Sampel didapat dari koleksi kultur Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, dari pasien HIV dengan suspek kandidiasis oral. Uji kepekaan jamur menggunakan metode difusi cakram pada agar Müeller-Hinton mengunakan antijamur amphotericin B, fluconazole, itraconazole, nystatin, dan ketoconazole. Hasil: Sebanyak 23 sampel menunjukkan 6 jenis jamur, yaitu C. albicans (43%), C. krusei (4.3%), C. tropicalis (13%), C. glabrata (26%), C. parapsilosis (8%), dan Rhodotorula (4.3%). Mayoritas jamur menunjukkan hasil sensitif terhadap kelima antijamur yang digunakan, dengan pengecualian Rhodotorula terhadap fluconazole. Kesimpulan: Mayoritas jamur menunjukkan hasil sensitif terhadap antijamur yang digunakan. Urutan antijamur dengan sensitivitas yang paling tinggi hingga rendah adalah amphotericin b, nystatin, ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole.

Introduction: HIV infection causes immune declining, thus increasing the risk of accompanying diseases, including opportunistic infection. One of the commonly found organism to cause opportunistic infection is Candida sp., which often found in the oral cavity, known as oral candidiasis. With the many complication that may follow oral candidiasis, antifungal medication is highly needed. Amphotericin B, fluconazole, itraconazole, nystatin, and ketoconazole are a few antifungal agents that can be used. This research aims to determine Candida sp. susceptibility towards these antifungals. Methods: This research is a cross-sectional study with descriptive method. Samples were obtained from the culture collection of the Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, from HIV patients with suspect of oral candidiasis. The susceptibility test uses disc diffusion method with Müeller-Hinton agar, with the antifungal agents that are amphotericin B, fluconazole, itraconazole, nystatin, dan ketoconazole. Results: There were found 6 types of fungi, that are C. albicans (43%), C. krusei (4.3%), C. tropicalis (13%), C. glabrata (26%), C. parapsilosis (8%), dan Rhodotorula (4.3%). The majority of the fungi are sensitive towards all of the antifungal agents being tested, with the exception of Rhodotorula towards fluconazole. Conclusion: The majority of the fungi are sensitive towards the antifungal agents being tested. The order of the antifungal agents with the highest to the lowest sensitivity are amphotericin B, nystatin, ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Sushanti
"Latar belakang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah kesehatan global yang merupakan target pemberantasan epidemi pada akhir tahun 2030. Untuk mencapai target 95- 95-95, perlu pengawasan untuk mencegah loss-to-follow up (LTFU) karena dapat menyebabkan resistensi virus dan kematian. Beberapa faktor seperti usia saat terdiagnosis, stadium klinis, jarak tempat tinggal, status pengasuh dapat memengaruhi terjadinya LTFU. Pandemi COVID-19 juga menurunkan kepatuhan anak dengan HIV serta menimbulkan hambatan finansial maupun sosial dalam berobat sehingga dapat menyebabkan terjadinya LTFU.
Tujuan. Untuk melihat perbedaan prevalens kejadian LTFU sebelum dan selama pandemi, serta faktor - faktor yang memengaruhi LTFU anak dengan HIV di RSCM sesuai periode.
Metode. Studi kohort retrospektif terhadap 402 subjek berusia 6 bulan – 18 tahun dengan HIV dan berobat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data berasal dari penelusuran rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode Februari 2017 hingga Februari 2023
Hasil. Tidak terdapat perbedaan prevalens yang bermakna pada kasus LTFU antara periode sebelum (15,5%) dan selama pandemi (19,2%), p 0,237. Pada periode sebelum pandemi, proporsi LTFU terbesar pada kelompok usia 5-10 tahun (19,3%), stadium klinis IV (17,9%), jarak tempat tinggal lebih dari 10 km (16,1%), dan status pengasuh orang tua kandung (15,8%). Sedangkan pada periode selama pandemi, proporsi LTFU terbesar pada kelompok usia 10-18 tahun (23,8%), stadium klinis I (30%), jarak tempat tinggal lebih dari 10 km (19,5%), dan status pengasuh bukan orang tua kandung (22,3%). Usia saat terdiagnosis, stadium klinis, jarak antara rumah ke RSCM, dan status pengasuh tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian LTFU, baik pada periode sebelum maupun selama pandemi (p>0,05).
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan prevalens kasus LTFU yang bermakna pada periode sebelum dan selama pandemi. Usia saat terdiagnosis, stadium klinis, jarak antara rumah ke RSCM, dan status pengasuh tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kejadian LTFU, baik pada periode sebelum maupun selama pandemi.

Background. Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a global health problem which is the target for eradication by the end of 2030. To achieve the 95-95-95 target, close monitoring is necessary to prevent loss-to-follow up (LTFU) because it can cause virus resistance and death. Several factors such as age at diagnosis, WHO clinical stage, distance from residence, caregiver status can influence the occurrence of LTFU. The COVID-19 pandemic has also reduced compliance of children with HIV and created financial and social barriers to treatment, which can lead to LTFU.
Objective. To observe the differences in prevalence of LTFU events before and during the pandemic, as well as factors influencing LTFU of children with HIV according to the period.
Method. This research is a retrospective cohort study of 402 subjects aged 6 months – 18 years with HIV and undergoing HIV treatment in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Data were obtained from medical records that meet the inclusion and exclusion criteria in the period February 2017 to February 2023.
Result. There is no significant difference in the prevalence of LTFU cases between the period before (15.2%) and during the pandemic (19.2%), p 0,237. In the pre-pandemic period, the largest proportion of LTFU was in the 5-10 year age group (19.3%), clinical stage IV (17.9%), distance from residence more than 10 km (16.1%), and caregiver status of biological parents (15.8%). Meanwhile, in the period during the pandemic, the largest proportion of LTFU in the 10-18 year age group (23.8%), clinical stage I (30%), residence distance of more than 10 km (19.5%), and caregiver status is not a biological parent (22.3%). Age at diagnosis, clinical stage, distance between home and RSCM, and caregiver status did not have a significant influence on the incidence of LTFU, both in the period before and during the pandemic (p>0.05).
Conclusion. There are no significant differences in the prevalence of LTFU cases between the period before and during the pandemic. Age at diagnosis, clinical stage, distance between home to RSCM, and caregiver status did not have a significant influence on the incidence of LTFU, both in the period before and during the pandemic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>